• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN IMAM MALIK SEBAGAIMANA JAWAD MUGHNIYAH TENTANG WAJIBNYA MANDI BAGI WANITA NIFAS YANG TIDAK MENGELUARKAN DARAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV ANALISIS PEMIKIRAN IMAM MALIK SEBAGAIMANA JAWAD MUGHNIYAH TENTANG WAJIBNYA MANDI BAGI WANITA NIFAS YANG TIDAK MENGELUARKAN DARAH"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

44

MUGHNIYAH TENTANG WAJIBNYA MANDI BAGI WANITA NIFAS YANG TIDAK MENGELUARKAN DARAH

(Kaitannya Terhadap Bedah Caesar)

A. Analisis Istinbath Hukum Imam Malik

Pada bab sebelumnya penulis telah menguraikan pendapat Imam Malik tentang wajibnya mandi bagi wanita nifas yang tidak mengeluarkan darah, Sedangkan dalam bab ini penulis akan menganalisis pendapat Imam Malik, seorang imam ahli Madinah yang juga sebagai amirul mukminin fi al-Hadits. Secara konsep pendirian Imam Malik didasarkan pada fenomena geografis dan metodologi istinbath hukum Islam pada zaman tersebut. sebagaimana di tulis para sejarawan bahwa keberadaan Imam Malik cenderung menekankan pada konsep tekstual. Abad ke-dua Hijriyah merupakan abad keemasan bagi dunia Islam khususnya zaman kekhalifahan Harun al-Rasyid. Di masa itu kestabilan politik dapat diciptakan sehingga melapangkan jalan bagi perkembangan yang pesat dalam bidang ilmu dan sastra. Baghdad yang terkenal dengan julukan kota 1001 malam, selain sebagai pusat pemerintahan yang merupakan pusat pengembangan ilmu, kawasan itu terkenal juga sebagai pusat kubu Ahl al-Ra'y. tokohnya yang sangat terkenal adalah Imam Abu Hanifah bersama sahabatnya Abu Yusuf dan Muhammad bin Al-Hasan. Selain itu pusat pengembangan ilmu pada zaman itu adalah Madinah, sebuah kota yang sangat

(2)

bersejarah. Tokohnya yang terkenal ketika itu adalah Imam Malik. Beliau adalah pemegang panji di kubu Ahl al-Hadits.1

Kedua kubu tersebut, antara ahl al-ra'y dan ahl al-hadits merupakan fenomena fiqh yang berkembang dalam hukum Islam saat itu. Mereka saling memberikan pengaruh kepada masyarakat bahkan saling menghujat antara satu dengan yang lain dalam memberikan argumen tentang kekuatan dalilnya. Wilayah pertarungan itu sendiri sangat luas, tidak terbatas pada masalah Sunnah, atau status beberapa riwayat. Juga tidak hanya berkaitan dengan meluapnya “pemalsuan” hadits karena dorongan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru, yang menumbuhkan dan melegitimasi berkembangnya hipotesa teoritik bagi kaum rasionalis. Serta tidak juga sekedar berkaitan dengan meluapnya pendapat rasional yang berkembang jauh seiring dengan hipotesa teoritik tersebut, dan seringkali menyimpang dari pesan teks dan sikap para salaf dengan memegangi istihsan.2

Pada dataran epistemologis, pertarungan ideologis itu menjelma di dalam perseteruan kelompok rasionalis dengan kelompok ahl hadits mengenai efektifitas teks-teks keagamaan. Sementara ahl al-hadits membela otoritas teks-teks keagamaan dan kekuasaannya atas setiap bidang aktifitas kemanusiaan, maka kelompok rasionalis mempertahankan akal dengan mengembangkan konsep-konsep seperti Maslahah mursalah, istihsan, dan istislah.3 Dalam naungan pergulatan inilah perseteruan antara ahl hadits dan

1

KH. Ali Yafie. Menggagas Fiqih Sosial, Mizan, Bandung 1994. hlm. 41

2

Dr. Nasr Hamid Abu Zaid, Imam Syafi'ie Moderenitas Eklektisisme Arahisme. LKIS Yogyakarta 1997. hlm 47.

3

(3)

kaum rasionalis menjadi salah satu fenomena pergulatan umum antara naql dan 'aql, antara filsafat dan agama, atau antara taqlid dan kreatifitas.4

Namun demikian, keterangan lain menyatakan bahwa ada perkembangan tertentu, sempat terjadi pertikaian yang memuncak antara kedua kecenderungan tersebut di atas, yaitu ahli fiqh Iraq mengkritik ahli fiqh Madinah secara tajam. Ahli fiqh Iraq menganggap ahli fiqh Madinah sebagai golongan yang tidak terampil dalam mempergunakan nalar. Sebaliknya, ahli fiqh Madinah mempersalahkan ahli fiqh Irak atas tidak berfungsinya Sunnah.5

Mayoritas ulama ushul fiqh memahami sumber penetapan hukum Islam adalah al Qur’an, Sunnah, Ijma’,Qiyas, Istihsan, istislah, istishab dan ‘urf. Namun ada beberapa ulama yang mengklasifikasikan al Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum (mashadir al tasyri’) dan selain itu yang meliputi Ijma’, Qiyas, Istislah, istihsan, istishab dll sebagai metode istinbat hukum (al adillah al syar’iyyah).6 Argumentasi yang dipakai oleh ulama yang membedakan antara sumber tasyri’ dan metode tasyri’ ini nampaknya lebih tepat dan rasional karena pada asasnya sumber yang menjadi rujukan pentasyri’an dalam hukum Islam adalah hanya al Qur’an dan Sunnah sedangkan yang lain adalah metode yang digunakan untuk memahami kedua sumber pentasyri’an ini.

4

Ibid., hlm. 49

5 Abd al-Wahhab Abu Sulayman, al-Fikr al-Usuli, Dar al-Shuruq, Jeddah, 1983, hlm. 45. 6

Diantara ulama yang berpendapat seperti ini adalah Muh. Hasyim Kamali, Selanjutnya baca Muh. Hasyim Kamali, “Law and Society: The Interplay of Revelation and Reason in the Syari’ah” dalam John L.Esposito (Ed), The Oxford History of Islam, Oxford University Press, 1999, Opcit, Ibid, hlm 118

(4)

Dalam definisi para ulama metode istinbat hukum sesungguhnya lebih variatif dari hanya sekedar itu. Mereka biasanya membagi metode istinbath hukum menjadi tiga cara. Pertama adalah dengan pendekatan kebahasaan, misalnya amr-nahy, am-khas, muthlaq-muqayyad, manthuq-mafhum dan hakekat-majaz. Kedua dengan pendekatan maqashid al syari’ah, seperti hifd al dien, hifdz al nas,lhifdz al-mal, hifdz al-nafs dan hifdz al-aql. Sedangkan metode yang lain yang bisa masuk dalam klasifikasi ini adalah ijma, qiyas, istihsan, istislah dan istishab. Ketiga dengan penyelesaian dalil yang bertentangan (ta’arrudl dan tarjih).7 Walaupun seperti itu sesungguhnya metode istinbath hukum ulama Ushul dapat dibagi dalam dua klasifikasi utama yaitu metode istinbath secara kebahasaan dan metode istinbath yang bukan kebahasaan.

Dalam kaitan dengan periode perkembangan pemikiran fiqh, Ulama biasanya membaginya dalam enam periode (Kamali,1999: 117-119).8 Periode

7

Satria Effendi Muih. Zein, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Ichtiar Baroe van Hoe Voe, Jilid 3, hlm 279 baca juga Abdul Karim Zaidan, al Wajiz Fi Ushul al Fiqh, Mu’assasah al Risalah, Beirut, 1987, hlm 275-395. Sedangkan Wahbah az Zuhaily mengklasifikasikannya menjadi Thuruq al Istinbath min al Nash untuk metode istinbat berdasarkan kebahasaan dan mashadir al tasyri’ untuk dalil-dalil hukum seperti qur’an, Sunnah, ijma’, qiyas,,ijma’, istislah dan istishab .Selanjutnya baca Wahbah az Zuhaily, Usuhl al Fiqh al Islamy,Dar al Fikr, Damaskus, 2001.

8

Abu Aminah Bilal Philips membagi periode perkembangan fiqh menjadi enam periode juga, yaitu a. Periode fondasi, yaitu masa Nabi (609-632M).B. Periode pembentukan, yatu masa Khulafa’ rasyidin (632-661). c. Periode pembangunan, yaitu pada masa berdirinya Dinasti Ummayah sampai runtuhnya (661-abad 8M). d. perkembanagan,yaitu masa berdirinya sampai runtuhnya bani Abbasiyah ( abad 8-10M) .e. Periode konsolidasi, yatu masa runtuhnya Dinasti Abbasiyah sampai penaklukan dinasti Abbasiyah oleh bangsa Mongol (abad 10-13m) dan f. Periode stagnasi dan kemunduran, yaitu dari masa penjarahan kota Baghdad sampai sekarang (Philips, 2000). Sedangkan Abd. Rahim dengan mendasarkan pada ulama Ushul terdahulu membagi menjadi empat periode, yaitu a. Periode Nabi,yaitu periode legislasi, b.Periode koleksi dan interpretasi, yaitu masa sahabat, dan tabi’in. c. Periode studi ilmiyah dan teoritis terhadap hukum, yaitu periode munculnya empat mazhab hukum serta d. Periode taklid, yaitu masa setelah mazhab empat. Saelanjutnya baca Abd. Rahim The Principles of Islamic Jurisprudence:According to Hanafi, Maliki, Syafi’I and Hanbali’s Schools, Kitab Bavan, New Delhi, 1994, hlm 16

(5)

Pertama adalah periode kenabian (630-632). Pada periode ini yang menjadi landasan hukum umat Islam adalah al-Qur’an yang kemudian didukung oleh kekuatan Sunnah. Pada masa ini al-Qur’an benar-benar menjadi sumber hukum yang mempunyai orientasi praktis dan berdasarkan isu dan kasus hukum, bukan hanya sebagai dogma dan landasan teologis saja. Pada masa ini juga ditandai oleh belum perlunya sebuah penalaran hukum spekulatif atau ijtihad karena Nabi sendiri menyediakan aturan-aturan yang definitive terhadap persoalan yang muncul.

Periode yang kedua adalah periode perkembangan fiqh pada Era sahabat Nabi (632-661). Pada masa ini mulai muncul interpretasi tekstual tentang persoalan syari’ah. Periode ini juga menandai awal mula munculnya fiqh dan ijtihad. Para sahabat Nabi mengambil sebuah jalan rasional terhadap materi-materi hukum yang bersifat tekstual, Qur’an dan Sunnah. Pemahaman mereka tentang teks tidaklah dibingungkan oleh makna kata-kata karena para sahabat mengetahui rasionalisasi, sebab dan tujuan sebuah teks. Interpretasi para sahabat juga dianggap sangat otoritatif, hal ini bukan disebabkan karena merekla menerima langsung ajaran-ajaran Nabi,namun juga karena mereka mengetahui dan terlibat dalam persoalan asbab al nuzul.

Periode yang ketiga disebut sebagai Era para Tabi’in. Era ini dimulai ketika Bani Umayyah berkuasa pada sekitar abad 661 sampai berakhirnya kekuasaan Bani Umayyah yaitu pada tahun 750.Perkembanagan fiqh pada masa ini banyak dipengaruhi karena meluasnya territorial kekuasaan Islam sehingga menimbulkan persoalan-persoalan fiqh yang membutuhkan

(6)

penetapan hukum. Pada periode ini ditandai dengan munculnya dua mazhab besar hukum Islam, yaitu kaum tradisionalis (ahl al-hadits) yang berpusat di Makkah dan Madinah dan kaum rasionalis (ahl al-ra’yi) yang berpusat di kota Iraq, Kufah dan Bashrah. Selain dua mazhab besar ulama fiqh di kalangan Sunni , kalangan Syi’ah juga mempunyai mazhab pemikiran hukum tersendiri yang berkembang..

Periode yang keempat adalah Era yang disebut sebagai era kebebasan berfikir (750-950). Fase ini ditandai dengan berkembangnya mazhab fiqh sampai saat ini seperti Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali

Periode Kelima dimulai pada tahun 950. Periode ini dimulai tatkala terjadi pelembagaan mazhab-mazhab yang dominan yang terfokus bukan pada pengembangan sesuatu yang baru, namun mengikuti pendapat yang telah ada (Taqlid).Para ulama dan ahli hukum pada masa ini mencukupkan diri dengan mengelaborasi karya-karya pendahulu mereka. Periode ini adalah periode paling lama dalam sejarah periode perkembangan pemikiran hukum Islam yang dimulai sejak runtuhnya Bani Abbasiyah sampai masa Turki Usmani dan munculnya hegemoni politik Barat atas dunia Islam.

Periode keenam adalah periode perkembangan fiqh pada zaman modern, yaitu pada abad ke20 yang ditandai oleh berkurangnya taklid terhadap para pendahulu dan banyak menitikberatkan pada pemikiran yang original (ijtihad) dalam rangka mengaplikasikan Syari’ah agar relevan terhadap realitas sosial dan pengalaman umat Muslim kontemporer. Pada zaman modern penafsiran dan reformasi hukum Islam biasanya menyentuh

(7)

pada empat persoalan, yaitu legislasi statuta, putusan peradilan, fatwa dan tulisan-tulisan ilmiyah.9

B. Analisis Wajibnya Mandi Bagi Wanita Nifas Yang Tidak Mengeluarkan Darah (Kaitannya Terhadap Bedah Caesar)

Hukum Islam (fiqh) adalah totalitas aturan keagamaan yang merupakan hasil interpretasi terhadap Al-Qur'an dan Hadits yang memiliki watak sangat adptif dan dinamis terhadap perkembangan situasi dan kondisi masyarakat. Hukum Islam bertujuan untuk menjaga kemaslahatan bagi kehidupan manusia dalam rangka mengangkat martabat kemanusiaan.10

Dengan perbedaan interpretasi terhadap Al-Qur'an dan Hadits dikalangan fuqaha’, serta perbedaan istinbath hukum yang digunakan menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat di kalangan fuqaha’ seperti halnya dalam kasus ini. Kasus bedah Caesar memang belum mencuat ke permukaan. Namun ketika nifas menjadi tema diskusi, maka persoalan yang sangat debatable adalah wajibnya mandi bagi wanita nifas yang tidak mengeluarkan darah. Apalagi kasus ini disangkutkan dengan operasi bedah caesar. Menurut Imam Malik nifas adalah darah yang keluar dari rahim akibat persalinan baik ketika bersalin maupun sesudah bersalin. Malik telah

9 Muhammad Hasyim Kamali, “Law and Society: The Interplay of Revelation and

Reason in the Syari’ah” dalam John L.Esposito (Ed), The Oxford History of Islam, Oxford University Press, 1999, hlm 110-117

10

Moh. Muslikhudin, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis (Studi Perbandingan Hukum Islam), Jogjakarta: PT. Tiara Wacana, Cet. I, 1999, hlm. 8

(8)

mewajibkan mandi bagi wanita nifas yang melahirkan tanpa mengeluarkan darah untuk menjaga kebugaran dan kebersihan.11

Diwajibkannya seorang wanita nifas yang tidak mengeluarkan darah baik melalui operasi atau tidak dengan mengambil manfaat dan menolak madharat sebagaimana pengertian awal tentang nifas. Malik mendefinisikan manfaat sebagaimana pemeliharaan terhadap tujuan-tujuan syari’ah. Tujuan syari’ah dari makhluk ini ada lima yakni, memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka sementara menolak madharat untuk menjaga jiwa wanita tersebut karena telah melahirkan seorang anak sehingga tanggung jawabnya bertambah karena telah diberi amanat untuk menjaga dan merawatnya.

Dengan tidak melihat adanya darah yang keluar maka wanita tersebut tetap menjalani masa nifas karena proses melahirkan itu merupakan masa nifas. Dari data yang diperoleh kebanyakan wanita yang menjalani operasi caesar dengan atau tanpa mengeluarkan darah tetap menjalani nifas. Terhadap pendapat di atas Maliki berpendapat bahwa darah nifas adalah darah yang dikeluarkan dari rahim yang disebabkan persalinan; baik ketika bersalin atau sesudahnya dan bukan sebelumnya.

Akan tetapi, apabila seorang wanita hamil yang tidak mengeluarkan darah Maliki mewajibkan mandi sebagaimana kewajiban orang junub karena nifas termasuk hadats besar sehingga diwajibkannya mandi bagi seseorang

11

(9)

wanita yang melahirkan tanpa mengeluarkan darah merupakan kewajiban untuk menjaga kebugaran dan kebersihan bagi wanita tersebut.

Di dalam Al-Qur'an Allah menegaskan :

...

ﹾﺍﻭﺮﻬﱠﻃﺎﹶﻓ ﺎﺒﻨﺟ ﻢﺘﻨﹸﻛ ﻥِﺇﻭ

...

Artinya: “…Dan jika kamu junub maka mandilah …”. (QS. Al Maidah : 6) Al-Muwattha’ mengandung dua aspek yaitu aspek Hadits dan aspek fiqh, mengandung aspek Hadits karena banyak Hadits yang berasal dari Rasulullah Saw atau dari sahabat Tabi’in. dan juga mengandung aspek fiqh karena disusun berdasarkan sistematika kitab fiqh.

Dari segi isinya Al-Muwattha’ sebenarnya tidak lazim disebut sebagai Hadits murni karena didalamnya banyak fatwa sahabat dan fatwa tabi’in yang disusun dalam sistematika fiqh.12 Sehingga dalam hal ini menurut penulis dasar hukum yang digunakan Imam Malik kurang kuat karena Hadits-Hadits yang terdapat Al-Muwattha’ disamping terdapat Hadits-Hadits yang bersanad lengkap juga terdapat Hadits mursal, Hadits muttashil dan Hadits munqathi’, bahkan ada yang disebut balaghat, yaitu suatu sanad yang tidak menyebutkan dari siapa Imam Malik menerima Hadits tersebut.13

Dalam penulisan Al-Muwattha’ Imam Malik lebih pada pelaporan peristiwa-peristiwa yang diketahui dan berdasarkan hasil penalarannya sendiri serta kebiasaan hukum yang berlaku di Madinah. Karena pada dasarnya

12

Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta, PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997 hlm. 1094

13

Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Madzhab, Jakarta, Logos, Cet I, 1997, hlm 117

(10)

Muwattha’ adalah sebuah panduan doktrin yang digunakan di Madinah saat itu.14

14

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efek ekstrak etanol daun kacang panjang ( Vigna unguiculata (L.) Walp) terhadap morfometri (perimeter dan diameter) insula

ABSTRAK: Banyak pembelajaran yang monoton. Hal itu disebabkan oleh motode yang digunakan tidak variatif. Padahal metode merupakan cara yang dipakai guru untuk

Bidan memberikan pelayanan selama masa nifas di puskesmas dan rumah sakit atau melakukan kunjungan ke rumah paa hari ke-tiga, minggu ke dua dan minggu

Maka terdapat 10 (sepuluh) strategi mitigasi dari dampak alih fungsi lahan padi sawah di Kecamatan Setia Janji, Kabupaten Asahan dimana yang terutama yaitu

Alhamdulillahirobbil ‘alamiin, tiada yang mampu menolong selain Allah SWT sehingga penulis dapat menyelesaikan buku tugas akhir dengan judul “PENGEMBANGAN SISTEM

Ibu Jayanti Sukma Maulani divisi Officer I Digital Service (BGES) PT .Telkom Indonesia Regional V Surabaya, terima kasih atas bantuannya dalam mencari data,

Untuk perlindungan yang diberikan pemerintah setelah berlakunya Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2014, pemerintah masih belum bisa memberikan perlindungan hukum

Dengan demikian, ketidaksepakatan temuan hasil penelitian bahwa, wanita lebih memiliki kesadaran lingkungan dibandingkan dengan pria ini, menunjukkan bahwa perbedaan