• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pasang Surut Suara Perempuan Dalam Ilmu

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pasang Surut Suara Perempuan Dalam Ilmu"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Pasang Surut Perspektif Perempuan dalam Pendidikan Ilmu Hukum

Oleh: Rian Adhivira1

Apakah pentingnya membicarakan perspektif perempuan dalam hukum? Bukankah ratapan perempuan telah terwadahi dalam segenap asas, doktrin, maupun peraturan yang dibuat secara demokratis dan fair? Dan karena telah dibuat dengan prosedur oleh otoritas yang berwenang, bukankah ia dengan sendirinya menjamin apa yang disebut sebagai yang-adil itu? Pertanyaan tersebut agaknya hanya bisa dijawab dengan mengajukan pertanyaan balik; apakah jenis kelamin hukum? Apakah pembuatan peraturan, asas, doktrin, dan bahkan hukum secara historis itu sendiri memiliki keberpihakan pada jenis kelamin tertentu? Apabila peraturan dibuat dalam dominasi satu seks tertentu saja, bagaimana ia bisa menjamin keadilan bagi seks yang lain? Dari pertanyaan balik tersebutlah, barangkali, pembicaraan mengenai perspektif perempuan dalam studi ilmu hukum dapat dimulai.

Studi permasalahan perempuan dalam hukum, memiliki imbas yang serius. Pertama; ia merombak cara berpikir mengenai apa itu manusia dalam hukum, dengan kata lain, mempertanyakan status antropo-filosofis dalam kajian ilmu hukum.2Kedua; studi feminis dalam

ilmu hukum berdiri diantara dua kaki, yaitu deskriptif dan preskriptif.3 Dari poin tersebut,

1

Pembant u dan penggembira di Sat jipt o Rahardjo Inst it ut e. Tulisan ini t idak bisa dibuat t anpa bant uan dari Unu Herlambang dan Hasan Tuban, juga t ak lupa Bella Perdana yang t elah merelakan malam-malam minggunya unt uk penulisanya. Tulisan ini adalah naskah dalam Pendidikan Tinggi Hukum garapan Sat jipt o Rahardjo Inst it ut e. Dipresent asikan demi Gema Keadilan Pada Kamis, 18 Juni 2015. Krit ik dapat langsung dit ujukan ke

rianadhivira@gmail.com

2

M isalnya, dalam masyarakat yunani kuno, selain kedew asaan dan w arga asli, ident it as seksual menent ukan bagaimana derajad kew arganegaraan dalam polis. Hanya laki-laki dew asa semat a yang dapat beradu argumen dalam agora, ruang pert emuan unt uk menent ukan kebijakan publik dalam polis. Hal ini yang memisahkan, meminjam Arendt , manusia publik dan privat . Bagi Arendt , Vit a Act iva, at au hidup yang dihidupi hanya dapat dicapai melalui laku publik. Lihat Hannah Arendt . The Human Condit ion (Chicago & London: The Universit y of Chicago Press, 1998) hlm 7. Hal kurang lebih serupa dapat dit emukan dalam konsep negara demokrasi modern hingga hari ini, misalnya bagaimana hukum t ert ulis mew adahi kepent ingan perempuan. Dari sini sesungguhnya t erlihat t irani minorit as dimana secara populasi laki-laki-laki lebih sedikit daripada perempuan namun secara polit is memiliki kekuat an yang jauh lebih kuat . St udi gender dalam hukum dengan demikian menolak argumen yang berangkat dengan menyat akan bahw a hukum adalah net ral adanya. Kecurigaan t erhadap net ralit as ini, jug t erhadap klaim at as universalit as t ampak adalah poin krusial dalam st udi hukum feminis. Lihat dalam Cat herine M ackinnon. Feminism, M arxism, M et hod and t he St at e : Tow ard Feminist Jurispridence dalam Kelly D Weisber g (ed). Feminist Legal Theory Foundat ion. (Philadelphia: Temple Universit y Press, 1995). Hlm 435

3

(2)

memberi sumbangsih pula pada poin ketiga, bahwa studi feminis dalam ilmu hukum memiliki pendekatan metodologi yang khas.4Tentu, menyebut sumbangsih feminisme dalam studi hukum dalam ketiga poin itu sendiri saja sudah merupakan reduksi mengingat semakin berkembangnya pemikiran feminisme itu sendiri. Setidak-tidaknya, ketiga poin tersebut adalah titik berangkat paling minimal. Hanya saja, penjelasan mengenai bagaimana studi perempuan dalam ilmu hukum dapat dilakukan apabila terlebih dahulu memahami bagaimana pasang-surut dari perdebatan mengenai “permasalahan perempuan”5itu sendiri. Dengan demikian, menceritakan mengenai bagaimana konteks situasi dari perdebatan itu sendiri menjadi perihal yang tak kalah penting dari studi hukum feminis itu sendiri

Namun, masuknya apa yang disebut sebagai “perspektif perempuan” itu memang terlambat adanya. Harvard Law School misalnya, baru mulai menerima murid perempuan pada tahun 1950,6tiga dekade setelah pengakuan hak politik perempuan ditahun 1920 lewat amandemen kesembilan belas Konstitusi Amerika Serikat.7 Dan bahkan meski relatif mengalami banyak kemajuan, partisipasi perempuan di pendidikan hukum Amerika sendiri masih menemukan masalahnya hingga saat ini.8 Meski masih perlu waktu untuk sampai pada studi hukum, perkembangan studi perempuan pada tahun-tahun 1970an hingga 1980an tersebut oleh Claire Dalton disebutnya sebagai “Feminist Enlightment”.9 Terobosan penting yang harus dicatat jurisprudence, and t o approach t he law as a form of praxis, for only t hen can w e unveil it s part icular, and t o approach t he law as a form of praxis, for only t hen can w e unveil it s part icular funct ion in t he process of reproducing t he exploit at ive sexual and economic class st ruct ure of capt alist societ y” dalam M argot St ubbs. Feminist and Legal Posit ivism dalam Kelly Weisberg. Feminist Legal Theory Foundat ions. (Philadelphia: Temple Universit y Press, 1993) hlm 473 uraian t ersebut set idaknya menunjukkan bagaimana saling berkait nya sat u t opik aspek sosial kehidupan dalam masyarakat saling m empengaruhi sat u sama lain.

4

Sebagaimana diuraikan dalam poin sebelumnya, karena berangkat dari t ilikan krit is mengenai posisi perempuan dalam realit as sosial, st udi gender dalam ilmu hukum memiliki kekhasan met ode t ersendiri. M et ode ini t urut berkembang sesuai dengan perdebat an ant ar feminis it u sendiri. Ragam m et ode t ersebut akan dibahas t ersendiri.

5

Permasalahan perempuan maupun st udi hukum perempuan adalah ist ilah yang saya saling pert ukarkan baik dengan permasalahan feminis, st udi hukum feminis, maupun t eori hukum feminis.

6

Bahkan, lima belas t ahun sesudahnya, pada t ahun 1965, jumpah mahasisw a perempuan masih sangat sedikit . Lihat t est imoni M ary J. M ullarkey. Tw o Harvard Women 1965 t o Today. (Harvard Women’s Law Journal, Vol 27, 2004) hlm 369

7

Sebelumnya, hak kesamaan dimuka hukum t ercant um dalam amandemen ke-empat belas. Pada amandemen ke sembilan belas, meski sempat menimbulkan masalah, beberapa pihak mengat akan bahw a amandemen t ersebut inkonst it usional dan bahkan beberapa negara bagian masih mempert ahankan segregasi seksual mengenai hak polit ik perempuan. Suprem e Court melalui put usan Leser v. Garnet t pada akhir nya memut uskan bahw a amandemen t ersebut t idaklah inkonst it usional.

8

Sari Bashi & M aryana Iskander. Why Legal Educat ion is Failing Women. (Yale Journal of Law and Feminism, 2006) st udi ini menunjukkan bagaimana part isipasi, kualit as, maupun sikap para pengajar pada mahasisw a perempuan di Yale Law School, salah sat u sekolah hukum paling bergengsi di Amerika dengan met ode observasi, survei, dan w aw ancara. St udi ini cukup pent ing karena t ernyat a, bahkan di Amerika sendiri hakim federal, senat yang kebanyakan berasal dari lulusan berbagai law school masih didominasi oleh laki-laki. Dari sini secara umum t erlihat bahw a “ budaya organisasi” t urut menent ukan bagaimana pengajaran dalam inst it usi pendidikan t inggi t urut mempengaruhi part isipasi perempuan dalam kegiat an belajar-mengajar.

9

(3)

adalah pendirian Women and the Law Program di American University, Washington College of

Law pada tahun 198410yang tidak hanya didirikan oleh para aktivis perempuan, namun juga dengan mempertimbangkan kurikulum, struktur organisasi, dan lain sebagainya, termasuk mengadakan workshop tentang kurikulum pendidikan hukum perempuan.11

Namun apabila apa yang disebut sebagai teori hukum feminis tersebut memang benar adanya, lalu bagaimanakah teori tersebut memandang relasi antar seks dihadapan hukum? Bisakah hukum yang berlaku universal tersebut melihat perbedaan antar seks? Pertanyaan-pertanyaan tersebut adalah pertanyaan yang penting dalam perkembangan teori hukum feminis yang kemudian tersohor dengan dua pendekatan yang berbeda ; sameness vs. difference, pertanyaanya maka, apakah yang disebut sebagai adil itu adalah setara atau sama.12 Melihat bagaimana dominasi maskulin bekerja secara utuh meliputi aturan publik hingga tata-norma dan etika, studi feminisme mengaburkan batas antara publik dan privat, bahwa yang personal adalah sekaligus politis [personal is political].13 Hal lain yang tak kalah penting adalah, permasalahan sejauh manakah kata “perempuan” itu sendiri dapat digeneralisasi. Dua perempuan yang tinggal dengan dua modus produksi yang berbeda tentu tidak dapat dipersamakan satu sama lain. Dengan demikian, maka sejauh mana kategori perempuan tersebut dapat diuniversalkan.14

Maka, karena kekhasanya tersebutlah studi feminsme dalam hukum memerlukan pendekatan yang berbeda. Pertama, melihat bagaimana cara kerja hukum terhadap perempuan tentu tidak bisa melihat semata pada satu bidang kajian saja, melainkan juga saling berkaitan dengan bidang kajian yang berbeda atau dengan kata lain, memerlukan pendekatan interdisipliner. Kedua, pendekatan tersebut berpusat pada pada perempuan, karena itu, metode seperti asking women

apabila hanya laki-laki semat a yang menafsirkan at uran hukum dari t uhan t ersebut . Lihat dalam Clare Dalt on. Where w e St and: Observat ions on t he Sit uat ion of Feminist Legal Thought dalam Frances E. Olsen. Feminist Legal Theory, Foundat ion and Out looks (New York:New York Universit y Press, 1995) hlm 1, 8. Tulisan ini sesungguhnya keluar pada t ahun 1988, sesuai dengan kont eks pada masa it u dimana Teori Hukum Feminis t engah berusaha menemukan bent uknya.

10

Ann Shalleck. The Fem inist Academic’s Challenge t o Legal Educat ion: Creat ing Sit es For Change (Journal of Law & Policy. Vol.20. Issue.2 2012) hlm 375

11

Ibid hlm 376 selain semakin banyaknya pemikiran maupun seminar, hal pent ing lainya yang muncul diseput aran t ahun-t ahun ini adalah dit erbit kanya Feminist Legal M anifest o pada t ahun 1992, dari M arry Joe Frug, beberaw a w akt u set elah kemat ianya. M anifest o yang belum sempat selesai karena kemat ianya Frug yang mendadak ini berisi pernyat aan mengenai aplikasi filsafat posmodern dalam hukum dan “ t ubuh” perempuan. Lihat M arry Joe Frug. A Post modern Legal M anifest o (An Unfinished Draft) dalam Frances E. Olsen (ed). Feminist Legal Theory I, Foundat ion and Out looks (New York: New York Universit y Pr ess, 1995) hlm 491

12

Jenny M organ. Feminist Legal Theory as Legal Theory dalam Frances E. Olsen. Feminist Legal Theory I, Foundat ion and out looks (New York: New York Universit y Press, 1995) hlm 34 disini, peran int erdisipliner sangat t erasa, t ulisan seorang psikolog perkembangan Carol Gilligan mengenai The Et hic of Care misalnya, menjadi bahan perdebat an mengenai bagaimana hubungan yang set ara ant ara laki-laki dan perempuan.

13

Ibid hlm 41

14

(4)

question, think like feminist dan raising consciousness dan lain sebagainya berpusat pada

perempuan.15 Di Indonesia sendiri, para pegiat teori hukum feminis menghadapi dua hal sekaligus; memperjuangkan metode sosio-legal sebagai bagian dari metode penelitian hukum dan kampanye perlunya perspektif perempuan dalam hukum.

Pasang : Merayakan Perdebatan

Sekarang kembali ke Indonesia, studi relasi gender dalam ilmu hukum tidak bisa dilepaskan dari perkembangan gerakan perempuan di Indonesia pada umumnya. Apabila diurutkan berdasarkan rentang sejarah, masuknya pendidikan hukum dan permasalahan perempuan sebagai satu mata kuliah khusus dan bergerak menjadi kekuatan politis agaknya masih dapat dikatakan memiliki patahan yang cukup panjang. Barangkali “putus”-nya rantai sejarah tersebut dapat dikaitkan pula dengan nyaris redupnya perdebatan feminisme dibawah pemerintahan rezim Orde Baru. Setelah politiknya, secara tiba-tiba seluruh perdebatan tersebut seperti hilang disapu beliung. Penyebabnya jelas saja, bahwa Pasca 1965, setiap perempuan yang melawan akan segera dikenakan tuduhan sebagai antek Gerwani, underbouw PKI.16

Padahal, peranan apa yang disebut sebagai “gerakan perempuan” ini tidak sedikit mewarnai sejarah nasional.17Congress Perempoean Indonesia pada 22-25 desember 1928 –yang kemudian

diadopsi sebagai hari ibu- di Djojodipoeran Mataram misalnya, diadakan dalam jarak waktu yang tidak berapa lama setelah Sumpah Pemuda. Meski awalnya sempat diragukan, namun ternyata kongres tersebut membahas banyak hal penting, bahkan teramat penting. Banyak hal yang dibicarakan pada kala itu masih layak diperdebatkan hingga hari ini. Meski masih bersifat sangat terbatas, yaitu diikuti oleh pribumi jawa semata, namun sebagaimana dikatakan Blackburn, kongres tersebut membawa angin segar untuk satu hal; bahwa setiap perwakilan yang datang mengatasnamakan dirinya sebagai wanita Indonesia.18Meski kebanyakan berkutat pada

15

Niken Savit ri. Feminsit Legal Theory Dalam Teori Hukum dalam Sulist yow at i Iriant o & Donny Danardono (ed). Perempuan & Hukum, M enuju Hukum yang Berperspekt if Keset araan dan Keadilan.(Jakart a: YOI & Convent ion Wat ch UI. 2006) hlm 46-51

16

Lihat dalam Saskia Eleonora Weiringa. Penghancuran Gerakan Perempuan, Polit ik Seksual di Indonesia Pascakejat uhan PKI (Yogyakart a; Galangpress, 2010)

17

Dalam bent uknya yang paling aw al, t ent u nama-nama sepert i Kart ini yang mengorganisir pendidikan dasar dan ket erampilan sederhana di rumahnya besert a w arisan surat -surat nya adalah sumbangan yang berharga. Juga Tirt o Adi Soerjo yang mengadakan pendidikan perempuan melalui penerbit an surat kabar miliknya sebelum pada akhirnya menerbit kan koran khusus perempuan adalah t onggak berharga bagi perkembangan gerakan perempuan. Namun organisasi perempuan pert ama baru pada t ahun 1912 yait u Put ri M ardika dan disusul berbagai organisasi lain yang kebanyakan merupakan sayap dari organisasi induk.

18

(5)

persoalan sosial perempuan dalam rumah tangga, namun sudah terdengar pula suara tentang perempuan sebagai bagian dari satu kesatuan nasional. Pidato Siti Soendari yang berjudul Kewadjiban dan Tjita-Tjita Poeteri Indonesia, Tien Sastrowirjo dengan judul Bagaimanakah Djalan Kaoem Perempoean Waktoe ini dan Bagaimanakah Kelak, Persaotean Manoesia dari Siti Hajimah menunjukkan corak tersebut.19 Kongres ini juga mulai melihat kondisi perempuan eropa, sebagaimana disampaikan oleh Njonjah Ali Sostroamidjojo,20yang meski masih sangat terbatas, namun tilikan tersebut menunjukkan kondisi kesadaran kondisi perempuan sebagai minoritas ganda (double minority). Dan meski berkaca dari barat serta mengakui keunggulan perempuan barat, Njonjah Ali Sostroamidjojo tidak lantas terburu-buru menjadikanya sebagai acuan ideal, ia mengatakan:

Hai saudara-saudarakoe poetri Indonesia. Perloelah kita mentjapai poela kemadjoean dan kemerdeka’an seperti jang terseboet tadi. Akan tetapi ingatlah, bahwa bisa tertjapai hanja dengan bekerdja jang tersokong oleh keinsjapan dan keyakinan kita. Ingatlah djoega, bahwa kitapoen memponjai cultuur sendiri, djadi kalau bekerdja bagi kemadjoean kita, haroes mengengeti djoega hal itu. Kemadjoean dan kemerdika’an kita haroes dilaras dengan keadaan penghidoepan kita.21

Cuplikan penutup pidato dari Njonjah Ali Sastroamidjojo tersebut perlu untuk ditampilkan disini karena menunjukkan paling sedikit tiga hal; pertama, telah majunya pemahaman relasi struktur penindasan perempuan dalam masyarakat; kedua, tilikan pada kondisi perempuan di barat yang berarti menunjukkan kepekaan terhadap kemajuan serta akses informasi keadaan diluar nusantara dan ketiga, tidak secara bulat menjadikan barat sebagai preferensi mutlak, yang menunjukkan adanya analisa kritis terhadap informasi yang diperoleh. Congress pertama juga melahirkan

Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI). PPPI kemudian bubar dan digantikan oleh

Kongres Perempoean Indonesia, KPI yang sempat berupaya mendudukan perwakilan perempuan di Volksraad. Perwakilan perempuan pada akhirnya berhasil mengirimkan wakilnya dibidang politik dengan masuknya Rasuna Said di Volksraad dan SK Trimurti sebagai anggota BPUPKI.22

perdebat an yang sempat memuncak pada saat Soekarno melakukan poligami unt uk kesekian kalinya. Sempat meredup, permasalahan poligami kembali mencuat pada t ahun 1970-an pada saat Undang-Undang Perkaw inan disusun dan akhirnya diundangkan pada t ahun 1974 yang mengundang gelombang perdebat an. Puncak dari perdebat an soal posisi perempuan dalam rumah t angga t ersebut barangkali baru dapat dikat akan menemukan moment um pada saat diundangkanya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 t ent ang PKDRT yang sesungguhnya t elah dikampanyekan semenjak t ahun 1997.

19

Ket iganya sesungguhnya juga berangkat dari realit as perempuan dan posisinya dalam rumah t angga; sebagai ibu, pendidik, sekaligus agen perjuangan yang dit unt ut unt uk t erus belajar. Lihat dalam Susan Blacburn. Op Cit hlm 54, 69, 119.

20

Njonjah Ali Sast roamidjojo. Hal Keadaan Ist eri di Europah dalam Susan Blackburn Ibid hlm 102-105 sekali lagi, pidat o ini masih berada pada seput aran hal ihw al rumah t angga.

21

Loc cit hlm 105 Perdebat an masalah hak polit ik baru dibicarakan secara lebih luas pada saat Kongres Oemoem Perempoean Indonesia ke t iga, kongres baru yang diadakan pasca pembubaran PPPI.

22

(6)

Masa ini, adalah masa ketika perdebatan terbuka dan panjang dari berbagai organisasi perempuan tersebut berada tepat didepan gerbang. Pasca kemerdekaan, mengikuti perdebatan partai-partai besar induk, perdebatan dimulai.

Dua dekade pertama tahun-tahun awal kemerdekaan, ditengah kondisi darurat negara, Soekarno memberikan angin segar pada gerakan perempuan. Terbitnya buku Sarinah,23 Ratifikasi Konvensi Hak Publik perempuan dalam Undang No. 68/1958, terbitnya Undang-Undang 80/1958 yang mengatur soal upah yang setara dan “membiarkan” perdebatan antar gerakan perempuan.24Dampak dari tiga hal tersebut dapat dirasakan secara langsung terutama pada saat pemilihan umu tahun 1955 dimana perempuan dapat turut serta baik memilih maupun dipilih. Ditengah ramainya kemunculan organisasi perempuan pasca kemerdekaan, tahun 1945 sendiri berdiri satu-satunya partai politik perempuan yang pernah ada sepanjang sejarah Indonesia, Partai Wanita Rakyat. Kongres perempuan pertama setelah kemerdekaan segera diadakan; pada tahun 1946, berbagai elemen organisasi perempuan menyatukan diri membentuk Kowani mendukung republik dan menentang agresi militer Belanda.25 Kongres tersebut dilanjutkan pada tahun 1950 yang dengan semakin menguatnya organisasi perempuan, para tokoh gerakan tersebut memiliki ‘ruang gerak’ yang lebih leluasa yang ditandai dengan dibentuknya Komisi Masalah Perkawinan di tahun 1950 untuk mendesak Undang-Undang Perkawinan dimana isu paling utama didalamnya adalah perihal poligami.26Puncaknya adalah pada tahun 1952 saat dikeluarkanya Peraturan pensiun janda pegawai negeri yang memberi “keuntungan” bagi pegawai yang poligami. Keluhan utama pada saat itu adalah pemborosan anggaran untuk membiayai pelaku poligami dan keadilan rumah tangga.

Dalam rentang waktu yang sama, mulai muncul organisasi perempuan “kiri” yang semakin menemukan bentuknya. Seiring kuatnya propaganda Soekarno dan PKI, organisasi perempuan

23

Lihat Soekarno dalam Soekarno. Sarinah, Kew adjiban Wanit a Dalam Perdjoangan Republik Indonesia. (Panit ya Penerbit Buku-Buku Karangan Presiden Soekarno, 1963) Hlm 14-15 ia mengat akan “ Sesungguhnya, kit a harus insjaf, bahw a soal masjarakat dan negara adalah soal laki-laki dan perempuan, dan soal laki-laki dan perempuan adalah sat u soal masjarakat dan negara...bahw a soal perempuan bukanlah soal kaum perempuan sadja, t api soal masjarakat , soal perempuan dan laki-laki. Dan sungguh sat u soal masjarakat dan negara jang amat pent ing! ” M eski akhirnya sempat membuat heboh gerakan perempuan dengan skandal poligaminya, buku Soekarno ini memuat pandangan yang sangat pent ing sebagai pert ama dan sat u-sat unya buku t ent ang perempuan yang dit ulis oleh seorang yang menjabat sebagai presiden.

24

M eski harus diduga bahw a pembiaran t ersebut lebih dikarenakan kuat nya Gerw ani yang dekat dengan PKI yang pada kala it u t engah memiliki pert alian polit ik yang kuat dengan Soekarno.

25

Bersamaan dengan ini pula, kekuat an golongan kiri semakin meningkat dan t ermasuk diant aranya masuk dalam Kow ani. Gerakan kiri ini sempat porak-poranda pada kala munculnya berit a pemberont akan PKI di M adiun pada t ahun 1948 sebelum pada akhirnya dapat kembali menat a diri.

26

(7)

ini juga semakin menemukan bentuknya, Gerwani.27Sikapnya sebagai organisasi mendua, pada satu sisi menyatakan dirinya sebagai organisasi perempuan yang independen, namun disisi lain memiliki kedekatan dengan golongan kiri terutama PKI yang ditandai dengan keanggotaan ganda para pengurus diantara kedua organisasi tersebut. Melalui pendekatanya yang populis disertai berjalanya kaderisasi dengan baik, Gerwani menjadi gerakan perempuan yang paling kuat.

Pandangan politik Soekarno sendiri, karena kedekatanya dengan golongan kiri pada waktu itu juga turut mempengaruhi dinamika perdebatan, apabila pada awalnya Soekarno melakukan propaganda perempuan dalam rangka menyatukan kekuatan untuk merebut kemerdekaan,28kini ia dihadapkan dengan permasalahan poligami.29 Kedudukan ini membuat Gerwani juga turut bersikap mendua; pada satu sisi kedekatan mereka dengan Soekarno membuat mereka tidak dapat berbuat banyak namun disisi lain anti-poligami juga merupakan salah satu alat kampanye yang mereka.

Apa yang hendak disampaikan sampai disini adalah bahwa konfigurasi politik dan pergerakan serta saling tarik ulurnya kekuasaan antar golongan (taruhlah nasionalis, komunis, agamis) memberikan lahan yang subur bagi para organisasi perempuan untuk mengisi agenda perempuan sesuai dengan konfigurasi politik yang ada baik dalam bidang ekonomi, sosial-budaya, dan politik. Pada masa ini pula pendidikan perempuan baik yang diberikan kepada perempuan pada umumnya maupun dalam rangka organisasi tumbuh subur dan saling bersaing satu sama lain.

Surut : Pukulan Mundur

Setelah jatuhnya Soekarno dan naiknya Soeharto ke tampuk kekuasaan setelah kerusuhan pada tahun 1965, dibawah rezim baru, kemewahan ragam gerakan perempuan tersebut berakhir sudah. Hilangnya perdebatan tersebut jelas merupakan pukulan mundur bagi gerakan perempuan di Indonesia. Selain semakin membatasi pengaruhnya dalam bidang politik, hilangnya perdebatan tersebut tentu menghambat perkembangan pemahaman relasi gender dan struktur masyarakat yang sebelumnya dapat diperoleh dengan mengikuti maupun turut serta alur perdebatan tersebut. Alih-alih perdebatan, rezim otoritarian orde baru memukul mundur bukan saja wacana perihal perempuan semata, namun juga hampir seluruh suara kritis terhadap rezim pada umumnya.30 Dibawah ketakutan terhadap komunisme yang terus diulang pada setiap tahunya, setiap organisasi perempuan yang bersuara keras akan segera diasosiasikan dengan Gerwani, yang pada

27

Pada mulanya bernama Gerw is, berdiri pada t ahun 1950. Berubah nama menjadi Gerw ani pada saat kongres pert ama dengan ket ua Umi Sanjono.

28

Op Cit Saskia Eleonora Weiringa hlm 137 lebih jauh lagi pada Kongres Perempuan Indonesia Keempat di Semarang, para anggot a secara bulat t urut mendukung kemerdekaan. Isu-isu perihal persat uan ini kemudian menyingkirkan isu-isu rumah t angga.

29

Persoalan poligami sesungguhnya t idaklah pernah benar-benar hilang. Dalam akt ivis gender Islam kont emporer secara lebih khusus dapat dilihat di Sonja van Wichelen. Polygamy Talk and t he Polit ics of Fem inism: Cont est at ions over M asculinit y in a New M uslim Indonesia. (Journal of Int ernat ional Women’s St udies, 11(1) 2009)

30

(8)

peristiwa 1965 dituding ikut terlibat dalam penculikan jenderal, menari telanjang sambil memotong penis dan mencongkel mata perwira papan atas tersebut untuk kemudian mayatnya mereka masukkan dalam lubang buaya. Potret atas peristiwa tersebut hingga kini masih dapat dilihat jelas dalam Prasasti Monumen Lubang Buaya. Apa yang tidak banyak orang tahu adalah bahwa hasil otopsi tidak menemukan adanya tindakan yang demikian,31disamping telah banyak juga studi sejarah yang menawarkan banyak varian mengenai tafsir terhadap peristiwa 1965.

Menurut Weiringa, selama masa Orde Baru, rezim memainkan politik seksual, yaitu melalui stigma Gerwani untuk gerakan perempuan dan PKI untuk organisasi kritis pada umumnya. Menurut penurutran Weiringa, bahkan studi akademis yang pernah dilakukan di Leiden mengenai permasalahan tersebut pada seputar tahun 1988 memacu keributan di Indonesia.32 Organisasi perempuan yang muncul pada masa ini memiliki corak yang berbeda dari organisasi pada masa orde lama. Apabila pada masa sebelumnya ramai riuh perdebatan perempuan seputaran pada peran dan kedudukan baik dalam ranah privat maupun publik, pada masa ini organisasi perempuan yang lahir adalah perkumpulan istri. Puncaknya pada tanggal 4 agustus 1974, berdiri Dharma Wanita yang bertujuan untuk mengintegrasikan berbagai kegiatan organisasi istri yang kemudian diadopsi menjadi gerakan nasional termasuk diantaranya program PKK yang memiliki unit sampai pada tingkat RT/RW.33 Sekali lagi, Perempuan, kembali menjadi makhluk privat. Hingga akhir dekade 70an dan awal 90an, gerakan perempuan bersama dengan gerakan lainya layaknya mati suri.

Pasang : Kelahiran Kembali?

Setelah sempat redup, geliat tersebut baru muncul kembali pada masa 80-an yang ditandai lewat berdirinya beberapa Organisasi Non-Pemerintah yang secara khusus bergerak dalam kajian maupun advokasi dalam ranah persoalan perempuan dan diratifikasinya Cedaw dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984.34Adalah Kalyanamitra dan Yayasan Anisa Swasti, keduanya di Yogyakarta yang kemudian disusul dengan didirikanya Pusat Kajian Wanita di Universitas Indonesia yang diinisiasi oleh Psikolog Saparinah Sadli pada awal dekade 90-an yang kemudian

31

Saskia E. Weiringa. Sexual Slander and t he 1965-1966 M ass Killings in Indonesia: Polt ical and M et odological Considerat ions (Bukit Timah: Asia Research Inst it ut e, Nat ional Universit y of Singapore, 2009) hlm 10 Bahkan kelak ket ika Presiden Abdurrahman Wahid yang berasal dari kalangan islam moderat menyat akan permint aan maaf dan keinginanya unt uk menghapus Tap M PR XXV/ 1966 gelombang prot es berdat angan meski t ak sedikit pula yang menyat akan dukungan.

32

Ibid hlm 16

33

Riant Nugroho. Gender dan Pengarusut amaanya di Indonesia (Yogyakart a: Pust aka Pelajar) hlm 97-102 reduksi lain t ampak misalnya pada int erpret asi at as Hari Kart ini yang nyaris t idak menampilkan sisi subversit as Kart ini dengan hanya memperlihat kan t unt ut anya semat a at as pendidikan, juga mereduksinya sebagai hari penggunaan kebaya. Lihat dalam kat a pengant ar Kat rin Bandel. Kart ini M anusia Hibrid kat a pengant ar dalam Kart ini. Emansipasi, Surat -Surat Kepada Bangsanya 1899-1904 (Yogyakart a:Jalasut ra, 2014) hlm xvii

34

(9)

disusul oleh perguruan tinggi lainya termasuk pendirian Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada dan Unika Soegijapranata pada tahun 1991.35 Kemudian LBH APIK didirikan seiring dengan semakin meningkatnya pula jumlah Ornop “kritis” terhadap permasalahan sosial.36Pada tahun 1996, Gadis Arivia dan sejumlah akademisi Universitas Indonesia menerbitkan jurnal pertama yang berfokus pada permasalahan gender; Jurnal Perempuan yang masih terbit hingga hari ini. Pada tahun 1998, dilatarbelakangi oleh perkosaan massal terhadap etnis tiong-hoa, atas desakan dari para tokoh perempuan Indonesia, Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap

Perempuan (Komnas Perempuan) didirikan dalam suasana pergantian rezim Orde Baru. Pada

rentang waktu inilah barangkali studi perempuan secara akademis mulai masuk dan berkembang di Indonesia, yang berarti perempuan sebagai gerakan mulai menjadi satu dengan dunia akademis.37

Pada masa transisi kekuasaan menjelang Soeharto berada dihujung tanduk itu pula para pegiat perempuan turut turun kejalan. Bersama-sama mereka membentuk Suara Ibu Peduli, suatu koalisi antar organisasi perempuan dan membagikan susu yang kala itu tengah naik hingga 400 persen dan suplai makanan pada para mahasiswa.38 Tidak hanya itu, pada saat meletusnya kekerasan terhadap perempuan Tiong-hoa, berbagai organisasi perempuan menyatukan diri dalam Masyarakat Anti Kekerasan Terhadap Perempuan,39embrio dari Komnas Perempuan.

Dan setelah Soeharto turun, organisasi perempuan semakin banyak berkembang dan turut mempengaruhi maupun dipengaruhi oleh arah kebijakan publik. Harus dicatat pula bahwa pada masa transisi tersebut lahir segenap peraturan penting yang berhubungan dengan perempuan, yang ditandai dengan Undang-Undang 39/1999 Tentang HAM, dan Instruksi Presiden No. 9/2000 Tentang Pengarusutamaan Gender pada masa Presiden Abdurrahman Wahid disusul dengan paket pengaturan affirmative action pada tahun 2003, Undang-Undang 23/2004 tentang

35

Kajian Perempuan di Universit as sendiri baru berdiri unt uk pert amakali pada t ahun 1969 di Cornell Universit y dan baru menjadi program t ersendiri pada t ahun 1970 di Sandiego dan Buffalo. Lihat dalam Amy K. Levin. Quest ions For A New Cent ury: Wom en’s St udes and Int egrat ive Learning, a Report t o t he Nat ional Women’s St udies Associat ion(Universit y of M aryland, 2007) hlm 1.

36

Lihat lebih jauh dalam Robert us Robet , Polit ik Hak Asasi M anusia Dan Transisi di Indonesia, Sebuah Tinjauan Krit is (Jakart a:Elsam, 2008) hlm. 37 M ulai naiknya permasalahan hak asasi manusia sebagai diskursus yang digunakan unt uk melaw an rezim represif ot orit arian Soehart o bukan berart i t anpa halangan. Pemerint ah menyerang balik dengan balik menuduh bahw a ornop t ersebut dibekingi oleh kepent ingan dana asing (hlm 39). Selain it u, Rezim Soehart o juga gemar menggunakan t uduhan seput ar “ ant ek komunis” dan dengan dalih “ menjaga kemurnian Pancasila” (40) melakukan pendekat an represif t erhadap mereka yang dianggap “ mengganggu ket ert iban umum” . Adnan Buyung Nasut ion misalnya, sempat dipenjara pada saat M alari 1974 , Jurnal Perempuan juga sempat diberedel selama beberapa w akt u. Perist iw a pent ing yang harus dicat at pada masa ini adalah pembunuhan keji M arsinah, akt ivis buruh perempuan yang vokal.

37

Lebih jauh, bagaimana dinamika menamai diri sebagai seorang akademisi feminis, t erut ama para sarjana muslim dapat dit emukan dalam t ulisan Alimat ul Qibt yah. Self-ident ified Feminist Among Gender Act ivist s and Scholars at Indonesian Universit ies. (Aust rian Journal of Sout h East Asian St udies, 3 (2), 2010) hlm 151-174

38

Neng Dara Affiah. Gerakan Perempuan di era Reformasi: Capaian dan Tant angan (M akalah Diskusi Hari kart ini 21 April 2014) hlm 1

39

(10)

PKDRT hingga Ratifikasi ICCPR dan ICESCR pada tahun 2005. Gerakan perempuan tersebut agaknya tidak hanya muncul dalam satu ragam saja, melainkan tumbuh dan berkembang dalam berbagai varian dan kekhususan bidang40yang nantinya nampak pada saat muncul kembalinya perdebatan diseputaran masalah isu-isu pengaturan perempuan dalam kehidupan publik.

Pendidikan-Studi Gender dalam Ilmu Hukum dan Beberapa Pengalamanya

Sebagaimana telah disebutkan diatas, tahun 80 hingga 90an adalah embrio dari masuknya studi perempuan. Diantara tahun-tahun tersebut, pada tahun 1983 Satjipto Rahardjo sempat mengadakan seminar soal hukum dan gender, adapun dokumen bahan ajar dari seminar tersebut tengah dalam proses pencarian. Di tahun yang sama pula Universitas Diponegoro membuka mata kuliah Hukum dan Wanita sebagai mata kuliah pilihan, dibawah bimbingan departemen Hukum dan Masyarakat. Meski mahasiswa kurang tertarik dengan mata kuliah tersebut, Hukum dan Wanita tetap dipertahankan sebagai mata kuliah. Fakultas Hukum Universitas Indonesia membuka kelas hukum dan gender pada awal dekade 1990. Kemudian terdapat pula Kelompok Kerja ConventionWatch dengan Sulistyowati Irianto, tokoh Antropologi Hukum, yang mulai mempromosikan tentang mata kuliah hukum dan gender semenjak tahun 1996 dengan anggota mencapai lebih dari 23 fakultas hukum. Kemudian, pada awal dan pertengahan dekade 2000an, kelompok kerja Universitas Indonesia Convention Watch, mengadakan lokakarya mengenai pentingya perspektif gender dalam pengajaran di perkuliahan. Convention Watch mengundang pengajar dan peminat studi gender beserta jajaran fakultas untuk ikut serta dalam lokakarya tersebut. Dipenghujung program Convention Watch, sempat ada keraguan mengenai bagaimana nantinya program gender dalam fakultas hukum tersebut. Arief Hidayat, Dekan Fakultas Hukum Undip waktu itu menyediakan diri untuk menjadi penyelenggara. Pada saat konferensi di Semarang, disepakati dibentuk satu wadah tersendiri sebagai tempat bertemunya pengajar gender di fakultas hukum. Pada saat inilah kemudian dibentuk Asosiasi Pengajar dan Peminat Hukum

dan Gender Indonesia dengan Arief Hidayat sebagai ketua dengan anggota mencapai 35 fakultas

hukum.41Dengan demikian, meski dengan segala keterbatasanya, APPHGI terus mengadakan pertemuan rutin setiap tahun. Diantara peminat kajian hukum dan gender sendiri, rupanya terdapat jarak pengetahuan tentang gender sehingga pertemuan tersebut sekaligus menjadi ajang untuk saling bertukar referensi buku maupun teori terbaru. Dari APPHGI pula, terjadi tukar-ilmu antara para pengajar dibidang hukum dengan pemerhati bidang lain.42 Meski diperlukan penelusuran lebih lanjut, namun dapat diduga bahwa dalam APPHGI pula terdapat jaring-jaring gerakan maupun teorisasi feminis.

40

Sepert i misalnya Pemberdayaan Perempuan Kepala Keluarga t ahun 2000, Yayasan Pulih t ahun 2002, Rahima t ahun 2000, Fahmina di t ahun 2000, Islam dan Gender, Perempuan Kajian Islam dan Sosial di t ahun 2006, Sapa Inst it ut e di t ahun 2007, LRC-KJ HAM , Fokus Grup Sekar Taji, Nurani Perempuan, dan lain sebagainya yang masing-masing memiliki bidang t ersendiri. Lihat dalam ibid hlm 2-4

41

Angka “ 23” maupun “ 35” disini unt uk sement ara saya peroleh dari Kat a Pengant ar Sulist yow at i Iriant o dalam op cit Sulist yow at i Iriant o & Donny Danardono (ed)… hlm x-xi

42

(11)

Selain menjadi tempat pertemuan diantara para peminat maupun pengajar gender, APPHGI juga menjadi tempat bertemunya antar institusi termasuk Ornop dan lembaga negara seperti Komnas Perempuan. Terutama semenjak Kunti Tridewatri, yang tadinya terpilih sebagai ketua APPHGI menjadi ketua Komnas Perempuan, hubungan antara APPHGI dengan Komnas Perempuan menjadi semakin erat. Komnas Perempuan memberikan sumbangsih penting bagi pengembangan APPHGI yaitu dengan memberikan data-data terbaru mengenai kondisi perempuan di Indonesia, juga memberikan buku-buku gender yang kemudian dibagikan pada peserta yang kebanyakan merupakan pengajar yang berasal dari berbagai perguruan tinggi. Dalam beberapa kegiatanya, Komnas Perempuan juga menggandeng APPHGI juga Ornop yang bekerja dibidang perempuan, misalkan saja penyusunan draft Rancangan Undang-Undang Kesetaraan dan Keadilan Gender.

Diluar berbagai kegiatan yang diadakan selama pertemuan, dalam setiap konferensinya APPHGI memiliki tiga agenda wajib yang telah menjadi tradisi; (i) membicarakan mengenai ide-ide baru pembenahan kurikulum mata kuliah hukum dan wanita serta perkembangan terbaru dari masing-masing universitas, (ii) mereview penelitian-penelitian terkait dengan gender yang menarik cukup banyak perhatian dan (iii) saling berbagi referensi, khusus yang terakhir ini dilakukan untuk membahas kebaruan dari teori maupun pemahaman tentang teori hukum feminis.

Lalu bagaimana agenda dalam APPHGI tersebut diimplementasikan dalam kelas? Bagaimana minat mahasiswa? Bagaimana hubunganya dengan pusat studi gender milik universitas? Berikut adalah penelusuran mengenai pengajaran mata kuliah hukum dan wanita di tiga kampus yang berbeda. Pemilihan mata kuliah sebagai berikut tidak berdasarkan alasan bahwa ketiganya secara kebetulan berada dalam locus satu kota semata, melainkan bahwa dari ketiga universitas yang akan dipaparkan dibawah ini, ketiganya mewakili bagaimana posisi dari mata kuliah studi gender dalam bidang hukum.

Universitas Diponegoro dipilih dengan alasan bahwa universitas ini adalah termasuk yang

pertama dalam membuka mata kuliah Hukum dan Wanita, yaitu dimulai semenjak diadakanya seminar perihal gender pada tahun 1983 oleh Satjipto Rahardjo. Universitas Katolik

Soegijapranata dipilih dengan alasan sebagai fakultas hukum pertama, melalui pemaparan

(12)

Jadi secara ringkas dapat dikatakan bahwa dua Fakultas Hukum yang disebutkan diatas dipilih sebagai “garda depan” dalam kurikulum gender sementara kampus terakhir dipilih sebagai pembanding, yaitu kampus yang tengah beradaptasi untuk mematangkan kurikulumnya. Pengalaman dari ketiganya akan menjadi bahan reflektif tentang bagaimana aplikasi mata kuliah hukum dan gender dalam tiga kampus dengan latar belakang historis yang berbeda.

Pertama, Universitas Diponegoro. Semenjak dimulai oleh Satjipto Rahardjo pada masa tahun

1983, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro memiliki beberapa kelompok kajian gender.

Pusat Studi Gender, Kelompok Kajian Hukum dan Wanita, dan kelas Hukum dan Wanita itu

sendiri. Dua yang disebut didepan beranggotakan campuran antara berbagai departemen sedangkan kelas mata kuliah Hukum dan Wanita diampu secara khusus dibawah departemen Hukum dan Masyarakat dan merupakan mata kuliah wajib bagi mahasiswa yang mengambil konsentrasi jurusan hukum dan masyarakat meski dapat pula menjadi mata kuliah pilihan bagi mahasiswa dengan bidang konsentrasi lain. Terdapat dua orang dosen yang secara khusus mengkaji hukum dan gender, meski satu diantaranya kini tak lagi aktif. Pengajar Undip sendiri telah dua kali menjadi ketua APPHGI; Arief Hidayat ketua periode pertama dan Ani Purwanti yang kini tengah menjabat sebagai ketua.

Sebagaimana peminat bidang konsentrasi Hukum dan Masyarakat, peminat mata kuliah Hukum dan Wanita sendiri juga sedikit jumlahnya. Rekor terbanyak mahasiswa dalam satu periode pengajaran adalah 24 orang pada tahun 1998. Pernah pula kelas ini kosong karena tidak banyak peminat meski kelas dibuka pada setiap semester. Dalam empat semester terakhir, jumlah terbanyak adaah sembilan orang. Meski sepi peminat, prinsip-prinsip dasar mengenai ketimpangan gender “disisipkan” dalam sejumlah mata kuliah lain seperti hukum tata negara maupun hukum pidana. Selain itu, Departemen Hukum dan Masyarakat menerima penulisan skripsi lintas jurusan yang menginduk pada cabang hukum lain namun juga mengulik permasalahan perempuan. Kebijakan “lintas” bimbingan ini diakui cukup membantu dalam memberikan “perspektif perempuan” yang kerap luput apabila dibidik menggunakan satu perspektif semata.

Pengajar dari Hukum dan Wanita adalah anggota baik PSG, KKHW, maupun PSW Universitas. Hal ini turut menjelaskan relasi antar ketiga lembaga tersebut. Meski memiliki agenda utama tersendiri, namun dalam beberapa kesempatan tertentu, irisan-irisan ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan hukum seperti pembuatan profil keadaan perempuan di Jawa Tengah, juga sosalisasi perempuan dalam hukum melalui berbagai kegiatan. Meskipun demikian, agaknya antara PSW Universitas dan PSG sendiri masih belum padu dalam membangun satu agenda besar yang menyatukan berbagai bidang pengetahuan.

Kedua, Fakultas Hukum Universitas Katolik Soegijapranata. Pada tahun 2005, salah satu

(13)

kuliah Hukum dan Wanita sebagai mata kuliah wajib yang harus diambil oleh seluruh mahasiswa di Unika untuk mendapatkan gelar sarjana. Keberhasilan tersebut merupakan yang pertama dalam sejarah fakultas hukum di Indonesia.

Menurut Danardono, pada waktu dirinya mengusulkan untuk diadakan mata kuliah Hukum dan Wanita ia memperoleh tanggapan positif dari para kolega pengajar. Dengan demikian ia segera menyiapkan silabus perkuliahan dan mempresentasikanya dihadapan pengajar yang lain. Presentasi tersebut juga mendapat dukungan dari rektorat universitas, sehingga kemudian diputuskan menjadi mata kuliah wajib. Mata kuliah Hukum dan Wanita ini juga merupakan mata kuliah unggulan yang selalu mendapat nilai tambah pada saat akreditas fakultas. Pada masa awal pengajaran, hanya Danardono selaku pengusul mata kuliah saja yang mengajar. Karena dirasa kurang mencukupi, belakangan mata kuliah Hukum dan Wanita diajarkan oleh tiga dosen yang berbeda yang dibagi berdasarkan bidang keahlian.

Apa yang menarik dari mata kuliah Hukum dan Wanita di Soegijapranata ini adalah bahan ajar disusun secara detil dan rapi. Bahan perkuliahan disusun berdasarkan jumlah pengajaran yang terdiri dari pokok bahasan umum dan pokok bahasan khusus, jadi apabila terdapat empat belas tatap muka dalam satu semester, mahasiswa mendapatkan empat belas materi tertulis yang berbeda disertai dengan bacaan wajib dan bacaan rekomendasi. Berikut adalah tampilan bahan ajaran yang diolah dari silabus mata kuliah Hukum dan Wanita Unika Soegijapranata

Pokok Bahasan Khusus Pokok Bahasan Umum

Pengantar. Gender, Seksualitas dan ketidakadilan

seksual Gerakan Perempuan (feminisme) dan Studi

Perempuan.

Aliran-aliran dalam studi perempuan

Teori Fungsionalisme Struktural dan Materialisme Historis dan Pengaruhnya terhadap Studi Perempuan.

Hukum, Kekuasaan dan Otonomi

Perempuan atas tubuh dan seksualitasya

Teori Strukturalisme, Post-Strukturalisme dan Post-Modernisme dan Pengaruhnya terhadap Studi Perempuan.

Kedudukan Perempuan dalam Hukum

Perdata Adat dan Barat

Hukum dan Kekuasaan. Kedudukan Perempuan dalam Hukum

Publik Persamaan Hak dan Ketidak-adilan Gender

dan Seksualitas yang dialami Perempuan. Hukum dan Otonomi Perempuan atas Tubuh dan Seksualitasnya.

Kedudukan Perempuan dalam UU nomor 7 tahun 1984 tentang “Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita”.

Kedudukan Perempuan dalam Hukum

(14)

Kedudukan Perempuan sebagai Warganegara dan Pekerja.

Kedudukan Perempuan dalam Hukum Pidana. Strategi Hukum Bagi Emansipasi Perempuan.

Secara kesuluruhan sesungguhnya tidak ditemukan adanya masalah yang cukup berarti selama proses pengajaran dan mahasiswapun merespon dengan baik. Hanya saja silabus tersebut disusun setelah mengalami beberapa kali perubahan dengan pertimbangan bobot sks dan pemahaman mahasiswa dalam satu mata kuliah yang dirasa terlalu berat.

Ketiga, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang. Hukum dan Wanita diletakkan sebagai

mata kuliah pilihan wajib di Jurusan Hukum dan Masyarakat, diampu oleh tiga orang dosen dengan spesialisasi yang berbeda. Mulai dibuka semenjak tahun 2010. Jumlah mahasiswa sepanjang lima tahun terakhir memang mengalami peningkatan, namun tidak mencapai angka lebih dari dua puluh orang. Meski begitu, pengajar menyisipkan pemahaman hukum dan gender dalam beberapa mata kuliah lain. Sedikitnya minat mahasiswa untuk mempelajari hukum dan gender dibarengi dengan minimnya jumlah peminat di bidang jurusan hukum dan masyarakat. Hal ini tampak sebagai tautologi mengingat jurusan sendiri mengusahakan mata kuliah ini untuk menjadi mata kuliah wajib namun ditolak dengan alasan bahwa mata kuliah ini hanya menarik sedikit mahasiswa saja.

Sebagaimana terjadi di Undip, Unnes agaknya mengalami masalah serupa. Sedikitnya minat mahasiswa pada mata kuliah Hukum dan Wanita juga dibarengi dengan minimnya minat mahasiswa dalam bidang jurusan Hukum dan Masyarakat. Untuk menyiasati hal ini pengajar mata kulah Hukum dan Wanita bergerilya dengan menyisipkan isu-isu ketimpangan hukum terhadap perempuan dalam mata kuliah lain.

Pokok Ajar Mata Kuliah Hukum dan Wanita Unnes

Pemahaman Gender Peran Gender

Studi Tentang Diskriminasi Regulasi-regulasi Gender

Teori Feminis dan Perkembanganya Gender Budgeting

(15)

kedua pusat studi juga tidak integral dan memiliki visi masing-masing.Dari ketiga universitas yang dijadikan sampel tersebut dapat ditemukan beberapa hal; pertama pada Undip dan Unnes dimana mata kuliah Hukum dan Wanita bukan merupakan mata kuliah wajib hanya mendapat perhatian yang sedikit saja dari mahasiswa. Keduanya berada dibawah departemen Hukum dan Masyarakat, bidang konsentrasi yang dari tahun ke tahun juga tidak banyak memiliki peminat. Sebagai pembanding, Universitas Indonesia mengalami nasib yang lebih baik, meski departemen Hukum dan masyarakat masih merupakan bidang konsentrasi yang sepi peminat namun mata kuliah Hukum dan Wanita selalu memiliki peminat dalam jumlah yang lumayan, bahkan pernah pada satu ketika membuka dua kelas sekaligus. Kedua, belum padunya antara pusat studi gender di fakultas dan universitas Ketiga, sejauh wawancara dilakukan, belum terlihat keterlibatan mahasiswa dalam kegiatan-kegiatan dalam pusat studi gender. Keempat, diantara ketiganya, Unika Soegijapranata adalah kampus yang memiliki persiapan baik untuk pengajaran mata kuliah Hukum dan Wanita.

Menunggu Pasang Tinggi

Sebagaimana telah diulas, masuknya studi feminis dalam ilmu hukum tidak dapat dilepaskan dari pasang surut perdebatan gerakan maupun wacana perempuan itu sendiri. Di Indonesia, tahun-tahun sebelum dan awal kemerdekaan dibarengi dengan munculnya berbagai gerakan perempuan yang turut menjadi bagian dari gerakan “revolusioner” disamping agendanya masing-masing. Pada masa-masa ini pendidikan diberikan dalam rangka memperluas gerakan organisasi, juga beberapa diantaranya yang mengusung permasalahan perkawinan memulai kampanye perihal diundangkanya undang-undang perkawinan. Pasca 1965, gerakan perempuan menemui masa surutnya, yaitu melalui adanya stigma gerwani yang otomatis merubah personal is political menjadi personal is silence dengan domestifikasi peran perempuan melalui persatuan istri dan berbagai kampanye darma-wanita. Namun masa ini juga sekaligus masa gelombang pasang yang kedua, lewat lahirnya berbagai ornop advokasi perempuan maupun berbagai pusat kajian wanita di tahun 1980an, juga masa dimana studi gender dalam hukum tengah berusaha menemukan bentuknya.

Berbeda di Amerika dimana booming studi perempuan pada tahun 1970 diarahkan pada bentuk kajian dan struktur maupun kurikulum universitas, kemunculanya di Indonesia pada mulanya tidak hanya pada advokasi ketimpangan yang terjadi pada masyarakat semata, namun juga dominasi rezim aristokrasi-feodal jawa yang tengah kuat sebelum akhirnya jatuh pada masa 1980. Mungkin disebabkan oleh hal itulah, perbincangan mengenai kurikulum dan “menyelundupkanya” pada struktur universitas dan fakultas berjalan relatif lebih lambat. Tentu hipotesis tersebut harus ditelusuri lagi lebih jauh kebenaran historisnya.

(16)

tengah dibanjiri oleh kasus-kasus berbasis kekerasan gender baik perkosaan maupun KDRT di Jawa Tengah. Ada beberapa kesulitan yang terjadi pada kala itu, bahwa kebanyakan dari para anggota LBH tersebut adalah laki-laki, yang membuat para korban yang tengah berperkara tersebut kesulitan untuk mengutarakan permasalahanya. Pada saat itulah disadari bahwa perlu adanya “ruang khusus” yang beranggotakan tim khusus untuk permasalahan gender, sebagai permasalahan yang memiliki keterkaitan erat dengan keadilan struktural. Dari situ, terbentuklah “Kamar Perempuan”, dan untuk mengisi kekurangan anggotanya, dalam pelatihan pendaftaran anggotanya, Kalabahu, memulai memberikan materi soal gender dan dari pelatihan tersebut dan memilih anggota yang dilatih khusus untuk menangani permasalahan ketidakadilan sosial pada perempuan.

Seiring dengan meningkatnya kasus yang diterima, keberadaan kamar khusus tersebut dirasa tidak mencukupi untuk berada dibawah struktur LBH sehingga diputuskan untuk berdiri sendiri secara independen. Dari sinilah LRC-KJ HAM lahir dan perlu diperhatikan pula bahwa LBH Semarang adalah satu-satunya cabang dari YLBHI yang menginisiasi secara khusus pelayanan terhadap perempuan tersebut sebelum pada akhirnya berdiri sendiri sebagai ornop independen.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan adanya pernikahan yang berbeda agama dalam suatu masyarakat juga akan menumbuhkan rasa kekeluargaan dan dengan sendirinya tertanamnya sifat saling toleransi dalam

72 - Bandung (Kota) - Jawa Barat Pengadaan Barang 180 Dinas Peternakan Perikanan dan.

Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa: kecernaan bahan kering dan bahan organik relatif sama antara rumput kumpai segar dengan rumput

BENER MERIAH ACEH 772 10111605 SMP NEGERI TERPADU SEUMAYOEN NUSANTARA KAB. BENER

Ukuran yang telah ditetapkan untuk purse seine bertali kerut dengan alat bantu penangkapan ikan (rumpon atau cahaya) dan ikan target tongkol atau cakalang memiliki panjang

masih hidup selama 830 tahun. Sepanjang hidupnya, Mahalalel menjadi bapak dari beberapa anak laki-laki * 5:3 anak laki-lakinya Dalam bahasa Ibrani sudah jelas dari kisah

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis yang telah diuraikankan pada bagian pembahasan, peneliti merinci kesimpulan dan saran mengenai penelitian tentang fungsi media

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, komposisi media batang jagung 68%, jerami 17%, bekatul 10%, dan dolomit 5% merupakan variasi komposisi media dengan berat basah, berat kering,