• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peranan Cendawan Endofit Dalam Pengendalian Hayati Hama Wereng Cokelat Pada Tanaman Padi Amaliah, SP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Peranan Cendawan Endofit Dalam Pengendalian Hayati Hama Wereng Cokelat Pada Tanaman Padi Amaliah, SP"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

[Year]

Peranan Cendawan Endofit Dalam Pengendalian

Hayati Hama Wereng Cokelat Pada Tanaman Padi

(2)

Latar Belakang

Padi adalah salah satu tanaman budidaya terpenting dalam peradaban manusia saat ini. Dari tanaman padi tersebut, nantinya akan dihasilkan bahan pangan yang merupakan kebutuhan manusia paling mendasar yaitu beras. Beras merupakan salah satu makanan pokok bangsa Indonesia. Oleh karena itu, sampai saat ini ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap padi (beras) sebagai makanan pokok sangat tinggi. Hal ini menyebabkan perhatian akan beras atau tanaman padi tidak ada henti-hentinya. Hampir 230 juta rakyat Indonesia mengkonsumsi beras setiap harinya, sehingga ketersediaan pangan khususnya beras bagi masyarakat harus selalu terjamin.

Sesuai dengan perkembangan zaman, berbagai permasalahan baru dalam produksi padi banyak timbul. Mulai dari berkurangnya lahan sawah karena digunakan kepentingan lain hingga yang paling utama adalah serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Dampak gangguan dari OPT pada suatu waktu di suatu wilayah seringkali sangat serius, sehingga dapat menggagalkan panen. Hama, penyakit serta gulma merupakan OPT di Indonesia menjadi faktor pembatas produksi padi di Indonesia. Salah satu masalah serangan hama yang menjadi masalah di Indonesia adalah wereng cokelat.

Wereng cokelat, Nilaparvata lugens (Stal) (Hemiptera: Delphacidae) merupakan hama utama padi di Indonesia. Sejak awal dekade 1970-an total kerusakan tahunan tanaman padi oleh wereng cokelat berkisar 300.000 - 800.000 ha, dan perkembangnya terus meningkat setiap tahunnya (BBPOPT, 2007). Menurut Departemen Pertanian, tahun 2005 telah terjadi ledakan populasi wereng cokelat di berbagai daerah pantai utara Jawa Tengah, Jawa Barat dan Banten yang mengakibatkan pertanaman padi menjadi puso. Bahkan varietas yang direkomendasikan oleh Departemen Pertanian, karena diketahui mempunyai ketahanan terhadap wereng cokelat, juga ikut terserang dan mengalami puso.

Kerusakan tanaman padi oleh wereng cokelat dapat terjadi secara langsung akibat penghisapan hasil fotosintesa yang mengakibatkan penurunan kapasitas produksi, sedangkan kerusakan secara tidak langsung diakibatkan oleh infeksi virus kerdil hampa dan kerdil rumput yang ditularkan oleh serangga ini. Kerusakan berat yang disebabkan oleh wereng cokelat terkadang ditemukan pada persemaian, tetapi sebagian besar menyerang pada saat tanaman padi masak menjelang panen (Kalshoven 1981).

Meskipun berbagai metode pengendalian sudah pernah direkomendasikan, seperti kultur teknis, pengendalian hayati serta penggunaan insektisida, namun masih belum bisa mengatasi permasalahan hama ini. Dan sampai saat ini berbagai rekomendasi pengendalian wereng cokelat yang pernah dimunculkan masih menyisakan persoalan. Dilain pihak, ada kekhawatiran bahwa di masa-masa mendatang serangan wereng cokelat akan semakin merugikan. Oleh

(3)

karena itu pencarian alternatif teknologi pengendalian lebih efektif dan ramah lingkungan, salah satunya adalah pengembangan tanaman padi resisten terhadap wereng cokelat. Pada pendekatan pengendalian hama modern, pemanfaatan tanaman resisten tersebut akan menjadi faktor kunci pengaturan populasi hama wereng pada tanaman padi.

Menurut Teetes (1996) menyatakan bahwa dalam praktek pertanian, resistensi tanaman berarti kemampuan tanaman untuk berproduksi lebih baik dibandingkan tanaman lain dengan tingkat populasi hama yang sama. Painter (1951) membagi mekanisme resistensi tanaman terhadap serangga hama ke dalam 3 bentuk, yaitu: Ketidaksukaan (nonpreferensi)/ antixenosis, antibiosis dan toleransi.

Salah satu mikroorganisme yang dianggap potensial dalam pembentukan tanaman padi yang resisten adalah dengan memanfaatkan cendawan endofit. Cendawan endofit mampu meningkatkan resistensi tanaman inang dari serangan hama (Clay 1992). Interaksi antara cendawan endofit dan inang tanaman umumnya bersifat simbiosis mutualisme. Cendawan endofit dapat menginfeksi tumbuhan sehat pada jaringan tertentu dan mampu menghasilkan mikotoksin, enzim serta antibiotika (Carrol 1988; Clay 1988). Asosiasi beberapa fungi endofit dengan tumbuhan inangnya mampu melindungi beberapa tumbuhan inangnya dari beberapa patogen virulen, kondisi ekstrim maupun herbivora (Saikkoen & Helander 2003).

Kajian tentang cendawan endofit dan peranannya dalam pengendalian hayati terhadap wereng cokelat pada tanaman padi belum di lakukan di Indonesia, sehingga perlu dilakukan kajian terhadap hal tersebut. Dengan demikian tulisan akan menjadi informasi dasar yang sangat penting dalam rangka mengkaji kemungkinan penggunaan cendawan endofit sebagai agens pengendali hama, khususnya wereng cokelat pada tanaman padi.

Wereng Cokelat, Nilaparvata lugens (Stal) (Hemiptera: Delphacidae)

Wereng cokelat diklasifikasikan kedalam ordo Hemiptera, subordo Auchenorrhyncha, infraordo Fulgoromorpha, famili Delphacidae, genus Nilaparvata dan spesies Nilaparvata lugens. Dalam anggota genus Nilaparvata mempunyai ciri berupa tarsi terbagi tiga ruas, antena pendek dengan terminal arista, pada ujung tibia tungkai belakang terdapat taji yang besar dan pada pertemuan sayap depan terdapat titik hitam atau ptero-stigma dan pada ruas pertama tarsus tungkai belakang terdapat dua atau lebih duri kecil (Anonim 1992).

Wereng cokelat merupakan salah satu serangga yang mampu berkembang biak dengan cepat. Serangga ini hanya membutuhkan waktu 28 - 32 hari untuk satu generasi. Dan seluruh negara penghasil padi terdapat serangga ini. Wereng cokelat tersebar di wilayah Asia (Cina, Jepang, Korea, Bangladesh, Kamboja, India, Malaysia, Serawak, Taiwan, Muangthai, Vietnam, Indonesia dan Filipina) dan wilayah Australian (Australia, Kepulauan Fiji, Kepulauan Salomon dan Papua Nugini (Baehaki 1993).

(4)

Nilaparvata lugens berkembang dengan metamorfosis tidak sempurna yang dalam siklus

hidupnya terdapat stadium telur, nimfa dan dewasa. Telur dari N. lugens berbentuk lonjong berwarna putih dengan panjang 1,3 mm. Telur-telur ini diletakkan berkelompok seperti sisiran pisang di dalam jaringan pelepah daun yang menempel pada batang. Nimfa wereng cokelat terdiri dari 5 instar yang dapat dibedakan dari ukuran tubuh dan sayapnya. Nimfa instar pertama berwarna putih keabu-abuan dengan panjang 0,6 mm, sedangkan instar kelima berwarna cokelat dengan panjang 2,0 mm. Perubahan warna tubuh dari putih keabu-abuan lalu menjadi cokelat terjadi secara bertahap sesuai dengan perkembangan instar (Harahap & Tjahjono 1997).

Imago N. lugens mempunyai 2 bentuk ukuran sayap yaitu makroptera (bentuk yang bersayap panjang) dan brakhiptera (bentuk yang bersayap pendek). Dimorfisme sayap ini berhubungan dengan kepadatan populasi yang terkait dengan persediaan makanannya (Kalshoven 1981). Warna tubuh fase imagonya adalah cokelat kekuning kuningan sampai cokelat tua. Panjang tubuh imago betina 3-4 mm dan imago jantan 2-3 mm. Imago betina mempunyai abdomen yang lebih gemuk daripada imago jantan (Harahap & Tjahjono 1997).

N. lugens berkembang dengan metamorfosis tidak sempurna yang dalam siklus hidupnya

terdapat stadium telur, nimfa dan dewasa dan pada suhu 20O C –30O C WBC membutuhkan 50 hari untuk menyelesaikan siklus hidupnya yang diawali dengan peletakan telur oleh imago betina (Risamunandar 1993). Telur akan menetas 7-10 hari setelah diletakkan dan berkembang menjadi nimfa. Nimfa terdiri dari 5 fase perkembangan (instar) yang berlangsung selama 12-15 hari. Waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan periode nimfa yaitu 12,82 hari (Harahap & Tjahjono 1997). Sedangkan untuk seekor imago betina dapat berkopulasi lebih dari sekali selama hidupnya dan jantan dapat kawin paling banyak dengan 9 ekor betina selama 24 jam (Mochida et al. 1977). Pada fase imago N. lugens siap berkopulasi dan meletakkan telur. Seekor imago betina dalam masa hidupnya 10-24 hari mampu meletakkan telur sebanyak 300-350 butir (Harahap & Tjahjono 1997).

Kerusakan yang Ditimbulkan

Salah satu hama utama yang menyerang tanaman padi adalah wereng batang cokelat Nilaparvata lugens (Stal) (Hemiptera: Delphacidae). Wereng cokelat merupakan salah satu serangga hama yang mempunyai kemampuan berkembang biak dan menyebar dengan cepat sehingga keberadaannya sangat ditakuti oleh petani (BPHPTPH 1999). Kerusakan yang diakibatkan wereng cokelat dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung karena kemampuan wereng menghisap cairan sel tanaman hingga menjadi kering dan akhirnya mati. Sedangkan tidak langsung karena serangga ini dapat menjadi vektor penyakit virus kerdil rumput dan kerdil hampa (Anonim 1992).

(5)

Sering dilaporkan bahwa wereng cokelat dapat menimbulkan kerusakan berat di berbagai Provinsi di Indonesia, jika seranggan terjadi pada fase vegetatif, tanaman padi tidak dapat dipanen sama sekali (Harahap & Tjahjono 1997). Wereng cokelat menjadi masalah sejak tahun 1968-1969, dan pada puncak serangan lebih dari 200.000 ha tanaman padi terserang oleh hama serta penyakit yang dibawa oleh serangga tersebut (Dyck & Thomas 1979).

Pengendalian

Pengendalian non-kimia. Pengendalian non-kimia wereng cokelat dapat dilakukan dengan cara

kultur teknis ataupun menggunakan musuh alaminya. Beberapa musuh alami wereng cokelat diantaranya patogen Enthomopthora sp., predator Lycosa pseudonanulata, Tetragnatha nitens,

T. javana, T. verescens, Paederus tanulus, Cyrtorhinus lividipennis dan Cocinella arcuata. Lalu

ada juga dari parasitoid Anagrus sp. Gonatocerus sp. (Chiu 1979; Yuswadi et al. 1985; Chau & Giang 1987; Kartoharjono et al. 1988).

Pengendalian secara kimia. Pengendalian secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan

insektisida. Di Indonesia ada beberapa jenis bahan aktif dianjurkan digunakan untuk mengendalikan wereng cokelat seperti buprofezin, BPMC (Komisi Pestisida 2001). Insektisida kimia merupakan salah satu alternatif dalam menekan populasi hama wereng. Namun penggunaan insektisida kimia secara intensif dan berspektrum luas dapat berdampak negatif terhadap kematian musuh alaminya (Kartoharjono & Soejitno 1987; Untung et al. 1988).

Cendawan Endofit dalam Pembentukan Resistensi Tanaman

Painter (1951) mendefinisikan resistensi tanaman merupakan sifat-sifat tanaman yang dapat diturunkan dan dapat mempengaruhi tingkat kerusakan oleh serangga. Menurut Beck (1965) resistensi tanaman adalah semua ciri dan sifat tanaman yang memungkinkan tanaman terhindar, mempunyai daya tahan atau daya sembuh dari serangan serangga dalam kondisi yang akan menyebabkan kerusakan lebih besar pada tanaman lain dari spesies yang sama. Painter (1951) membagi mekanisme resistensi tanaman terhadap serangga hama ke dalam 3 bentuk, yaitu: Ketidaksukaan (non preferences)/antixenosis, antibiosis dan toleransi. Ketahanan tanaman inang terhadap hama, dapat bersifat : (1) genetik, yaitu sifat tahan yang diatur oleh sifat-sifat genetik yang dapat diwariskan, (2) morfologi, yaitu sifat tahan yang disebabkan oleh sifat morfologi tanaman yang tidak menguntungkan hama, dan (3) ekologi, yaitu ketahanan tanaman yang disebabkan oleh pengaruh faktor lingkungan.

Salah satu mikroorganisme yang dianggap potensial dalam pembentukan tanaman padi yang resisten adalah dengan memanfaatkan cendawan endofit. Cendawan endofit mampu meningkatkan resistensi tanaman inang dari serangan hama (Clay 1992). Interaksi antara cendawan endofit dan inang tanaman umumnya bersifat simbiosis mutualisme. Cendawan

(6)

endofit dapat menginfeksi tumbuhan sehat pada jaringan tertentu dan mampu menghasilkan mikotoksin, enzim serta antibiotika (Carrol 1988; Clay 1988). Asosiasi beberapa fungi endofit dengan tumbuhan inangnya mampu melindungi beberapa tumbuhan inangnya dari beberapa patogen virulen, kondisi ekstrim maupun herbivora (Saikkoen & Helander 2003).

Cendawan Endofit sebagai Agens Hayati

Cendawan endofit disebut juga sebagai mikosimbion endofitik adalah merupakan cendawan yang melakukan kolonisasi di dalam jaringan tanaman tanpa menimbulkan gejala sakit (Petrini 1992). Sedangkan menurut Sinclair dan Cercauskas (1996) mendefinisikan endofit sebagai mikroorganisme yang hidup dalam tumbuhan lain. Clay (1988) mengatakan bahwa cendawan endofit adalah cendawan yang terdapat di dalam sistem jaringan tumbuhan, seperti daun, bunga, ranting ataupun akar tumbuhan.

Cendawan endofit ditemukan pada berbagai kelompok tanaman yaitu rumput-rumputan, teki, dan berbagi pohon-pohonan dan sayuran. (Petrini 1992, Siegel dan Schardl 1992). Asosiasi fungi endofit dengan tumbuhan inangnya digolongkan dalam dua kelompok yaitu mutualisme konstutif dan induktif. Mutualisme konstitutif merupakan asosiasi yang erat antara fungi dengan tumbuhan terutama rumput-rumputan. Sedangkan mutualisme induktif adalah asosiasi antara fungi dengan tumbuhan inang, yang penyebarannya terjadi secara bebas melalui air dan udara (Carrol 1988).

Cendawan endofit hidup dalam jaringan internal tanaman. Cendawan endofit pada banyak rumput-rumputan hidup secara simbiosis mutualisme karena cendawan tersebut membantu meningkatkan ketahanan tanaman terhadap herbivora, patogen dan kondisi ekstrim, juga meningkatkan kemampuan bersaing tanaman inang dengan tanaman lainnya yaitu dengan menerima nutrisi sehingga mampu melindungi inangnya tersebut (Saikkonen & Helander 2003). Cendawan endofit dimasukkan ke dalam famili Balansiae yang terdiri dari 5 genus yaitu Atkinsonella, Balansiae, Balansiopsis, Epichloe, dan Myriogenospora (Clay 1988). Sedangkan Petrini (1992) menggolongkan cendawan endofit dalam kelompok Ascomycotina dan Deuteromycotina. Keragaman pada jasad ini cukup besar seperti pada Loculoascomycetes, Discomycetes dan Pyrenomycetes. Dan oleh Strobel et al. (1996 dalam Worang 2003) dikemukakan bahwa cendawan endofit meliputi genus Pestalotia, Pestalotiopsis, Monochaetia dan lain-lain.

Cendawan endofit utama pada rumput-rumputan adalah kelas Ascomycotina, famili Clavicipitaceae, tribus Balansiae dengan genera Balansia, Myriogenospora, Atkinsospora dan Epichloe (Siegel dan Schardl 1992, Parberry 1996). Genus Balansia umumnya dapat menginfeksi tumbuhan tahunan dan hidup secara simbiosis mutualistik dengan tumbuhan inangnya. Dalam simbiosis ini, fungi dapat membantu proses penyerapan unsur hara yang dibutuhkan oleh

(7)

tumbuhan untuk proses fotosintesis serta melindungi tumbuhan inangnya dari serangan hama dan penyakit, dan hasil dari fotosintesis dapat digunakan oleh cendawan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya (Bacon 1991; Petrini 1992; Rao 1994 dalam Worang 2009).

Kelimpahan cendawan endofit dipengaruhi oleh faktor biotik dan biotik. Faktor biotik terdiri dari varietas dan spesies inang. Sedangkan faktor abiotik yang berpengaruh adalah faktor-faktor cuaca yaitu suhu, kelembaban relatif dan kadar air tanah serta teknik budidaya (Lewis et al. 1997).

Cendawan Endofit sebagai Agens Hayati

Cendawan endofit merupakan simbion mutualis tanaman. Peran yang menguntungkan tanaman yaitu meningkatkan ketahanan terhadap serangga dan mamalia herbivora (Clay 1992; Siegel dan Schardl 1992, Faeth 2002), meningkatkan ketahanan tanaman terhadap penyakit (Narisawa et.. al. 2002), memacu pertumbuhan dan meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan suhu tinggi (Lewis et al. 1997; Lehtonen et al. 2005) dan bioindindikator kesehatan tanaman (Genarro-Genarro 2003).

Cendawan endofit merupakan salah satu agens antagonis yang dapat digunakan untuk mengendalikan beberapa patogen tumbuhan, baik dari golongan cendawan maupun bakteri. Cendawan endofit dapat menginfeksi tumbuhan sehat pada jaringan tertentu dan mampu meghasilkan mikotoksin, enzim serta antibiotika (Carrol 1988; Clay 1988) sehingga asosiasi beberapa cendawan endofit dengan tumbuhan inang mampu melindungi tumbuhan inangnya dari beberapa patogen virulen, kondisi ekstrim maupun herbivora (Saikkonen & Herlander 2003).

Salah satu manfaat penting cendawan endofit bagi tanaman inang adalah meningkatkan resistensi tanaman inang dari serangan hama. Clay (1992) mengemukakan bahwa secara keseluruhan terdapat 21 spesies rumput-rumputan dan tiga teki dari daerah iklim sedang, dimana cendawan endofit meningkatkan ketahanan tanaman inang terhadap seranggan serangga. Cendawan endofit berpengaruh terhadap serangga dari berbagai famili. Cendawan endofit Acremonium coephialum pada rumput Festuca arundinacea sangat menurunkan laju ketahanan hidup Schizaphis graminum, Rhopalosiphum padi namun tidak berpengaruh terhadap Sitobion avenae dan Rhopalosiphum maidis. Perlakuan yang sama juga menghambat larva Spodoptera frugiperda dan ulat Crambus spp. Cendawan endofit lain yaitu Acremonium

lolii pada rumput Lolium perenne dapat menolak maka dan peletakan telur, menurunkan

ketahanan hidup, menghambat aktivitas makan dan laju peletakan telur kumbang Listronotus bonariensis dan menimbulkan kematian 100% jangkrik Acheta domesticus (Clay 1988; Carrol 1992).

(8)

Daftar Pustaka

Anonim. 1992. Wereng batang cokelat (laporan). Jatisari: Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Direktorat Jendral Pertanian Tanaman Pangan Baehaki 1993

Beck, S.D. 1965. Resistance of plant to insects. Ann. Rev. Entomol. 10:207-232 BBPOPT, 2007 Carrol, GC. 1988. Fungal endophytes in stems and leaves: from latent pathogen to mutualistic

simbiont. Ecology 69:29. (Clay 1992)

Chiu SC. 1979. Biological control of the brown planthopper. In Brown planthopper: threat to rice production in Asia. IRRI. Los Banos: Philippines. p. 335-355 Dyck & Thomas 1979 Clay K. 1992. Endophytes as antagonists of plant pest. Hlm 331-357. dalam: JH. Andrews and SS

Hirano (eds). Miicrobiology of Leaves. Springer Verlag. New York

Gennaro Gennaro M, P Gonthier dan G Nicolotti. 2003. Fungal endophytic communities in healty and declining Quercus robur L. And Q. cerris L. Trees in Northern Italy. J. Phytopathology 151: 529-534 Harahap & Tjahjono 1997

Kalshoven LGE. 1981. The Pest of crops in Indonesia. Van der Laan PA, penerjemah. Jakarta: PT Ichtiar Baru-van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de cultuurgeweassen in Indonesie

Kartohardjono A, Soejitno J. 1987. Musuh alami wereng cokelat Nilaparvata lugens (Stal) pada tanaman padi Dalam: wereng cokelat edisi khusus no. 1. Bogor: BPTP. hlm 43-45 Komisi Pestisida. 2001. Pestisida untuk pertanian dan kehutanan. Jakarta: Departemen

Pertanian

Lewis GC, C Ravel, W Naffaa, C Astier dan G Charmet. 1997. Occurence of Acremonium endophytes in wild population of Lulium spp. in European countries and relationship between level of invfection and climate in France. Ann. Appl. Biol 130: 227-238

Narisawa K, H Kawamata, R S Currah and T Hashiba. 2002. Suppression of Verticillium with in eggplant by some fungal root endophytes. European. J. Plan Pathol 108: 103-109 Painter, R.H. 1951. Insect Resistance in Crop Plants. The Mac Millan Company, New York. 520

pp

Petrini O. 1992. Fungal endiphytes of tree leaves. Di dalam Andrew JH, Hirano SS, editor Microbial Ecology of Leaves. New York: Springer-Verlag. p. 179

Rismunandar. 1993. Hama tanaman pangan dan pembasmiannya. Bandung: Sinar Baru Algensindo

Saikkonen KT, Helander ML. 2003. Ecology and diversity of endophytic fungi. http://www.sci.utu.fi/biologia/ekologia/endofyytti.htm

Siegel MR dan CL Schardl. 1992. Fungal endophytes of grasses: detrimental or beneficial association. hlm 198-221. dalam: JH Andrews dan SS Hirano (eds). Microbiology of Leaves. Springer Verlag. New York

Teetes, G.L. 1996. Plant Resistance to Insects: A Fundamental Component of IPM. http://ipmworl.umn.edu/chapters/teetes.htm

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil yang diperoleh dari tahap sebelumnya. Proses Bisnis yang dikembangkan yaitu untuk usulan produk chatbot ditujukkan pada Gambar 6.. Pelanggan mengakses

Melihat kasus dan fenomena yang berkembang, khususnya pada perkembangan partai Nasdem dan orang-orang di dalamnya, serta strateginya dalam memanfaatkan memanfaatkan media

Pada tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah mendesain sistem baru, alat yang digunakan dalam mendesain sistem ini adalah conteks diagram dan Data Flow Diagram

Implementasi merupakan hasil dari perancangan yang telah dibuatkan dalam sebuah program jadi, Analisa Pemetaan Tata Ruang Rumah Sakit menggunakan metode Cut Point

Berdasarkan pengujian hipotesis disimpulkan bahwa untuk meningkatkan penggunaan digital library, niat pengguna untuk menggunakan kembali digital library dipengaruhi

Penjabaran kompleksitasnya adalah Dapenbi merupakan lembaga pelayanan dana pensiun dengan rata-rata pengunjungnya merupakan golongan lanjut usia, Dapenbi merupakan

Dari ketiga kurva di grafik HRR, untuk titik awal api berada ditengah ruangan terlihat naik lebih dulu, seperti yang telah dibahas pada sub bab sebelumnya hal

Selanjutnya penelitian ini dilakukan guna meningkatkan pemahaman konsep IPA pada materi gaya dan gerak menggunakan metode eksperimen dengan berbantukan media realia pada