MENYULING DEMOKRASI : RENTE MIGAS
DAN REJIM POLITIK DI INDONESIA
Andar Nubowo
Bukan lautan hanya kolam susu, Kail dan jala cukup menghidupimu Orang bilang tanah kita tanah surga Tongkat kayu dan batu jadi tanaman (Koes Plus)
Koes Plus memang musisi brilian. Ketika menamsilkan Indonesia bagai “kolam susu”, grup musik ini jelas dalam kondisi sadar sesadar -sadarnya. Tak sedang bercanda, apalagi mengigau. Selain indah dan enak didengar, lirik lagu Koes Plus di atas menyajikan sebuah fakta:
Indonesia yang gemah ripah memiliki “harta karun” yang melimpah.
Itulah metafora Koes Plus tentang keindahan sekaligus kekayaan alam
Nusantara. Konon, daratan Indonesia dahulu kala adalah locus
peradaban Atlantis yang murca, hilang tak berbekas pada tiga belas ribu
tahun lalu---seperti yang diyakini filosof Yunani Plato dan Prof Arysio
Santos dalam bukunya berjudul Atlantis : The Lost Continent Finally
Found (Washington DC : Library of Congres, 1997). Terlepas benar tidaknya tesis tersebut, Indonesia adalah salah satu negara kaya energi fosil. Para ahli menyebut, di balik lempengan tektonik yang
mengelilingi Nusantara tersimpan kandungan “emas hitam” yang
melimpah.
Sebagai upaya memahami ketersingkiran rakyat dari proses industri minyak dan gas bumi Indonesia, tulisan ini mencoba memaparkan secara singkat intervensi yang dilakukan rejim politik Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi pada industri migas tanah air dan memaparkan alasan dibalik kuptasi, monopoli dan liberalisasi migas tanah air. Untuk memangkas berbagai anomali, tulisan ini
mengetengahkan perlunya “demokratisasi migas” di Indonesia, yakni
mengembalikan pusat produksi ekonomi migas di tangan rakyat secara berkeadilan dan transparan. Pemaparan singkat ini diharapkan dapat membuka perpektif lain tentang hubungan antara rente migas, konsolidasi politik, transformasi demokrasi, dan kemakmuran di Indonesia.
Kuptasi Industri Migas : Berkah atau Musibah ?
Sejak pertengahan tahun 1980-an, kajian ekonomi-politik mengungkap adanya dampak positif sekaligus negatif kekayaan migas bagi konsolidasi politik, transformasi demokrasi dan kesejateraan. Pendapat pertama (Lipset, 1959; Putnam,1993; Dahl, 1971; dan Huntington, 1991) menegaskan bahwa kekayaan minyak bumi merupakan berkah bagi pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan rakyat yang mendorong tumbuhnya institusi-institusi sosial dan politik yang demokratis. Sebaliknya, pendapat kedua (Ross, 2001; Stiglitz, 2007; Martinez, 2009)
menyatakan bahwa kekayaan minyak bumi merupakan “musibah”,
ketika negara menyimpangkan rente migas untuk kepentingan politik, militer dan konflik sehingga gagal menyejahterakan rakyat.
Lalu bagaimana dengan Indonesia ? Apakah migas menjadi berkah atau musibah bagi rakyat? Bagaimana rejim politik Indonesia menggunakan energi ekstraksi alam ini?
Sejak ditemukan ladang migas di Sumatera Utara pada tahun 1885, Indonesia adalah negara penghasil migas yang memiliki peran signifikan di dunia internasional. Nilai ekspor energi fosil ini bagi performa ekonomi Indonesia cukup signifikan. Pada masa 1951-1965, sektor migas menyumbang 14% hingga 38.5% total ekspor Indonesia (Woo dan Nasution, 1989: 44). Pada periode 1972-1985, sektor ini adalah penyumbang pendapatan negara yang cukup besar ; 28% (1970), 58% (1975), 69% (1980), dan 58% (1985). Kemudian, sumbangan sektor migas mengalami penurunan dari tahun ke tahun: 34% (1990), 10,64% (2002), 8,31% (2005), dan 7,77% (2006). Pemerintah Indonesia masih memperkirakan adanya cadangan minyak bumi sebesar 4.37 milyar barel dengan potensi sebesar 4.558 milyar barrel, sedangkan cadangan gas bumi diperkirakan sebesar 94 trilyun kaki kubik dengan potensi sebesar 93.1 trilyun kaki kubik (Steele, 2007: 90-91).
Meski Indonesia bukan negara petrodolar sebagaimana negara di Teluk Persia, industri migas tanah air merupakan sektor strategis bagi rejim Orde Lama (1945-1966), Orde Baru (1966-1998) dan Orde Reformasi (1998-). Mengapa ? Migas adalah komoditas yang memiliki nilai ekonomi dan politik tinggi. Dibanding sumber daya alam lainnya, migas menyediakan suplai ekonomi secara berlimpah (laba dihitung per baril) bagi kelompok kepentingan di sekitarnya melalui pembentukan klientelisme politik dan ekonomi. Faktor ini diperparah dengan pengelolaan migas yang bersifat oligarkis, di mana segelintir orang/kelompok sajalah yang menguasai sistem produksi dan redistribusi migas tanah air.
sebesar itu, rejim apapun dapat menjalankan agenda dan manuver politik, ekonomi dan militernya.
Orde Lama: Ambisi Revolusi
Pasca kemerdekaan 17 Agustus 1945, sumber migas menjadi tumpuan utama pemulihan ekonomi. Pada tahun 1951, pendapatan perkapita
penduduk hanya sebesar 28,3 gulden, sedangkan pada masa
imperialisme Belanda mencapai 30 gulden pada 1930. Kemudian, pada tahun 1950-57, defisit anggaran mendongkrak inflasi sebesar 17%, sedangkan rasio GDP hanya sebesar 8,7%. Hal ini diperparah dengan kualitas SDM yang rendah dan dominasi modal asing di sektor ekspor dan impor (Syahrir, 1986: 73; Ginting, 2007: 102).
Parahnya lagi, Soekarno-Hatta dihadapkan pada huru-hara politik dalam dan luar negeri: bongkar pasang kabinet, separatisme, agresi militer Belanda dan konfrontasi vis à vis imperialisme dan kolonialisme asing. Untuk menghadapi persoalan ekonomi dan politik tersebut, Dwi Tunggal lalu melakukan nasionalisasi semua perusahaan asing yang diatur dalam UU No.86/1958. Selain sebagai daya tawar ekonomi, nasionalisasi di tangan Soekarno menjadi alat politik melawan kolonialisme dan imperialisme. Nasionalisasi korporasi migas Belanda
De Bataafsche Petroleum Maatschapij (BPM), misalnya, merupakan bagian dari perjuangan pembebasan Papua Barat pada 1957-1958. Rejim Soekarno pun akhirnya menangguk kemenangan ganda, yakni nasionalisasi migas dan tanah Papua (Ginting, 2007: 106-108).
Melalui UU No. 44 tahun 1960, Soekarno lalu mengundang investor asing untuk berinvestasi di sektor migas mengingat lemahnya kualitas
SDM Indonesia. Meski demikian, UU mengatur profit sharing agreement
(PSA) 60:40 untuk Indonesia dan investor asing. Selain itu, UU ini juga mengatur kewajiban bagi korporasi migas asing untuk menyerahkan 50% area industrinya kepada Indonesia setelah beroperasi selama lima dan sepuluh tahun (Kanumoyoso, 2001: 39; Ginting, 2007:108).
berangsur keluar dari krisis dan mendulang kemakmuran. Alih-alih memperhatikan kondisi sosial dan ekonomi rakyat, Soekarno justru menggunakan rente migas untuk proyek militer dan birokrasi (Wee, 2003: 8).
Pada kurun 1958-1965, Soekarno tercatat menggelontorkan bujet negara sebesar 31% hingga 40% untuk proyek militer, sedangkan bujet ekonomi pelayanan sosial selalu dibawah 10% dari total anggaran
belanja negara (Woo dan Nasution, 1989: 40). Merasa proyek dan
ambisi revolusinya didukung oleh militer dan birokrasi, setahun setelah nasionalisasi perusahaan asing termasuk migas, Soekarno melakukan pelbagai manuver politik antara lain pembubaran Konstituante melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, penghapusan Demokrasi Liberal (1945-1959), instalasi Demokrasi Terpimpin, dan penabalan diri sebagai presiden seumur hidup (Baca Lev, 1966). Selanjutnya, Soekarno membubarkan Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Partai Masyumi karena menentang gagasan NASAKOM (nasionalisme, agama, dan komunisme) pada tahun 1960 (Ward, 1970: 25).
Selain itu, program ekonomi dan kesejahteraan rejim Soekarno diganggu oleh proyek penumpasan gerakan separatisme yang membutuhkan dana besar. Dengan mengkuptasi anggaran belanja yang besar, Soekarno pun berhasil menumpas gerakan separatisme yang bergolak diberbagai daerah seperti Republik Maluku Selatan (RMS), Republik Pasundan, Gerakan DI/TII di Jawa, Kalimantan dan Sulawesi. Soekarno juga dihadapkan pada proyek antiimperialisme yang mendorongnya berkonfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara imperialis Inggris, Australia, dan Amerika pada tahun 1962-1966.
Orde Baru: Klientelisme Politik
Soeharto mewarisi kondisi Indonesia yang porak-poranda dari Soekarno. Dalam bidang politik, Soeharto dihadapkan pada pemberontakan PKI 30 September yang memaksanya untuk melakukan penumpasan hingga akar-akarnya. Selain itu, Soeharto dituntut untuk menstabilkan kekisruhan politik, akibat sistem multipartai yang berlaku pada era Demokrasi Terpimpin. Di bidang ekonomi, Indonesia pada pertengahan tahun 1960-an adalah salah satu negara termiskin di dunia. Pendapatan perkapita penduduk 60% lebih rendah dari negara-negara di kawasan Asia Timur lainnya, lebih rendah dari negara-negara-negara-negara Afrika Sub-Sahara dan jauh lebih rendah dari negara-negara Amerika Latin (Temple, 2001: 5).
Mengetahui migas dapat menyuplai dana melimpah, Soeharto
mempertahankan politik nasionalisasi industri migas—dengan
memberikan konsesi pada Pertamina untuk memonopoli industri
migas tanah air di tingkat hulu (upstream) dan hilir (downstream).
Investor asing tetap diijinkan dalam sektor ini, tetapi tetap berada dalam kontrol negara. Selanjutnya, dengan dalih dwi fungsi ABRI, Soeharto menempatkan Jenderal Ibnu Sutowo yang telah menjadi direktur Pertamina sejak 1963 untuk mengontrol ketat perusahaan negara ini. Pertamina akhirnya menjadi sumber keuangan terbesar rejim Orde Baru (Bruce Glassburner, 1976: 1100).
Booming minyak bumi pada tahun 1970-an menyokong proyek developmentalisme Soeharto. Pada periode ini, sektor migas menyumbang 80% ekspor tahunan negara dan 70% pendapatan negara pertahun. Meski sempat mengalami penurunan pada 1985-1986 akibat anjloknya harga minyak bumi dunia, tingkat pertumbuhan Indonesia masih cukup kuat dan meningkat kembali pada awal 1990 sehingga
Indonesia dikenal sebagai “Macan Asia” atau “Mukjizat Ekonomi Asia”.
Berkah minyak bumi sebagian digunakan untuk membangun sarana dan prasarana pendidikan, kesehatan, pertanian, perdagangan dan transportasi udara, air, dan darat (Booth, 1992)
Namun, rente minyak bumi yang melimpah juga modal besar bagi rejim Orde Baru untuk membangun klientelisme politik yang kokoh, melalui
penguatan Dwi Fungsi ABRI dan Golkar atas nama “stabilitas”
yakni mempertahankan politik developmentalisme dengan menumpas lawan-lawan politiknya dari kubu komunis dan Islam politik radikal yang dinilai mengganggu pembangunan (Rosser, 2007: 39). Untuk itu, pertama-tama, Soeharto melakukan fusi partai-partai warisan Orde Lama menjadi hanya tiga partai, yakni Partai Persatuan Pembangunan (kelompok Islam), Golkar (kelompok kekaryaan, PNS, ABRI) dan Partai Demokrasi Indonesia (kelompok nasionalis, pengikut Soekarno) (Feillard dan Madinier, 2006: 34).
Atas nama stabilitas politik, Soeharto kemudian mengeluarkan TAP MPR/25/1966 tentang larangan PKI dan penyebaran ideologi Marxisme-Leninisme serta depolitisasi politik Islam (Adam, 2008:15; ). Kedua proyek politik ini memakan banyak korban jiwa. Politik
“ganyang komunisme” menelan 500 ribu jiwa, sedangkan depolitisasi
politik Islam memicu peristiwa Komando Jihad tahun 70-an, peristiwa Tanjung Priok pada 1984 dan pengucilan tokoh Masyumi seperti
Mohammad Natsir dan Mohammad Roem.
Dengan kata lain, berkat booming minyak, ideologi developmentalisme rejim Orde Baru melakukan pembungkaman terhadap kelompok pro demokrasi, nasionalis, sekuler, dan islam politik melalui represi, penculikan dan bahkan pembunuhan (kerusuhan Malari 1974 dan Mei 1998). Karena terus-menerus direpresi dan dibungkam hak-haknya, kelompok kritis ini terus melakukan gerakan bawah tanah hingga berhasil menumbangkan Soeharto pada Mei 1998.
Orde Reformasi: Liberalisasi Migas
Reformasi 1998 membuka perubahan politik dan demokrasi di Indonesia. Namun, pada saat yang sama, produksi migas menurun sebesar 35% dan konsumsi domestik meningkat hingga 1.2 juta
barel/hari. Indonesia lalu menjadi net importer dan keluar dari OPEC
Guna mendongkrak produksi migas, Presiden Megawati mengeksekusi UU Migas No. 22 tahun 2001. UU ini mencabut hak monopoli industri hulu dan hilir yang dipegang Pertamina pada masa Orde Baru. Selanjutnya, dibentuklah Badan Pelaksana Minyak dan Gas (BPMIGAS) yang berfungsi sebagai regulator hulu migas di Indonesia menggantikan fungsi Pertamina. Jika sebelumnya, Pertamina bertindak sebagai regulator sekaligus pelaksana di tingkat hulu dan hilir, maka sejak diundangkan UU tersebut, BUMN ini sejajar dengan korporasi migas nasional dan asing dalam kompetisi industri migas.
Kelompok nasionalis, sosialis dan anti neolib menilai UU Migas tersebut tidak lepas dari pengaruh dan tekanan negara-negara liberal-kapitalis, terutama Amerika Serikat (baca lebih lengkap dalam Syeirazi, 2009). Pihak pemerintah dituduh sengaja menjual aset sumber daya migas dan sengaja membiarkan „perampokan‟ sumberdaya alam di rumahnya sendiri. Oleh karena itu, kelompok ini menuntut pemasgulan UU Migas tahun 2001 dan menuntut nasionalisasi perusahaan migas asing ala Bolivia, yakni peninjauan dan penghentian kontrak migas yang tengah berjalan (Siaran Pers LMND, 2008).
UU Migas ini juga dinilai memicu inefisiensi akibat birokrasi yang ruwet dan tidak sesuai dengan logika umum bisnis migas. Dampak dari inefisiensi ini adalah kerugian negara sebesar ratusan trilyun rupiah yang harus ditanggung karena anjloknya iklim investasi dan produksi migas di Indonesia. Pertamina juga diprediksi bakal kalah bersaing dengan korporasi migas asing seperti seperti Total (Perancis), Chevron (USA), Exxon Mobil (USA), ConocoPhilips (USA), British Petroleum
(UK), Petronas (Malaysia), PetroChina dan China National Offshore Oil
Corporation (CNOOC). Sebagai solusinya, pemerintah direkomendasikan segera mengganti/merubah UU Migas 22/2001 secara radikal (Kurtubi, 2010).
Sebaliknya, pemerintah berargumen bahwa liberalisasi sektor migas dapat mengintensifkan kompetisi dan memudahkan pemberantasan korupsi dan rejim mafioso di dalam industri migas tanah air. Dalam
konteks inilah, BPMigas sesungguhnya diharapkan dapat
mengatur iklim investasi yang sehat, bersih dan transparan dan memastikan keuntungan negara dari sektor migas.
Namun, tampaknya, kebijakan migas pasca Reformasi belum berhasil meningkatkan produksi dan pendapatan migas. Selain dituduh berbau neoliberalisme, industri migas masih sarat klientelisme politik dan ekonomi. Elit-elit politik dan ekonomi pusat ataupun daerah (penghasil migas) tetap berusaha memeras rente migas untuk kepentingan jangka pendek untuk memperkuat status politik dan ekonomi mereka,
terutama berkat booming minyak pada tahun 2008 (kurang 10
USD/baril pada Februari 1999 menjadi lebih dari 100 USD/baril pada Maret 2008).
Sebagai badan regulator, BPMigas tentu mempunyai tugas berat. Selain mencapai target produksi yang masih terseok-seok akibat inkonsistensi
perundangan-undangan seperti asas cabotage (kewajiban penggunaan
berbendera Republik Indonesia bagi kapal-kapal laut yang melintas di
perairan Indonesia) yang menganggu lifting migas, badan ini juga
dituntut untuk menggalakkan transparansi, pemberantasan korupsi dan
suap, serta penegakkan hukum (law enforcement) dan tentu saja
menyederhanakan jalur birokrasi. Di sinilah peran pemerintah, NGO-Migas dan publik untuk terus mengawasi dan menjamin kelangsungan industri migas tanah air sesuai dengan UU 1945 Pasal 33 yang menegaskan proses produksi sumberdaya alam, termasuk migas, dilakukan sesuai asas kebersamaan dan untuk kepentingan umum.
Demokratisasi Migas
Kekayaan energi fosil di Indonesia pada rejim Orde Lama dan Orde Baru tampaknya tidak mendorong proses demokratisasi dan menjadi sumber kemakmuran rakyat. Tetapi sebaliknya, ia mengundang “kutukan sumber daya alam“, yang mana kedua rejim gagal mengalihrupakan rente minyak bumi bagi redistribusi pembangunan politik, demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Alih-alih membangun, negara malah sibuk mengeruk sumber energi tersebut demi ambisi revolusi dan klientelisme politik dan ekonomi.
sumber daya minyak bumi (Soros, 2007:xiii-xviii). Dari ketiga kenajisan itu, klientelisme politik dan ekonomi yang menjangkit di tubuh rejim adalah faktor penjelas mengapa kekayaan migas Indonesia tidak mendukung konsolidasi dan transformasi menuju demokrasi, dan malah jatuh pada tangan besi otoritarianisme Orde Lama dan Orde Baru.
Era reformasi menjadi harapan baru bagi industri migas yang dapat menyejahterakan rakyat. Namun, upaya reformasi migas melalui UU No. 22 tahun 2001 justru mengarah pada liberalisasi migas yang
mempermudah „perampokan‟ emas hitam akibat industri migas
domestik dan pengambil kebijakan tidak mempunyai kapasitas dan daya tawar yang memadai. Selain itu, kendala birokrasi dan yurisdiksi yang tidak sinergis menghambat iklim investasi pada industri migas di tingkat hulu dan hilir. Untuk itulah, demokratisasi industri migas yang
menjamin proses check and balance yang dilakukan institusi-institusi
publik (parpol, LSM, pers) atas sektor migas sangat dibutuhkan bagi kepentingan dan kemakmuran rakyat.
Terakhir, kekayaan migas yang melimpah seharusnya dapat mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat dan pembangunan institusi-institusi sosial dan politik yang kokoh dan demokratis. Kekayaan minyak juga dapat menjadi berkah bagi tumbuhnya kelas menengah yang kuat dan pendidikan murah, sebab dua sarat itulah yang memudahkan tumbuhnya kebebasan sipil dan pemerintahan yang baik (Lipset, 1959: 69-105: Barro, 159). Dengan demikian, gambaran Koes
Plus tentang “tanah surga Indonesia” yang berkemakmuran dan
demokratis tidak sebatas angan-angan kosong tanpa fakta. Semoga.
Asvi Warman, The History of Violence and the State in Indonesia, Crise Working Paper No. 54, Juni 2008.
Barro, Robert J, “Determinant of Democracy”, Journal of Political
Economy 107 (S6)
Booth, Anne (ed.), The Oil Boom and After: Indonesian Economic Policy
and Performance in The Era of Suharto, New York: Oxford University, 1992.
Désiré, Omgba Luc, « Stabilité du pouvoir politique et rente pétrolière dans les Etats africains », Juillet 2007
Feillard, Andrée et Rémy Madinier, La fin de l’innocence? L’islam
indonésien face à la tentation radicale de 1967 à nos jours, Paris : Irasec (Les indes savantes), 2006.
Ginting, Budiman, “Refleksi Historis Nasionalisasi Perusahaan Asing di Indonesia: Suatu Tantangan Terhadap Kepastian Hukum atas Kegiatan Investasi di Indonesia”, Jurnal Equality, Vol. 12 No. 2 Agustus 2007
Glassburner, Bruce, “In the Wake of General Ibnu: Crisis in the Indonesian Oil Industry”, Asian Survey, Vol. 16, No. 12, Decembre 1976
Kanumoyoso, Bondan, Nasionalisasi Perusahaan Belanda di Indonesia,
Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001
Kuncoro, Mudrajat (ed.), Transformasi Pertamina: Dilema antara Orientasi
Bisnis dan Pelayanan Publik, Yogyakarta: Galang Press, 2009
Kurtubi, “Minyak dan Sistem kelola”, Kompas, 22/12/2010
Lev, Daniel S, Transition to Guided Democracy: Indonesian Politics
1957-1959, Cornel University, 1966
Lipset, Seimour Martin, “Some Social Requisites of Democracy :
Economic Developpement and Political Legitimacy”, American Political Science Review 53 (March 1959)
Mahdavi, Hossein, “The Patterns and Problems of Economic Development in Rentier States : The case of Iran”, dans M.A.
Londres, Oxford University Press, 1970, p. 428; Michael A. Ross, op. cit., p.329-332.
Martinez, Luiz , Violence de la rente pétrolière, Science Po Paris, 2009.
Muhaimin, Yahya, Bisnis dan Politik : Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia
1950-1980, Jakarta : LP3ES, 1991.
Ross, L Michael, “Does Oil Hinder Democracy ?”, World Politics 53 (April 2001), p. 325-361.
---, “The Political Economy of the Resource Curse,” World Politics 51
( January 1999)
Rosser, Andrew, “Escaping the Resource Curse: The Case of Indonesia”, Journal of Contemporary Asia, Vol. 37, No. 1, February 2007, p. 39.
Syahrir, Ekonomi Politik Kebutuhan Pokok, sebuah Tinjauan Prospektif?
Jakarta: LP3ES.1986
Schacs, Jeffrey D and Susan M Collines (ed.), Developping Country Debt
and Economic Performance: Country Studies-- Indonesia, Korea, Philippines, Turkey, Chicago and London: The University of Chicago Press, 1989.
Soros, George, “Kata Pengantar”, dalam Macartan Humphreys, Jeffery
D. Scachs et Joseph Stiglitz, Escaping the Ressource Curse, New
York : Columbia University Press, 2007
Steele, Andrew, “Refining the Future: Oil and Gas in Indonesia”,
Global Asia, Vol 3. No. 2
Syeirazi, Muhammad Kholid, Di Bawah Bendera Asing: Liberalisasi
Industri Migas di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2009.
Stiglitz, Joseph, “Peranan Negara”, Macartan Humphreys, Jeffery D.
Scachs et Joseph Stiglitz, Escaping the Ressource Curse, New York :
Columbia University Press, 2007
Temple, Jonathan, Growing into Trouble:Indonesia after 1966, le 15 Août
2001
1990s, Institute of Southeast Asian Studies, Singapore et The Indonesia Project, The Australian National University, Canberra, 2003
Woo, Wing Thye dan Anwar Nasution, “Indonesian Economic Policies
and Their Relation to External Debt Management”, dalam Jeffrey
D. Sachs dan Susan M. Collins (ed.), Developing Countrv Debt and