• Tidak ada hasil yang ditemukan

Harits Rasyid Paramasatya Dr. Agung Hujatnika S.Sn, M.sn

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Harits Rasyid Paramasatya Dr. Agung Hujatnika S.Sn, M.sn"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Tingkat Sarjana Bidang Seni Rupa

MENGENANG KHEM

Harits Rasyid Paramasatya

Dr. Agung Hujatnika S.Sn, M.sn

Program Studi Sarjana Seni Rupa, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB Email: hrparamasatya@gmail.com

Kata Kunci : Distorsi sejarah, Instalasi, Narasi sejarah

Abstrak

Sejarah adalah sesuatu yang pelik. Karena ia dapat melegitimasi kekuasaan, dan membentuk identitas bersama, narasi sejarah menjadi sebuah alat pelanggeng kekuasaan. Menentukan apa yang dimasukkan atau dikeluarkan dari narasi sejarah adalah permainan kekuasaan. Sejarah bisa didistorsi sesuai kepentingan mereka yang berkuasa. Apa yang tidak sesuai dengan kemauan mereka dihapuskan dari narasi sejarah.

Sebagai seseorang yang merasa identitasnya kerap dihilangkan oleh distorsi sejarah, penulis bertujuan membuat distorsinya sendiri melalui karya ini. Jika biasanya distorsi sejarah dilakukan dengan menghilangkan narasi, penulis menciptakan narasinya sendiri. Narasi tersebut berisi hal-hal yang menurut penulis bisa, dan seharusnya, terjadi di narasi sejarah di sekitar penulis.

Narasi ciptaan penulis kemudian diceritakan dalam medium seni instalasi berformat pseudo-museum. Penulis menciptakan sebuah instalasi pseudo-museum yang dipersembahkan kepada seorang tokoh fiktif. Instalasi ini berisi benda-benda fotografi, tulisan, sound art, dan found object. Format pseudo-museum dipilih mengingat di dunia nyata museum kerap digunakan oleh pemegang kekuasaan untuk menyebarkan narasi sejarah versi mereka.

Abstract

Historic narrative is a fickle thing. It is a tool of power and influence, since it can legitimate power, shape mutual identity. Deciding what's included in a historic narrative is a power play. Those in power could distort history to their fancy. And they have erased persons and events from history.

As someone who considers his identity is often repressed by historic distortion, the author intends to create his own distortion through this work. Although historic distortions usually involve the erasure of a narration, the author will distort by creating his own narration. The narration contains the author's wishful thinking of what he thought could, and should, have happened in the historic narration that he know.

The narration is told through museum-shaped installation, since museum is an often-used tool by those in power to spread their version of historic narration. This pseudo-museum is told to be homage to a fictional character, and is filled with photographs, writings, sound art, and readymade objects.

1. Pendahuluan

Sepanjang pembangunan peradaban, manusia mencatat apa yang terjadi di sekitar mereka. Mereka menuliskan tentang peperangan yang terjadi, pembangunan yang mereka lakukan, bencana alam, dan kejadian-kejadian lainnya. Catatan ini menjadi bahan sejarah bagi generasi manusia berikutnya. Sejarah sendiri lama-kelamaan menjadi sebuah narasi tersendiri.

(2)

Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1| 2

 

Narasi sejarah adalah sesuatu yang pelik. Narasi sejarah dapat digunakan untuk melegitimasi sebuah kekuasaan. Narasi sejarah dapat digunakan untuk memunculkan identitas nasional, kesukuan, atau identitas golongan lainnya. Dengan memasukkan seseorang atau sebuah kejadian sebagai sesuatu yang penting, secara tidak langsung orang-orang atau kejadian-kejadian lain yang berhubungan dianggap tidak sepenting kejadian yang dimasukkan. Penentuan perihal siapa dan apa yang dimasukan ke dalam narasi sejarah dipegang oleh mereka yang berkuasa. Dalam Nineteen

Eighty-Four, George Orwell menuliskan "Siapa yang mengendalikan masa lalu, mengendalikan

masa depan; siapa yang mengendalikan sekarang, mengendalikan masa lalu" (Orwell, 1998: 35)

Karena itu sejarah, walaupun secara resmi berarti sesuatu yang benar-benar terjadi dan faktual, pada kenyataannya kerap menjadi sesuatu yang subjektif dan kontekstual. Bahkan tidak jarang ditemukan kejadian pemalsuan sejarah baik dalam bentuk penghapusan atau pengubahan catatan-catatan akan kejadian-kejadian yang dapat merugikan pihak penguasa suatu rezim.

2. Proses Studi Kreatif

Berangkat dari ketertarikan penulis terhadap sejarah, penulis membuat sebuah narasi fiksi sejarah tentang sebuah masa lalu yang berbeda di Indonesia. Masa lalu di mana ada sebuah tokoh yang memperjuangkan apa yang penulis anggap seharusnya terjadi. Untuk menceritakan narasi ini penulis menciptakan seorang tokoh fiksi. Namun fiksi ini juga memasukkan peristiwa dan tokoh sejarah secara bebas untuk memberi kesan nyata ke dalam cerita. Penulis akan menceritakan fiksi ini dalam bentuk retrospeksi, mengenang si tokoh yang telah meninggal. "Mengenang Khem" adalah sebuah instalasi berbentuk museum yang dipersembahkan untuk tokoh tersebut.

Penulis memilih menceritakan fiksi sejarah ini melalui medium berupa instalasi yang menyerupai museum. Sebagai sebuah institusi, museum adalah sebuah ruang di mana sejarah dikukuhkan. Melihat reputasi dan kekuatan museum sebagai sebuah ruang yang bisa menimbulkan aura sah dan faktual kepada benda-benda di dalamnya, penulis tertarik meminjam bentuk ruang museum sebagai sarana untuk berkarya.

Penulis membangun sebuah ruang yang menyerupai sebuah museum. Ruang tersebut diisi dengan artefak-artefak yang merepresentasikan narasi yang diciptakan penulis. Narasi ciptaan penulis sebenarnya adalah bayangan penulis tentang sejarah yang menurut penulis ideal tetapi diceritakan sedemikian rupa sehingga terdengar seperti sesuatu yang pernah benar-benar terjadi di masa lalu.

(3)

Sedangkan artefak yang dihasilkan adalah objek sehari-hari yang direka sedemikian rupa hingga menyerupai artefak sejarah yang umumnya dijumpai di museum, tetapi diberi distorsi untuk menandakan bahwa sesungguhnya sejarah dapat didistorsi oleh mereka yang menguasainya.

Dalam karya ini penulis menggunakan teori Seni Sebagai Narasi dari Acep Iwan Saidi (2007: 248-250) yang menyatakan bahwa secara leksikal "narasi" memiliki arti "cerita" atau "kisah". Narasi dikatakan memiliki dua unsur: intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik terdiri dari:

• Peristiwa

• Tokoh dan penokohan • Latar

• Alur

Dalam karya rupa, peristiwa hadir sebagai salah satu unsur cerita secara implisit. Cerita yang utuh terbangun dalam benak apresiator karya sebagai after image. Penokohan berfungsi sebagai penyimbolan sesuatu yang dapat hadir dalam satu atau lebih penampilan visual. Tokoh dapat berbentuk manusia, hewan, makhluk, ataupun benda, berjumlah satu ataupun lebih. Jika hanya terdapat satu tokoh maka tokoh itu otomatis menjadi tokoh utama. Jika ada lebih dari satu tokoh, tokoh utama dapat ditentukan dari porsi yang lebih besar dibandingkan tokoh lain. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa tidak ada tokoh utama dalam sebuah narasi simbolis.

Sementara untuk alasan penggunaan tipologi ruang museum penulis mengambil teori David Karp yang menyatakan bahwa museum dapat memiliki sebuah efek tersendiri kepada pengunjungnya. Efek ini membuat objek-objek yang dipamerkan oleh museum seolah memiliki "keistimewaan visual" yang dimiliki objek tersebut. Efek ini terjadi tanpa kaitan kepada objek yang dipamerkan tetapi dipengaruhi bagaimana objek itu dipamerkan. Penataan, desain ruang, dan penjelasan yang dilakukan oleh manajemen museum dapat mengubah cara pengunjung menikmati dan memahami objek-objek yang dipamerkan. (Karp, 1991:11)

(4)

Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1| 4

 

3. Hasil Studi dan Pembahasan

Pada karya ini, tahap pertama yang dilakukan penulis adalah menciptakan narasi fiksi kehidupan tokoh khayalan penulis dalam bentuk tulisan. Penulis menciptakan seorang tokoh fiksi yang hidup di Indonesia pada pertengahan abad ke-20 hingga awal abad ke-21. Tokoh yang diciptakan penulis adalah seorang aktivis yang bergerak di bidang kesetaraan gender dan orientasi seksual. Topik ini dipilih karena penulis merasa topik ini memiliki relevansi tinggi dan menarik untuk penulis. Masa hidup si tokoh yang secara kasar melingkupi era Orde Baru di Indonesia dipilih karena penulis merasa bisa saja di era tersebut terjadi hal-hal yang penulis ceritakan di karya, mengingat gerakan hak-hak sipil di Barat muncul kurang-lebih semasa dengan awal era Orde Baru (akhir 1960an- akhir 1970an).

Setelah itu penulis menterjemahkan tulisan tersebut ke dalam bentuk visual. Bentuk visual tersebut penulis bagi menjadi 5 bagian: cetak digital, sound art, found object, teks naratif, dan ruang instalasi itu sendiri.

Cetak digital muncul dalam bentuk foto tokoh yang penulis distorsi melalui proses digital glitching.

Sound art muncul dalam bentuk rekaman pidato tokoh yang teksnya telah penulis distorsi

menggunakan alat penerjemah daring. Found object muncul dalam bentuk buku, tulisan, spanduk, dan barang-barang pribadi milik tokoh yang didistorsi secara fisik. Teks naratif muncul sebagai

caption yang memberikan konteks kepada tiga unsur sebelumnya. Sementara ruang instalasi muncul

dari penyusunan keempat unsur karya secara sedemikian rupa.

Ruang yang dihasilkan adalah sebuah ruangan dengan lima sisi eksterior dan tiga ruang dalam ruang yang dibagi oleh dua partisi interior. Empat sisi luar ruang dibatasi oleh panel kayu karena ruangan yang digunakan tidak memadai. Sementara dua sisi luar lainnya memakai tembok yang sudah ada. Ruangan memuat 2 buah meja display dengan tutup kaca, dua buah meja belajar, dan satu buah base untuk alat putar kaset.

(5)

Gambar 1: Bagian Depan Instalasi

Ruang pertama berisi teks introduksi, foto profil, dan buku-buku karangan tokoh. Ruang kedua merupakan rekonstruksi meja belajar tokoh yang juga berisi foto-foto dan deklarasi yang ditulis oleh tokoh. Sementara ruang ketiga berisikan artefak-artefak barang pribadi tokoh dan rekaman pidato.

(6)

Jurnal Tingkat Sarjana Seni Rupa No.1| 6

 

Gambar 4.9: Rekaman Pidato Tokoh dan Transkripnya

4. Penutup

Dengan menggunakan sebuah ruang berformat museum untuk menceritakan sebuah narasi, penulis mendapatkan pengalaman dalam proses berkarya yang baru. Penulis mendapatkan pengalaman menerjemahkan sebuah narasi tekstual ke dalam objek-objek visual. Penulis juga belajar bagaimana objek dan teks dapat saling mendukung dalam menceritakan sebuah narasi.

Dalam proses pengerjaan karya, penulis mendapatkan banyak pengetahuan baru mengenai media yang penulis gunakan dan distorsi sejarah. Dalam proses membuat narasi, penulis mendapatkan pengetahuan baru tentang bidang-bidang yang penulis angkat ke dalam narasi. Penulis juga mengenal lebih jauh format ruang museum dan bagaimana cara memanfaatkan format ruang tersebut sebagai karya.

(7)

Pengerjaan karya ini membuat penulis menyadari bahwa masih banyak narasi-narasi lain yang bisa diceritakan melalui ruang berformat museum, begitu pula dengan jenis-jenis artefak yang bisa dibuat untuk menceritakan sebuah narasi. Bentuk ruang berformat museum juga bisa dijelajahi lebih lanjut sebagai medium instalasi.

Ucapan Terima Kasih

Artikel ini didasarkan kepada catatan proses berkaryaTugas Akhir Program Studi Sarjana Seni Rupa FSRD ITB. Proses pelaksanaan Tugas Akhir ini disupervisi oleh pembimbing Dr. Agung Hujatnika S.Sn, M.Sn.

Terimakasih penulis haturkan kepada Dosen-dosen dan staff administrasi FSRD ITB, Seni Rupa ITB, dan Studio Seni Intermedia ITB. Terutama Dr. Agung Hujatnika, S.Sn, M.Sn sebagai pembimbing.

Daftar Pustaka

Bryne, Sophie dan Lisa Moran. 2010. What Is Installation art dalam

http://www.imma.ie/en/downloads/what_is_installationbooklet.pdf, terakhir diakses 20 Agustus 2015 jam 14:10

Glitch dalam http://en.wikipedia.org/wiki/Glitch, terakhir diakses 30 Maret 2015, jam 16:45

Karp, I. (1991): Exhibiting Cultures: The Poetics and Politics of Museum Display. Washington: Smithsonian Institution Press.

Lewis, G. (1986): Collections, collectors, and museums: a brief world survey. Bodmin: Hartnoll Print.

Saidi, A.am I. (2008): Narasi Simbolik dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia. Yogyakarta: Isaac Book.

Gambar

Gambar 1: Bagian Depan Instalasi
Gambar 4.9: Rekaman Pidato Tokoh dan Transkripnya

Referensi

Dokumen terkait