• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deskripsi Sifat F1 dari Tetua Tidak Ungg

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Deskripsi Sifat F1 dari Tetua Tidak Ungg"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

DESKRIPSI HASIL SELEKSI POPULASI GENERASI PERTAMA (F1) DARI TETUA TIDAK UNGGUL SPECIES IKAN LELE DUMBO

(

Clarias gariepinus

)

Abstract

The research was conducted in order to describe the first generation of superior character generated by a pair of African catfish is not superior. The method used in this study is exploratory descriptive, where the values of the data obtained in the form of concentration and dispersion values were analyzed quantitatively. The results showed that the first generation of the resulting parent is not superior, only 2.67% yield superior individual character as many as 43 tails members of the population while the remaining 97.33% is not superior.

Two characters that became the basis of the production of the African catfish fish wet weight (B) and standard length (PS). Based on the convergence and diversity of population size, the value of B at selected F1 reached 214.76 g + 72.77 (KK = 33.89%). The PS is 25.67 +2.79 cm (KK = 10.86%). There is a relationship between the character BB with PS of correlation values (r) were high, ranging from 0.96 to 0.97 with the regression equation Y=25.26X-433,6.

Parent did not excel generate high levels of deformities (30%), it is still possible optimized through a population genetic approach. High levels of disability that can be used as a unique collection of germplasm in catfish farming business. Development of new strains or varieties that benefit from individuals disabilities to allow for future development.

Key word : african catfish, not superior, character, growth, deformities Abstrak

Penelitian ini dilakukan dalam rangka mendeskripsikan karakter unggul generasi pertama yang dihasilkan oleh sepasang ikan lele dumbo tidak unggul. Metode penelitian yang digunakan adalah deskripstif eksploratif, dimana nilai-nilai data yang diperoleh berupa nilai pemusatan dan penyebaran yang dianalisis secara kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa generasi pertama yang dihasilkan induk tidak unggul, hanya menghasilkan 2,67% individu berkarakter unggul yaitu sebanyak 43 ekor anggota populasi sedangkan sisanya 97,33% tidak unggul.

Dua karakter yang menjadi dasar produksi ikan lele dumbo yaitu bobot basah (BB) dan panjang standard (PS). Berdasarkan ukuran pemusatan dan keragaman populasi, diperoleh nilai BB pada F1 terseleksi mencapai 214,76g+72,77 (KK=33,89%). Karakter PS yaitu 25,67cm+2,79 (KK=10,86%). Terdapat hubungan antara karakter BB dengan PS dari nilai korelasi (r) yang tinggi yaitu berkisar 0,96 hingga 0,97 dengan persamaan regresi Y = 25,26X–433,6.

Induk tidak unggul menghasilkan tingkat cacat tinggi (30%), masih dimungkinkan dioptimalkan melalui pendekatan genetik populasi. Tingkat cacat yang tinggi dapat dijadikan koleksi plasma nutfah yang unik dalam usaha budi daya ikan lele. Pengembangan strain atau varietas baru yang menguntungkan dari individu-individu cacat ke depan memungkinkan untuk dikembangkan.

(2)

PENDAHULUAN

Ikan lele dumbo adalah salah satu komoditas perikanan yang sangat populer (Farikhah, 2013; Mahyudin, 2007). Konsumsi ikan lele sangat cepat peningkatannya di beberapa lokasi terutama di Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta, Sumatera, Kalimantan, dan Bali (Azwar dkk, 2008). Ikan ini juga mendapat tanggapan antusias dari masyarakat pembudi daya karena menunjukkan keragaan pertumbuhan yang cepat (Cholik dkk, 2006). Laju pertumbuhan harian ikan lele dumbo dilaporkan sangat tinggi dimana ikan jantan selalu lebih cepat tumbuh dibanding betina (Skelton, 1993). Cholik dkk (2006) melaporkan laju pertumbuhan harian ikan lele dumbo mencapai

Popularitas ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) ternyata tidak berimbang dengan peningkatan aspek-aspek keberlanjutan usaha budi dayanya. Salah satu diantara aspek tersebut adalah ketersediaan induk unggul. Ketersediaan induk unggul terbatas pada pembudi daya skala besar, atau di Balai-Balai Penelitian. Adapun yang beredar di masyarakat luas adalah induk-induk tidak unggul.

Berbagai permasalahan yang dihadapi para pembudi daya daya ikan lele dumbo di kalangan masyarakat, diyakini salah satunya disebabkan oleh mutu genetik induk-induk yang rendah. Namun selama ini tidak ada penelitian yang secara kuantitatif mendeskripsikan sifat ‘rendah’ dari generasi-generasi yang dihasilkan oleh induk yang tidak bermutu. Di sisi lain, upaya pemuliaan genetik ikan lele selama ini hanya dapat dilakukan oleh kalangan-kalangan terbatas mengingat besarnya biaya yang dibutuhkan dan lamanya waktu yang dibutuhkan hingga berhasil.

Berdasarkan penjabaran di atas, maka deskripsi hasil pemijahan menggunakan induk-induk tidak unggul sangat perlu dilakukan, supaya dapat dilakukan optimalisasi upaya pengembangan.

Penelitian ini dilakukan dalam rangka mendeskripsikan sifat unggul

generasi pertama yang dihasilkan oleh sepasang ikan lele dumbo tidak unggul. Generasi pertama ini akan dapat digunakan sebagai sumber genetik awal untuk mengeksplorasi genetik ikan lele lebih jauh. Deskripsi tersebut diharapkan dapat menjadi landasan dan wacana baru untuk pengembangan induk-induk tidak unggul yang beredar luas di masyarakat, guna meningkatkan nilai ekonomi ikan lele dumbo secara ilmiah.

Hasil penelitian diharapkan dapat bermanfaat baik bagi peneliti, mahasiswa, maupun masyarakat luas. Peneliti akan memperoleh gambaran profil fenotipe ikan lele dumbo dalam satu kerabat (keturunan) dan perilaku genetiknya yang terekspresi pada fenotipe. Gambaran tersebut dapat bermanfaat sebagai bahan ajar, terutama dalam mata kuliah genetika. Hasil penelitian juga diharapkan dapat menemukan beberapa sifat yang berpotensi dikembangkan lebih lanjut, misalnya pengembangan ikan-ikan abnormal untuk meningkatkan laju pertumbuhan atau nilai ekonomisnya.

Bagi mahasiswa, penelitian akan menjadi obyek belajar yang nyata bagaimana sifat ikan diturunkan dari induk ke turunannya, sehingga mereka dapat membayangkan bagaimana upaya pengembangannya kelak. Sementara bagi masyarakat, hasil penelitian diharapkan menjadi referensi yang baik serta media edukasi dalam mengembangkan induk-induk tidak unggul yang mereka miliki.

BAHAN DAN METODE

(3)

pertama (F1) dari sepasang induk ikan lele yang tidak jelas tetuanya.

Peralatan dan Bahan

Peralatan yang dibutuhkan yaitu satu unit bak fiberglass ukuran 200*100*60cm3, satu unit kolam beton ukuran 200*200*120cm3, satu unit akuarium kaca ukuran 60*40*30cm3, kolam beton ukuran 100*60*80cm3, timbangan digital Shimadzu LB2000 series dengan ketelitian 0,1g, jaring ikan, seperangkat peralatan kualitas air, Hi Blow LP150 sebagai sumber oksigen terlarut, mistar besi, dan nampan plastik.

Bahan-bahan yang dibutuhkan meliputi sepasang induk ikan lele berasal dari masyarakat pembudi daya ikan lele dan kekerabatannya tidak terekam dengan bobot sekitar 2kg/ekor, pakan formula 781-2 produksi PT. CPP Surabaya, telur artemia sebagai pakan alami larva ikan lele, kristal garam sebagai bahan pembuat air laut bersalinitas 28ppt.

Prosedur penelitian

Pada tahap persiapan dilakukan pembersihan bak, akuarium, dan kolam menggunakan deterjen dan air bersih. Setelah itu dikeringkan. Jaring, serok, dan peralatan-peralatan pendukung juga dibersihkan dan dikeringkan. Bak fiber diisi air bersih setinggi 30 cm untuk media pemijahan induk ikan lele. Selanjutnya dipasang waring yang direntangkan dalam air, untuk media penempelan telur ikan lele yang telah dilepaskan di perairan. Aerasi kuat dipasang pada dua titik dalam bak fiber. Sepasang induk ikan lele diangkat dari kolam induk, dipilih dari populasi induk jantan dan betina koleksi Laboratorium Akuakultur Universitas Muhammadiyah Gresik. Umur induk berkisar dua tahun. Induk yang dipilih adalah yang matang gonad. Induk tidak cacat, bentuk tubuh sempurna.

Ikan dipijahkan pada sore dengan terlebih dahulu mengguyurnya menggunakan air bersih sebelum dimasukkan ke dalam bak pemijahan.

Bak ditutup menggunakan tripleks atau papan kayu untuk mengurangi cahaya yang masuk dalam bak serta memberi suasana hangat di dalam bak. Pagi harinya pemijahan telah selesai. Induk ikan diangkat dan dikembalikan ke dalam kolam induk, sedangkan telur-telur ikan lele yang telah terbuahi dipindahkan ke dalam kolam beton berukuran 2x2m2 yang telah diisi air bersih setinggi 15cm.

Telur-telur terbuahi menetas pada hari kedua pasca fertilisasi, dan disebut sebagai generasi pertama (F1) dari induk yang terpilih. Selama tiga hari pasca menetas, larva hanya diaerasi sedang, tidak diberi makan tambahan, karena larva masih memiliki yolk.

Tepat hari kelima pasca fertilisasi, dilakukan pemberian pakan alami berupa Artemia sp secukupnya. Pemberian pakan alami berupa Artemia dilanjutkan hingga hari ke-10 pasca fertilisasi. Pada hari ke-11 pakan alami diganti dengan cacing sutra (Tubifex sp) dan cacing darah (Chironomus sp) hingga larva berumur 15 hari. Pada hari ke-16 pasca fertilisasi, dilakukan pengenalan pakan formula (pelet). Pelet yang diberikan adalah 781-2 produksi CPP Surabaya, yang telah diblender halus.

Pada saat larva ikan lele berumur 30 hari dan telah menjadi benih, dilakukan seleksi. Benih yang telah mencapai panjang lebih dari 5 cm dengan bobot minimal 1,2g/ekor diangkat dari kolam pendederan, dipindahkan ke dalam akuarium berukuran 50x30x30 cm3.

(4)

Parameter Pengamatan

Beberapa parameter yang diukur dan dihitung ada enam yaitu ukuran pemusatan sifat kuantitatif populasi F1, laju pertumbuhan harian (%), Average Daily Growth (ADG), laju pertumbuhan spesifik, deskripsi kelamin, dan persentase cacat pada F1.

Ukuran pemusatan dan penyebaran sifat-sifat kuantitatif populasi F1; dihitung dari bobot basah (BB) ikan dan panjang standardnya (PS), kemudian ditentukan ragam populasi, simpangan baku, korelasi antara sifat BB dan PS, serta ditentukan persamaan regresinya. Laju Pertumbuhan harian (%), dihitung dari perbandingan antara selisih bobot akhir (wt) dan bobot awal (w0) dibagi dengan

bobot awalnya, dikalikan 100%. Average Daily Growth (ADG)(%), dihitung dengan membagi selisih bobot akhir (wt) dengan bobot awal (wo) dengan periode pemeliharaan ikan yang diobservasi (hari). Laju pertumbuhan spesifik (specific growth rate) dihitung dari logaritma natural (ln) bobot akhir (wt) dikurangi ln bobot awal (wo) dibagi periode observasi, dikalikan 100%.

Deskripsi karakter lainnya yaitu rasio jantan dan betina; diidentifikasi dari bentuk papilla genitalia. Apabila terdapat tonjolan di atas lubang anus maka tergolong jantan, sebaliknya jika tidak ada tonjolan di atas lubang anus, hanya tampak lubang saja, maka tergolong betina. Persentase cacat pada F1; diidentifikasi dengan mengamati morfologis individu F1 satu per satu. Diobservasi mulai dari cavum oris hingga cauda. Dilihat jumlah dan bentuk barbel, keberadaan organ-organ gerak yaitu sirip pektoral, sirip dorsal, sirip ventral, sirip anal, dan sirip caudal. Di amati bentuk tubuh individu, apakah normal yaitu lurus, seperti ikan lele pda umumnya, apakah ada pembengkokan atau mal formasi pada sepanjang tubuh yang permanen.

Cara menganalisis data

Data dianalisis secara statistik untuk menemukan deskripsi sifat kualitatif dan kuantitatif yaitu berupa ukuran pemusatan dan ukuran penyebaran data. Angka-angka yang diperoleh akan digunakan sebagai pedoman menganalisis populasi F1 lebih lanjut, dengan membandingkannya pada hasil-hasil pemijahan sebelumnya dari berbagai sumber.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil

Terdapat dua parameter yang dianalisis terkait sifat kuantitatif ikan lele yaitu bobot basah ikan dan panjang standard. Kedua sifat tersebut sangat menentukan laju produksi ikan lele dan menjadi tolok ukur waktu panen bagi pembudi daya ikan. Deskripsi benih ikan lele dumbo dengan tetua tidak unggul tertera di Tabel 1.

Tabel 1. Deskripsi hasil pemijahan induk ikan lele tidak unggul

Karakter Nilai Estimasi Bobot pejantan 2000g Bobot induk 2500g Telur yang

dihasilkan

50.000 butir

Hatching rate 30% survival rate

pada umur 30 hari

11%

(5)

Sifat kuantitatif: bobot ikan dan panjang standard

Berdasarkan ukuran pemusatan data, pada populasi F1 terseleksi, diperoleh rerata bobot basah (BB) ikan lele umur 120 hari adalah 214,8g, sedangkan panjang standard (PS) adalah 25,7cm. Adapun kisaran BB terkecil sebesar 70,3g sedangkan bobot terbesar yaitu 382,7g. Panjang standard terkecil yaitu 18,9 cm sedangkan yang terpanjang mencapai 31,9cm.

Tabel 2. Bobot Ikan dan Panjang Standard Ikan Hasil Seleksi dari Generasi Pertama (F1)

Nomor Ikan

BB (g)

PS (cm)

Nomor Ikan BB (g)

PS (cm)

1 275,4 28,4 17 218,6 25,2 2 304,2 28,5 18 196,9 25,5

3 227,9 27,3 19 153,8 23,4 4 289,7 28,5 20 219,6 25,6

5 331,6 29,3 21 218,5 27,2 6 177,2 24,1 22 150,1 23,0

7 130,1 21,8 23 70,3 18,9 8 331,4 30,6 24 222,4 25,4

9 180,7 24,8 25 176,5 24,0 10 382,7 31,9 26 226,0 27,5

11 248,1 27,4 27 140,7 22,9 12 137,9 23,5 28 129,0 22,8

13 269,8 27,0 29 173,7 24,2

14 132,5 22,0 30 141,9 23,7 15 138,3 23,2 31 229,9 26,2

16 306,3 27,4 32 244,0 26,5 33 311,5 29,5 33 311,5 29,5 Rerata (µ) BB= 214,8 g

Rerata (µ) PS= 25,7cm

Ukuran penyebaran populasi dideskripsikan melalui ragam, simpangan baku, dan koefisien keragaman (%). Bobot basah (BB) keragamannya mencapai 5295,97g dengan simpangan baku 72,77g. Panjang Standard (PS) keragaman 7,97cm dengan simpangan baku 2,79cm. Koefisien keragaman (KK) pada sifat BB sebesar 33,89%, sedangkan pada sifat PS sebesar 10,87%. Ditemukan nilai korelasi yang

tinggi antara sifat BB dan PS yang digambarkan dari nilai korelasi (r) berkisar 0,96 hingga 0,97. Artinya, penambahan nilai pada BB, akan meningkatkan nilai sifat PS demikian pula sebaliknya. Jumlah perubahan dalam sifat BB terkait dengan satu unit perubahan dalam PS dihitung melalui nilai regresi. Berdasarkan rumus perhitungan regresi PS terhadap BB diperoleh nilai koefisien regresi pada sebesar 25,26. Artinya setiap penambahan panjang ikan sebesar 1 cm akan diikuti oleh penambahan bobot ikan seberat 25,26g.

Persamaan regresi dihitung berdasarkan rumus Y=Y+byx(X-µ) untuk data di Tabel 1 maka diperoleh persamaan regresi Y=25,26X–433,6 (Gambar 1).

y = 25,262x - 433,79 R² = 0,9391

0,0 50,0 100,0 150,0 200,0 250,0 300,0 350,0 400,0 450,0

0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 y Linear (y)

Gambar 1. Garis regresi populasi F1

Bobot Ikan (weight gain)(%)

0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 700000 800000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 101112131415161718192021222324252627 282930313233 Gambar 2. Variasi Weight gain (%) anggota populasi F1 terseleksi.

(6)

II individu terkecil meningkat bobotnya sebesar 35.300%+33.809% sementara individu yang terbesar bobotnya berlipat hingga 377.300%+33.809%.

Pertumbuhan harian (average daily growth)

Pertumbuhan harian atau umum disebut ADG mendeskripsikan laju pertumbuhan dalam persentase setiap harinya. ADG hanya dihitung berdasarkan penambahan bobot setiap harinya, dan tidak digunakan panjang standard dalam aplikasinya. Nilai ADG pada F1 terseleksi dapat disimpulkan bahwa penambahan bobot harian ikan lele sangat bervariasi, baik dalam satu kelompok maupun antar kelompok. Hasil perhitungan populasi F1 terseleksi diperoleh ADG tertinggi sebesar 318,88% dan terkecil 58,54%.

0,00

50,00

100,00 150,00 200,00 250,00 300,00 350,00

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 ADG

Gambar 3. ADG anggota populasi F1 terseleksi

Laju pertumbuhan spesifik (specific growth rate)

Laju pertumbuhan spesifik F1 terseleksi rerata 6,92%BB/hari. Dalam populasi berkisar antara 6,04%BB/hari hingga 7,45%BB/hari dengan keragaman 0,09.

Rasio kelamin dan tingkat kecacatan

Identifikasi jenis kelamin melalui ciri sekunder ditemukan 16 individu jantan dan 17 individu berjenis kelamin betina, sehingga diperoleh rasio jantan:betina mendekati nilai 1:1. Kelamin jantan dan betina menunjukkan perbedaan dalam ekspresi sifat BB dan PS. Ditemukan bahwa ikan jantan relatif dapat mencapai nilai lebih tinggi

pada kedua sifat tersebut, meskipun belum terbukti secara pasti, karena belum dibandingkan secara statistik.

Identifikasi F1 cacat dilakukan secara morfologis melalui fenotipe yang dimiliki individu tersebut. Ikan-ikan yang tidak berhasil membentuk morfologi yang simetri antara sisi kanan dengan sisi kirinya dianggap sebagai ikan cacat. Dari ciri-ciri fisiknya, diperoleh ikan cacat sebanyak 9 ekor (27,27%). Cacat yang dialami ikan bervariasi, diantaranya kelainan bentuk tubuh, absennya sirip pektoral baik salah satu ataupun sepasang, serta ukuran sirip yang sempit.

jantan

betina

Gambar 4. Jenis kelamin populasi Generasi F1 terseleksi

Tabel 3. Deskripsi cacat pada populasi F1 terseleksi

Berdasarkan Tabel 3 diketahuii bahwa cacat yang dialami oleh generasi pertama (F1) dari sepasang induk tidak unggul hampir seluruh kecacatan berupa No ikan kelamin Deskripsi kecacatan

1 1 betina sirip pektoral kanan absen

2 3 betina sirip pektoral kanan absen

3 6 betina

sirip pektoral kanan absen, sirip pektoral

kiri kerdil

4 15 jantan pektoral kiri dan kanan absen 5 16 jantan pektoral kanan absen 6 17 betina pektoral kanan absen 7 23 betina pektoral kanan absen 8 25 jantan pektoral kiri absen

9 26 jantan

pektoral kiri sempit (hanya tiga jari

(7)

ketidaknormalan alat gerak atau sirip. Dijumpai kondisi sirip kerdil, terlipat, atau bahkan sirip absen. Kecacatan tersebut dialami baik oleh ikan yang berjenis kelamin jantan maupun betina. Tidak ada yang hanya dialami jantan saja ataupun betina saja, sehingga kecacatan tersebut tidak terangkai kelamin.

Pembahasan

Sepasang induk ikan lele tidak unggul mempunyai potensi yang sangat kecil dalam menghasilkan keturunan (F1) yang baik. Dari hasil penelitian diketahui bahwa hatching rate hasil perkawinan pada penelitian ini hanya mencapai 33% dengan survival rate 11%. Nilai tersebut sangat rendah jika dibandingkan dengan hasil pemijahan ikan lele pada induk unggul. Sunarma et al (2004) melaporkan induk ikan lele dumbo seharusnya dapat mencapai derajat penetasan >80%, sementara induk unggul seperti lele sangkuriang mencapai HR >90%. Survival rate yang diperoleh juga kecil, yaitu hanya 11%.

Rendahnya HR dan SR dalam penelitian ini adalah indikasi telah terjadi inbreeding pada induk. Inbreeding, sebagai fenomena meningkatnya homozigositas individu adalah konsekuensi dari yang sekerabat yaitu berasal dari jantan dan betina yang sama.

Seleksi pada larva berumur 30 hari menemukan fakta bahwa hanya 2.62% yang mampu tumbuh pesat dan berpotensi mencapai ukuran konsumsi pada umur 75 hari. sedangkan 97,38% pertumbuhannya tergolong lambat. Jadi mayoritas dari keturunan induk tidak unggul laju pertumbuhannya lambat. Apabila dijadikan benih untuk usaha pembesaran maka dibutuhkan waktu lebih dari 4 bulan untuk mencapai ukuran konsumsi.

Keragaman individu generasi F1 Sifat kuantitatif yang sangat penting dan bernilai komersial menurut para ahli genetika adalah bobot tubuh (Warwick et al, 1990; Lutz, 2001;

Gjedrem et al, 2007). Bobot tubuh merupakan hasil kerja dari gen-gen yang mengatur individu, sebagaimana sifat-sifat tampak lainnya seperti berat karkas pada sapi, warna kulit, atau warna sisik, bentuk tubuh, bentuk sirip, dan sifat-sifat lainnya (fenotipe) pada ikan. Bobot tubuh adalah fenotipe yang dapat dilihat dan diamati, sebagai hasil kerja dari genotype yang tidak dapat diindera secara kasat mata oleh manusia.

Hal tersebut juga berlaku bagi ikan lele dumbo. Dari sudut pandang pembudi daya, benih ikan lele dumbo favorit mereka adalah benih-benih yang pertumbuhannya paling cepat. Dari sisi konsumen, maka konsumen ikan lele saat ini sangat peka dengan ukuran ikan lele. Konsumen menginginkan ukuran yang sangat spesifik dan satu syarat penting yang harus dipenuhi yaitu ukurannya seragam. Konsumen tidak menginginkan ikan yang ukurannya tidak seragam (uniform), dimana ikan berukuran besar dijual bersamaan ikan kecil. Dengan demikian alangkah pentingnya dipelajari sifat tersebut agar dapat meningkatkan preferensi masarakat terhadap ikan lele.

Mempelajari bobot ikan lele merupakan hal yang sulit karena sebagai sifat kuantitatif, sifat tersebut dikendalikan oleh beberapa pasangan gen. Gen-gen tersebut ekspresinya juga dipengaruhi lingkungan sehingga sulit dipelajari menggunakan teori genetika konvensional. Ikan yang seragam berarti ikan yang identik bobotnya dan sama umurnya. Ikan yang dapat mencapai bobot sama dalam umur yang sama berarti mereka memiliki genotype identik untuk sifat pertumbuhannya (Warwick et al., 1990).

(8)

antara lain efek maternal, prosedur pemberian pakan (Mambrini et al., 2004), densitas ikan, temperatur, hirarki social, Kanibalisme, laju metabolic standard, pemanfaatan oksigen, aktivitas renang, perilaku, respons stress, dan jender.

Dari sekian faktor penyebab keragaman individu, nampaknya sangat sulit untuk dikendalikan semuanya. Meskipun keragaman individu merugikan, namun tidak berarti harus dienyahkan secara tuntas. Hal penting yang harus dipenuhi adalah mengeliminir keragaman sehingga dapat diperoleh generasi yang mendekati ideal, seperti harapan masyarakat.

Penelitian ini menemukan bahwa benih ikan lele yang berasal dari induk sama, hasil fertilisasi ovum oleh sperma pada waktu yang sama, dan mendapat perlakuan sama, tidak dapat berlaku sama dalam hal tumbuh atau menambah bobot tubuh. Sejak masa penetasan (hatched) diamati bahwa seluruh telur terfertilisasi tidak menetas serempak, namun pada kurun waktu yang normal yaitu sekitar 36 jam hingga 48 jam pasca fertilisasi, semua embrio telah menetas. Hal ini selaras dengan laporan FAO (1990), embrio ikan lele dumbo akan menetas pada saat 36 hingga 48 jam pasca fertilisasi. Ada individu F1 yang telah menetas pada jam ke-6 ada pula yang lebih dari itu.

Pertumbuhan ikan lele, dalam hal ini indikatornya dua sifat yaitu bobot badan (BB) dan panjang standard (PS). Keduanya dipantau sejak menetas hingga benih ikan lele dumbo berumur 30 hari. Berdasarkan pengamatan visual, benih-benih F1 tersebut tumbuh tidak serempak. Ada yang telah mencapai PS 7 cm, namun ada pula yang sangat kerdil, panjangnya kurang dari 1 cm. Terdapat 43 individu yang pertumbuhannya sangat cepat, yaitu lebih dari 3,8%BB/hari.

Populasi dari induk tidak unggul yaitu objek penelitian, menunjukkan bahwa generasi yang dihasilkan mengikuti tren populasi yang tidak normal, bergeser dari ciri-ciri populasi pada umumnya. Ukuran kerdil mendominasi dan ukuran sedang sangat

sedikit, sementara ukuran besar kosong. Ukuran sangat besar juga ditemukan meski dalam jumlah sangat sedikit pula. Persentase Koefisien Keragaman (C.V) pada bobot basah (BB) F1 termasuk tinggi yaitu 33,98%. Nilai tersebut jauh lebih tinggi daripada hasil penelitian Ewa-Oboho and Enyenihi (1999) pada African catfish diperoleh 9,0-25,5%. Gjedrem (1997) menyebutkan bahwa koefisien keragaman pada species ikan berkisar 20-35% sedangkan pada binatang darat lebih kecil yakni 7-10%.

Penyebab ketidaknormalan populasi F1 berkaitan erat dengan kualitas induk. Dalam penelitian ini induk yang digunakan adalah induk tidak unggul, yang kemungkinan besar merupakan hasil dari perkawinan sedarah (inbreeding) atau hasil perkawinan yang tidak terprogram. Apabila masyarakat menggunakan induk-induk dengan kualitas seperti itu, maka dapat diprediksi benih-benih yang dihasilkan mayoritas laju pertumbuhannya rendah. Distribusi populasi yang tidak normal sangat tidak menguntungkan bagi masyarakat, terutama para pembenih ikan lele dumbo. Mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk menghasilkan benih ikan lele siap jual, yaitu berukuran sekitar 5 cm. Disamping itu, mereka juga akan mendapati variasi pertumbuhan dalam satu generasi, yang sangat besar.

Ada sebagian kecil benih yang tumbuh pesat, namun mayoritas benih tumbuh sangat lambat atau kerdil. Adanya variasi yang besar antar individu anggota populasi pada ikan lele dumbo akan menjadi penyebab terjadinya predasi atau pemangsaan (Baras and Fortune d’Almaida, 2001; Baras and Jobling, 2002). Ikan-ikan yang tumbuh cepat akan memangsa ikan-ikan kerdil. Akibatnya persentase kelulushidupan larva menjadi rendah.

(9)

Grading, memberi kesempatan ikan kerdil dapat tumbuh tanpa tekanan ikan yang lebih besar (Jobling, 1985, 1997; Knight, 1987). Dalam penelitian ini seleksi dilakukan pada saat benih berumur 30 hari, dimana ikan yang tumbuh pesat disendirikan dari ikan yang tumbuh lambat.

Pasca dilakukan seleksi, populasi F1 dipelihara kembali hingga mencapai ukuran konsumsi yaitu umur 120 hari. Warwick et al (1990) menyelidiki populasi sapi dimana berat dari setiap anggota populasi tersebut idealnya mengikuti sebaran normal, yakni grafik populasi mirip bentuk lonceng. Dalam sebaran normal maka nilai-nilai terkumpul di sekitar nilai tengah, makin menipis secara simetris menuju kedua ujungnya. Artinya dalam populasi tersebut ada sekian persen yang kerdil, ada yang berukuran sedang, dan ada pula yang berukuran besar hingga sangat besar.

Sifat kuantitatif: bobot basah (BB) dan panjang standard (PS)

Dua sifat penting bagi produktivitas ikan lele dumbo, yaitu bobot basah (BB) dan panjang standard (PS) dari generasi pertama (F1) yang terseleksi dari induk ikan lele dumbo koleksi Laboratorium Akuakultur menunjukkan hasil yang bervariasi. Nilai tersebut adalah konsekuensi dari laju pertumbuhan F1 yang juga sangat bervariasi. Dari hasil perhitungan bobot ikan (weight gain), pada penelitian ini perolehan bobot ikan (weight gain) terkecil adalah 35.300%+33.809% dan terbesar mencapai 765.300%+655,31%. Verreth et al (2005) memperoleh nilai sebesar 145,38% hingga 272,17%. Namun SEAFDEC/AQD (1994) melaporkan capaian bobot ikan lele dumbo mencapai 900%. Dari temuan peneliti lain, maka capaian bobot ikan dari F1 dalam penelitian ini tergolong rendah.

Pertumbuhan harian atau ADG F1 yang dihasilkan dari penelitian juga tergolong sangat rendah dengan nilai berkisar 14,71%BB/hari hingga 318,88%BB/hari. Laporan Martins

(2005) ikan lele dumbo dapat mencapai ADG 963,26%BB/hari. Nilai yang sangat jauh lebih tinggi dari capaian penelitian. Rendahnya ADG selain disebabkan mutu genetik induk, juga dapat disebabkan karena teknis pemeliharaan selama penelitian yang belum sepenuhnya optimal. Adapun SGR menunjukkan penambahan massa sel per unit waktu. Nilai SGR tertinggi mencapai 7%/hari. Tidak terdapat perbedaan besar antara ikan terkecil dengan yang tebesar, dalam hal SGR.

Martins et al (2005) memaparkan, bahwa individu yang laju pertumbuhannya cepat disebabkan karena cepatnya mereka merespons pakan yang diberikan. Individu-individu seperti itu biasanya cepat besar, melebihi ukuran teman-temannya. Diperkirakan laju penyantapan pakan dipengaruhi oleh faktor genetik. Sebagai suatu sifat yang dikendalikan genetik, maka diperoleh peluang untuk mengelksplorasi sifat kerakusan atau laju menyantap makanan dengan keterkaitan karakter fisik (fenotipe) lainnya pada ikan lele.

Kembali kepada prinsip bahwa dalam kondisi umum, individu mempunyai pasangan gen yang lengkap dalam kromosomnya. Gen-gen tersebut adalah warisan dari tetuanya, dimana induk betina akan menyumbangkan setengah dari total gennya demikian pula pejantan juga memberikan setengah dari total gen miliknya. Jadi individu secara lengkap akan memiliki gen identik dengan tetuanya yang sama-sama species ikan lele dumbo. Hanya saja, dalam perjalanan hidup individu, ekspresi gen-gen dipengaruhi banyak hal, termasuk kerja sama antar gen dan kondisi lingkungan.

(10)

berenang dan bukaan mulut ikan. Dengan karakter sirip yang kuat, ikan bisa cepat beranang merebut pakan, sedangkan dengan bukaan mulut yang lebar, individu bisa menelan pakan dalam jumlah banyak dalam satu waktu. Hasil observasi selama penelitian, diketahui bahwa lebar cavum individu beragam juga. Ada yang lebar, ada yang sempit, dan ada pula yang sangat lebar. Adapun fenotipe lain yaitu lebar rahang, dan karakter sirip gerak, belum diobservasi lebih lanjut.

Fenomena kerdil yang dijumpai dalam generasi pertama dari induk tidak unggul adalah individu kerdil. Mengingat jumlahnya yang banyak, mencapai 90% populasi, maka diperlukan pendalaman pemahaman agar dapat ditemukan jalan keluar mengatasi kekerdilan tersebut.

Seleksi dapat menurunkan heterogenitas populasi. Laju menyantap makanan juga cepat. Hasilnya, laju pertumbuhannya cepat, baik dari indicator perolehan bobot ikan, ADG, dan PS individu. Hasilnya, populasi dapat mencapai harapan, pada saat masuk umur 90 hari. Populasi dapat memenuhi harapan para pembudi daya ikan lele dumbo, yaitu individu mencapai ukuran minimal 100g/ekor.

Meski seleksi dapat menciptakan homogenitas dalam populasi, akan tetapi seleksi tidak dapat mengatasi problem kerdil atau lambatnya laju pertumbuhan ikan lele. Ikan lele akan tetap lambat pertumbuhannya meskipun dalam kondisi ketiadaan ikan-ikan yang besar dalam satu generasi dan dalam satu bak kultur. Dengan demikian, sangat dibutuhkan pengkajian yang lebih mendalam untuk mengeksplorasi genotype ikan terkait sifat BB dan PS melalui eksplorasi karakter tampak atau fenotipenya.

Fenotipe lainnya pada F1

Jenis kelamin pada F1 ditemukan bahwa perbandingan antara jantan dan betina adalah 1:1. Kondisi tersebut sangat sesuai dengan teori yang ada, dimana kemunculan individu jantan dan betina, secara teoritis adalah

50%. Jenis kelamin belum menjadi preferensi masyarakat pada komoditas ikan lele dumbo, sehingga baik betina maupun jantan masih diterima secara baik oleh masyarakat.

Hasil analisis sifat BB dan PS berdasarkan kelaminnya, ditemukan bahwa individu berkelamin jantan lebih tinggi di kedua sifat tersebut. Hal ini yang menyebabkan beberapa penelitian yang lalu, mengupayakan maskulinasi pada ikan lele. Rustidja (1998) melaporkan maskulinasi dengan hormon metiltestosterone berhasil menjantankan turunan pada ikan lele lokal (Clarias bathracus), jadi tidak menutup kemungkinan berhasil pula jika dilakukan pada ikan lele dumbo (C. gariepinus). Namun saat ini penggunaan hormon penjantanan, yaitu metiltestosterone sangat dibatasi bahkan dilarang karena dimungkinkan terjadi deposisi hormon di dalam jaringan ikan, yang berdampak pada konsumen akhirnya.

Beberapa kelompok konsumen menyukai ikan lele dumbo yang sedang bertelur. Untuk pasar, maka ke depan bisa diupayakan pencarian induk yang memiliki keunggulan dapat menghasilkan generasi dominansi berjenis kelamin betina. Dapat pula dilakukan eksplorasi potensi fenotipe kematangan gonad pertama kali pada ikan lele dumbo, untuk mengoptimalkan potensi ikan lele dumbo ke depan.

(11)

pengembangan budi daya ikan lele dumbo demi memuaskan selera konsumen.

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan

Generasi pertama (F1) unggul dari tetua ikan lele dumbo tidak unggul hanya diperoleh sebanyak 2,67% sedangkan sisanya 97,33% termasuk kerdil dan atau tidak unggul dari karakter produksinya. Dua sifat yang menjadi dasar produksi ikan lele dumbo yaitu bobot basah (BB) dan panjang standard (PS). Berdasarkan ukuran pemusatan dan keragaman populasi, diperoleh nilai BB pada F1 terseleksi mencapai 214,76g+72,77 (KK=33,89%). Sifat PS yaitu 25,67cm+2,79 (KK=10,86%).

Terdapat hubungan antara sifat BB dengan PS dari nilai korelasi (r) yang tinggi yaitu berkisar 0,96 hingga 0,97. Artinya, penambahan nilai pada BB, akan meningkatkan nilai sifat PS demikian pula sebaliknya. Adapun persamaan regresinya yaitu Y = 25,26X –433,6.

Penyebab keragaman individu yang ditemukan pada F1 disimpulkan akibat faktor genetik, dimana kedua sifat yang diteliti yaitu BB dan PS tidak terangkai dengan kromosom sex. Sifat-sifat yang muncul, meski terlihat kurang menguntungkan, dimana laju pertumbuhan rendah, keragaman tinggi, tingkat cacat tinggi (30%), masih dimungkinkan dioptimalkan melalui pendekatan genetik populasi.

Tingkat cacat yang tinggi dapat dijadikan koleksi plasma nutfah yang unik dalam usaha budi daya ikan lele. Pengembangan strain atau varietas baru yang menguntungkan dari individu-individu cacat ke depan memungkinkan untuk dikembangkan.

Saran

Disarankan untuk membuat perkawinan serupa dengan kualitas tetua yang identik untuk melihat konsistensi dari hasil deskripsi sifat-sifat kuantitatif yang telah ditemukan pada penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Cholik, F., AG. Jagatraya, RP. Poernomo, dan A. Fauzi. 2006. Akuakultur Tumpuan Harapan Masa Depan. Masyarakat Perikanan Nusantara-Taman Minii Indonesia Indah. Jakarta Gjedrem, T and M. Baranski,2005.

Selective Breeding in Aquaculture: An Introduction. Springer. United States of America.

Lutz, CG.2001. Practical Genetics for Aquaculture. Fishing new books. United States of America.

Martins, CIM. 2005. Individual variation in growth of African Catfish: a search for explanatory factors. PhD Thesis. Wageningen Institues of Animal Sciences. Netherlands

SEAFDEC/AQD. 1994. R & D for Sustainable Aquaculture. 1992/1994 Report.

Sunarma,A. 2004. Peningkatan Produktifitas Usaha Ikan Lele Sangkuriang (Clarias sp). Makalah Disampaikan Pada Temu Unit Pelaksanaan Teknis (UPT) dan Temu Usaha Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan, Bandung 04-07 Oktober 2004. Bandung.

Gambar

Gambar 1. Garis regresi  populasi F1
Gambar 4.  Jenis kelamin populasi

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu cara mengenalkan seni rupa ke masyarakat yang lebih luas juga kita lakukan, misalnya ada anggota Komunitas Belanak yang jadi guru, jika ada pameran di Belanak, mereka

Hasil penelitian pada areal tambak tradisional dan modem di Panarukan, Situbondo sama- sama ditemukan 12 marga fitoplankton, yaitu Asterionel/a, Microcystis,

membujur pegunungan Meratus Utara dari barat ke timur yang juga menjadi.. batas wilayah Provinsi

The research aimed to describe politeness strategy of Request are employed by the characters in the film entitled “You’ve got mail” and describe the factors influence

Ini sangkaan yang tidak benar (Blanchard dan Thacker:2004). Jika rasio kurang dari 100 persen, dari biaya program lebih dari itu kembali ke organisasi. Program-program tersebut perlu

Hasil dari kombinasi metode tersebut menunjukkan performa yang lebih baik daripada menggunakan kombinasi algoritma C4.5 dan PCA, serta algoritma C4.5 saja untuk kasus

Besar kecilnya daya output yang dihasilkan oleh kincir dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya: jenis dan bahan blade yang digunakan, tipe airfoil,

Bagaimana faktor-faktor eksternal dan internal yang menjadi peluang, ancaman, kekuatan dan kelemahan budidaya rumput laut di Kecamatan Saronggi Kabupaten Sumenep