• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISTILAH-ISTILAH DALAM KERIS SABUK INTEN WARANGKA LADRANG GAYA SURAKARTA (SUATU KAJIAN ETNOLINGUISTIK)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "ISTILAH-ISTILAH DALAM KERIS SABUK INTEN WARANGKA LADRANG GAYA SURAKARTA (SUATU KAJIAN ETNOLINGUISTIK)"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

11 SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi sebagian Persyaratan guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Daerah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

Disusun oleh MUH TAUFIQ

C0106035

(2)

SURAKARTA

2010

ISTILAH-ISTILAH DALAM KERIS

SABUK INTEN

WARANGKA LADRANG

GAYA SURAKARTA

(SUATU KAJIAN ETNOLINGUISTIK)

Disusun oleh MUH TAUFIQ

C0106035

Telah disetujui oleh pembimbing

Pembimbing I

Drs. Y. Suwanto, M.Hum. NIP 196110121987031002

Pembimbing II

Drs. Sujono, M.Hum. NIP 195504041983031002

Mengetahui

(3)

Drs. Imam Sutarjo, M.Hum. NIP. 196001011987031004

ISTILAH-ISTILAH DALAM KERIS

SABUK INTEN

WARANGKA LADRANG

GAYA SURAKARTA

(SUATU KAJIAN ETNOLINGUISTIK)

Disusun oleh MUH TAUFIQ

C0106035

Telah disetujui oleh Tim Penguji Skripsi

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Pada Tanggal...

Jabatan Nama Tanda Tangan

Ketua Drs. Imam Sutarjo, M.Hum.

NIP. 196001011987031004 ……….

Sekretaris Drs. Sri Supiyarno, M.A.

NIP 195605061981031001 ……….

Penguji I Drs. Y. Suwanto, M.Hum.

NIP 196110121987031002 ……….

Penguji II Drs. Sujono, M.Hum.

NIP 195504041983031002 ……….

Dekan

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret

(4)

NIP 195303141985061001

PERNYATAAN

Nama : Muh Taufiq NIM : C0106035

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul Istilah-Istilah dalam

Keris Sabuk Inten Warangka Ladrang Gaya Surakarta (Suatu Kajian

Etnolinguistik) adalah betul-betul karya sendiri, bukan plagiat, dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.

Surakarta, Mei 2010

Yang membuat pernyataan

(5)

MOTTO

Haruskah anak cucu kita kelak belajar mengenai budaya keris dari orang asing ?

(6)

PERSEMBAHAN

Karya ini saya persembahkan kepada

ibu, bapak, adik, almamater, masyarakat pencinta keris,

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Berkat curahan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Istilah-Istilah dalam Keris Sabuk Inten Warangka Ladrang Gaya Surakarta (Suatu

Kajian Etnolinguistik) ini, tepat sesuai dengan yang diharapkan. Sholawat serta

salam semoga juga tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, yang telah memberi petunjuk bagi manusia tentang jalan yang terang. Kebaikan juga semoga tercurah kepada leluhur dan guru-guru di Tanah Jawa, terutama kepada Kangjeng Sunan Kalijaga. Semoga Tuhan selalu menjaga beliau.

(8)

Penulis juga tak lupa menghaturkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada :

1. Drs. Sudarno, M.A., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberikan fasilitas dan perizinan sehingga skripsi ini dapat berjalan dengan semestinya. 2. Drs. Imam Sutardjo, M.Hum., selaku Ketua Jurusan Sastra Daerah

Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan izin untuk skripsi ini.

3. Drs. Y. Suwanto, M.Hum., serta Drs. Sujono, M.Hum., selaku pembimbing skripsi, yang telah memberikan saran dan petunjuk demi penyelesaian karya ini.

4. Drs. Supardjo, M.Hum., selaku Pembimbing Akademik penulis, dari awal perkuliahan hingga selesai, yang selalu memberi dorongan penulis untuk mencapai yang terbaik dan segera menyelesaikan kuliah. 5. Segenap dosen Jurusan Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa

Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah bersedia mengajar dan mendidik penulis.

6. Orang tua penulis, yang telah menyokong secara moril dan spiritual sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan di perguruan tinggi. 7. Mas Kadi di Pasar Cinderamata Alun-alun Lor Keraton Surakarta,

(9)

8. YB. Basuki, Empu Subandi Suponingrat, Mr. Dietrich Dresser, Haji Syukri, yang telah membuat penulis semakin ingin mengetahui tentang keris.

9. R. Riyo Purbobudoyo, Sukatno Purwoprojo, S. Lumintu, MT. Arifin, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk berbagi ilmu tentang keris. Terutama kepada MT. Arifin yang telah menunjukkan koleksi keris yang dahsyat kepada penulis.

10.Yayasan Sastra yang telah memberikan banyak informasi tentang keris.

11.R. Aji Setyowijaya dari UGM, yang walaupun masih muda tetapi pengetahuannya tentang keris sangat mengagumkan.

12.Kurnia Rahmawati yang telah bersedia memotret bilah keris objek penelitian ini.

13.Pak Tukiyo, Bu Novia, Pak Niti, yang telah banyak memberikan petuah hidup kepada penulis serta membolehkan rumahnya untuk berteduh.

14.UKM MP, Radio Metta, Aikido Dojo PTPN, yang telah menjadi wadah bagi penulis untuk beraktualisasi semasa kuliah.

15.Teman-teman Sastra Daerah Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret angkatan 2006 untuk kebersamaannya selama ini.

(10)

bahwa skripsi ini belumlah layak untuk dapat dikatakan sempurna. Kritik dan saran yang bersifat membangun penulis harapkan demi kemajuan karya penulis selanjutnya. Semoga hal yang sedikit ini dapat memberi sumbangan bagi dunia perkerisan pada khususnya dan dunia ilmu pengetahuan pada umumnya. Selamat membaca !

Surakarta, Mei 2010

Penulis

DAFTAR ISI

JUDUL ... i

PERSETUJUAN ... ii

PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN ... iv

MOTTO ... v

PERSEMBAHAN ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR BAGAN DAN GAMBAR... ... xii

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN ... xv

ABSTRAK ... xviii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

(11)

B. Pembatasan Masalah ... 8

1. Istilah, Keris Sabuk Inten, dan Warangka Ladrang Gaya Surakarta ... 11

2. Etnolinguistik ... 15

3. Bentuk/Struktur... 16

4. Makna Leksikal dan Makna Kultural... 18

B. Kerangka Pikir ... 21

BAB III. METODE PENELITIAN ... 22

A. Sifat Penelitian ... 22

B. Data ... 23

C. Sumber Data... 25

D. Metode Pengumpulan Data... 26

E. Metode Analisis Data... 27

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

A. Istilah-istilah yang Terdapat pada Keris Sabuk Inten Warangka Ladrang Gaya Surakarta ... 29

(12)

1. Kategori Monomorfemis... 29

2. Kategori Polimorfemis ... 37

3. Kategori Frasa ... 42

C. Makna Leksikal dan Makna Kultural ... 52

BAB V. SIMPULAN DAN SARAN... 72

A. Simpulan ... 72

B. Saran ... 73

DAFTAR PUSTAKA ... 74

LAMPIRAN... 76

DAFTAR BAGAN DAN GAMBAR Bagan Segitiga Ogden Richard ... 19

Gambar 1 Angkup... 30

Gambar 2 Latha... 30

Gambar 3 Patra... 31

Gambar 4 Mendhak... 31

(13)

Gambar 6

Pendhok... 32

Gambar 7

Bungkul... 33 Gambar 8

Gandhik... 33 Gambar 9

Ganja... 34

Gambar 10

Greneng... 34

Gambar 11

Janur... 35 Gambar 12

Landhep... 35

Gambar 13

Wedidang ... 36 Gambar 14

Pesi ... 36

Gambar 15

Panetes... 37 Gambar 16

(14)
(15)

Lambe gajah... 47

Gambar 29

Sirah cecak... 48 Gambar 30

Tikel alis... 49

Gambar 31

Sebit lontar... 50

Gambar 32

Pamor wos wutah... 51

DAFTAR LAMBANG DAN SINGKATAN

A. Daftar Lambang

1. Lambang Fonetis

[a] : [aGkUp] dalam angkup ‘bagian dari sarung keris’ [O] : [OdO OdO] dalam ada-ada ‘bagian dari bilah keris’ [e] : [edan] dalam edan ‘gila’

(16)
(17)

[w] : [warOGkO] dalam warangka ‘sarung keris’ [y] : [yEn] dalam yen ‘jika’

2. Lambang Lain

+ : proses penggabungan.

→ : menjadi….

[ ] : mengapit bentuk fonetis. “ ” : mengapit kutipan. ‘ ’ : mengapit terjemahan. ( ) : mengapit keterangan.

… : menunjukkan bagian yang terpotong pada kutipan. B. Singkatan

N : bentuk nasal (bunyi sengau).

(18)

ABSTRAK

Muh Taufiq. C0106035. 2010. Istilah-Istilah dalam Keris Sabuk Inten Warangka Ladrang Gaya Surakarta (Suatu Kajian Etnolinguistik). Skripsi : Jurusan Sastra Daerah untuk Sastra Jawa Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.

(19)

Tujuan penelitian ini adalah: (1) menginventarisasi istilah-istilah yang terdapat pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta. (2) mendeskripsikan bentuk istilah-istilah yang tedapat dalam keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta. (3) mendeskripsikan makna leksikal dan kultural yang terkandung dalam istilah-istilah yang terdapat pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta.

Sifat penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Data dalam penelitian ini berupa istilah-istilah yang terdapat dalam keris ber-dhapur Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta. Sumber data dalam penelitian ini adalah istilah-istilah yang melekat secara inheren dalam Keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode simak. Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode distribusional dan metode padan.

Berdasarkan analisis dapat disimpulkan beberapa hal : (1) keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta ini memiliki istilah sejumlah 32 buah, yaitu : ada-ada, angkup, blumbangan, bungkul, buntut urang, gandar, gandhik, ganja, godhongan, greneng, gulu meled, janur, kembang kacang, lambe gajah, landhep, latha, mendhak, pamor wos wutah, panetes, patra, pendhok, pesi, ri cangkring, sebit lontar, sirah cecak, sogokan, sraweyan, tikel alis, ukiran, warangka ladrang, wedidang, wilahan. (2) beberapa istilah tersebut dapat dikelompokkan menjadi bentuk monomorfemis yang berjumlah 14 buah, yaitu : angkup, bungkul, gandar, gandhik, ganja, greneng, janur, landhep, latha, mendhak, patra, pendhok, pesi, wedidang. Bentuk polimorfemis berjumlah 8 buah, yaitu : ada-ada, blumbangan, godhongan, panetes, sogokan, sraweyan, ukiran, wilahan, sedangkan bentuk frasa berjumlah 10 buah, yaitu : buntut urang, gulu meled, kembang kacang, lambe gajah, pamor wos wutah, ri cangkring, sirah cecak, tikel alis, warangka ladrang, sebit lontar. (3) makna leksikal pada istilah-istilah tersebut menunjuk pada keterangan letak istilah tersebut di dalam bilah keris, sedangkan makna kultural yang terkandung pada istilah-istilah ini sebagian besar berisikan ajaran-ajaran luhur bagi manusia untuk dapat berlaku dan bertindak di dalam dunia ini agar tercapai keselamatan dan dapat menggapai kesuksesan di dunia dan akhirat.

BAB I

PENDAHULUAN

(20)

Manusia dikaruniai Tuhan dengan sifat-sifat yang mampu membuatnya berbeda dengan mahluk yang lain. Sifat-sifat itu begitu khas sehingga atas dasar itulah, mahluk yang bernama manusia berbeda dengan binatang. Sifat-sifat itu adalah akal budi yang membuatnya dapat berpikir dan bertindak sesuai dengan keinginannya. Bertindak untuk memenuhi kebutuhannya. Salah satu kebutuhan yang dimiliki manusia adalah kebutuhan untuk mempertahankan dirinya dari serangan yang membuat mereka terancam. Baik itu serangan dari alam, serangan hewan maupun serangan manusia.

Serangan dari alam dapat diatasi oleh manusia dengan membuat perlindungan. Suatu tempat yang dapat digunakan oleh manusia untuk melindunginya dari panas dan dingin. Teknologi pembangunan rumah kemudian diciptakan, sedangkan ketika manusia dihadapkan pada serangan hewan maupun manusia, maka diciptakanlah alat untuk membela diri dan sistem pertahanan untuk membela diri yang biasa kita sebut dengan ilmu bela diri.

Kaitannya dengan pembahasan dalam skripsi kita akan memfokuskan pada sebuah alat yang diciptakan manusia untuk membela diri dari serangan pihak lain yang membahayakan, yaitu sejenis senjata yang bernama keris.

(21)

membela diri, untuk berkelahi dan berperang adalah keris. Namun demikian, dalam perkembangannya keris ternyata tidak hanya berfungsi sebagai senjata saja.

Asal-usul tentang keris ternyata masih belum banyak terungkap. Sebuah prasasti yang disebut Prasasti Rukam, berangka tahun 829 Saka atau 907 Masehi, yang ditemukan pada 1975 di Desa Petarongan, Kecamatan Parakan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah, salah satu kalimatnya menyebutkan : “…wsi wsi prakara wadung rimwas patuk patuk lukai tampilan linggis tatah wangkiul kris

gulumi kurumbahgi, pamajha, kampi, dom…” yang kurang lebih bermakna

‘…segala macam keperluan yang terbuat dari besi berupa kapak, kapak perimbas, beliung, sabit, tampilan, linggis, tatah, bajak, keris, tombak, pisau, ketam, kampit, jarum…’, ternyata telah membuktikan bahwa pada sekitar abad ke-10 keris telah dikenal oleh masayarakat Jawa (Haryono Haryoguritno, 2006: 6). Namun, suatu keniscayaan apabila keris juga telah dikenal jauh sebelum abad ke-10, mengingat begitu dikenalnya keris sebagai salah satu bagian dari alat-alat yang terbuat dari besi, menurut prasasti tersebut.

(22)

pemakaian keris telah menjadi suatu kelaziman. Bahkan dapat dikatakan suatu keharusan, bagi kaum lelaki Jawa.

Keberadaan keris di Nusantara khususnya di Jawa memang menjadi sesuatu yang tidak terpisahkan dari masyarakat pendukung kebudayaan Jawa. Keris telah menjadi bagian hidup dari ritme kehidupan manusia Jawa. Seperti yang diutarakan oleh Haryono Haryoguritno berikut.

Bagi orang Jawa masa lalu yang percaya, keris diperankan dalam seluruh perjalanan hidupnya, sejak ia lahir hingga mati. Ketika seorang ibu hendak bersalin dan melahirkan bayinya, dukun bayi menaruh keris bentuk brojol di bawah bantalnya. Ada pula dukun yang cukup menyimpannya sebagai bekal pendamping profesi, tanpa perlu menampakkan kerisnya. Kelak bila si bayi sudah masanya dapat berjalan, diadakan upacara tedhak siten (menapakkan kaki di atas tanah untuk yang pertama kalinya). Upacara ini dilengkapi sesajian yang didalamnya terdapat sebuah seking (keris mini). Anak lelaki yang sudah sampai waktunya untuk dikhitan, dibuatkan orang tuanya sebuah keris mainan yang lengkap, sebagai pertanda bahwa dia sudah memasuki usia akil balig. Bila kelak sudah menjadi pria dewasa yang menikah dengan seorang wanita, ia pun akan menyandang keris yang biasanya merupakan keris keluarga. Untuk selanjutnya, sesudah ia membina rumah tangga dan menjadi warga sepenuhnya, keris akan selalu disandangnya pada berbagai acara hingga menjelang akhir hayatnya. Bahkan ada pula beberapa penghayat fanatik yang menginginkan kelak ia dikubur bersama kerisnya (Haryono Haryoguritno, 2006: 3-4)

Bahkan, sampai begitu pentingnya, keris dapat digunakan sebagai wakil dari mempelai pria dalam melaksanakan ijab kabul jika mempelai pria berhalangan hadir karena suatu kepentingan yang sangat mendesak dan tidak bisa ditinggalkan. Suatu peristiwa yang disebut dengan Kawin Keris (Imam Sutardjo, 2008: 73).

(23)

senjata tikam, alat untuk menghukum mati, senjata pamer, atribut keprajuritan, kelengkapan busana resmi, tanda keprabon, atribut utusan raja, sengkalan, manifestasi falsafah, identitas diri atau keluarga, tanda pangkat atau status sosial, tanda jasa, lambang kedewasaan, lambang persaudaraan, lambang peringatan, lambang keturunan, wakil pribadi, tanda penghormatan atau penyerahan diri, atribut upacara, barang pusaka, azimat, medium komunikasi, tempat hunian roh, benda ekonomi, benda dekorasi, benda sejarah, benda antropologi, benda koleksi, lambang kesatuan daerah, merek dagang (Haryono Haryoguritno, tt : 9-10).

Sebagai sebuah artefak kebudayaan yang dimiliki oleh suku bangsa di wilayah Jawa, keris memiliki keunikan tersendiri yang tidak didapatkan pada artefak-artefak kebudayaan Nusantara yang lain. Keunikan yang dapat kita lihat secara kasat mata adalah detailnya yang rumit dan bentuknya yang khas sebagai senjata tikam.

Kaitannya dengan hal tersebut di atas, keris memiliki tempat tersendiri. Masyarakat Jawa telah terkenal memiliki kebudayaan yang adiluhung di antero dunia dan diakui keberadaannya di kancah dunia internasional (Tjaroko HP Teguh Pranoto, 2007: 1). Perwujudan dari sebuah ke-adiluhung-an tersebut adalah dikenalnya suatu sistem elaborasi yang rumit dan detail terhadap suatu produk kebudayaan. Kaitannya dengan masalah yang diangkat dalam skripsi ini adalah elaborasi yang rumit dan detail terhadap produk kebudayaan yang berupa keris.

(24)

kemanusiawian yang tidak dimiliki oleh mahluk lainnya. Bahasa memang berkaitan dengan kebudayaan, tetapi bahasa tidak sama dengan kebudayaan. Bahasa di dalam sekumpulan fenomena kebudayaan merupakan substruktur, dasar, dan sekaligus sebagai alat pengembang (Khaidir Anwar, 1995: 219).

Pernyataan Khaidir Anwar tersebut memberi kita suatu kesimpulan bahwa bahasa dan budaya atau kebudayaan adalah suatu hal yang sangat berkaitan erat. Jika kita hendak mengetahui suatu budaya kita dapat melihat dari bahasa yang digunakan. Begitu pula sebaliknya. Jika kita hendak mengetahui suatu bahasa yang digunakan oleh suatu masyarakat, kita dapat melihat dulu budaya yang ada pada masyarakat tersebut (Abdul Chaer dan Leonie Agustina, 2004: 166)

(25)

masyarakat Jawa. Ternyata juga memiliki nama untuk detail bagian-bagiannya yang jumlahnya tidak sedikit.

Berdasarkan keadaan tersebut kiranya perlu diadakan suatu kajian mengenai istilah-istilah yang terdapat pada bagian-bagian keris, dalam rangka untuk mengetahui keterkaitan antara nama-nama yang disematkan dengan bagian-bagian yang terdapat dalam keris tersebut. Hal ini penulis lakukan, mengingat belum banyak masyarakat Jawa sendiri yang mengetahui bagian-bagian keris. Padahal keris sendiri adalah bagian dari artefak kebudayaan Jawa yang sudah diakui dunia internasional sebagai hasil kreativitas manusia Jawa yang bernilai seni tinggi. Bahkan, UNESCO (United Nation for Educational Scientific and Cultural Organisation) dalam sidangnya di Paris, pada tanggal 25 November 2005,

mengakui keris Indonesia sebagai salah satu warisan budaya manusia yang harus dilestarikan, bahkan tergolong sebagai suatu maha adikarya, Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity atau mahakarya warisan kemanusiaan yang

berwujud takbenda (Heru Pratignya, 2010: 2).

(26)

adalah mengkaji keris sebagai keris. Artinya berusaha mencari makna yang terkandung di dalam keris, khususnya keris yang bertipe Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta.

Alasan peneliti mengambil keris Sabuk Inten sebagai objek penelitian adalah :

1. Keris Sabuk Inten merupakan keris yang memiliki komponen yang cukup lengkap di antara beberapa keris, sehingga secara otomatis keris tersebut memiliki istilah-istilah yang cukup banyak untuk dapat diteliti.

2. Menurut cerita rakyat, keris Sabuk Inten yang pertama kali ada yaitu keris yang dibuat oleh Empu Jaka Supa atas pesanan Sunan Kalijaga. Kedua tokoh tersebut dalam khazanah budaya Jawa memiliki kedudukan yang khusus. Jadi, pastilah keris yang dihasilkan memiliki kandungan makna yang khusus pula. Mengingat melimpahnya budaya Jawa akan makna-makna dan simbol-simbol dalam rangka memberi tafsiran kepada kehidupan.

3. Keris Sabuk Inten relatif lebih banyak diketahui oleh masyarakat luas daripada jenis keris yang lain. Hal demikian dapat terjadi karena nama Sabuk Inten pernah diangkat menjadi salah satu judul karya sastra

ciptaan SH. Mintarja yang berjudul Nagasasra Sabuk Inten.

(27)

membangun keris tersebut. Jadi, melalui penelitian ini penulis ingin mengungkap makna keris khususnya keris jenis Sabuk Inten melalui detail yang membangun keris tersebut.

B. Pembatasan Masalah

Mengingat banyaknya dhapur atau tipe keris yang ada. Maka dalam kajian ini penulis hanya memfokuskan pada sebuah keris berluk sebelas bertipe Sabuk Inten, pamor Wos Wutah, dengan perabot : warangka ladrang gaya Surakarta, ukiran gaya Surakarta, pendhok gaya Surakarta, dan mendhak gaya Surakarta.

C. Perumusan Masalah

Rumusan masalah yang penulis angkat pada penelitian ini adalah :

1) Istilah-istilah apa sajakah yang terdapat pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta?

2) Bagaimanakah bentuk istilah-istilah yang terdapat pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta?

3) Bagaimanakah makna dalam istilah-istilah yang terdapat pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta, baik secara leksikal

maupun kultural?

D. Tujuan Penelitian

Dari rumusan masalah tersebut maka dapat penulis nyatakan tujuan dari penelitian ini adalah :

(28)

2. Mendeskripsikan bentuk istilah-istilah yang tedapat dalam keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta.

3. Mendeskripsikan makna leksikal dan kultural yang terkandung dalam istilah-istilah yang terdapat pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta.

E. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan berupa konsep kebahasaan, khususnya keterkaitan bahasa dengan budaya (etnolinguistik). Sehingga akan sangat bermanfaat bagi perkembangan teori etnolinguistik.

Penelitian etnolinguistik ini juga dapat memberi sumbangan terhadap kajian linguistik dan etnologi yang merupakan induk disiplin ilmu dari etnolinguistik. Pendeskripsian bentuk-bentuk istilah dalam keris Sabuk Inten ini dapat memantapkan teori pembentukan kata-kata bahasa Jawa, sedangkan penjelasan tentang makna leksikal dan kultural dalam istilah keris Sabuk Inten ini dapat memberi sumbangan terhadap disiplin ilmu etnologi berupa konsep-konsep kebahasaan Jawa yang penuh dengan simbol-simbol. Sehingga dapat menjadi bank data kebudayaan Jawa dalam disiplin ilmu etnologi.

2. Manfaat Praktis

(29)

a. Sebagai bentuk dokumentasi budaya Jawa dalam bentuk tulisan. Keris adalah salah satu produk dari kebudayaan Jawa. Diharapkan dengan adanya pendokumentasian ini, generasi-generasi selanjutnya masih dapat mengetahui dan mempelajari kekayaan budaya nenek moyangnya.

b. Memperkenalkan kembali kepada masyarakat Jawa akan makna-makna yang terkandung dalam keris, khususnya pada keris yang ber-dhapur Sabuk Inten, yang biasanya hanya diketahui oleh para pencinta keris saja.

c. Memberikan pemahaman kepada penutur bahasa Jawa tentang bagian-bagian keris, sehingga istilah-istilah tersebut dapat digunakan dengan tepat sesuai dengan konteksnya.

d. Memberi tambahan leksikon kepada para leksikograf atau pembuat kamus. Khususnya bagi mereka yang ingin membuat kamus bahasa Jawa.

e. Memberi tambahan pengetahuan tentang budaya Jawa kepada para pelaku pendidikan. Khususnya pelaku pendidikan yang berkaitan dengan bahasa dan budaya Jawa. Sehingga pemahaman budaya Jawa secara holistis dan komprehensif dapat diberikan kepada peserta didik.

F. Sistematika Penulisan

Bab I memuat pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.

(30)

diambil dari beberapa buku referensi yang dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan kerangka pikir berisi suatu bagan alur pemikiran dalam penelitian ini.

Bab III memuat metode penelitian. Metode penelitian berisi tentang penjelasan dari jenis penelitian, data, sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis data.

Bab IV memuat hasil analisis dan pembahasan. Analisis data dilakukan dengan metode distribusional dan metode padan.

Bab V memuat penutup yang berisi simpulan dan saran. BAB II

KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Kajian Pustaka

1. Istilah, Keris Sabuk Inten, dan Warangka Ladrang Gaya Surakarta

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) menyatakan (2005: 446) istilah adalah (1) kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu; (2) sebutan; nama; (3) kata atau ungkapan khusus. Hal senada juga diutarakan oleh Harimurti Kridalaksana (2001: 86). Istilah adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan, atau sifat yang khas dalam bidang tertentu.

(31)

Indonesia. Namun dalam perkembangannya, budaya keris mengikuti perjalanan sejarah dan kini budaya ini telah tersebar hingga ke negara-negara lain. Selain Indonesia, negara yang kini memiliki budaya keris adalah Malaysia, Brunei Darussalam, Kamboja, Thailand, dan Filipina.

Di pulau Jawa, keris digolongkan sebagai salah satu cabang budaya tosan aji. Selain itu, karena budaya keris memang bermula dari Pulau Jawa, maka

banyak istilah perkerisan dari daerah ini yang juga digunakan di daerah-daerah lainnya.

Di pulau Jawa keris juga disebut curiga, dhuwung, atau wangkingan. Di pualu Bali, senjata ini disebut kadutan atau kedutan. Di daerah lain,sebutan keris di antaranya adalah tappi, selle, gayang, kres, kris, atau karieh.

Menurut Ensiklopedi Keris (Bambang Harsrinuksmo, 2008:9), suatu senjata dapat disebut keris bila memenuhi kriteria :

a) Keris harus terdiri dari dua bagian utama, yakni bagian bilah keris (termasuk pesi) dan bagian ganja.

b) Bilah keris harus selalu membuat sudut tertentu terhadap ganja, tidak tegak lurus.

c) Ukuran panjang bilah keris yang lazim adalah antara 33 cm sampai 38 cm. d) Keris yang baik harus dibuat dan ditempa dari tiga macam logam, yakni

besi, baja, dan bahan pamor.

Sabuk Inten adalah nama salah satu dhapur keris. Dhapur sendiri adalah

(32)

Harsrinuksmo, 2008: 136). Jadi suatu keris ber-dhapur Sabuk Inten, jika memenuhi kriteria :

(33)

2) Jalen

3) Lambe gajah

4) Blumbangan

5) Tikel alis

6)Sogokan ngajeng

7)Sogokan wingking

8)Sraweyan

9)Greneng

(34)

i

berbeda dengan bentuk warangka yang dikenal dalam dunia perkerisan. Ciri khas yang dimiliki oleh warangka ladrang ini adalah terdapatnya suatu bentuk menyerupai perahu dengan bagian-bagiannya yang pipih dan melebar.

Gaya adalah (1) sikap; gerakan, (2) irama dan lagu (dalam nyanyian, musik,

dan sebagainya), (3) ragam (cara rupa, bentuk, dan sebagainya) yang khusus (mengenai tulisan, karangan, pemakaian bahasa, bangunan rumah, dan sebagainya), (4) cara melakukan gerakan dalam olahraga (renang, lompat, dan sebagainya), (5) lagak lagu; tingkah laku, (6) sikap yang elok; gerak-gerik yang bagus, (7) elok; bergaya (KBBI, 2005: 340). Kaitannya dengan dunia perkerisan maka gaya yang dimaksud adalah gaya yang dimaknakan pada nomor tiga dalam KBBI tersebut yaitu ragam yang khusus, sedangkan Surakarta merupakan salah satu kota di Provinsi Jawa Tengah. Namun secara budaya, Surakarta dapat dimaknai sebagai sebuah sistem budaya yang bersifat khas yang berbeda dengan daerah Jawa lainnya. Dunia budaya Jawa biasanya melihat dua kiblat sistem budaya yang besar yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Gaya Surakarta berarti dimaknai sebagai suatu ragam khas yang memiliki ciri berbeda dengan ragam yang lain, sebagai contoh ragam Yogyakarta. Kaitannya dengan hal ini warangka ladrang gaya Surakarta adalah jenis warangka yang berbentuk ladrang dan berciri

(35)

ii branggah.

Sebenarnya istilah keris itu mengacu pada bilah keris dan perabotnya. Jadi kalau kita menyebut keris, maka yang dimaksud adalah bilah keris lengkap beserta ukiran, mendhak, warangka, dan pendhok. Seperti yang diungkapkan oleh Soemodiningrat : “… Menawi tiyang Jawi mastani keris, dhuwung, wangkingan, punika ingkang dipunkajengaken: dhuwung ingkang sampun mrabot, dados

jangkep menggah prabotipun, dados sampun mawi jejeran (ukiran) sarungan

(warangka) saha kandelan (pendhok)” , terjemahannya , ‘…jika orang Jawa

menyebut keris maka yang dimaksud adalah keris yang sudah memakai perabot, jadi lengkap perabotannya, yaitu sudah menggunakan hulu, bersarung, dan memakai pendhok’ (Soemodiningrat, 1976: 1). Pernyataan Soemodiningrat ini juga senada dengan pernyataan dari Sukatno Purwoprojo, seorang sesepuh di bidang perkerisan yang ada di Surakarta (wawancara tanggal 6 April 2010).

2. Etnolinguistik

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 309) menyebutkan bahwa etnolinguistik adalah cabang linguistik yang menyelidiki hubungan antara bahasa dan masyarakat pedesaan atau masyarakat yang belum mengenal tulisan.

(36)

iii

penelitiannya berupa kata-kata, pelukisan dari ciri-ciri, pelukisan-pelukisan tentang tata bahasa dari bahasa-bahasa lokal yang tersebar di berbagai tepat di muka bumi, terkumpul bersama-sama dengan bahan tentang unsur kebudayaan suatu suku bangsa (Koentjaraningrat, 1992: 2).

Istilah etnolinguistik ini muncul ketika para ahli antropologi mulai melakukan penelitian lapangan dengan lebih serius dan profesional pada awal abad ke-20 (Shri Ahimsa Putra, 1997: 3-4). Edward Sapir, seorang ahli antropologi dari Amerika Serikat merupakan perintis dari studi etnolinguistik dalam antropologi, karena dia telah membuka sebuah persoalan baru yang penting dalam studi etnolinguistik (dalam Shri Ahimsa Putra, 1997: 4).

(37)

iv

mengenai kebudayaan suatu masyarakat atau suku bangsa sudah banyak dilakukan. Asumsi dasar yang digunakan dalam studi semacam ini adalah bahwa khazanah pengetahuan yang dimilki oleh suatu masyarakat itu tersimpan dalam bahasa mereka. Pengetahuan inilah yang digunakan oleh warga masyarakat untuk menjelaskan dan memahami segala apa yang dihadapi, serta digunakan untuk membimbing mereka mewujudkan perilaku yang tepat dalam situasi dan kondisi tertentu. Oleh karena itu, untuk dapat memahami perilaku warga suatu masyarakat dengan baik, khazanah pengetahuan tersebut harus diketahui, dan berarti bahwa bahasa mereka harus dipelajari. Dalam konteks inilah sumbangan linguistik sangat berarti bagi etnologi (Shri Ahimsa Putra,1997: 4). Demikian juga dengan penelitian istilah-istilah dalam bilah keris Jawa ini. Melalui bahasa yang diwakili oleh nama bagian-bagian bilah keris, selanjutnya kita dapat mengungkap makna budaya yang terkandung di dalamnya.

3. Bentuk/Struktur

a) Monomorfemis

(38)

v

Penggolongan kata menjadi jenis monomorfemis dan polimorfemis adalah menggolongkan berdasarkan jumlah morfem yang menyusun kata.

Pada dasarnya, semua kata yang tergolong pada kata dasar istilah-istilah dalam bilah keris Jawa ini dapat dikatakan morfem bebas dengan pengertian bahwa morfem itu dapat berdiri sendiri dengan makna tertentu tanpa dilekati imbuhan, dengan kata lain, subyeknya belum mengalami proses morfologis atau belum mendapat tambahan apapun. Belum diulang dan belum dimajemukkan. b) Polimorfemis

Kata polimorfemis dapat dilihat sebagai hasil proses morfologis yang berupa perangkaian morfem. Proses morfologis meliputi (1) pengimbuhan atau afiksasi (penambahan afiks). Penambahan afiks dapat dilakukan di depan, di tengah, di belakang, atau di depan dan belakang morfem dasar. Afiks yang ditambahkan di depan disebut awalan atau prefiks, yang di tengah disebut sisipan atau infiks, yang di belakang disebut akhiran atau sufiks, yang di depan dan belakang disebut sirkumfiks atau konfiks. (2) pengulangan atau reduplikasi adalah proses dan hasil pengulangan satuan bahasa sebagai alat fonologis atau gramatikal (Harimurti Kridalaksana, 2001: 186), dan (3) pemajemukan atau komposisi yaitu proses morfologis yang membentuk satu kata dari dua (atau lebih dari dua) morfem dasar atau proses pembentukan dua kata baru dengan jalan menggabungkan dua kata yang telah ada sehingga melahirkan makna baru. Arti yang terkandung dalam kata majemuk adalah arti keseluruhan bukan menurut arti yang terkandung pada masing-masing kata yang mendukungnya.

(39)

vi

gabungan itu dapat rapat, dapat renggang (Harimurti Kridalaksana, 2001 : 59). Sedangkan M. Ramlan (1981: 121) menyatakan frasa adalah satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang tidak melampaui batas fungsi. Berdasarkan dua pengertian tersebut dapat dikemukakan bahwa frasa mempunyai dua sifat :

1. frasa merupakan satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih. 2. frasa merupakan satuan yang tidak melebihi batas fungsi, maksudnya

frasa itu selalu terdapat dalam satu fungsi, yaitu dalam subjek, predikat, objek, pelaku, atau keterangan.

4. Makna Leksikal dan Makna Kultural

Pembicaraan tentang makna akan membawa kita kepada suatu teori tentang makna yang dicetuskan oleh Ogden dan Richard. Teori tersebut menerangkan hubungan antara bentuk, konsep, dan acuan. Seperti biasa kita kenal dengan Segitiga Ogden dan Richards, sebagai berikut:

(b) reference Bagan

(40)

vii

Hubungan antara (a) dan (c) digambarkan dengan garis putus-putus karena kedua hal tersebut bersifat tidak langsung. Titik (a) adalah masalah dalam-bahasa dan (c) adalah masalah luar bahasa yang hubungannya bersifat arbitrer. Sedangkan hubungan (a) dan (b) serta hubungan (b) dan (c) bersifat langsung. Titik (a) dan (b) sama-sama berada di dalam bahasa; hubungan (b) dan (c) berupa (c) adalah acuan dari (b) tersebut.

Berdasarkan teori makna tersebut, ternyata makna leksikal dan makna kultural dapat masuk dan sesuai dengannya. Mansur Pateda (2001: 119) menyebutkan bahwa makna leksikal adalah makna kata ketika kata itu berdiri sendiri, entah dalam bentuk leksem atau bentuk berimbuhan yang maknanya kurang lebih tetap, seperti yang dapat dibaca dalam kamus bahasa tertentu.

Sedangkan makna kultural adalah makna bahasa yang dimiliki oleh masyarakat dalam hubungannya dengan budaya tertentu. Untuk mengetahui adanya makna kultural yang berkembang maka perlu diketahui terlebih dahulu makna leksikalnya.

Tataran makna berada pada titik “reference” pada Segitiga Ogden-Richards. Pada bagian “reference”, sering disebut juga dengan konsep. Menurut Harimurti Kridalaksana konsep adalah “gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, dan yang dipergunakan akal budi untuk memahami hal tersebut” (2001: 117-119). Jadi pada definisi konsep tersebut secara otomatis makna kultural dan makna leksikal telah termasuk pada bagian yang telah

(a) symbol (c) referent

(41)

viii

berkaitan dengan ranah kebahasaan, sedangkan makna kultural lebih cenderung menerangkan bentuk dengan menitikberatkan pada hal-hal di luar bahasa (baca : budaya).

Bentuk bahasa yang sama dengan referen atau acuan yang sama, pada tataran konsep ternyata memiliki perbedaan. Pada konsep makna leksikal, hal tersebut cenderung sama, karena dibatasi oleh pengertian yang ada di dalam kamus. Jika ada perbedaan itu biasanya hanya perbedaan dalam penyebutan bentuk bahasa saja. Sebagai contoh, penyebutan konsep “salah satu ricikan dalam keris yang berada di gandhik, di atas lambe gajah, di depan jalen”, dalam dunia perkerisan ada yang menyebut kembang kacang, sekar kacang, atau tlale gajah. Walaupun berbeda, namun makna atau konsepnya adalah sama.

(42)

ix BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian merupakan cara, alat, prosedur, dan teknik yang dipilih dalam melakukan penelitian. Metode adalah cara untuk mengamati atau menganalisis fenomena, sedangkan metode penelitian mencakup kesatuan dan serangkaian proses penentuan kerangka pikiran, perumusan masalah, penentuan sampel data, teknik pengumpulan data dan analisis data (Edi Subroto, 1992: 31)

Hal-hal yang diperlukan dalam metode penelitian ini adalah: (1) sifat penelitian, (2) data, (3) sumber data, (4) metode pengumpulan data, (5) metode analisis data.

A. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini adalah deskriptif kualitatif artinya penelitian yang mencatat dengan teliti dan cermat data yang berwujud kata-kata, kalimat-kalimat, wacana, gambar-gambar atau foto, catatan harian, memorandum, video tape (Edi Subroto, 1992: 7)

Berdasarkan uraian di atas sangat jelas bahwa dalam penelitian ini data yang tercatat berwujud kata-kata dan hasilnya juga dalam bentuk kata-kata, sehingga penelitian ini berusaha untuk mendeskripsikan data kebahasaan yang berupa istilah dalam keris Sabuk Inten, baik yang diperoleh melalui teknik wawancara ataupun teknik pustaka. Perolehan data melalui studi lapangan dan studi pustaka kemudian ditelaah secara mendetail.

(43)

x

Data adalah bahan penelitian (Sudaryanto, 1990: 3). Data dalam penelitian ini berupa istilah-istilah yang terdapat dalam keris ber-dhapur Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta. Semua hal yang berada melekat pada wujud

keris ber-dhapur Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta tersebut akan dijadikan data yang nantinya akan dianalisis secara linguistis.

Kaitannya dengan penelitian ini, data yang dimaksud adalah semua istilah yang terdapat dalam keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta. Sedangkan istilah-istilah yang ditemukan pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta adalah :

1) ada-ada [OdO OdO] 2) angkup [aGkUp] 3) bungkul [buGkUl]

4) buntut urang [bunt Ut uraG] 5) blumbangan [mblumbaGan] 6) gandar [gandar]

7) gandhik [ganDI?] 8) ganja [gO~nj O]

9) sebit lontar [s| bIt lont ar] 10)godhongan [goDoGan] 11)greneng [grEnEG]

12)gulu meled [gulu mElEd] 13)janur [j anUr]

(44)

xi 27)sraweyan [sraweyan] 28)tikel alis [t ik| l alIs]

(45)

xii

otomatis keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta ini, merupakan sumber data utama pada penelitian.

Kemudian untuk meneliti kembali keabsahan dari istilah-istilah tersebut maka perlu adanya tambahan keterangan dari para informan yang mengetahui tentang keris. Selain itu, informan juga diharapkan dapat memberikan keterangan perihal makna kultural yang terdapat pada istilah-istilah yang terdapat pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta. Beberapa persyaratan yang harus

dimiliki oleh informan agar dapat memberikan keterangan yang sesuai dengan penelitian ini adalah :

1) Penutur asli bahasa Jawa.

2) Memahami bahasa dan budaya Jawa serta paham dunia perkerisan. 3) Berumur 25-70 tahun dan belum pikun.

4) Memiliki alat ucap sempurna.

5) Kaitannya dengan penelitian maka harus memiliki pemahaman yang memadai tentang tosan aji atau pengetahuan tentang besi-besi yang dimuliakan.

6) Memiliki waktu yang cukup untuk wawancara 7) Bersedia untuk diwawancarai

8) Dapat berbahasa Indonesia secara pasif.

Informan yang dimintai keterangan adalah : R. Riyo Purbobudoyo, seorang mranggi kraton (pembuat warangka dan ukiran untuk keris keraton) di Keraton

(46)

xiii Karanganyar,

D. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data menggunakan metode simak yaitu pengumpulan data dengan menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993: 133). Teknik dasarnya adalah teknik sadap yaitu dengan menyadap keterangan dari informan terpilih yang menjelaskan tentang detail dan istilah pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta. Teknik lanjutannya adalah :

1) Teknik rekam, yaitu merekam informasi yang keluar dari informan tentang istilah-istilah yang terdapat dalam keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta.

2) Teknik kerja sama atau wawancara, yaitu dengan mewawancarai informan terpilih. Kemudian direncanakan dengan pertanyaan agar terarah sesuai dengan tujuan penelitian.

3) Teknik pustaka, yaitu dengan menggunakan data dari sumber tertulis yaitu berupa buku atau yang lain yang intinya berupa data tulis yang membantu memberikan informasi mengenai apa yang menjadi objek penelitian.

4) Teknik catat juga digunakan dalam metode pengumpulan data ini, yaitu dengan mencatat data kebahasaan atau istilah-istilah yang relevan dilakukan dengan transkripsi tertentu menurut kepentingan.

E. Metode Analisis Data

(47)

xiv

Metode distribusional yaitu metode analisis data yang alat penentunya adalah unsur dari bahasa yang bersangkutan itu sendiri (Sudaryanto, 1993: 15). Metode ini digunakan untuk menganalisis bentuk dalam istilah-istilah yang terdapat bilah keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta.

Teknik dasarnya adalah teknik Bagi Unsur Langsung (BUL). Teknik ini digunakan untuk membagi satuan lingual data menjadi beberapa unsur dan unsur-unsur yang bersangkutan dipandang sebagai bagian yang langsung membentuk satuan lingual yang dimaksud (Sudaryanto, 1993: 31). Teknik Bagi Unsur Langsung (BUL) ini digunakan untuk membagi satuan lingual data menjadi beberapa unsur. Unsur-unsur tersebut dipandang sebagai bagian yang langsung pembentuknya. Jadi, dalam hal ini digunakan untuk menganalisis bentuk lingual dalam istilah yang terdapat pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta, yaitu apakah berupa kata, atau frasa.

2) Metode Padan

(48)

xv

(49)

xvi BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Istilah-istilah yang Terdapat pada Keris Sabuk Inten

Warangka Ladrang Gaya Surakarta

Berdasarkan data yang diperoleh, penulis menemukan sejumlah 32 istilah pada Keris Sabuk Inten Warangka Ladrang Gaya Surakarta. Istilah-istilah tersebut adalah : ada-ada, angkup, blumbangan, bungkul, buntut urang, gandar, gandhik, ganja, godhongan, greneng, gulu meled, janur, kembang kacang, lambe gajah,

landhep, latha, mendhak, pamor wos wutah, panetes, patra, pendhok, pesi, ri

cangkring, sebit lontar, sirah cecak, sogokan, sraweyan, tikel alis, ukiran,

warangka ladrang, wedidang, wilahan.

B. Bentuk Istilah

Beberapa istilah yang ada pada keris Sabuk Inten warangka ladrang gaya Surakarta dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu istilah yang termasuk kategori bentuk monomorfemis, bentuk polimorfemis, dan bentuk frasa.

1. Kategori Monomorfemis

a. angkup [aGkUp]

Angkup adalah bagian dari warangka yang berbentuk melengkung ke dalam.

Jika dipasangi ukiran maka bagian ini adalah bagian yang dekat dengan ukiran.

(50)

xvii b. latha [lOTO]

Latha adalah bagian dari warangka yang terletak dekat dengan ri cangkring.

Berbentuk seperti sebuah cekungan.

c. patra [pOt rO]

Patra adalah bagian dari ukiran yang berupa cekungan-cekungan yang teratur berbentuk semacam guratan-guratan yang berpola yang terletak di bagian sudut yang melengkung sebelah atas dan bagian yang dekat dengan cembungan di bagian bawah.

Gambar 1 angkup

Sumber : dokumen pribadi

Gambar 2 latha

(51)

xviii d. mendhak [m| nDa ?]

Mendhak adalah cincin keris. Bagian yang melingkari pesi di antara ganja dan

ukiran.

e. gandar [gandar]

Gandar adalah bagian dari warangka yang berfungsi sebagai pelindung bilah

keris secara langsung. Merupakan suatu selongsong dari kayu lurus di bawah bentuk perahu dari warangka.

patra

Sumber : dokumen pribadi

Gambar 4 mendhak

(52)

xix f. pendhok [p| nDO?]

Pendhok adalah pelindung dari gandar yang biasa terbuat dari logam kuningan,

perak, emas, tembaga, atau suasa.

Sumber : dokumen pribadi gandar

Sumber : dokumen pribadi Gambar 6

(53)

xx

Bungkul adalah bagian keris yang terletak di tengah-tengah dasar bilah dan di

atas ganja.

h. gandhik [ganDI?]

Gandhik adalah besi yang menggemuk dan tebal di bagian muka keris.

Merupakan tempat kembang kacang, jalen, dan lambe gajah.

Sumber : dokumen pribadi Gambar 8

gandhik Sumber : dokumen pribadi

(54)

xxi

Ganja adalah bagian pangkal, dasar, atau alas dari sebuah kerangka bangun

suatu bilah keris. Secara fisik terlihat bagaikan kerangka bawah yang berfungsi sebagai pilar dasar dari bilah keris, yang bentuknya lebih melebar ke depan dan ke belakang untuk memberi perlindungan kepada tangan si pemegang keris.

j. greneng [grEnEG]

Greneng adalah ornamen berbentuk huruf Jawa dha yang berderet dan letaknya

di bagian bawah ujung ganja, dan sering dibuat rangkap sehingga terletak sampai ujung bilah keris.

Sumber : dokumen pribadi Sumber : dokumen pribadi

Gambar 9 ganja

(55)

xxii

Janur adalah bentuk yang menyerupai lidi yang berada di antara sogokan.

l. landhep [lanD| p]

Landhep adalah bagian keris yang tajam di sisi samping.

Sumber : dokumen pribadi Gambar 12

landhep Sumber : dokumen pribadi

(56)

xxiii

Wedidang adalah bagian dari bilah keris bagian bawah yang berada di atas

greneng. Bagian ini merupakan bagian belakang dari sebuah keris.

n. pesi [p| si]

Pesi adalah besi yang bundar dan memanjang antara lima sentimeter hingga

delapan sentimeter yang menjadi tangkai keris yang masuk ke dalam pegangan atau ukiran.

Gambar 14 pesi

Sumber : dokumen pribadi Sumber : dokumen pribadi

(57)

xxiv a. panetes [pan| t | s]

Panetes merupakan bentuk polimorfemis yang terjadi dari proses afiksasi kata

dasar tetes yang mendapat prefiks paN-. paN + tetes → panetes

Panetes adalah bagian bilah keris yang paling ujung atas.

b. godhongan [goDoGan]

Godhongan merupakan bentuk polimorfemis yang terjadi dari proses afiksasi

kata dasar godhong yang mendapat sufiks –an. godhong + -an → godhongan

Godhongan adalah bagian warangka yang terlihat melebar dan tipis seperti daun.

Sumber : dokumen pribadi Gambar 15

(58)

xxv c. ukiran [ukiran]

Ukiran merupakan bentuk polimorfemis yang terjadi dari proses afiksasi kata

dasar ukir yang mendapat sufiks –an. ukir + -an → ukiran

Ukiran adalah bagian dari perabot keris tempat pegangan bilah keris dalam keadaan terhunus dan tempat memasukkan pesi keris.

Sumber : dokumen pribadi

Sumber : dokumen pribadi Gambar 17

(59)

xxvi

Wilahan merupakan bentuk polimorfemis yang terjadi dari proses afiksasi kata

dasar wilah yang mendapat sufiks –an. wilah + -an → wilahan

Wilahan adalah bagian terbesar dari wujud bilah keris itu sendiri, tempat sebagaian besar detail keris berada. Terletak di atas ganja.

e. blumbangan [mblumbaGan]

Blumbangan merupakan bentuk polimorfemis yang terjadi dari proses afiksasi

kata dasar blumbang yang mendapat sufiks –an. blumbang + -an → blumbangan

Blumbangan adalah bagian yang cekung di belakang gandhik. Sumber : dokumen pribadi

(60)

xxvii f. sogokan [sogo?an]

Sogokan merupakan bentuk polimorfemis yang terjadi dari proses afiksasi kata

dasar sogok yang mendapat sufiks –an. sogok + -an → sogokan

Sogokan adalah bagian keris yang membujur seperti parit, memanjang terletak di

depan dan di belakang janur.

Sumber : dokumen pribadi

Sumber : dokumen pribadi Gambar 20

(61)

xxviii

Sraweyan merupakan bentuk polimorfemis yang terjadi dari proses afiksasi kata

dasar srawe yang mendapat sufiks –an. srawe + -an → sraweyan

Sraweyan adalah bagian keris yang bentuknya tebalan melandai yang terletak di belakang sogokan paling belakang sampai ke greneng.

h. ada-ada [OdO OdO]

Ada-ada merupakan bentuk polimorfemis yang terjadi dari proses reduplikasi

kata ada.

ada Rada-ada

Ada-ada dalam dunia perkerisan merupakan bagian dari bilah keris yang berada di bagian tengah. Dimulai dari arah pangkal keris sampai ujung keris.

Sumber : dokumen pribadi Gambar 21

(62)

xxix 3. Kategori Frasa

a. warangka ladrang [warOGkO ladraG]

Warangka ladrang termasuk dalam frasa nomina karena intinya yaitu kata

warangka termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah kata ladrang. Kata ladrang pada kasus ini berkategori ajektif.

Warangka ladrang adalah jenis sarung keris yang berbentuk seperti perahu dan

memiliki bagian yang tipis melebar di bagian belakang, serta tipis melengkung ke dalam pada bagian depan.

warangka ladrang warangka ladrang

nomina

+

ajektif frasa nomina Sumber : dokumen pribadi

(63)

xxx b. ri cangkring [ri caGkrIG]

Ri cangkring termasuk dalam frasa nomina karena intinya yaitu kata ri

termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah kata cangkring. Kata cangkring pada kasus ini berkategori nomina.

Ri cangkring adalah bagian dari warangka berada di samping latha. Berbentuk

seperti duri yang keluar dari sisi samping warangka.

ri cangkring ri cangkring

nomina

+

nomina frasa nomina Sumber : dokumen pribadi

(64)

xxxi c. buntut urang [bunt Ut uraG]

Buntut urang termasuk dalam frasa nomina, karena intinya yaitu kata buntut

termasuk dalam kategori nomina, sedangkan yang menjadi atributnya adalah kata urang. Kata urang pada kasus ini berkategori nomina.

Buntut

urang adalah bagian dari ganja yang berada paling ujung belakang.

d. gulu meled [gulu mElEd]

buntut urang buntut urang

nomina

+

nomina frasa nomina

(65)

xxxii

termasuk dalam kategori nomina, sedangkan yang menjadi atributnya adalah kata meled. Kata meled pada kasus ini berkategori verba.

Gulu meled adalah bagian dari ganja yang berada di belakang sirah cecak

sebelum bagian yang menggembung di bagian tengah ganja.

e. kembang kacang [k| mbaG kacaG]

gulu meled gulu meled

nomina

+

verba frasa nomina

Sumber : dokumen pribadi Gambar 26

(66)

xxxiii

kembang termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah kata

kacang. Kata kacang pada kasus ini berkategori nomina.

Kembang kacang adalah bagian keris yang berada pada gandhik yang berbentuk seperti belalai gajah, berada di atas lambe gajah.

f. lambe gajah [lambe gaj ah]

kembang kacang kembang kacang

nomina

+

nomina frasa nomina

(67)

xxxiv

termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah kata gajah. Kata gajah pada kasus ini berkategori nomina.

Lambe gajah adalah bagian dari keris yang berada di gandhik di sebelah bawah

kembang kacang. Wujud berupa tonjolan seperti bibir. Beberapa keris ada yang

memilikinya lebih dari satu buah.

g. sirah cecak [sirah c| ca?]

lambe gajah lambe gajah

nomina

+

nomina frasa nomina

Sumber : dokumen pribadi Gambar 28

(68)

xxxv

termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah kata cecak. Kata cecak pada kasus ini berkategori nomina.

Sirah cecak adalah bagian paling depan dari sebuah ganja. Jika dilihat dari arah

pesi, terlihat seperti kepala cicak. Dunia perkerisan juga mengenal sirah cecak dengan sebutan endhas cecak [| nDas c| ca?].

h. tikel alis [t ik| l alIs]

sirah cecak sirah cecak

nomina

+

nomina frasa nomina

Gambar 29 sirah cecak

(69)

xxxvi

dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah kata tikel. Kata tikel pada kasus ini berkategori ajektif.

Tikel alis adalah bagian dari keris yang terletak di atas blumbangan di depan

sogokan yang berwujud alur pendek.

i. sebit lontar [s| bIt lont ar]

tikel alis tikel alis

ajektif

+

nomina frasa nomina

Sumber : dokumen pribadi Gambar 30

(70)

xxxvii

termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah kata sebit. Kata sebit pada kasus ini berkategori verba.

Sebit lontar adalah bagian ganja yang melandai ke bawah di bagian ekor.

j. pamor wos wutah [pamOr wOs wut ah]

sebit lontar sebit lontar

verba

+

nomina frasa nomina

(71)

xxxviii

pamor termasuk dalam kategori nomina, sedangkan atributnya adalah kata wos

dan wutah. Kata wos pada kasus ini berkategori nomina dan kata wutah berkategori verba.

Pamor wos wutah adalah pola pamor yang bentuknya berupa bulatan dengan garis yang tidak beraturan, berlapis-lapis dan menyebar ke seluruh permukaan bilah.

C. Makna Leksikal dan Makna Kultural

pamor wos wutah pamor wos wutah

nomina +

nomina

+

verba frase nomina

(72)

xxxix a. Makna leksikal :

Makna angkup menurut Poerwadarminta (1939: 16) adalah bungkus dari buah atau bunga pada waktu masih kuncup. Sedangkan makna angkup yang berkaitan dengan keris adalah bagian dari warangka yang berbentuk melengkung ke dalam. Jika dipasangi ukiran maka bagian ini adalah bagian yang dekat dengan ukiran.

b. Makna kultural :

Manusia itu harus andhap asor, yaitu berlaku rendah hati kepada sesama manusia. Sedangkan kepada Tuhan harus bersikap tawakal. Selalu meningkatkan keimanan dan ketakwaan. (Arifin, 2006: 328).

2. latha [lOTO]

a. Makna leksikal :

Makna latha menurut Poerwadarminta (1939 : 263) adalah: (1) lekukan yang ada di dagu; (2) tumbuhan yang merambat. Sedangkan makna latha yang berkaitan dengan keris adalah bagian dari warangka yang terletak dekat dengan ri cangkring. Berbentuk seperti sebuah cekungan.

b. Makna kultural :

Latha berhubungan dengan kata dilatha yang berarti wajah pengantin yang

dihiasi. Hal ini bermakna, manusia harus dihiasi dengan tindak-tindak yang menyenangkan jika ingin memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat.

(73)

xl

Makna patra menurut Poerwadarminta (1939 : 477) adalah: (1) daun; (2) surat. Sedangkan makna patra yang berkaitan dengan keris adalah bagian dari ukiran yang berupa cekungan-cekungan yang teratur berbentuk semacam guratan-guratan yang berpola yang terletak di bagian sudut yang melengkung sebelah atas dan bagian yang dekat dengan cembungan di bagian bawah.

b. Makna kultural :

Patra merupakan perlambangan dari kawula ‘hamba’ dan Gusti ‘Tuhan’.

Gusti dilambangkan oleh ukiran yang ada di bagian kepala, sedangkan

kawula dilambangkan pada ukiran yang berada di bagian bawah dekat

dengan cembungan. Persatuan antara kawula dan Gusti mewujudkan manusia yang ideal. Manusia yang bisa menjadi contoh bagi manusia lain. Karena sifat-sifat ketuhanan yang telah melekat pada dirinya. Hal seperti inilah yang hendaknya dituju oleh semua manusia.

4. mendhak [m| nDa ?] a. Makna leksikal :

Makna mendhak menurut Poerwadarminta (1939 : 307) adalah: (1) agak menunduk sebagai tanda penghormatan; (2) agak turun, agak ambles, berkurang. Sedangkan makna mendhak yang berkaitan dengan keris adalah cincin keris atau bagian yang melingkari pesi di antara ganja dan ukiran.

(74)

xli

menundukkan diri pribadi agar dapat menjadi manusia yang sempurna. Mendhak berarti merendahkan diri (Lumintu, 2004: 26).

5. gandar [gandar] a. Makna leksikal :

Makna gandar menurut Poerwadarminta (1939: 130) adalah: (1) kayu sarung dari keris; (2) sifat atau bentuk yang baik. Poerwadarminta telah menyebutkan secara eksplisit tentang makna gandar yang langsung berkaitan dengan keris. Namun, perlu kiranya untuk dilengkapi lagi. Gandar adalah bagian dari warangka yang berfungsi sebagai pelindung

bilah keris secara langsung. Gandar merupakan suatu selongsong dari kayu lurus di bawah bentuk perahu dari warangka.

b. Makna kultural :

Gandar adalah perlambangan dari bentuk dedeg pangadeg (bangun suatu

badan), sebagai suatau keadaan yang sudah pinasthi, ditentukan bagi masing-masing manusia (Arifin, 2006: 328)

6. pendhok [p| nDO?] a. Makna leksikal :

Makna pendhok menurut Poerwadarminta (1939 : 484) adalah selubung gandar keris yang terbuat dari perak, emas dan lain sebagainya.

b. Makna kultural :

(75)

xlii berkaitan dengan keris adalah bagian keris yang terletak di tengah-tengah dasar bilah dan di atas ganja. Berbentuk membulat.

b. Makna kultural :

Bungkul merupakan perlambangan tekad yang bulat dan pasti. Ketika

sesorang telah memiliki cita-cita, maka sudah sewajarnya jika cita-cita tersebut diusahakan untuk dicapai dengan suatu tekad yang bulat serta mantap.

8. gandhik [ganDI?] a. Makna leksikal :

Makna gandhik menurut Poerwadarminta (1939: 131) adalah: (1) batu yang berbentuk silinder yang dipakai untuk menggerus sesuatu; (2) berjodohan untuk kucing, sedangkan makna gandhik yang berkaitan dengan keris adalah besi yang menggemuk dan tebal di bagian muka keris. Gandhik merupakan tempat kembang kacang, jalen, dan lambe gajah.

b. Makna kultural :

Gandhik melambangkan kepasrahan kepada Sang Maha Pencipta. Manusia

(76)

xliii

mengetahui apa yang terbaik bagi manusia. 9. ganja [gO~nj O]

a. Makna leksikal :

Makna ganja menurut Poerwadarminta (1939: 130) adalah: (1) dasar pesi keris yang lekat dengan bilah; (2) penyangga di ujung pilar. Poerwadarminta telah menerangkan ganja yang berkaitan dengan keris. Namun, perlu kiranya untuk ditambahkan lagi maknanya menjadi bagian pangkal, dasar, atau alas dari sebuah kerangka bangun suatu bilah keris, yang secara fisik terlihat bagaikan kerangka bawah yang berfungsi sebagai pilar dasar dari bilah keris, yang bentuknya lebih melebar ke depan dan ke belakang untuk memberi perlindungan kepada tangan si pemegang keris. b. Makna kultural :

Ganja adalah perlambangan dari wanita, sedangkan perlambangan pria

adalah pesi. Penyatuan antara ganja dan pesi yang membentuk kesatuan keris secara utuh melambangkan proses kelahiran manusia yang memerlukan pria dan wanita untuk dapat menjadi manusia.

10.greneng [grEnEG] a. Makna leksikal :

(77)

xliv bilah keris.

b. Makna kultural :

Greneng merupakan perlambangan dari dada, karena di dalam greneng

terdapat beberapa bentuk ornamen berbentuk huruf Jawa dha. Sehingga terdapat bacaan dhadha atau dada dalam bahasa Indonesia. Kaitannya dengan keris, dada merupakan perlambangan dari kejujuran. Tanpa kejujuran maka manusia pasti akan menemui kecelakaan dalam hidupnya. 11.janur [j anUr]

a. Makna leksikal :

Makna janur menurut Poerwadarminta (1939 : 80) adalah daun kelapa yang masih muda, sedangkan makna janur yang berkaitan dengan keris adalah bentuk yang menyerupai lidi yang berada di antara sogokan.

b. Makna kultural :

Janur adalah daun kelapa yang masih muda. Lemes. Istilah perkerisan

memaknai hal tersebut sebagai watak yang luwes. Manusia diharapkan memiliki watak yang luwes, tidak kaku dan suka bermusyawarah.

12.landhep [lanD| p] a. Makna leksikal :

(78)

xlv

Bagian sisi keris yang tajam melambangkan penyembahan kepada Tuhan secara lahir dan batin. Dua sisi tersebut (lahir dan batin) dilambangkan pada dua sisi yang tajam pada bilah keris. Penyembahan kepada Tuhan harus dilakukan dengan sebenar-benarnya. Jangan sampai hanya lahir saja tapi batin tidak ikut, begitu juga sebaliknya. Lahir tanpa batin seperti orang munafik. Sedangkan batin saja tanpa lahir seperti orang yang kurang sempurna.

13.wedidang [w| didaG] a. Makna leksikal :

Makna wedidang menurut Poerwadarminta (1939 : 659) adalah: (1) diantara lutut dan telapak kaki; (2) otot pada tumit. Sedangkan makna wedidang yang berkaitan dengan keris adalah bagian dari bilah keris bagian bawah yang berada di atas greneng. Bagian ini merupakan bagian belakang dari sebuah keris.

b. Makna kultural :

(79)

xlvi a. Makna leksikal :

Makna pesi menurut Poerwadarminta (1939 : 488) adalah: (1) tonjolan dari pisau atau keris yang masuk pada bagian pegangan; (2) burung. Secara lebih rinci makna pesi yang berkaitan dengan keris adalah besi yang bundar dan memanjang antara lima sentimeter hingga delapan sentimeter yang menjadi tangkai keris yang masuk ke dalam pegangan atau ukiran.

b. Makna kultural :

Pesi merupakan lambang pria, sebagai lawan dari ganja yang merupakan

lambang wanita. Persatuan antara pria dan wanita (pesi dan ganja) telah melahirkan suatu makhluk yang disebut dengan manusia. Jadi dua jenis manusia itu adalah suatu keniscayaan yang harus ada demi berlangsungnya kehidupan.

15.panetes [pan| t | s] a. Makna leksikal :

Panetes berasal dari kata dasar tetes yang bermakna: (1) kebal; (2) bentuk

krama inggil dari berkhitan; (3) tindik; (4) pas, persis sama; (5) nyata

(Poerwadarminta, 1939 : 604). Awalan pa- biasa membentuk kata benda. Panetes adalah alat yang digunakan untuk membuat lubang. Sedangkan

(80)

xlvii

Panetes merupakan bagian yang tajam pada keris di bagian ujung.

Merupakan wujud dari penyembahan kepada Tuhan Yang Maha Pengasih. Bagian yang tajam berarti ketika menyembah Tuhan, harus dilandasi dengan ketajaman atau kesungguhan. Penyembahan hanya dilkukan kepada Tuhan.

16.godhongan [goDoGan] a. Makna leksikal :

Menurut Poerwadarminta (1939: 158) godhong adalah: (1) bagian dari tumbuh-tumbuhan yang berwujud lembaran hijau dengan pegangan; (2) penutup dari jendela atau pintu; (3) bagian dari sesuatu yang bersifat melebar. Akhiran –an biasanya membentuk makna sesuatu yang bersifat seperti. Maka, godhongan dapat kita maknai sebagai sesuatu yang bersifat seperti daun. Sedangkan makna godhongan yang berkaitan dengan keris adalah bagian warangka yang terlihat melebar dan tipis seperti daun. b.Makna kultural :

Godhongan merupakan suatu perlambang tentang keadaan jiwa manusia

yang merupakan loro-loroning atunggal, antara Gusti dan kawula, sehingga harus merupakan satu abipraya atau satu tekad, kehendak, dan niat (Arifin, 2006: 328).

17.ukiran [ukiran] a. Makna leksikal :

Ukiran berasal dari kata dasar ukir yang bermakna: (1) gunung; (2)

(81)

xlviii

ukiran bermakna sebagai hasil dari barang yang telah diukir. Kaitannya dengan keris ukiran bermakna sebagai bagian dari perabot keris tempat pegangan bilah keris dalam keadaan terhunus dan tempat memasukkan pesi keris.

b. Makna kultural :

Ukiran menandakan bahwa Tuhan adalah Mahaluhur selalu melebihi apa

saja yang diunggulkan. Hal ini tidak boleh dipungkiri. (Lumintu, 2004: benda. Secara tersurat Poerwadarminta telah menyebutkan makna wilahan yang berkaitan dengan keris seperti di atas. Lebih lengkapnya wilahan adalah bagian terbesar dari wujud bilah keris itu sendiri, tempat sebagian besar detail keris berada, terletak di atas ganja.

b. Makna kultural :

Wilahan merupakan lambang penyembahan kepada Tuhan Yang Maha

Gambar

Gambar 1  angkup
Gambar 4 mendhak
Gambar 5 gandar
Gambar 7  bungkul
+7

Referensi

Dokumen terkait

Teknik yang digunakan dalam metode agih pada penelitian ini yaitu teknik dasar atau teknik bagi unsur langsung (teknik BUL), sedangkan dalam metode padan teknik

Data dianalisis dengan metode agih yaitu, teknik Baca Markah (BM) dan teknik Bagi Unsur Langsung (BUL). Hasil penelitian menyatakan adanya wujud keterangan modalitas

Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan teknik Bagi Unsur Langsung (BUL) dan teknik Baca markah. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya 1) bentuk

Teknik analisis data pada penelitian ini menggunakan teknik Bagi Unsur Langsung (BUL) dan teknik Baca Markah. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya 1)

Untuk metode agih teknik dasarnya adalah teknik bagi unsur langsung (BUL), teknik lanjutannya adalah teknik lesap, teknik balik, teknik ubah ujud, dan teknik perluas.. Dalam

Sementara itu, pada metode agih digunakan teknik dasar, yaitu teknik Bagi Unsur Langsung (BUL), teknik lanjutannya adalah teknik Baca Markah (BM) dan teknik

Teknik yang digunakan dalam metode agih pada penelitian ini yaitu teknik dasar atau teknik bagi unsur langsung (teknik BUL), sedangkan dalam metode padan teknik

Metode agih digunakan untuk menganalisis penanda kohesi dengan memakai teknik BUL (Bagi Unsur Langsung) sebagai teknik dasar, dilanjutkan dengan teknik lesap dan ganti.