• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGUKURAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH MENGGUNAKAN METODE LITTERBAG PADA TIGA TIPE PENGGUNAAN LAHAN DI DESA SITUDAUN, KECAMATAN TENJOLAYA.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGUKURAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH MENGGUNAKAN METODE LITTERBAG PADA TIGA TIPE PENGGUNAAN LAHAN DI DESA SITUDAUN, KECAMATAN TENJOLAYA."

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

PENGUKURAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH

MENGGUNAKAN METODE ”

LITTERBAG

” PADA TIGA

TIPE PENGGUNAAN LAHAN DI DESA SITUDAUN,

KECAMATAN TENJOLAYA

Oleh :

DWI EKA MARIA AVELINA

A24104063

PROGRAM STUDI ILMU TANAH

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(2)

PENGUKURAN LAJU DEKOMPOSISI SERASAH

MENGGUNAKAN METODE ”

LITTERBAG

” PADA TIGA

TIPE PENGGUNAAN LAHAN DI DESA SITUDAUN,

KECAMATAN TENJOLAYA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

DWI EKA MARIA AVELINA

A24104063

PROGRAM STUDI ILMU TANAH

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2008

(3)

RINGKASAN

DWI EKA MARIA AVELINA. Pengukuran Laju Dekomposisi Serasah pada Tiga Tipe Penggunaan Lahan di Desa Situdaun, Kecamatan Tenjolaya. Di bawah bimbingan RAHAYU WIDYASTUTI dan DYAH TJAHYANDARIS.

Bahan organik yang berasal dari hewan dan tumbuhan yang telah mati, akan mengalami proses dekomposisi yaitu penghancuran dan perombakan bahan organik menjadi bagian-bagian yang lebih sederhana sehingga menjadi unsur hara yang tersedia dan dapat diserap oleh tanaman. Fauna tanah memiliki peranan penting dalam kesuburan tanah, yaitu dalam mendekomposisi bahan organik. Salah satu metode untuk mengukur aktivitas fauna tanah dalam proses dekomposisi serasah yaitu metode litterbag. Penelitian ini bertujuan mengukur laju dekomposisi serasah yang terdapat di hutan, pekarangan dan kebun di Desa Situdaun, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor dengan mengunakan metode litterbag.

Serasah yang digunakan pada penelitian ini adalah serasah yang berada di sekitar lahan hutan, perkarangan dan kebun. Ketiga jenis serasah dicampur dan dipotong-potong sepanjang ± 2 cm dan dikeringudarakan, setelah itu ditimbang sebanyak 10 gram, kemudian dimasukan ke dalam masing- masing kantung litterbag yang berukuran kasar (10 mm), sedang (0.25 mm) dan halus (0.038 mm). Litterbag ini dibenamkan secara acak di lima titik pada lahan hutan, pekarangan dan kebun. Litterbag tersebut kemudian diekspos di lapang selama 30, 60 dan 90 hari.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa laju dekomposisi serasah paling tinggi terdapat di tipe penggunaan lahan hutan, kemudian diikuti oleh pekarangan dan terakhir kebun. Laju dekomposisi serasah yang dihitung berdasarkan hilangnya berat serasah, tertinggi pada litterbag kasar, sedang dan halus yaitu pada hutan berturut-turut sebesar 93%, 61.5% dan 57.7%, pekarangan 92.1%, 58.5% dan 59.5%, sedangkan pada kebun 74.5%, 59.8% dan 55.6%. Rendahnya laju dekomposisi pada lahan kebun dikarenakan pengolahan tanah yang intensif dan pemupukan serta sedikitnya variasi vegetasi dan bahan organik yang tersedia.

(4)

SUMMARY

DWI EKA MARIA AVELINA. Measuring Decomposition Rates of Litter Using Litterbag Method at Three Different Land Use Types In Situdaun Village, Tenjolaya Sub-district, Bogor. Under supervision of RAHAYU WIDYASTUTI and DYAH TJAHYANDARI S.

The important ecosystem processes such as organic matter decomposition is influenced by factors such as food resource quality, physical environmental, and soil organisms. Soil fauna breakdown a complex organic material to be simple particles and available for uptake by plans. One of the methods for measuring the activity of soil fauna in decomposition process is the litterbag method. The purpose of this research was to measure the decomposition rate of litter at three land use types, i.e. forest, home garden and garden in Village of Situdaun, Tenjolaya Sub-district, Bogor, using litterbag method.

Litter, that used in this research, were taken from forests, home garden, and garden. Three types of litter were mixed and cut approximately 2 cm and air-dried. Afterwards, 10 grams of mixed litter were weighed and filled into a litterbag, with three different mesh-size, namely coarse (10 mm), medium (0.25 mm) and fine (0.038 mm). These litterbags were randomly exsposed at five different locations in the forest, home garden, and garden for 30, 60, and 90 days.

The results indicated that the highest decomposition rate of litter was found in the forest, then followed by home garden and garden. The decomposition rate of litter was calculated by measuring the lost of weight of litter. The highest weight lost was found in litterbags with coarse mesh sizes (93%), medium (61.5%) and fine (57.7%) in the forest. The second position was litterbags with coarse mesh sizes (92.1%), medium (58.5%) and fine (59.5%) in the home garden. The lowest was litterbags with coarse mesh sizes (74.5%), medium (59.8%) and fine (55.6%) in the garden. The lowest decomposition rate of litter in the garden was presumably due to the intensively soil tillage and fertilization, and low variety of vegetation and organic matter in that area.

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Pengukuran Laju Dekomposisi Serasah Menggunakan Metode ”Litterbag” pada Tiga Tipe Penggunaan Lahan di Desa Situdaun, Kecamatan Tenjolaya

Nama Mahasiswa : Dwi Eka Maria Avelina

NRP : A24104063

Menyetujui,

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Rahayu Widyastuti, MSc Dr. Ir. Dyah Tjahyandari S, MApplSc NIP. 131 879 328 NIP. 131 950 987

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. NIP. 131 124 019

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Padang Sidempuan tanggal 31 Agustus 1985, penulis adalah anak bungsu dari enam bersaudara dari pasangan Fransiskus Xaveries Ulim Simbolon, BA dan Tiomas Martina Manalu.

Pendidikan dasar dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri 163080 Tebing Tinggi, Sumatera Utara dan selesai pada tahun 1997. Melanjutkan studi ke Sekolah Menegah Pertama di SLTP sw. Katolik Cinta Kasih Tebing Tinggi, Sumatera Utara dan selesai pada tahun 2000, dan melanjutkan Sekolah Menegah Umum di SMU RK BUDI MULIA Pematang Siantar, Sumatera Utara dan selesai pada tahun 2003. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2004 melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB).

Selama kuliah penulis aktif dalam organisasi Mahasiswa Katolik IPB (KEMAKI) periode 2004-2008, organisasi daerah Ikatan Anak Siantar (Ikan Mass), dan sebagai asisten praktikum Bioteknologi Tanah dan Sistem Informasi Geografis (SIG).

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih kepada Yesus Kristus atas segala rahmat dan kasih-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan penelitian ini yang berjudul Pengukuran Laju Dekomposisi Serasah Menggunakan Metode ”Litterbag” pada Tiga Tipe Penggunaan Lahan di Desa Situdaun, Kecamatan Tenjolaya. Penelitian ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Program Studi Ilmu Tanah.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dr. Rahayu Widyastuti, MSc selaku Pembimbing I dan Dr. Dyah Tjahyandari S, MApplSc selaku Pembimbing II, yang telah banyak mencurahkan pikiran, perhatian, kesabaran dan waktu dalam memberikan arahan demi perbaikan skripsi ini.

2. Dr. Ir. Sri Djuniwati, MSc sebagai dosen penguji yang telah meluangkan waktu dan arahan demi perbaikan skripsi ini.

3. Orang-tuaku tercinta, bapak (Fransiskus Xaverius Ulim Simbolon) dan mama (Tiomas Martina Manalu) yang tak henti- hentinya memberikan dorongan, sema ngat, doa dan kasih sayangnya, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Kasih Tuhan Selalu Menyertai Keluarga kita. 4. Kakak-kakakku tercinta, Kak’Nurlita n Romo Donatus (Motivasi dan

bimbingan rohani nya selama ini), b’Albertho (Didikan, motivasi dan bantuannya selama menjalankan studi, smoga Tuhan membalas kebaikanmu). b’Anto, b’Aswin, b’Hombing dan ke-2 Eda ku, Keponakan ku (Ivan n Rio ), terima kasih atas motivasi, bantuan serta doanya. Tuhan Selalu Menyertai dan Memberkati kalian.

5. Fernando Manurung atas motivasi, perhatian, kasih sayang dan doanya dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Teman BFC (Dina, Ekayana, Helena, Riris, Ester, Nana, Cristian, Ronni), atas persahabatan, cinta dan canda tawa, tanpa kalian dunia terasa sepi. Tuhan Memberkati kalian semua.

(8)

7. Teman-teman Lab. Bioteknologi Tanah (Sefti, Ayat, Tifa, Dina, Bena, Ester, Ardi, Dian, Alin dan Sirri) atas kebersamaan dan bantuannya. Teman-temanku di Lab. Kesuburan (Memey, Ade, Mbal, Dedah, Ita, Nova dan Fitri), Lab. Bangwil (Ekayana, Ami, Rita, Ncep, Ariesta, Anto, Ririz, Budi), Lab. Mintan (Yayan, Andika, Helena) atas bantuan dan Doa nya. 8. Bu Asih, Bu Jul, Pak Jito, Mbak Nia yang membantu kelancaran di

Laboratorium dan selama penelitian.

9. Sahabat-sahabatku tercinta Juventy, Rille, Novita, Serta, Jenni, Lidia, Riani, Irwan dalam menyemangati, menghibur dan mengajarkan aku arti setia dan selalu bersyukur. Tuhan memberkati kalian.

10.Teman- teman Tanah ’41 atas dukungan n motivasinya, Viva Soil !!!! 11.Untuk teman-teman lainnya yang tidak dapat disebutkan satu persatu,

terima kasih atas dukungan, doa dan motivasinya. Tuhan memberkati. Penulis sangat mengharapkan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi bidang pertanian dan ilmu pengetahuan serta pihak-pihak lain yang memerlukan. Tuhan Memberkati.

Bogor, 5 September 2008

(9)

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI

... iii

DAFTAR TABEL

... v

DAFTAR GAMBAR... vi

I. PENDAHULUAN

... 1 1.1 Latar belakang ... 1 1.2 Tujuan ... 2 1.3 Hipotesis ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

2.1 Fauna Tanah ... 4

2.1.1 Ukuran Tubuh... 4

2.1.2 Keberadaan dalam Tanah... 7

2.1.3 Perilaku Makan... 7

2.2 Peranan Fauna Tanah ... 8

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Fauna Tanah... 10

2.4 Pengukuran Aktivitas Fauna Tanah... 11

III. BAHAN DAN METODE ... 14

3.1 Tempat dan Waktu ... 14

3.2 Bahan dan Alat... 14

3.3 Metode Penelitian... 15

3.3.1 Persiapan ... 15

3.3.2 Pelaksanaan Penelitian ... 15

3.3.3 Analisis Tanah... 17

3.3.4 Analisis Data ... 17

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN... 18

4.1 Lokasi Penelitian... 18

4.2 Iklim dan Topografi... 18

4.3 Tanah... 19

4.4 Vegetasi ... 19

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

5.1 Laju Dekomposisi Serasah Berdasarkan Perbedaan Ukuran Litterbag Pada Ketiga Tipe Penggunaan Lahan... 20

5.2 Laju Dekomposisi Serasah Pada Ketiga Tipe Penggunaan Lahan... 23

5.2.1 Lahan Hutan ... 24

5.2.2 Lahan Pekarangan ... 26

(10)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 29

6.1 Kesimpulan ... 29

6.2 Saran... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman Teks

1. Pengelompokan Fauna Tanah Berdasarkan Kehadiran di Dalam

Tanah... 7

2. Pengaruh Fauna Tanah Terhadap Sifat Tanah Dalam Ekosistem... 10

3. Rata-Rata Berat Sisa Serasah (%) dengan Ukuran Litterbag yang Berbeda pada Ketiga Tipe Penggunaan Lahan... 20

Lampiran 1. Data Analisis Pendahuluan Sifat Fisik dan Kimia Tanah... 33

2. Data Iklim (Temperatur dan Kelembaban) Lokasi Penelitian... 33

3. Data Klimatologi Tahun 2008 Kec.Ciampea (Desa Cihideung)... 33

4. Rata-Rata Berat Sisa Serasah (%) pada Ketiga Tipe Penggunaan Lahan……… 34

5. Berat Serasah yang Hilang Dimakan oleh Fauna Tanah pada Lahan Hutan... 36

6. Berat Serasah yang Hilang Dimakan oleh Fauna Tanah pada Lahan Pekarangan... 37

7. Berat Serasah yang Hilang Dimakan oleh Fauna Tanah pada Lahan Kebun... 38

8. Sisa Serasah Setelah Diekspos pada Lahan Hutan... 39

9. Sisa Serasah Setelah Diekspos pada Lahan Pekarangan... 40

10. Sisa Serasah Setelah Diekspos pada Lahan Kebun... 41

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman Teks

1. Laju Dekomposisi Serasah yang Ditunjukkan oleh Penurunan Persentase Sisa Serasah Berdasarkan Perbedaan Litterbag Kasar

di Ketiga Tipe Penggunaan Lahan ... 21 2. Laju Dekomposisi Serasah yang Ditunjukkan oleh Penurunan

Persentase Sisa Serasah Berdasarkan Perbedaan Litterbag Sedang

di Ketiga Tipe Penggunaan Lahan... 22 3. Laju Dekomposisi Serasah yang Ditunjukkan oleh Penurunan

Persentase Sisa Serasah Berdasarkan Perbedaan Litterbag Halus

di Ketiga Tipe Penggunaan Lahan………... 23 4. Laju Dekomposisi Serasah yang Ditunjukkan oleh Penurunan

Persentase Sisa Serasah pada Tiga Tipe Penggunaan Lahan…………... 24

Lampiran

1. Laju Dekomposisi Serasah yang Ditunjukkan oleh Penurunan

Persentase Sisa Serasah pada Lahan Hutan ………. 34 2. Laju Dekomposisi Serasah yang Ditunjukkan oleh Penurunan

Persentase Sisa Serasah pada Lahan Pekarangan……… 35 3. Laju Dekomposisi Serasah yang Ditunjukkan oleh Penurunan

Persentase Sisa Serasah pada Lahan Kebun……… 36 4. Peta Wilayah Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor ……… 42 5. Peta Desa Situdaun, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor ………. 43 6. Foto-Foto Lokasi Penelitian ... 44

(13)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam ekosistem terdapat dua komponen yang utama yaitu komponen biotik dan abiotik yang saling mempengaruhi satu sama lain. Diantara dua komponen tersebut terjadi pertukaran zat dan energi yang terus- menerus, sehingga interaksi yang terjadi di dalam ekosistem berjalan dengan baik. Kesuburan tanah banyak dipengaruhi oleh komponen biotik seperti fauna, flora, dan abiotik seperti iklim (curah hujan, suhu, kelembaban), air, tanah dan udara.

Organisme tanah dapat dijadikan sebagai indikator kualitas tanah karena organisme ini bersifat sensitif terhadap perubahan dan ditemukan melimpah di dalam tanah. Salah satu organisme tanah yaitu fauna tanah, baik mikro, meso maupun makrofa una. Fauna tanah merupakan salah satu komponen biotik yang berperan tehadap kesuburan tanah. Keberadaan fauna tanah memiliki arti dalam memperbaiki sifat fisik, kimia maupun biologi tanah. Peranan fauna tanah terhadap sifat fisik tanah yaitu membantu dalam pembentukan agregat, memperbaiki struktur tanah, aerasi dan drainase; terhadap sifat kimia tanah yaitu memperbaiki ketersediaan unsur hara dan meningkatkan kandungan C-organik, dan terhadap sifat biologi tanah yaitu fauna tanah berasosiasi dengan mikroorganisme yang terlibat dalam dekomposisi bahan organik dan mikroorganisme lebih aktif dalam saluran pencernaan fauna tanah.

Penggunaan lahan yang berbeda akan mempengaruhi jumlah populasi fauna tanah. Pengolahan tanah secara intensif, pemupukan dan penanaman secara monokultur pada sistem pertanian konvensional dapat menyebabkan terjadinya

(14)

penurunan makrofauna tanah (Maftu’ah et al., 2005). Fauna tanah berperan dalam penghancuran atau perombakan bahan organik yang berasal dari sisa-sisa tanaman dan binatang menjadi bahan-bahan yang lebih sederhana sehingga menjadi unsur hara yang terlarut dan dapat diserap oleh tanaman. Salah satu metode untuk mengevaluasi peran fauna tanah dalam mendekomposisi bahan organik yaitu metode litterbag.

Metode litterbag mengukur laju dekomposisi serasah yang melibatkan organisme tanah dalam proses dekomposisi. Ukuran mesh yang digunakan dalam litterbag berbeda-beda yaitu halus (0.038 mm) dimana hanya mikrofauna saja yang terlibat dalam proses dekomposisi, sedang (0.25 mm) hanya mikrofauna dan mesofauna tanah, sedangkan yang kasar (10 mm) semua organisme baik yang berukuran mikro-, meso- maupun makrofauna.

Fauna tanah sangat berperan penting terhadap perbaikan sifat–sifat tanah baik fisik, kimia, maupun biologi tanah sehingga dapat meningkatkan kesuburan tanah. Mengingat pentingnya peranan fauna tanah dalam menjaga keseimbangan ekosistem dan masih terbatasnya informasi mengenai fauna tanah terutama di Indonesia, untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang peranan fauna tanah terhadap proses-proses yang terjadi di dalam tanah seperti dekomposisi bahan organik.

1.2 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan mengukur laju dekomposisi serasah di hutan, pekarangan dan kebun di Desa Situdaun, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor dengan menggunakan metode litterbag.

(15)

1.3 Hipotesis

Hipotesis dalam penelitian ini adalah:

1. Laju dekomposisi berbeda pada tipe penggunaan lahan yang berbeda. 2. Laju dekomposisi tinggi pada tipe penggunaan lahan hutan yang memiliki

sumber makanan yang besar dan bervariasi.

3. Laju dekomposisi rendah pada tipe penggunaan lahan kebun yang memiliki pengolahan tanah yang intensif.

(16)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fauna Tanah

Fauna tanah merupakan bagian ekosistem tanah yang kehidupannya tidak sendiri, melainkan berinteraksi dengan faktor lain di dalam lingkungan. Adanya interaksi tersebut dapat mempengaruhi keberadaannya, penyebaran dan kepadatan fauna tanah (Suin, 1997). Fauna tanah dapat dikelompokan atas dasar ukuran tubuh, kehadiran dalam tanah dan perilaku makannya.

2.1.1 Ukuran Tubuh

Wallwork (1970) membagi fauna tanah berdasarkan ukuran tubuh menjadi tiga kelompok utama yaitu :

a) Mikrofauna yang mempunyai ukuran tubuh 20 sampai 200 mikron, misalnya; Protozoa, Nematode, Rotifera, Tardigrada.

b) Mesofauna yang mempunyai ukuran tubuhnya 200 mikron sampai 1 cm, misalnya Mikroarthropoda (Acari dan Collembola) dan larva serangga.

c) Makrofauna yang mempunyai ukuran tubuhnya lebih dari 1 cm, misalnya Lumbricidae, Mollusca, serangga dan Arachnida yang berukuran besar dan vertebrata kecil penghuni tanah.

a) Makrofauna

Makrofauna seperti cacing tanah, rayap dan semut memiliki pengaruh yang besar terhadap struktur tanah(Pankhurst, 1999b). Rayap dapat hidup pada habitat yang kering. Semut menyukai tempat yang lembab sampai panas. Semut dan rayap merupakan serangga sosial yang hidup secara berkoloni dan

(17)

membentuk sarang atau gundukan tanah sebagai tempat berlindung. Biasanya jumlah koloni dari serangga sosial ini bisa terdiri dari ratusan, ribuan sampai jutaan individu (Wallwork, 1982). Cacing tanah menyukai habitat yang lembab. Mereka memerlukan bahan organik dan akan hidup baik di daerah yang dapat menyediakan banyak bahan organik (Soepardi, 1983). Isopoda adalah salah satu ordo Crustacea pemakan bahan organik yang hidup di tumpukan serasah yang lapuk (Wallwork, 1970). Kelompok Crustacea ini umumnya ditemukan pada habitat yang basah dan gelap, makanannya terutama bahan organik yang telah hancur, daun-daunan dan sampah (Adianto, 1993).

Coleoptera merupakan salah satu dari insekta yang tinggal di dalam atau di atas tanah dalam bentuk larva dan dewasa. Kebanyakan merupakan hewan kecil predator tetapi dapat juga memakan bahan-bahan tumbuhan, jamur, alga, kayu, kotoran, bangkai dan sebagainya. Jumlah kumbang sangat besar dan habitatnya bervariasi, beberapa spesies menghabiskan hidupnya di dalam sampah, sedangkan yang lainnya menggali tanah dengan kedalaman beberapa sentimeter serta membawa kotoran atau bentuk bahan organik lainnya ke dalam tanah tersebut (Adianto, 1993).

b) Mesofauna

Odum (1998) menyebutkan bahwa mesofauna tanah meliputi cacing-cacing Oligochaeta kecil (Enchytraeid), larva serangga yang disebut mikroarthropoda. Mikroarthropoda seperti tungau tanah (Acarina) dan springtail (Collembola) yang merupakan kelompok-kelompok fa una yang paling banyak ditemukan di dalam tanah. Fauna tanah ini toleran terhadap tanah masam dan juga berperan sebagai dekomposer (Wallwork, 1970). Ma’shum et al. (2003),

(18)

menyebutkan bahwa Collembola banyak ditemukan pada permukaan tanah hutan, dan tertumpuk pada lapisan atas yaitu di lapisan serasah atau humus. Collembola tidak mampu membuat lubang di dalam tanah, oleh karena itu distribusi vertikal pada masing- masing tempat beragam, bergantung pada distribusi ukuran pori tanah tersebut. Ukuran pori tanah umumnya semakin kecil dengan bertambahnya kedalaman tanah, dengan demikian kemungkinan besar, banyak ditemukan Collembola berukuran kecil dan jumlahnya yang semakin sedikit. Selain bergantung pada ukuran pori, distribusi vertikal dipengaruhi pula oleh faktor lingkungan terutama kelembaban dan tersedianya makanan di lapis tanah.

c) Mikrofauna

Protozoa merupakan organisme unicelluler, dengan ukuran sel umumnya kurang 100 mm. Semua kegiatannya dilakukan oleh protoplasma dalam sel. Protozoa dalam kondisi lingkungan tanah yang tidak menguntungkan (seperti: bersuhu tinggi, kekeringan dan tercemar pestisida) dapat tetap hidup mempertahankan diri dengan membentuk kista (cyst). Dalam tanah jumlah protozoa ditemukan sangat berlimpah. Namun demikian, kelimpahan protozoa dipengaruhi oleh kondisi tanah. Sebagai contoh, jumlah Protozoa terbesar di dalam tanah terjadi pada kurun waktu basah dengan hujan yang berlangsung secara terus- menerus setelah mengalami periode kering (Ma’shum et al., 2003).

Menurut Gupta dan Yeast (1997) dalam Cole man et al. (2004) protozoa sensitif pada lingkungan yang buruk dan perubahan distribusi dan aktivitas akan mempengaruhi kesuburan tanah. Nematode dijumpai hampir di semua macam tanah dan jumlah mereka cukup banyak. Nematode ini bulat seperti cacing tanah,

(19)

hanya ukurannya sangat kecil dan hanya dapat dilihat dengan mikroskop (Soepardi, 1983).

2.1.2 Keberadaan dalam Tanah

Pengelompokan fauna tanah berdasarkan keberadaannya di dalam tanah dibagi empat kategori yaitu transient, temporary, periodic dan permanent. Pengelompokan tersebut dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengelompokan Fauna Tanah Berdasarkan Keberadaan di Dalam Tanah

Kategori Keterangan Contoh

Fauna Transient Fauna yang meletakkan telur, dan kepompongnya

di dalam tanah, tetapi ketika masuk tahap kehidupan yang aktif tidak lagi berada di dalam tubuh tanah

Beberapa insekta

Temporary Awal kehidupan aktifnya berada di beberapa dalam tanah, sedangkan kehidupan selanjutnya berada di luar tanah

Larva dari insekta

Periodic Fauna yang sering sekali keluar masuk tanah Beberapa insekta Permanent Seluruh siklus hidupnya berlangsung di dalam tanah Collembola

Acari Sumber : Hole (1981) dalam Ma’shum et al. (2003)

2.1.3 Perilaku makan

Wallwork (1970) membagi fauna tanah berdasarkan perilaku makan menjadi :

1. Canivore yaitu predator (Carabidae, Pselaphidae, Scydmaenidae, kumbang Staphylinidae, tungau Mesotigmata dan Prostigmata , Spiders, Scorpions, Centipedes, Nematode, Mollusca), dan binatang parasit (Ichneumonidae, Diptera parasit dan Nematode).

2. Phytophagous terdiri dari fauna pemakan tumbuhan yaitu Mollusca dan larva Lepidoptera; fauna pemakan akar tanaman yaitu Nematode parasit tanaman, Symphylidae, larva Diptera, Coleoptera dan Lepidoptera,

(20)

Mollusca dan Orthoptera pelubang dan fauna pemakan kayu yaitu rayap, larva kumbang dan tungau Phthiracaroidae.

3. Saprophagous yaitufauna yang makan tanaman mati dan bahan organik yang busuk (Lumbricidae, Enchytraeid, Isopoda, Millipedes, tungau, Collembola dan serangga).

4. Microphytic-feeders yaitu fauna pemakan jamur dan spora, alga, lichens dan bakteri misalnya tungau Saprophagous, Collembola, serangga pemakan fungi seperti semut dan rayap.

5. Miscellaneous-feeders yaitu fauna pemakan tanaman atau hewan baik segar atau busuk, kayu misalnya Nematode, tungau Cryptostigmatidae, Collembola dan larva Diptera dan Coleoptera.

2.2 Peranan Fauna Tanah

Menurut Purwowidodo (1992) fauna tanah berperan penting dalam menghancurkan dan menguraikan bahan organik sehingga fauna tanah memiliki arti dalam memperbaiki sifat-sifat tanah, yaitu :

2.2.1 Sifat Fisik

Salah satu kegiatan makrofauna tanah ialah terbentuknya krotovina dalam profil tanah. Krotovina ialah kantong atau terowongan yang dibuat oleh hewan penggali di dalam profil tanah yang berisi bahan tanah atau bahan lain yang diangkut dari tempat lain (Notohadiprawiro, 1998).

Fauna tanah memiliki pengaruh yang besar terhadap kondisi tanah. Misalnya makrofauna seperti cacing tanah, rayap dan semut memiliki pengaruh penting terhadap struktur tanah, aerasi, drainase dan pori-pori tanah yaitu melalui

(21)

pergerakan tubuhnya pada saat mencari makanan, mengangkut bahan organik ke bagian tanah yang lebih dalam dengan menggali lubang serta membuat terowongan dalam tanah (Pankhurst, 1999b).

2.2.2 Sifat Kimia

Masuknya cacing tanah ke dalam tanah mengakibatkan perubahan beberapa sifat kimia tanah meliputi (1) meningkatkan kandungan bahan organik, (2) kandungan unsur hara tersedia, dan (3) kapasitas tukar kation. Hal ini disebabkan kotoran cacing tanah mengandung lebih banyak unsur ha ra dan C-organik daripada tanah aslinya (Ma’shum et al., 2003). Umumnya rayap mengakumulasi bahan organik dalam gundukan tanah, sehingga pada tempat tersebut terkandung kation-kation basa serta hara tanaman yang lebih tinggi jika dibandingkan denga n tanah sekitarnya. Oleh karena itu gundukan tanah yang dibangun oleh rayap ini banyak digunakan sebagai sumber kapur bagi tanaman, sebagaimana yang dilaporkan di Tanzania dan Thailand (Ma’shum et al., 2003). 2.2.3 Sifat Biologi

Mikroflora terlibat secara erat dalam pelapukan bahan organik yang berasosiasi dengan fauna. Sebagai tambahan mikroflora itu aktif dalam saluran pencernaan dari berbagai binatang (Soepardi, 1983). Kotoran cacing berpengaruh terhadap keragaman populasi mikroorganisme. Umumnya tanah yang dihuni cacing tanah, populasi bakteri lebih besar jumlahnya daripada fungi. Bakteri-bakteri tersebut umumnya berdomisili di sekitar liang-liang yang dibuat oleh cacing tersebut (Ma’shum et al., 2003).

(22)

Pengaruh fauna tanah terhadap sifat tanah dalam ekosistem dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh Fauna Tanah Terhadap Sifat Tanah Dalam Ekosistem

Fauna Tanah Siklus Hara Struktur Tanah

Mikrofauna Menga tur populasi bakteri dan fungi

Perombakan unsur hara

Mempengaruhi struktur agregat tanah dan berinteraksi dengan mikroflora

Mesofauna Mengatur populasi fungi dan populasi mikrofauna

Perombakan unsur hara Menghancurkan sisa tanaman

Menghasilkan fecal pellets Menciptakan biopore Meningkatkan humifikasi

Makrofauna Menghancurkan sisa tanaman, Merangsang kegiatan

mikroorganisme

Mencampurkan bahan organik dan bahan mineral

Penyebaran bahan organik dan mikroorganisme

Menciptakan biopore Meningkatkan humifikasi Menghasilkan fecal pellets Sumber : Hendrix et al. 1990 dalam Coleman et al. 2004

2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Aktivitas Fauna Tanah

Aktivitas cacing tanah pada umumnya dipengaruhi oleh pH, kelembaban dan suhu tanah yang mempengaruhi pertumbuhan, reproduksi dan metabolisme, kandungan bahan organik sebagai makana n (Wallwork, 1970) dan kehadiran pesaing, pemangsa dan struktur tanah (Purwowidodo, 2005). Populasi cacing tanah dan kumbang sangat dipengaruhi oleh pengolahan tanah baik berupa pengapuran, pemupukan maupun penggunaan pestisida (Siswati, 2001).

Menurut Suin (1997), pengukuran pH tanah sangat penting dalam ekologi fauna tanah karena keberadaan dan kepadatan fauna tanah yang sangat tergantung pada pH tanah. Fauna tanah ada yang dapat hidup pada tanah dengan pH masam dan ada pula yang senang pada tanah yang pH nya basa. Suin (1997) juga

(23)

menambahkan kadar air tanah sangat menentukan kehidupan fauna tanah. Pada tanah yang kadar air nya rendah, jenis hewan tanah yang hidup padanya sangat berbeda dengan hewan tanah yang hidup pada tanah yang kadar airnya tinggi. Selain itu juga kepadatan fauna tanah juga sangat bergantung pada kadar air tanah. Umumnya tanah yang memiliki kadar air tanah yang rendah, memiliki kepadatan fauna tanah yang rendah.

Menurut Rahmawaty (2004), pada permukaan tanah di lahan hutan, terdapat cukup banyak serasah yang berasal dari vegetasi sekitarnya, mesofauna tanah akan melakukan kegiatan dalam mendekomposisi serasah menjadi lebih sederhana sehingga terjadi penambahan akumulasi bahan organik di dalam tanah. Akumulasi bahan organik yang dilakukan oleh cacing tanah, serangga dan hewan-hewan tanah lainnya, membentuk unsur hara yang menjadi nutrisi bagi tanaman yang terdapat di hutan. Keadaan lingkungan, vegetasi bawah dan jenis tanah hutan merupakan suatu kombinasi yang mempengaruhi kelembaban, suhu dan makanan (Burge s and Raw, 1967).

2.4 Pengukuran Aktivitas Fauna Tanah

Notohadiprawiro (1998) menyatakan bahwa keseluruhan komponen organik tanah, baik hidup maupun mati, disebut bahan organik tanah. Komponen organik hidup terdiri atas flora, fauna dan akar tumbuhan. Komponen organik mati berupa flora, fauna dan akar tumbuhan mati yang terdekomposisi sebagian atau seluruhnya, dan zat-zat organik baru yang berasal dari sisa jaringan tumbuhan dan hewan. Dekomposisi adalah perombakan bahan organik menjadi senyawa organik yang lebih sederhana (Notohadiprawiro, 1998).

(24)

Menurut Tisdale dan Nelson (1975) dalam Adianto (1993), sumber bahan organik adalah jaringan tumbuhan. Di dalam daun, ranting, cabang, batang dan akar tumbuhan merupakan sumbangan sejumlah bahan organik. Bahan-bahan ini akan mengalami dekomposisi dan terangkut ke lapisan yang lebih dalam dari tanah. Fauna biasanya dianggap sebagai penyumbang bahan organik kedua setelah tumbuhan. Fauna tanah akan menggunakan bahan organik sebagai sumber energi dan bila hewan-hewan ini mati maka tubuhnya merupakan sumber bahan organik yang baru.

Ma’shum et al. (2003) menyatakan proses dekomposisi bahan organik di dalam tanah memiliki beberapa tahapan proses. Tahapan pertama adalah tahap penghancuran bahan organik segar menjadi partikel yang berukuran kecil-kecil yang dilakukan oleh cacing tanah dan makrofauna yang lain. Tahapan selanjutnya yaitu tahapan transformasi, yang mana pada tahap ini sebagian senyawa organik akan terurai dengan cepat, sebagian terurai dengan kecepatan sedang dan sebagian yang lain terurai secara lambat.

Pengukuran aktivitas fauna tanah dapat dilakukan dengan menggunakan metode Litterbag dan Bait lamina (feeding activity). Dalam mempelajari pengaruh penggunaan lahan terhadap kesuburan tanah, kualitas tanah dan siklus hara serta peranan fauna tanah dalam mendekomposisi bahan organik di dalam tanah, dapat digunakan metode Litterbag. Pendekatan metode ini berdasarkan perbedaan ukuran tubuh fauna tanah dalam proses dekomposisi. Pendekatan ini menunjukkan pentingnya peranan fa una tanah dalam dekomposisi bahan organik antar lokasi. Litterbag memungkinkan peranan mikroflora (Bakteri, Fungi dan Aktinomycetes), mikrofauna (Protozoa dan Nematode), mesofauna (Collembola,

(25)

Tungau) dan makrofauna (Arthropoda dan Cacing) dalam proses dekomposisi bahan organik (Killham, 1994).

Laju dekomposisi telah dipelajari dengan menggunakan litterbag yang terbuat dari stainless-steel, berukuran 20 x 20 cm dengan ukuran mesh yang berbeda yaitu 0.038 mm, 0.25 mm dan 10 mm. Litterbag yang berukuran 10 mm dapat melibatkan semua fauna tanah, 0.25 mm tidak melibatkan makrofauna; dan 0.038 mm tidak melibatkan meso- maupun makrofauna (Widyastuti, 2002).

Coleman et al. (2004) menyatakan litterbag yang berisi serasah daun dan sejenisnya ditempatkan pada lantai hutan. Kemudian litterbag tersebut dikumpulkan pada suatu waktu dan dihitung sisa serasah yang ada dalam litterbag. Litterbag merupakan metode yang berharga dalam memp elajari perbandingan laju dekomposisi.

Bait lamina yang terbuat dari lempengan plastik, dimasukan ke dalam tanah yang didesain untuk mengukur tingkat pencemaran tanah dan proses dekomposisi bahan organik yang melibatkan fauna tanah (Godwin and O’Neill, 2007). Bait lamina merupakan metode yang sederhana yang tidak memerlukan waktu yang lama dalam mengukur aktivitas fauna tanah. Aktivitas fauna tanah dihitung dari banyaknya lubang yang kosong setelah dimasukan ke dalam tanah yang berkisar 2 sampai 7 hari (Widyastuti, 2006).

(26)

III. BAHAN DAN METODE

3.1 Tempat dan Waktu

Penelitian dilakukan di Desa Situdaun, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor. Uji laju dekomposisi dilaksanakan di Laboratotorium Bioteknologi Tanah. Analisis kimia tanah dilaksanakan di Laboratorium Kimia dan Kesuburan Tanah, Departeman Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan bulan Februari 2008 sampai awal Juni 2008.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah serasah yang berasal dari areal lahan hutan, pekarangan dan kebun. Vegetasi yang terdapat di hutan yaitu pinus, bambu, paku-pakuan, semak belukar, di pekarangan terdapat nangka, jeruk, mangga, talas, sirsak, dan pisang, sedangkan di kebun didominasi oleh markisa, rerumputan, dan talas. Bahan-bahan lain yang digunakan adalah bahan-bahan kimia untuk analisis N, P, K, C-organik dan pH.

Alat yang digunakan adalah litterbag dengan tiga ukuran mesh yang berbeda yaitu: halus (0.038 mm), sedang (0.25 mm), kasar (10 mm), kantung plastik, karung goni, skop, cangkul, timbangan, cawan porselen, cawan aluminium, lem stainless-steel, tali rafiah, oven 1050C, mesin penggiling tanaman, muffle dengan suhu 7000C, alat tulis, alat dokumentasi dan alat-alat yang digunakan dalam analisis kimia.

(27)

3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Persiapan

Serasah yang digunakan pada penelitian ini adalah serasah yang berada di sekitar lahan hutan, perkarangan dan kebun. Serasah dari ketiga tipe penggunaan lahan tersebut dicampur dan dipotong-potong sepanjang ± 2 cm dan dikeringudarakan, setelah itu ditimbang sebanyak 10 gram dan serasah dimasukan ke dalam masing- masing kantung litterbag yang berukuran kasar, sedang dan halus. Kantung litterbag yang telah diisi dengan serasah, dirapatkan dengan lem stainless-steel dan diberi label jenis penggunaan lahan dan waktu pengambilan litterbag. Kantung-kantung litterbag tersebut kemudian diekspos di lapang pada hari ke-30, 60 dan 90 .

3.3.2 Pelaksanaan Penelitian

1. Litterbag yang telah disiapkan, dibenamkan ke dalam tanah dengan kedalaman 5–7 cm pada lima titik secara acak di hutan, pekarangan dan kebun. Setiap titik dibenamkan sebanyak 3 set (satu set terdiri dari litterbag berukuran kasar, sedang dan halus). Setiap set dibuat berdasarkan waktu eksposnya (hari ke-30, 60 dan 90).

2. Pada hari ke-30, 60, dan 90, litterbag tersebut diambil sebanyak 1 set, serasahnya dikeluarkan, dibersihkan dan dicuci dengan air, agar tanah yang menempel pada serasah tersebut hilang.

3. Berat serasah yang yang telah dibersihkan, dikeringudarakan dan ditimbang, selanjutnya serasah yang telah dikeringudarakan dimasukan ke dalam oven 1050C selama 24 jam.

(28)

4. Hitung BKM serasah.

5. Serasah dihancurkan/digiling dengan menggunakan mesin penggiling tanaman, kemudian dimasukkan ke dalam muffle dengan suhu 7000C, didiamkan selama ± 3 jam, dan ditimbang berat abunya. Tujuan dari pengabuan ini adalah untuk memisahkan substrat dengan material lainnya, (misalnya tanah) yang berada pada serasah dan akhirnya mendapatkan substrat yang sesungguhnya.

6. Berat substrat sebelum diekspos, dihitung faktor koreksinya.

7. Laju dekomposisi dihitung dengan menghitung selisih berat sebelum diekspos dengan berat substrat sesudah diekspos

8. Rumus perhitungan ( Coleman et al., 2004)

A = Berat serasah sebelum dibenamkan/diekspos (BKM). BKM = 10 / (1 + F1)

F1 = Rataan Kadar Air Serasah Sebelum dibenamkan/diekspos

B = Berat serasah setelah dibenamkan/diekspos (BKM). C = Berat Abu (kandungan abu)

C = F2 x A

F2 = Rata-rata kandungan abu sebelum dibenamkan/diekspos E = (A-C) - (B-D)

(29)

D = Berat Abu serasah setelah dibenamkan/diekspos D = F3 x B

F3 = Rata-rata kandungan abu setelah dibenamkan/diekspos

E = Serasah yang hilang setelah dibenamkan/diekspos. X = Sisa Serasah (%)

3.3.3Analisis Tanah

Pengambilan contoh tanah untuk analisis sifat kimia dilakukan secara komposit (composit sampling) dengan berat 1 kg setiap tipe penggunaan lahan. Dari sampel tanah yang diambil dilakukan pengukuran atau penetapan analisis laboratorium yaitu pengukuran atau penetapan pH, C–organik, N, P dan K. Sifat fisik tanah meliputi kadar air tanah, tekstur, suhu permukaan tanah, suhu udara, kelembaban permukaan tanah.

3.3.4 Analisis Data

Data dianalisis dengan memakai program Microsoft Excel 2003 dan menggunakan Analisis Regresi Eksponensial.

(30)

IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Desa Situdaun, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor, Propinsi Jawa Barat. Awalnya Desa Situdaun merupakan bagian dari Kecamatan Ciampea, dan pada tahun 2004 pemerintah melakukan pemekaran, membagi Kecamatan Ciampea menjadi dua bagian yaitu Kecamatan Ciampea terdiri dari 13 desa dan Kecamatan Tenjolaya yang terdiri dari 6 desa, yakni Desa Tapos I, Desa Tapos II, Desa Cibitung Tengah, Desa Cinangneng, Desa Situdaun dan Desa Gunung Malang.

Luas wilayah Desa Situdaun adalah 360.12 Ha dengan jumlah penduduk mencapai 7.589 orang. Berdasarkan data administrasi desa, lokasi penelitian berbatasan dengan Desa Cihideung Udik di sebelah Utara, Desa Gunung Malang di sebelah Selatan, Kali Cinangneng di sebelah Barat dan di sebelah Timur Kali Cihideung serta terdapat sekitar 26 sumber mata air.

4.2 Iklim dan Topografi

Lokasi penelitian memiliki curah hujan rata-rata 2898 mm/tahun. Karena adanya keterbatasan alat yang dimiliki oleh pihak BMG maka data curah hujan, temperatur dan kelembaban dipilih wilayah yang terdekat dengan lokasi penelitian yaitu Desa Cihideung, Kecamatan Ciampea. Data yang dipeloreh dari klimatologi BMG Bogor, temperatur rata-rata bulanan berkisar 19.9-33.60C dan kelembaban udara rata-rata bulanan berkisar 81-89%. Curah hujan tertinggi dari bulan Februari sampai Mei yaitu pada bulan Februari berkisar 3385 mm. Wilayah Desa Situdaun

(31)

berada pada ketinggian 450 m dari permukaan laut. Topografi daerah Situdaun merupakan wilayah datar hingga berbukit.

4.3 Tanah

Berdasarkan data yang diperoleh dari Balai Pusat Penelitian Tanah, pada Peta Tanah Semi Detail dengan skala 1:50000 tahun 1979 dan hasil analisis laboratorium. Tanah pada lokasi penelitian ini termasuk jenis Tanah Latosol. Pada umumnya Latosol terdapat di daerah yang memiliki ketinggian 10 hingga 1000 m dari permukaan laut dengan curah hujan lebih dari 2000 mm/tahun, bulan kering kurang dari tiga bulan dan bertopografi datar sampai bergunung dan di Jawa ditemukan Latosol tua bersolum sangat dalam telah berkembang dan kebanyakan terdapat di atas batuan dan tufa volkanik (Suwardi, 2000). Tanah Latosol mempunyai distribusi liat yang tinggi berkisar 47.98% - 91.55% dan memiliki pH yang rendah berkisar 4.7-5.4. Kondisi geologi berasal dari batuan vulkanik yang terbentuk dari hasil endapan Gunung Salak

4.4 Vegetasi

Vegetasi yang terdapat pada lahan hutan paling banyak terdapat bambu dan pinus selain itu terdapat paku-pakuan dan semak belukar. Pada pekarangan terdapat tanaman hias, pisang, sirsak, nangka, kelapa, mangga dan rerumputan. Sedangkan di lahan kebun didominasi vegetasi markisa, selain itu terdapat talas, putri malu dan rerumputan. Penggunaan lahan di daerah penelitian ini umumnya lahan pertanian dan empang. Umumnya vegetasi pada lahan pertanian di daerah penelitian ini adalah caisin, katuk, jagung, terong, umbi dan padi.

(32)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Laju Dekomposisi Serasah Berdasarkan Perbedaan Ukuran Litterbag Pada Ketiga Tipe Penggunaan Lahan.

Laju dekomposisi serasah pada ketiga tipe penggunaan la han, yaitu hutan, pekarangan dan kebun disajikan pada Tabel 3. Dari Tabel 3 terlihat laju dekomposisi serasah di ketiga tipe penggunaan lahan tersebut berbeda. Hal ini dikarenakan fauna tanah yang berperan dalam proses dekomposisi dipengaruhi faktor- faktor lingkungan yang sesuai. Purwowidodo (2005) menyatakan bahwa kehadiran fauna tanah pada suatu tempat dipengaruhi oleh faktor- faktor lingkungannya seperti; kehadiran pesaing dan pemangsa, ketersediaan makanan, pH, suhu dan kelembaban.

Tabel 3. Rata-Rata Berat Sisa Serasah (%) dengan Ukuran Litterbag yang Berbeda pada Ketiga Tipe Penggunaan Lahan

Tipe Penggunaan Lahan dan Ukuran Litterbag

Hari 30 60 90 Sisa Serasah (%) Hutan Kasar 32.3 b1 11.4 b2 7.0 b2 Sedang 56.1 a1 46.8 a2 38.5 a3 Halus 60.1 a1 49.4 a2 42.3 a3 Pekarangan Kasar 41.8 b1 16.2 b2 7.9 b2

Sedang 53.9 ab1 48.2 a12 41.5 a2

Halus 57.7 a1 47.8 a2 40.5 a3

Kebun

Kasar 51.9 a1 30.2 b2 25.7 a2

Sedang 60.1 a1 54.6 a1 40.2 a2

Halus 62.1 a1 51.2 a2 44.4 a2

Keterangan : Nilai rata pada kolom yang diikuti oleh huruf yang sama dan nilai rata-rata pada baris yang diikuti oleh angka yang sama tidak berbeda nyata menurut uji lanjut Duncan 5% berdasarkan waktu (hari) dan ukuran

(33)

Lamanya waktu (hari) akan mempengaruhi proses dekomposisi serasah, semakin lamanya waktu dalam proses dekomposisi maka bahan-bahan yang dirombak/dihancurkan menjadi lebih sederhana dan berkurang. Pada Tabel 3 terlihat berat sisa serasah semakin berkurang pada hari ke-30, 60 dan 90. Pada ketiga tipe penggunaan lahan, tejadi penurunan persentase sisa serasah yang sangat tajam pada 30 hari pertama. Hal ini dikarenakan fauna tanah lebih dahulu memakan serasah yang mudah didekomposisi.

0 20 40 60 80 100 0 30 60 90 Waktu (Hari) Sisa Serasah (%) Hutan Pekarangan Kebun

Gambar 1. Laju Dekomposisi Serasah yang Ditunjukkan oleh Penurunan Persentase Sisa Serasah Berdasarkan Perbedaan Litterbag Kasar di Ketiga Tipe Penggunaan Laha n

Ukuran litterbag juga mempengaruhi laju dekomposisi serasah terlihat pada Tabel 3. Pada litterbag yang kasar terdapat rata-rata berat sisa serasah yang lebih kecil daripada ukuran sedang dan halus. Hal ini dikarenakan, semua fauna tanah baik yang berukuran mikro-, meso- maupun makro dapat masuk ke dalam litterbag kasar dan terlibat dalam proses dekomposisi serasah. Pada ketiga tipe penggunaan lahan, laju dekomposisi serasah berdasarkan ukuran litterbag yang paling tinggi pada ukuran kasar. Dari Gambar 1 dapat dilihat laju dekomposisi yang paling tinggi yaitu pada litterbag kasar di tipe penggunaan lahan hutan.

(34)

Pada Gambar 2 terlihat laju dekomposisi serasah di ketiga tipe penggunaan laha n ditunjukkan oleh penurunan persentase sisa serasah berdasarkan perbedaan litterbag sedang. Ukuran sedang memiliki laju dekomposisi serasah yang tinggi setelah ukuran kasar. Hal ini dikarenakan fauna tanah yang dapat masuk hanya mikro- dan mesofauna. Penurunan persentase sisa serasah pada tiga tipe penggunaan lahan tidak terlalu berbeda yaitu pada hari ke-30, 60 dan 90, urutan laju dekomposisi yang tinggi pada litterbag sedang selalu berubah-ubah. Hal ini dikarenakan bahwa fauna tanah dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan

0 20 40 60 80 100 0 30 60 90 Waktu (Hari) Sisa Serasah (%) Hutan Pekarangan Kebun

Gambar 2. Laju Dekomposisi Serasah yang Ditunjukkan oleh Penurunan Persentase Sisa Serasah Berdasarkan Perbedaan Litterbag Sedang di Ketiga Tipe Penggunaan Laha n

Pada ketiga tipe penggunaan lahan, ukuran litterbag halus memiliki laju dekomposisi yang rendah, hal ini dikarenakan ukuran mesh (0.038 mm) yang sangat kecil, memungkinkan mikroorganisme dapat masuk ke dalam litterbag halus. Dari Gambar 3 terlihat laju dekomposisi serasah berdasarkan penurunan persentase sisa serasah dan lamanya waktu yang paling tinggi pada litterbag halus terdapat pada pekarangan. Hal ini dimungkinkan mikroorganisme yang ada di

(35)

pekarangan lebih tertarik pada litterbag halus dalam proses mendekomposisi serasah. 0 20 40 60 80 100 0 30 60 90 Waktu (Hari) Sisa Serasah (%) Hutan Pekarangan Kebun

Gambar 3. Laju Dekomposisi Serasah yang Ditunjukkan oleh Penurunan Persentase Sisa Serasah Berdasarkan Perbedaan Litterbag Halus di Ketiga Tipe Penggunaan Laha n

5.2 Laju Dekomposisi Serasah Pada Ketiga Tipe Penggunaan Lahan.

Laju dekomposisi serasah paling tinggi terdapat di tipe penggunaan lahan hutan kemudian diikuti oleh pekarangan dan terakhir kebun. Hal ini didukung dengan hasil penelitian Angraeni (2008, tidak dipublikasi), yang melaporkan bahwa jumlah populasi makrofauna yang ditemukan pada lahan hutan dan pekarangan lebih besar dibandingkan lahan kebun. Banyaknya serasah di hutan mengakibatkan terjadinya akumulasi bahan organik dalam tanah yang dapat dimanfaatkan oleh fauna tanah sebagai sumber energi. Dibandingkan dengan penggunaan lahan lainnya, hutan memiliki kandungan C-organik tertinggi yaitu sebesar 1.68% (Tabel Lampiran 1). Kadar air tanah di hutan lebih tinggi dibandingkan dengan pekarangan dan kebun yaitu sebesar 40.84%, hal ini akan

(36)

memberikan kondisi yang sesuai bagi fauna tanah serta akan mempengaruhi jumlah fauna tanah di hutan (Angraeni, 2008, tidak dipublikasi).

Pada Gambar 4 terlihat jelas penurunan laju dekomposisi serasah pada ketiga tipe penggunaan lahan berdasarkan persentase sisa serasah dan lamanya waktu diekspos. 0 20 40 60 80 100 0 30 60 90 Waktu (Hari) Sisa Serasah (%) Hutan Pekarangan Kebun

Gambar 4. Laju Dekomposisi Serasah yang Ditunjukkan oleh Penurunan Persentase Sisa Serasah pada Ketiga Tipe Penggunaan Lahan.

5.2.1 Lahan Hutan

Laju Dekomposisi serasah di hutan terlihat penurunan serasah yang tajam sampai dengan hari ke 30 dan 60 (Gambar Lampiran 1). Serasah yang sisa dalam litterbag sebesar 32.3% dan 11.4% dari berat awal (100%). Hal ini dikarenakan fauna tanah lebih dahulu memakan serasah yang mudah didekomposisi. Pada lahan hutan terdapat beragam vegetasi dan bahan organik yang banyak, ekosistem ini disukai oleh fauna tanah karena tersedia nya sumber makanan yang melimpah dan vegetasi yang dapat melindungi fauna tanah dari sinar matahari langsung. Menurut Allison (1973) fauna tanah maupun fauna penghuni serasah, populasinya melimpah pada tanah yang tertutup vegetasi. Daun-daun jatuhan, akar, batang

(37)

yang melapuk merupakan bahan makanan organisme tanah. Serasah merupakan bahan pelindung untuk jumlah hewan tertentu dan sebagian besar menghabiskan hidup di dalam tanah. Lapisan serasah merupakan lapisan yang memiliki kondisi yang lebih menguntungkan bagi keberadaan fauna tanah. Kondisi ini mendorong berbagai fauna tanah untuk memusatkan aktivitasnya di lapisan serasah.

Pada bulan Februari sampai bulan Maret curah hujan tinggi (Tabel Lampiran 2) sehingga memberikan kondisi yang sesuai dan cocok bagi fauna tanah dalam menjalankan aktivitasnya. Pada hari ke-90 terjadi penurunan serasah yang lambat terlihat pada persentase sisa serasah dalam litterbag (7.0%) dari berat awal (100%), karena serasah yang tertinggal dalam litterbag terdiri dari bahan-bahan yang sulit didekompisisi oleh fauna tanah misalnya lignin. Lignin merupakan senyawa-senyawa yang sulit dilapuk dan ditemukan dalam jaringan tumbuhan tua, yaitu batang dan kayu (Soepardi, 1983).

Pada tipe penggunaan lahan hutan, serasah yang hilang pada litterbag kasar lebih banyak daripada litterbag sedang maupun halus yaitu sebesar 61.5% dan 57.7%. Hal ini dikarenakan pada litterbag kasar semua fauna tanah (makro-, meso-, dan mikrofauna) terlibat dalam proses dekomposisi bahan organik. Menurut Purwowidodo (2005), kehadiran fauna tanah pada suatu tempat dipengaruhi oleh faktor- faktor lingkungan, diantaranya adalah ketersediaan makanan. Ketersediaan makanan dan didukung dengan kondisi lingkungan yang lembab dan basah inilah yang banyak menarik fauna tanah untuk hidup dan berinteraksi antar fauna tanah dan fauna tanah dengan lingkungannya. Aktivitas fauna tana h dalam mendekomposisi serasah di hutan terlihat dari rata-rata berat sisa serasah yang hilang sebesar 38.21% (Tabel Lampiran 4).

(38)

5.2.2 Lahan Pekarangan

Pada lahan pekarangan terjadi penurunan persentase sisa serasah yang cukup tajam pada 30 hari pertama (Gambar Lampiran 2), hal ini dikarenakan fauna tanah mendekomposisi bahan-bahan yang mudah untuk didekomposisikan terlebih dahulu dan juga dipengaruhi faktor curah hujan yang cukup tinggi pada bulan Februari dan Maret. Menurut Soepardi (1983) peranan fauna tanah akan meningkat dengan pengolahan minimum, pengaruh aplikasi pestisida, dan pengambilan sisa tanaman kedalam tanah. Penurunan serasah yang terjadi antara hari ke-60 sampai hari ke-90 lebih lambat, terlihat sisa serasah sebesar 16.2% dan 7.9% dari dari berat awal (100%), karena serasah yang tersisa merupakan serasah yang sulit di dekomposisi oleh fauna tanah.

Laju dekomposisi serasah pada lahan pekarangan tidak berbeda jauh dengan hutan (Gambar 4). Pada hari ke 30 laju dekomposisi yang paling cepat berturut-turut pada litterbag kasar, sedang dan halus. Sedangkan pada hari ke 60 dan 90, laju dekomposisi serasah pada litterbag halus lebih tinggi dibandingkan litterbag sedang. Coleman et al. (2004) menyatakan iklim mikro dalam litterbag cenderung lebih lembab dibandingkan bahan organik di luar litterbag dan lebih sesuai bagi aktivitas mikrofauna. Hal ini disebabkan mikrofauna yang terlibat dalam proses dekomposisi lebih tertarik pada kondisi lembab dalam litterbag halus. Temperatur udara bulan April dan Mei tinggi dan curah hujan rendah (Tabel Lampiran 2). Hal ini mengakibatkan aktivitas fauna tanah di permukaan tanah berkurang dan bergerak mencari lingkungan yang cocok dan sesuai.

Besarnya berat serasah yang hilang dalam litterbag di pekarangan, selama 90 hari adalah 92.1%, 58.5% dan 59.5 % dari berat awal (100%) masing- masing

(39)

dalam litterbag kasar, sedang dan halus. Menurut Soepardi (1983) peranan fauna tanah akan meningkat dengan pengolahan minimum, pengaruh aplikasi pestisida, dan pengambilan sisa tanaman kedalam tanah. Jumlah populasi makrofauna pada lahan pekarangan cukup tinggi (Angraeni, 2008, tidak dipublikasi). Hal ini dimungkinkan karena tidak terjadinya pengolahan lahan dan penggunaan pupuk.

5.2.3 Lahan Kebun

Seperti halnya di lahan hutan dan pekarangan, di lahan kebun juga terjadi penurunan serasah yang cukup tajam pada 30 hari pertama yaitu sebesar 51.9% (Gambar Lampiran 3). Pada hari ke-90 terjadi penurunan serasah yang lambat, terlihat dari sisa serasah dalam litterbag sebesar 25.7% dari berat awal (100%). Hal ini mungkin disebabkan adanya pergantian tanaman yang dilakukan petani, yang mengakibatkan aktivitas fauna tanah semakin berkurang di permukaan tanah, dan mencari habitat yang lebih sesuai. Menurut Adianto (1993) perubahan lingkungan habitat dapat menurunkan atau menaikkan populasi suatu organisme dan menyebabkan bermigrasinya suatu kelompok fauna tanah ke tempat yang lebih sesuai untuk hidupnya dan bahkan hilangnya suatu spesies atau kelompok fauna tanah dari habitat aslinya yang telah mengalami perubahan.

Serasah yang hilang pada lahan kebun sebesar 74.5% dibandingkan hutan sebesar 93% dan pekarangan sebesar 92.1%. Pada hari ke-30 dan 90, laju dekomposisi paling tinggi pada litterbag kasar, sedang dan halus. Sedangkan pada hari ke 60 laju dekomposisi pada litterbag halus lebih tinggi daripada litterbag sedang. Hal ini disebabkan fauna tanah yakni mikroorganisme terlibat dalam

(40)

proses dekomposisi lebih tertarik pada kondisi lembab di dalam litterbag halus sehingga aktivitas mikroorganisme dalam mendekomposisi serasah lebih tinggi.

Rendahnya laju dekomposisi pada lahan kebun kemungkinan disebabkan oleh jumlah populasi makrofauna yang sangat rendah, hal ini sesuai dengan hasil penelitian Angraeni (2008, tidak dipublikasi). Kehidupan dan aktivitas fauna tanah akan terganggu dikarenakan petani menggunakan pestisida, pemupukan dan pengolahan tanah yang intensif. Vegetasi yang ada di sekitar kebun digunakan petani sebagai makanan ternak dan juga terdapatnya bahan organik yang berasal dari daun, buah markisa yang busuk dan jatuh ke permukaan tanah relatif sedikit, sehingga bahan organik yang dimanfaatkan fauna tanah juga sedikit. Hal ini mengakibatkan kehidupan dan aktivitas fauna tanah akan terganggu dan menurun.

(41)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Laju dekomposisi serasah paling tinggi terdapat pada tipe penggunaan lahan hutan yaitu pada litterbag kasar, sedang dan halus berturut-turut 93%, 61.5% dan 57.7%, kemudian diikuti oleh pekarangan berturut-turut 92.1%, 58.5% dan 59.5% dan yang terendah pada kebun yaitu berturut-turut sebesar 74.5%, 56.8% dan 55.6%. Rendahnya laju dekomposisi menunjukkan aktivitas fauna tanah yang rendah juga. Lahan kebun memiliki aktivitas fauna tanah yang rendah dalam mendekomposisi serasah dikarenakan pengolahan tanah yang intensif dan pemupukan serta sedikitnya variasi vegetasi dan bahan organik yang tersedia.

6.2 Saran

Fauna tanah berperan penting dalam meningkatkan kesuburan tanah. Maka sebaiknya perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai aktivitas fauna tanah dalam mendekomposisi bahan organik dalam jangka waktu yang lama serta membandingkan tipe penggunaan lahan seperti lahan sereal, lahan hortikultura, dan lahan rerumputan.

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Angraeni, S. 2008. Aktivitas dan Keanekaragaman Makrofauna Tanah pada Tiga Tipe Penggunaan Lahan di Desa Situdaun, Kecamatan Tenjolaya. Skripsi. Jurusan Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. (Tidak dipublikasi).

Adianto. 1993. Biologi Pertanian, Pupuk Kandang, Pupuk Organik Nabati dan Insektisida. Alumni. Bandung.

Allison, E. 1973. Soil Organic Matter and Its Role In Crop Production. Elsevier Scientific Publishing Company. New York.

Burges. A and F. Raw. 1967. Soil Biology. Academic Press. New York.

Cole man, D. C ; D. A. Crossley and P. F. Hendrix. 2004. Fundamentals of Soil Ecology, Second Edition. Academic Press. New York.

Godwin, H and K. O’Neill. 2007. A Modified Colorimetric Method For Estimating Litter Decomposition by Soil Microinvertebrates. www.google.co.id (Diakses 5 Agustus 2008)

Killham, K. 1994. Soil Ecology. Cambridge University Press. Melbourne.

Ma’shum, M ; J. Soedarsono dan L. N. Susilowati. 2003. Biologi Tanah .CPIU Pasca IAEUP Bagpro Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.

Maftu’ah, E ; M. Alwi dan M. Willis. 2005. Potensi Makrofauna Tanah Sebagai Bioindikator Kualitas Tanah Gambut. http://bioscientiae.tripod.com (Diakses 28 Februari 2008)

Notohadiprawiro, T. 1998. Tanah dan Lingkungan. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Jakarta.

Odum, E. P. 1998. Dasar-Dasar Ekologi. Edisi ketiga. Terjemahan Tjahjono Samingan. Gadjah Mada University Press.

Pankhurst, C. E . 1999b. Towards management of soil biotic processes in tropical and temperate cropping systems. In Reddy, M. V (editor). Management of tropical agroecosystems and the beneficial soil biota. Science Publishers, Inc. USA.

(43)

Purwowidodo. 1992. Metode Selidik Tanah. Jurusan Manejemen Hutan. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

. 2005. Panduan Praktikum Ilmu Tanah Hutan ”Mengenal Tanah”. Bogor. Laboratorium Pengaruh Hutan. Jurusan Manejemen Hutan, Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Siswati. 2001. Biodiversitas Makrofauna Tanah di Berbagai Tipe Penggunaan

Lahan pada Andisol Pasir Sarongge. Skripsi. Jurusan Ilmu tanah dan Sumberdaya Lahan. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu Tanah dan

Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suin, N. M. 1997. Ekologi Fauna Tanah. Bumi Aksara. Jakarta.

Suwardi dan H. Wiranegara. 2000. Penuntun Praktikum Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Jurusan Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Rahmawaty. 2004. Studi Keanekaragaman Mesofauna Tanah di Kawasan Hutan Wisata Alam Sibolangit. www.usu.co.id (Diakses 28 Februari 2008) Wallwork, J. A. 1970. Ecology of Soil Animals. Mc Graw Hill. London.

. 1982. Desert Soil Fauna. Westfield College. University of London. Praeger Scientific Publisher. New York. USA.

Widyastuti, R. 2002. Soil Fauna in Rainfed Paddy Field Ecosystems: Their Role in Organic Matter Decompositions and Nitrogen Mineralization.

[Disertation]. University of Bonn.

. 2006. Feeding rate of soil animals in different ecosystem in Pati, Indonesia. Hayati. 13. (3) : 119-123.

(44)
(45)

Tabel Lampiran 1. Data Analisis Pendahuluan Sifat Fisik dan Kimia Tanah TPL Rataan Kadar Air pH 1:1 N-Total P K C-organik Tekstur H2O KCl Pasir Debu Liat

(%) (%) (%) (%) …..(%)…..

Hutan 40.84 4.7 3.9 0.19 1.7 0.09 1.68 3.04 5.41 91.55

Pekarangan 27.95 5.4 4.6 0.07 4 0.87 0.64 24.29 27.73 47.98

Kebun 14.75 4.9 3.9 0.13 29 0.32 1.12 26.32 17.57 56.11

Tabel Lampiran 2. Data Iklim ( Temperatur dan Kelembaban) Lokasi Penelitian TPL Bulan Temperatur Permukaan

Tanah* (0C) Kelembaban Permukaan Tanah* (%) Minimum Maksimum Februari 28.4 28.9 81 Hutan Maret 28.6 32.6 61.4 April 32.5 38.2 49.2 Mei 30.4 31.9 59.2 Februari 29.4 30.8 65.2 Pekarangan Maret 29.3 34.6 55.4 April 32.4 36.3 56.2 Mei 29.7 33.4 67.8 Februari 27 27.9 87.6 Kebun Maret 31.9 34.7 51.6 April 34.8 35.6 47 Mei 40.5 45.2 30.6

* Hasil pengukuran lapang saat pengambilan sampel

Tabel Lampiran 3. Data Klimatologi Tahun 2008 Kec.Ciampea (Desa Cihideung) Bulan Temperatur Udara(

0

C) Kelembaban Udara (%) Curah Hujan (mm) Minimum Maksimum Februari 20.8 31.6 89 3385 Maret 21.0 33.0 87 425 April 20.8 33.6 85 401 Mei 19.9 32.9 81 232

(46)

Tabel Lampiran 4. Rata-Rata Berat Sisa Serasah (%) pada Ketiga Tipe Penggunaan Lahan Lokasi Hari Rata-rata 30 60 90 Sisa Serasah (%) Hutan 49.50 35.86 29.28 38.21 Pekarangan 51.13 37.40 29.96 39.50 Kebun 58.03 45.33 36.76 46.71 0 20 40 60 80 100 0 30 60 90 Waktu (hari) Sisa Serasah (%) Kasar Sedang Halus

Gambar Lampiran 1. Laju Dekomposisi Serasah yang Ditunjukkan oleh Penurunan Persentase Sisa Serasah pada Lahan Hutan.

(47)

0 20 40 60 80 100 0 30 60 90 Waktu (Hari) Sisa Serasah (%) Kasar Sedang Halus

Gambar Lampiran 2. Laju Dekomposisi Serasah yang Ditunjukkan oleh Penurunan Persentase Sisa Serasah pada Lahan Pekarangan

0 20 40 60 80 100 0 30 60 90 Waktu (Hari) Sisa Serasah (%) Kasar Sedang Halus

Gambar Lampiran 3. Laju Dekomposisi Serasah yang Ditunjukkan oleh Penurunan Persentase Sisa Serasah pada Laha n Kebun.

(48)

Tabel Lampiran 5. Berat Serasah yang Hilang Dimakan oleh Fauna Tanah pada Lahan Hutan.

Perlakuan Ukuran

Mesh Ulangan

Sebelum Exspos Setelah Exspos

E Rata2 A C B D Hari ke-30 10 1 7.887 1.893 2.040 0.537 4.491 4.053 2 7.887 1.893 2.380 0.626 4.240 3 7.887 1.893 1.970 0.518 4.542 4 7.887 1.893 0.970 0.255 5.279 5 7.887 1.893 5.810 1.528 1.712 0.25 1 7.887 1.893 4.970 1.307 2.331 2.630 2 7.887 1.893 5.070 1.333 2.257 3 7.887 1.893 4.240 1.115 2.869 4 7.887 1.893 4.280 1.126 2.840 5 7.887 1.893 4.260 1.120 2.854 0.038 1 7.887 1.893 4.870 1.281 2.405 2.392 2 7.887 1.893 4.870 1.281 2.405 3 7.887 1.893 4.420 1.162 2.736 4 7.887 1.893 5.310 1.397 2.081 5 7.887 1.893 4.970 1.307 2.331 Hari Ke -60 10 1 7.887 1.893 1.170 0.351 5.175 5.311 2 7.887 1.893 1.290 0.387 5.091 3 7.887 1.893 0.970 0.291 5.315 4 7.887 1.893 0.850 0.255 5.399 5 7.887 1.893 0.600 0.180 5.574 0.25 1 7.887 1.893 3.900 1.170 3.264 3.187 2 7.887 1.893 3.840 1.152 3.306 3 7.887 1.893 4.570 1.371 2.795 4 7.887 1.893 4.040 1.212 3.166 5 7.887 1.893 3.700 1.110 3.404 0.038 1 7.887 1.893 4.650 1.395 2.739 3.034 2 7.887 1.893 4.200 1.260 3.054 3 7.887 1.893 4.450 1.335 2.879 4 7.887 1.893 3.600 1.080 3.474 5 7.887 1.893 4.240 1.272 3.026 Hari Ke-90 10 1 7.887 1.893 0.570 0.172 5.596 5.574 2 7.887 1.893 0.430 0.130 5.694 3 7.887 1.893 0.240 0.072 5.826 4 7.887 1.893 0.870 0.263 5.387 5 7.887 1.893 0.900 0.272 5.366 0.25 1 7.887 1.893 3.180 0.960 3.774 3.683 2 7.887 1.893 2.790 0.843 4.047 3 7.887 1.893 3.910 1.181 3.265 4 7.887 1.893 3.060 0.924 3.858 5 7.887 1.893 3.610 1.090 3.474 0.038 1 7.887 1.893 3.860 1.166 3.300 3.457 2 7.887 1.893 3.620 1.093 3.467 3 7.887 1.893 3.490 1.054 3.558 4 7.887 1.893 3.620 1.093 3.467 5 7.887 1.893 3.580 1.081 3.495

(49)

Tabel Lampiran 6. Berat Serasah yang Hilang Dimakan oleh Fauna Tanah pada Lahan Pekarangan.

Perlakuan Ukuran

Mesh Ulangan Sebelum Exspos Setelah Exspos E Rata2

A C B D Hari ke-30 10 1 7.887 1.893 2.360 0.621 4.255 3.488 2 7.887 1.893 3.200 0.842 3.636 3 7.887 1.893 4.640 1.220 2.574 4 7.887 1.893 3.070 0.807 3.731 5 7.887 1.893 3.730 0.981 3.245 0.25 1 7.887 1.893 5.130 1.349 2.213 2.766 2 7.887 1.893 4.680 1.231 2.545 3 7.887 1.893 4.060 1.068 3.002 4 7.887 1.893 3.920 1.031 3.105 5 7.887 1.893 4.110 1.081 2.965 0.038 1 7.887 1.893 4.710 1.239 2.523 2.537 2 7.887 1.893 4.650 1.223 2.567 3 7.887 1.893 4.800 1.262 2.456 4 7.887 1.893 4.600 1.210 2.604 Hari Ke -60 10 1 7.887 1.893 1.420 0.426 5.000 5.025 2 7.887 1.893 1.090 0.327 5.231 3 7.887 1.893 3.300 0.990 3.684 4 7.887 1.893 0.350 0.105 5.749 5 7.887 1.893 0.760 0.228 5.462 0.25 1 7.887 1.893 5.240 1.572 2.326 3.104 2 7.887 1.893 4.570 1.371 2.795 3 7.887 1.893 3.340 1.002 3.656 4 7.887 1.893 3.310 0.993 3.677 5 7.887 1.893 4.180 1.254 3.068 0.038 1 7.887 1.893 4.200 1.260 3.054 3.127 2 7.887 1.893 3.830 1.149 3.313 3 7.887 1.893 4.330 1.299 2.963 4 7.887 1.893 4.280 1.284 2.998 5 7.887 1.893 3.840 1.152 3.306 Hari Ke-90 10 1 7.887 1.893 0.260 0.079 5.813 5.518 2 7.887 1.893 0.370 0.112 5.736 3 7.887 1.893 0.430 0.130 5.694 4 7.887 1.893 1.350 0.408 5.052 5 7.887 1.893 1.000 0.302 5.296 0.25 1 7.887 1.893 3.260 0.985 3.719 3.509 2 7.887 1.893 4.090 1.235 3.139 3 7.887 1.893 3.860 1.166 3.300 4 7.887 1.893 3.750 1.133 3.377 5 7.887 1.893 2.840 0.858 4.012 0.038 1 7.887 1.893 3.200 0.966 3.760 3.568 2 7.887 1.893 3.000 0.906 3.900 3 7.887 1.893 3.710 1.120 3.404 4 7.887 1.893 4.290 1.296 3.000 5 7.887 1.893 3.180 0.960 3.774

(50)

Tabel Lampiran 7. Berat Serasah yang Hilang Dimakan oleh Fauna Tanah pada Lahan Kebun.

Perlakuan Ukuran

Mesh Ulangan Sebelum Exspos Setelah Exspos E Rata2

A C B D Hari ke-30 10 1 7.887 1.893 5.360 1.410 2.044 2.882 2 7.887 1.893 5.040 1.326 2.280 3 7.887 1.893 5.310 1.397 2.081 4 7.887 1.893 2.660 0.700 4.034 5 7.887 1.893 2.740 0.721 3.975 0.25 1 7.887 1.893 5.070 1.333 2.257 2.394 2 7.887 1.893 4.700 1.236 2.530 3 7.887 1.893 5.740 1.510 1.764 4 7.887 1.893 4.250 1.118 2.862 5 7.887 1.893 4.660 1.226 2.560 0.038 1 7.887 1.893 4.900 1.289 2.383 2.272 2 7.887 1.893 5.410 1.423 2.007 3 7.887 1.893 4.830 1.270 2.434 4 7.887 1.893 5.060 1.331 2.265 Hari Ke -60 10 1 7.887 1.893 3.480 1.044 3.558 4.185 2 7.887 1.893 4.250 1.275 3.019 3 7.887 1.893 4.020 1.206 3.180 4 7.887 1.893 0.810 0.243 5.427 5 7.887 1.893 0.360 0.108 5.742 0.25 1 7.887 1.893 5.08 1.524 2.438 2.721 2 7.887 1.893 4.750 1.425 2.669 3 7.887 1.893 5.150 1.545 2.389 4 7.887 1.893 3.570 1.071 3.495 5 7.887 1.893 4.830 1.449 2.613 0.038 1 7.887 1.893 4.18 1.254 3.068 2.924 2 7.887 1.893 4.75 1.425 2.669 3 7.887 1.893 5.06 1.518 2.452 4 7.887 1.893 3.57 1.071 3.495 5 7.887 1.893 4.37 1.311 2.935 Hari Ke-90 10 1 7.887 1.893 3.170 0.957 3.781 4.456 2 7.887 1.893 4.130 1.247 3.111 3 7.887 1.893 3.130 0.945 3.809 4 7.887 1.893 0.320 0.097 5.771 5 7.887 1.893 0.270 0.082 5.806 0.25 1 7.887 1.893 4.280 1.293 3.007 3.586 2 7.887 1.893 4.150 1.253 3.097 3 7.887 1.893 2.650 0.800 4.144 4 7.887 1.893 3.090 0.933 3.837 5 7.887 1.893 3.080 0.930 3.844 0.038 1 7.887 1.893 3.310 1.000 3.684 3.332 2 7.887 1.893 3.490 1.054 3.558 3 7.887 1.893 3.300 0.997 3.691 4 7.887 1.893 4.330 1.308 2.972 5 7.887 1.893 4.640 1.401 2.755

(51)

Tabel Lampiran 8. Sisa Serasah Setelah Diekspos pada Lahan Hutan Perlakuan Ukuran Mesh Ulangan Sebelum Exspos Setelah Exspos X % Rataan SD A C B D Hari ke-30 10 1 7.887 1.893 2.040 0.537 1.503 25.1 32.4 23 2 7.887 1.893 2.380 0.626 1.754 29.3 3 7.887 1.893 1.970 0.518 1.452 24.2 4 7.887 1.893 0.970 0.255 0.715 11.9 5 7.887 1.893 5.810 1.528 4.282 71.4 0,25 1 7.887 1.893 4.970 1.307 3.663 61.1 56.1 5 2 7.887 1.893 5.070 1.333 3.737 62.3 3 7.887 1.893 4.240 1.115 3.125 52.1 4 7.887 1.893 4.280 1.126 3.154 52.6 5 7.887 1.893 4.260 1.120 3.140 52.4 0,038 1 7.887 1.893 4.870 1.281 3.589 59.9 60.1 4 2 7.887 1.893 4.870 1.281 3.589 59.9 3 7.887 1.893 4.420 1.162 3.258 54.3 4 7.887 1.893 5.310 1.397 3.913 65.3 5 7.887 1.893 4.970 1.307 3.663 61.1 Hari Ke -60 10 1 7.887 1.893 1.170 0.351 0.819 13.7 11.4 3 2 7.887 1.893 1.290 0.387 0.903 15.1 3 7.887 1.893 0.970 0.291 0.679 11.3 4 7.887 1.893 0.850 0.255 0.595 9.9 5 7.887 1.893 0.600 0.180 0.420 7.0 0.25 1 7.887 1.893 3.900 1.170 2.730 45.5 46.8 4 2 7.887 1.893 3.840 1.152 2.688 44.8 3 7.887 1.893 4.570 1.371 3.199 53.4 4 7.887 1.893 4.040 1.212 2.828 47.2 5 7.887 1.893 3.700 1.110 2.590 43.2 0.038 1 7.887 1.893 4.650 1.395 3.255 54.3 49.4 5 2 7.887 1.893 4.200 1.260 2.940 49.0 3 7.887 1.893 4.450 1.335 3.115 52.0 4 7.887 1.893 3.600 1.080 2.520 42.0 5 7.887 1.893 4.240 1.272 2.968 49.5 Hari Ke-90 10 1 7.887 1.893 0.570 0.172 0.398 6.6 7.0 3 2 7.887 1.893 0.430 0.130 0.300 5.0 3 7.887 1.893 0.240 0.072 0.168 2.8 4 7.887 1.893 0.870 0.263 0.607 10.1 5 7.887 1.893 0.900 0.272 0.628 10.5 0.25 1 7.887 1.893 3.180 0.960 2.220 37.0 38.5 5 2 7.887 1.893 2.790 0.843 1.947 32.5 3 7.887 1.893 3.910 1.181 2.729 45.5 4 7.887 1.893 3.060 0.924 2.136 35.6 5 7.887 1.893 3.610 1.090 2.520 42.0 0.038 1 7.887 1.893 3.860 1.166 2.694 44.9 42.3 2 2 7.887 1.893 3.620 1.093 2.527 42.2 3 7.887 1.893 3.490 1.054 2.436 40.6 4 7.887 1.893 3.620 1.093 2.527 42.2 5 7.887 1.893 3.580 1.081 2.499 41.7

Gambar

Tabel 2. Pengaruh Fauna Tanah  Terhadap Sifat Tanah Dalam  Ekosistem
Tabel 3. Rata-Rata Berat Sisa Serasah (%)  dengan Ukuran  Litterbag  yang  Berbeda  pada Ketiga Tipe Penggunaan Lahan
Gambar 1.  Laju  Dekomposisi  Serasah  yang  Ditunjukkan  oleh  Penurunan  Persentase Sisa Serasah  Berdasarkan Perbedaan Litterbag Kasar di  Ketiga Tipe Penggunaan  Laha n
Gambar 2.  Laju  Dekomposisi  Serasah  yang  Ditunjukkan  oleh  Penurunan  Persentase Sisa Serasah Berdasarkan Perbedaan Litterbag Sedang di  Ketiga Tipe Penggunaan  Laha n
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) pengetahuan K3 memiliki pengaruh yang positif terhadap kesadaran berperilaku K3 dengan korelasi sebesar 0,380 dan kontribusi sebesar 14,5%; (2)

1) Dari hasil penelitian sub variabel environmental monitoring of suppliers dan environmental collaborations with customers memiliki pengaruh positif secara parsial

- Bila pada beranda aplikasi dapodik terdeteksi Kepsek terhitung lebih dari 1 berarti terdapat 2 PTK yang memiliki tugas tambahan sebagai kepala sekolah, untuk

Tarekat Naqsabandi merupakan tarekat yang memiliki jaringan terluas di dunia Islam dan memberikan pengaruh besar bagi perkembangan dan corak masyarakat Islam di nusantara khususnya

40 Gantung/Buang sekolah 115 Memeras ugut 40 Gantung/Buang sekolah 116 Membuli/pelacuran 40 Gantung/Buang sekolah 117 Menganggotai kumpulan haram / kongsi gelap 40

Adapun hasil berupa pengaruh alih kode dan campur kode yang ditimbulkan pada pembelajaran bahasa Indonesia terbagi menjadi dua, yaitu pengaruh negatif dan

Selain itu, berdasarkan hasil uji anthelmintik didapatkan bahwa infus daun jeruk purut juga memiliki aktivitas anthelmintik terhadap Ascardia galli dengan LC50 sebesar

i) Sebelum pemasangan bahan porous untuk penimbunan kembali pada suatu lokasi, seluruh bahan yang tidak memenuhi syarat baik terlalu lunak maupun terlalu keras harus telah