• Tidak ada hasil yang ditemukan

Volcanic Ash Characteristic Dispersion Identification Using PUFF Model and Weather Radar Data on Mt. Rinjani Eruption, August 2016

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Volcanic Ash Characteristic Dispersion Identification Using PUFF Model and Weather Radar Data on Mt. Rinjani Eruption, August 2016"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

401

Identifikasi Karakteristik Sebaran Debu Vulkanik Menggunakan Model

PUFF dengan Inputan Pengamatan Citra Radar Gematronik

(Studi Kasus Erupsi Gunung Rinjani 1 Agustus 2016)

Volcanic Ash Characteristic Dispersion Identification Using PUFF Model

and Weather Radar Data on Mt. Rinjani Eruption, August 2016

Sulton Kharisma

1*)

, Suyatim

2

, Eko Wardoyo

3

, Mahagnyana

4 1,2,4Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG)

3Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) *)Email: sultonkharisma@gmail.com

ABSTRAK- Indonesia memiliki 129 gunung api aktif dan termasuk 15,6% dari gunung api di dunia. Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir lebih dari 100 kejadian kerusakan pesawat disebabkan adanya debu vulkanik. Pengamatan sebaran debu vulkanik sangat penting dalam dunia penerbangan, maka dibutuhkan pengamatan yang akurat terutama dalam menentukan ketinggian plume (letusan). Model PUFF merupakan salah satu prakiraan dalam sebaran debu vulkanik yang sangat informatif dikarenakan dapat memberikan informasi arah sebaran berdasar ketinggian serta ukuran debu vulkanik. Model PUFF lebih baik dalam hal penyajian informasi dibandingkan volcanic ash advisory dari VAAC Darwin dan informasi dari satelit Himawari-8. Informasi model PUFF juga akan semakin baik apabila menggunakan data masukan berupa waktu letusan dan ketinggian plume memanfaatkan hasil interpretasi radar cuaca.

Kata Kunci: model PUFF, radar cuaca, dispersi debu vulkanik

ABSTRACT- Observing volcanic ash dispersion becomes critical following the abundance incidents of aircraft damage caused by volcanic ash. Especially for Indonesia that is prone to have those incident as it is home to 129 volcanoes, which contribute to 15,6% of volcanoes in the world. To enable an accurate forecast of volcanic ash dispersion, model PUFF offers information regarding the direction of volcanic ash dispersion based on height and size of volcanic ash. This research shows that model PUFF serves better explanation over volcanic ash advisory from VAAC Darwin and information derived from Himawari-8 satellite. This research also further suggests for PUFF model to utilize data regarding eruption time and plume’s height provided in the interpretation result of weather radar.

Keywords: PUFF model, weather radar, dispersion of volcanic ash

1. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan negara yang mempunyai ratusan gunung api aktif yang sangat memungkinkan untuk seringnya terjadi erupsi sebagai akibat wilayah Indonesia yang termasuk jalur ring of fire Pasifik. Indonesia memiliki 129 gunung api aktif (15,6% dari dunia) yang terbentang dari barat (Pulau Sumatera) ke timur (Pulau Nusa Tenggara) (Gunawan, 2009). Salah satu ancamannya adalah debu vulkanik yang selama kurun waktu 30 tahun terakhir mengakibatkan lebih dari 100 pesawat mengalami kerusakan dan mengancam puluhan ribu jiwa (Webley dan Mastin, 2009).

Debu vulkanik merupakan obyek yang sering tidak terlihat dan tidak teramati di radar pesawat sehingga diperlukan pemanfaatan penginderaan jarak jauh dalam mengamati debu vulkanik. Salah satu informasi mengenai sebaran debu vulkanik adalah berupa Volcanic Ash Activity Report dan SIGMET yang dikeluarkan oleh BMKG berdasarkan informasi yang diperoleh dari PVMBG. Informasi mengenai sebaran debu vulkanik yang ditampilkan adalah berupa luasan, dispersi, serta arah sebaran debu vulkanik menggunakan model PUFF.

Model PUFF saat ini digunakan oleh tiga Volcanic Ash Advisory Center yaitu VAAC Anchorage, VAAC Washington, dan Air Force Weather America (AFWA) (Webley, Dean, Bailey, Dehn, Peterson, 2009). Model PUFF membutuhkan data masukan medan angin baik data medan angin horizontal u (zonal) dan v (meridional). PUFF menggunakan formulasi Lagrangian 3-dimensi untuk adveksi, difusi turbulen, dan sedimentasi (Searcy,

Craig, Dean, Stringer, 1998). Selain data medan angin, model PUFF membutuhkan data letusan seperti waktu

letusan, lokasi gunung api, serta ketinggian plume. Ketinggian plume akan lebih optimal apabila menggunakan bantuan penginderaan jarak jauh, salah satunya adalah radar cuaca.

(2)

402

Radar cuaca mampu mengamati partikel debu vulkanik yang berukuran sangat kecil dengan radius lebih dari 5 km dari pos pengamatan (Wardoyo, 2015). Radar cuaca merupakan salah satu penginderaan jarak jauh yang mempunyai resolusi spasial dan temporal yang baik dalam mengidentifikasi material debu vulkanik serta dapat memberikan informasi ketinggian suatu kolom udara hasil dari erupsi (Marzano dkk., 2006). Beberapa negara sudah menggunakan radar cuaca dalam memberikan prakiraan ketinggian debu vulkanik dan informasi peringatan dini khususnya terhadap penerbangan. Informasi ketinggian erupsi debu vulkanik yang teramati lebih baik karena radar cuaca mampu memprakirakan jumlah abu dan konsentrasi debu vulkanik selama masih dalam area cakupan radar (Marzano dkk., 2013). Pada penelitian ini, peneliti ingin menguji apakah model PUFF lebih informatif dan sesuai dengan data verifikasi nya dibandingkan informasi sebaran debu vulkanik menggunakan citra satelit maupun VAAC Darwin.

2. METODE

2.1. Data

Penelitian ini menggunakan data radar cuaca polarisasi tunggal dari Stasiun Meteorologi Selaparang pada tanggal 1 Agustus 2016 jam 03.50 UTC. Produk yang digunakan adalah CMAX, VCUT, dan MCAPPI. Data lainnya yang digunakan adalah data GFS (Global Forecast System), data observasi pilot balon dari Stasiun Meteorologi Selaparang, data mentah satelit Himawari-8, dan data erupsi Gunung Rinjani yang dikeluarkan VAAC Darwin.

2.2. Metode

Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitis baik pada hasil tampilan radar cuaca maupun tampilan model PUFF. Radar cuaca akan digunakan dalam menentukan ketinggian plume, pengelompokan jenis debu berdasar ketinggian, dan sebaran debu vulkanik berdasar arah angin yang teramati radar cuaca dengan menggunakan produk seperti berikut:

a. Column Maximum (CMAX)

Produk yang digunakan untuk menampilkan nilai reflektifitas maksimum dari debu vulkanik dalam satu kolom volume scan.

b. Vertical Cut (VCUT)

Produk yang digunakan untuk melihat struktur vertikal dari reflektivitas maksimum debu vulkanik dengan cara memotong echo data volume secara vertikal.

c. Multiple Constant Altitude Plan Position Indicator (MCAPPI)

Produk yang digunakan untuk melihat arah pergerakan debu vulkanik tiap lapisan dengan melakukan analisis terhadap nilai kecepatan radial (v).

Kemudian, hasil dari pengolahan data radar cuaca berupa waktu letusan dan ketinggian plume akan dimasukkan ke model PUFF. Hasil dari model PUFF dibandingkan dengan informasi yang dikeluarkan oleh VAAC Darwin, satelit Himawari-8, serta data angin dari pengamatan Pilot Balon di Stasiun Meteorologi Selaparang.

3. PEMBAHASAN

3.1. Analisis Karakteritik pada Radar Cuaca

1. Analisis nilai Reflektifitas

Debu erupsi gunung api memiliki karakteristik berbeda dengan awan, terutama apabila diamati dari radar cuaca. Perbedaannya ialah pada nilai reflektifitas yang teramati radar cuaca. Karakteristik debu vulkanik yang teramati pada radar cuaca memiliki nilai reflektifitas antara -20 dBz hingga 20 dBz (Selex, 2013).

Tabel 1. Klasifikasi Nilai Reflektifitas Debu Vulkanik dBZ

Fine Ash, Tumbling -12.7484 Fine Ash, Oblate -12.0257 Fine Ash, Prolate -13.1592 Coarse Ash, Tumbling 17.1295 Coarse Ash, Oblate 17.8018 Coarse Ash, Prolate 16.8287

(3)

403 Fase awal terjadinya erupsi gunung Rinjani pada 1 Agustus 2016 dimulai pada 03.40 UTC. Hal ini terlihat pada pola echo intensitas dBz radar (Tabel 1) yang masih berada ketinggian 6 km dan selang 10 menit kemudian, letusan mencapai 7,2 km dan meluas.

Gambar 1. Nilai reflektifitas VCUT 03.40 UTC

Ketinggian debu vulkanik pada 03.50 UTC yang terlihat pada gambar di bawah ini sesuai dengan klasifikasi tabel 1, dimana ketinggian debu vulkanik mencapai 7,2 km. Hal ini digambarkan pada Gambar 2.

Gambar 2. Nilai reflektifitas VCUT 03.50 UTC

Sebaran debu vulkanik juga meluas pada 03.50 UTC seperti yang terlihat pada Gambar 3 sehingga fase erupsi terbesar juga pada waktu 03.50 UTC. Analisis ini menjadi dasar dalam data masukan model PUFF.

(4)

404

2. Analisis nilai Velocity

Dapat dilihat bahwa objek yang tertangkap radar adalah menjauhi radar pada saat fase erupsi terbesar yaitu pada 03.50 UTC. Hal ini sesuai dengan konsep radar Doppler yang juga dapat mengukur gerakan objek menjauhi atau menuju pusat radar yang dinyatakan bahwa setiap objek yang bergerak akan mengalami perubahan frekuensi sinyal berdasar kecepatan objek (Rinehart, 2010).

Gambar 4. Nilai velocity MCAPPI 4 Km 03.50 UTC

Hal ini juga menandakan bahwa objek yang teramati oleh radar bukan merupakan clutter. Berdasar hasil interpretasi radar cuaca, informasi waktu letusan ialah pukul 03.40 UTC (11.40 WITA) dengan ketinggian plume mencapai 7.2 meter.

3.2. Model PUFF

PUFF merupakan model yang digunakan untuk mensimulasikan gerakan partikel vulkanik melalui persamaan Lagrangian 3-dimensi untuk adveksi, fallout, maupun difusi turbulen berdasar teknik random-walk (Scolo, 2011). Searcy, Dean, Stringer (1998), metode Lagrangian mengasumsikan bahwa awan debu vulkanik terdiri dari beberapa partikel dengan ukuran tertentu. Dalam selang waktu 𝛥𝑡, vektor posisi setiap partikel pada ketinggian tertentu dihitung dari t hingga (𝑡 + 𝛥𝑡) maka dapat diasumsikan persamaannya menjadi:

𝑅 (𝑡 + 𝛥𝑡) = 𝑅 (𝑡) + 𝑊(𝑡) 𝛥𝑡 + 𝑍(𝑡)𝛥𝑡 + 𝑆 (𝑡)𝛥𝑡…..………..………... (1) Ri(t) adalah vektor dari posisi partikel ke-i pada waktu t, W(t) merupakan vektor adveksi yang berupa kecepatan angin horizontal pada tiap lapisan, Z(t) adalah vektor yang menggambarkan dispersi turbulen dengan gerak Brownian, dan Si(t) merupakan vektor sedimentasi atau pengendapan (fallout) akibat pengaruh gravitasi yang tergantung dari ukuran partikel ke-i. Menurut Abdillah (2012), data prediksi cuaca hasil dari model GFS memiliki resolusi yang rendah (0,5° x 0,5°). Dalam upaya memperoleh kualitas prakiraan cuaca lebih baik, resolusi spasial harus ditingkatkan dengan cara downscaling dengan menggunakan model prakiraan cuaca skala meso/regional (model WRF). Dalam penelitian ini, data GFS yang digunakan adalah prediksi hingga 20 jam kedepan.

Data masukan yang diperoleh dari radar cuaca akan digunakan sebagai data inputan untuk proses running menggunakan data GFS hingga diperoleh data koordinat partikel, ketinggian, ukuran maupun lifetime partikel debu vulkanik keluaran dari model PUFF. Kemudian, data tersebut diolah menggunakan GIS untuk dipetakan berdasar ketinggian maupun ukuran partikel debu vulkanik.

(5)

405

Gambar 5. Sebaran Debu Vulkanik Hasil Model PUFF berdasar Ketinggian pada 30 Menit Pertama

Hasil model PUFF dibedakan menjadi 5 level berdasarkan ketinggiannya, yaitu 0-2km, 2-4km, 4-6km, 6-8km, dan 8-10km. Pada 30 menit pertama terlihat bahwa ketinggian maksimum hanya mencapai 6-8 km yang berarti belum mencapai plume maksimal. Partikel dengan ketinggian 4-10 km cenderung bergerak kearah barat, sedangkan partikel pada level 0-4km cenderung bergerak ke timur pada 30 menit pertama setelah terjadi erupsi.

(6)

406

Gambar 6. Sebaran Debu Vulkanik Hasil Model PUFF berdasar Ukuran pada 30 Menit Pertama

Hasil model PUFF yang dipetakan berdasarkan ukuran akan dibedakan menjadi dua jenis. Pertama, fine ash dengan ukuran kurang dari 64µm, dan yang kedua, coarse ash dengan ukuran 64 hingga 532 µm (Sparks, Bursik, Carey, Gilbert, Glaze, Siggurdsson, dan Woods, 1997). Pada 30 menit pertama, dapat dilihat bahwa dominan ukuran partikel kurang dari 64µm yang merupakan partikel fine ash,

(7)

407

Tabel 2. Karakteristik Material Erupsi Gunung Api

TEPRHA Particle Type Particle Size Distance from the volcano vent Residence time in the atmosphere

Ash

Fine ash

(FA) Less than 64 µm Hundred to thousand kilometers Day to month Coarse Ash

(CA) From 64 µm to 532 µm Ten to hundred kilometers Day

Lapilli

Small lapilli

(SL) From 0.532 mm to 2.56 mm Few to ten kilometers Few minutes Large lapilli

(LL) From 2.56 mm to 32 mm Hundred meter to few kilometers Seconds to minutes Blocks Blocks and bombs (BB) Greater than 32 mm Ten to hundred meters Tens of seconds

Dari hasil prakiraan model PUFF, terlihat bahwa partikel dengan ketinggian 4 hingga 10 km akan cenderung bergerak ke barat daya hingga barat pada saat 20 jam sesudah erupsi. Jenis partikelnya merupakan fine ash yang mempunyai ukuran partikel kurang dari 64µm, sedangkan partikel dengan ketinggian 0 hingga 4 km cenderung bergerak ke timur. Partikel debu vulkanik yang dominan adalah jenis partikel fine ash, namun juga terdapat beberapa partikel dengan ukuran partikel 64µm hingga 532µm (coarse ash).

Gambar 7. Sebaran Debu Vulkanik Hasil Model PUFF Setelah 20 Jam Sesudah Erupsi

Pada kasus erupsi Gunung Rinjani tanggal 1 Agustus 2016, terdapat dua arah sebaran abu vulkanik. Pada lapisan rendah arahnya dominan ke timur sedangkan pada lapisan tinggi arah sebarannya menuju ke barat. Informasi yang dipaparkan dalam kajian ini sangat bermanfaat bagi pilot, karena informasi yang diterima pilot adalah bahwa sebaran abu vulkanik mempunyai satu arah sebaran yang sama pada tiap lapisan.

(8)

408

3.3. Informasi VAAC Darwin

Berdasar data VAAC Darwin yang dikeluarkan jam 05.15 UTC, memprakirakan sebaran debu vulkanik bergerak ke selatan dan menyebar dengan kecepatan 15 knot pada lapisan permukaan hingga 32000 feet (9800 meter) hingga 17.15 UTC.

Gambar 8. Volcanic Ash Advisory yang Dikeluarkan 05.15 UTC

Sedangkan pada 10.20 UTC, volcanic ash advisory yang diupdate oleh VAAC Darwin merilis bahwa sebaran debu vulkanik bergerak kearah barat daya dengan kecepatan 15 knot pada lapisan permukaan hingga 14000 feet (4300 meter) dan bergerak kearah selatan dengan kecepatan 15 knot pada lapisan permukaan permukaan hingga 20000 feet (6100 meter), dan diprakirakan pada 22.20 UTC berada di tenggara-selatan.

(9)

409 Informasi ini cukup sesuai dengan prakiraan model PUFF. Namun pada model PUFF dapat menginfomasikan sebaran debu vulkanik per lapisan dan dapat diprakirakan hingga 20 jam ke depan dan dapat dibedakan ukuran atau jenis partikel yang terdispersi ke atmosfer.

3.4. Informasi Satelit Himawari-8

Identifikasi sebaran debu vulkanik dengan citra satelit Himawari-8 menggunakan aplikasi SATAID dengan metode split window untuk menampilkan citra komposit RGB (Red-Green-Blue) yaitu dengan menggabungkan tiga kanal pada satelit Himawari dengan komposisi SP (IR1-IR2) sebagai warna merah (red), S2 (IR4-IR1) sebagai warna hijau (green), serta IR4 (3.9 µm) sebagai warna biru (blue) sehingga akan menampilkan warna merah muda untuk awan debu. Nilai dari (IR1-IR2) akan bernilai negatif dan dapat ditampilkan pada menu contour line.

Gambar 10. Debu Vulkanik di Satelit Himawari-8

Sebaran debu vulkanik berdasar informasi satelit Himawari-8 bergerak ke arah selatan. Hal ini sesuai dengan informasi yang dikeluarkan model PUFF. Kekurangan informasi sebaran debu vulkanik pada satelit Himawari-8 ini kurang menggambarkan bagaimana sebaran per lapisan nya dan ukuran partikel yang tersebar juga tidak dapat tergambarkan melalui satelit Himawari-8 ini.

4. VERIFIKASI

Dalam informasi sebaran debu vulkanik ini, peneliti mencoba membuat verifikasi berdasar hasil data pengamatan pilot balon yang diamati di Stasiun Meteorologi Selaparang Lombok pada jam 00, 06 dan 12 UTC.

Berdasar Gambar 11, pada saat 00.00 UTC, arah angin tenggara. Pada lapisan 308 meter arah angin 140° (tenggara) dengan kecepatan 4 knot, lapisan 613 meter arah angin 135° (tenggara) dengan kecepatan 6 knot, lapisan 917 meter arah angin 125° (tenggara) dengan kecepatan 7 knot, dan lapisan 1222 meter arah angin 115° (tenggara) dengan kecepatan 9 knot. Secara umum angin bergerak dari timur ke barat sehingga sesuai dengan sebaran debu vulkanik pada awal letusan (03.40 UTC) kearah barat.

Berdasar Gambar 12, pada saat 06.00 UTC arah angin dominan dari tenggara. Pada lapisan 308 meter arah angin 140° (tenggara) dengan kecepatan 8 knot, lapisan 613 meter arah angin 150° (tenggara) dengan kecepatan 8 knot, dan lapisan 917 meter arah angin 155° (tenggara) dengan kecepatan 7 knot. Secara umum angin bergerak dari timur ke barat sehingga sesuai dengan sebaran debu vulkanik pada waktu 06-12 UTC kearah barat.

(10)

410

Gambar 11. Angin Vertikal pada 00.00 UTC

(11)

411

Gambar 13. Angin Vertikal pada 12.00 UTC

Berdasar Gambar 13, pada saat 12.00 UTC arah angin dominan dari tenggara. Pada lapisan 308 meter arah angin 145° (tenggara) dengan kecepatan 15 knot, lapisan 613 meter arah angin 150° (tenggara) dengan kecepatan 12 knot, dan lapisan 917 meter arah angin 160° (selatan) dengan kecepatan 11 knot. Secara umum angin bergerak dari timur ke barat sehingga sesuai dengan sebaran debu vulkanik pada waktu 12.00 UTC kearah barat.

Dapat disimpulkan data sebaran debu vulkanik model PUFF sesuai dengan data pilot balon jam 00,06 dan 12 UTC yang dominan kearah barat dan hal ini juga didukung dari informasi VAAC Darwin yang menginformasikan bahwa sebaran kearah barat.

5. KESIMPULAN

Informasi yang dikeluarkan model PUFF lebih informatif sebab berisi sebaran debu vulkanik tiap lapisan dan ukuran partikel yang tersebar. Keluaran model PUFF juga sangat sesuai dengan data angin vertikal dari pengamatan pilot balon Stasiun Meteorologi Selaparang yang dominasi sebaran adalah ke arah barat. Data sebaran debu vulkanik model PUFF dapat digunakan dalam penyampaian informasi kepada pilot sebab informasinya lebih detail dan dapat memprediksi hingga 20 jam sesudah erupsi dengan lebih baik dibandingkan informasi volcanic ash advisory dari VAAC Darwin. Informasi letusan / ketinggian plume lebih akurat menggunakan bantuan penginderaan jarak jauh radar cuaca dibanding dengan pengamatan observer sebab dapat menangkap objek dengan ukuran kecil (kasat mata).

(12)

412

6. DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, M.R. (2012). Prediksi Sebaran Abu Vulkanik di Udara dengan Menggunakan Model PUFF, ITB, Bandung, Ibrahim, G., Subarjo, and Sendjaja, P. (2009). Tektonik dan Mineral di Indonesia, BMKG, Jakarta.

Marzano, F.S., Barbieri, S., Ferrauto, G., and Rose, W.I. (2006). Can We Use Weather Radar to Retrieve Volcanic Ash Eruption Clouds? A Model and Experimental Analysis, 4th European Radar Conference, Barcelona.

Marzano, F.S, Picciotti, E., Montopoli, M., and Vulpiani, G. (2013). Inside Volcanic Clouds, Remote Sensing of Ash Plumes Using Microwave Weather Radars, Bull. Amer. Meteor. Soc., No. 10, Vol. 94, p.1567-1586.

Rinehart, R. E. (2010). Radar for Meteorologist - Fifth Edition, Rinehart Publications, New York.

R.S.J. Sparks, M.I. Bursik, S.N. Carey, J.S. Gilbert, L.S. Glaze, H. (1997). Siggurdsson, and A.W. Woods, Volcanic Plumes, Wiley, New York, p.574.

Scollo, S., Prestifilippo, M., Coltelli, M., Peterson, R.A., and Spata, G. (2011). A Statistical Approach to Evaluate the Tephra Deposit and Ash Concentration from PUFF Model Forecasts”, Journal of Volcanology and Geothermal Research, No. 3, Vol. 200, p.129-142.

SELEX. (2013). Software Manual Rainbow 5 Product & Algorithms, Selex ES GmbH, Germany.

Wardoyo, E. (2015). The Capabilitiy of Single Polarization C-Band Radar to Detect Volcanic Ash (Some cases of Volcanic Eruption in Indonesia), 37th Conference on Radar Meteorology, Oklahoma.

Webley, P.W., Dean, K., Bailey, J.E., Dehn, J., and Peterson, R. (2009). Automated Forecasting of Volcanic Ash Dispersion Utilizing Virtual Globes”, Natural Hazards, No. 2, Vol. 51, p.345-361.

Webley, P.W., and Mastin, L. (2009). Improved Prediction and Tracking of Volcanic Ash Clouds, Journal of Volcanology and Geothermal Research, Vol. 186, p.1-9.

Gambar

Tabel 1. Klasifikasi Nilai Reflektifitas Debu Vulkanik  dBZ
Gambar 3. Nilai reflektifitas CMAX 03.50 UTC
Gambar 4. Nilai velocity MCAPPI 4 Km 03.50 UTC
Gambar 6. Sebaran Debu Vulkanik Hasil Model PUFF berdasar Ukuran pada 30 Menit Pertama
+5

Referensi

Dokumen terkait

yang baru ba1,ri sebagian maltasiswa karena pada saat sebelwnnya lebih terbiasa menggunakan Peramran Perencanaan Bangunan Baja Indonesia (PPBBI), sehingga diperlukan

Cakupan Komplikasi Kebidanan dan Neonatal Pelayanan yang diberikan oleh tenaga bidan di desa dan puskesmas untuk kasus ibu hamil yang memiliki resiko tinggi yang tidak mampu

Proses ini merekam semua database yang masuk dan akan ditampilkan di website. Halaman website terdiri dari halaman publik web dan halaman admin. Halaman publik

Pada saat kompresor memampatkan udara atau gas, ia bekerja sebagai penguat ( meningkatkan tekanan ), dan sebaliknya kompresor juga dapat berfungsi sebagai pompa

Model akhir yang dikembangkan berupa multimedia interaktif adaptif berbasis gaya belajar yang dapat meningkatkan penguasaan konsep dan keterampilan berpikir kritis

Menurut Andoko (2004) dengan penerapan teknik vertikultur ini maka peningkatan jumlah tanaman pada suatu areal tertentu dapat berlipat 3-10 kali. Peningkatan jumlah tanaman ini

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan insektisida biologi yang efektif terhadap hama penggerek polong pada tanaman kacang panjang di lapangan.. Hasil penelitian menunjukkan

Pada pembahasan ini, peneliti akan menganalisa kualitas akustik ruang dalam masjid Raudhaturrahman dengan membuat simulasi dan modeling menggunakan software computer