• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN KEPALA DESA SEBAGAI MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Pada Desa Adijaya)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERAN KEPALA DESA SEBAGAI MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA (Studi Pada Desa Adijaya)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

PERAN KEPALA DESA SEBAGAI MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

(Studi Pada Desa Adijaya)

(Jurnal)

Oleh

Liony Nike Ovinda

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

PERAN KEPALA DESA SEBAGAI MEDIATOR DALAM PENYELESAIAN PERKARA PIDANA

(Studi Pada Desa Adijaya)

Oleh

Liony Nike Ovinda, Erna Dewi, Gunawan Jatmiko Email : lionynike123@gmail.com

Perkara pidana tidak hanya dapat diselesaikan melalui jalur pengadilan tetapi bisa diselesaikan melalui hukum yang hidup dalam masyarakat dimana dalam perkembangannya sebagai penyelesaian perkara melalui mediasi. Permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah peran kepala desa sebagai mediator dalam penyelesain perkara pidana, dan bagaimanakah kekuatan hukum dari hasil mediasi perkara pidana oleh kepala desa. Pada penelitian ini penulis melakukan dua pendekatan yaitu pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Prosedur pengumpulan data dalam penelitian ini dengan cara studi kepustakaan dan lapangan. Data yang diperoleh dikelola dengan menggunakan metode induktif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan bahwa: (1) peran kepala desa sebagai mediator dalam penyelesain perkara pidana telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 26 ayat (1) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Bahkan untuk lebih menekankan fungsi kepala desa sebagai penyelesaian perselisihan, Pasal 28 mengancam melalui sanksi, bagi Kepala Desa yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis. (2) Kekuatan hukum dari hasil mediasi perkara pidana oleh kepala desa melahirkan suatu kesepakatan perdamaian yang biasanya dibuat secara tertulis. Hasil persetujuan perdamaian tersebut dapat dimintakan kepada kepala desa agar hasil mediasi memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak yang membuatnya, walaupun tidak memiliki kekuatan eksekutorial layaknya akta perdamaian dalam Pengadilan. Saran yang berikan adalah peran kepala desa dalam melaksanakan kewajiban menyelesaikan perselisihan masyarakat di desa berdasarkan Undang-Undang Desa seharusnya lebih diperkuat sebagai penyelesaian perselisihan guna memperluas access to justice dan mengurangi beban peradilan Negara.

(3)

ABSTRACT

THE ROLE OF THE VILLAGE HEAD AS A MEDIATOR IN THE SETTLEMENT OF CRIMINAL CASES

(A Case Study at Adijaya Village)

By

Liony Nike Ovinda, Erna Dewi, Gunawan Jatmiko Email : lionynike123@gmail.com

The matters of criminal offense can be resolved not only by the court but by the existence of living law in a society known as mediation settlement. Based on these matters, a legal issue has been formulated to find out the role of the village head as mediator in the settlement of criminal cases, and also to find out the legal power of criminal cases mediated by the village head. This research applied normative and empirical approaches. The data collection procedure was done through library study and field study. The data were managed with inductive method. Based on the result and the discussion of the research, it can be concluded that: (1) the role of the village head as a mediator in the settlement of criminal cases has been explicitly regulated in Article 26 paragraph (1) and paragraph (4) of Law Number 6 Year of 2014 regarding Village. To further emphasize the function of the village head as a mediator of dispute settlement, the Article 28 has regulated sanctions for the Village Head who does not perform the obligation to be subjected to administrative sanctions in form of oral and/or written warning; (2) The legal power of the mediation of criminal cases by village heads usually made into a peace of agreement in form of written agreement. The result of the agreement may be requested to the village head to obtain a binding force for the related parties even though it has no executive power as a peace deed in the Court. The suggestions of the research was to strengthen the role of village head in mediating the community disputes based on Village Law in order to expand access to justice and reduce the burden of the State's judiciary.

(4)

I. PENDAHULUAN

Desa atau yang disebut dengan nama lain telah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia ter-bentuk. Sebagai bukti keberadaan-nya, Penjelasan Pasal 18 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (sebelum perubahan) menyebutkan bahwa

“Dalam territori Negara Indonesia

terdapat lebih kurang 250

“Zelfbesturende landschappen” dan “Volksgemeenschappen”, seperti desa di Jawa dan Bali, Nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan Asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indone-sia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul daerah tersebut”. Oleh sebab itu, keberadaannya wajib tetap diakui dan diberikan jaminan keberlangsu-ngan hidupnya dalam Negara Kesatuan Republik Indone-sia.1

Keberagaman karakteristik dan jenis Desa, atau yang disebut dengan nama lain, tidak menjadi penghalang bagi para pendiri bangsa (founding fathers) ini untuk menjatuhkan pilihannya pada bentuk negara kesatuan. Meskipun disadari bahwa dalam suatu negara kesatuan perlu terdapat homogenitas, tetapi Negara Kesatuan Republik Indonesia tetap memberikan pengakuan dan jaminan terhadap keberadaan kesatuan masyarakat hukum dan kesatuan

Sebagai pelaksanaan dari Undang-Undang Desa, ditetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, yang didalamnya sama sekali tidak menjelaskan tentang jenis perkara/ perselisihan, mekanisme, bentuk, produk putusan maupun implikasi hukum dari penyelesaian kepala desa. Sekaligus dalam peraturan pemerintah tersebut tidak dijelaskan apakah kepala desa

bertindak sebagai “hakim desa” atau

mediator seperti dalam alternatif dispute resolution (ADR). Apabila bertindak sebagai mediator dapat mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, serta Undang -Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Apabila bertindak sebagai hakim desa, usaha penyelesaian perkara/ sengketa secara damai, pernah diatur pada masa Hindia Belanda disebut sebagai Peradilan Desa ( dorps-justitie), dalam Pasal 3a RO yang sampai sekarang tidak pernah dicabut.3

Melalui peran dan fungsi Kepala Desa sebagai mediator dalam hal ini terjadi perselisihan dalam masya-rakat sebagai upaya memperkuat nilai-nilai paguyuban yang telah ditegaskan oleh Undang-Undang

2Bagian Umum Alinea (2) Penjelasan Atas

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

3Anti Mayastuti, “Pemberdayaan Fungsi

Kepala Desa sebagai Mediator

Penyelesaian Sengketa Pasca Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang

(5)

Berikut salah satu contoh kasus pada desa yaitu pencurian sayur kacang panjang dan cabai rawit di sawah milik orang, AJ warga adiluwih RT 011 desa Adijaya, Kecamatan Terbanggi Besar harus rela menanggung malu. Saat sedang asyik memetik cabai, ia tertangkap basah oleh pemilik sawah, Sutanto, warga Adijaya. Kronologi pencurian sendiri terjadi pada hari senin (9/01) sekitar pukul 17.30 WIB, saat pelaku pergi ke sawah milik Sutanto dan melihat keadaan sepi. Pelaku pun langsung beraksi memanen kacang panjang dan cabai rawit yang ditanam oleh Sutanto. Tak lama berselang, pemilik sawah datang dan langsung menangkap pelaku dan langsung melaporkannya ke Polsek Terbanggi Besar.

Proses penyelesaian perkara pidana terdapat 2 (dua) macam yang lazim digunakan oleh masyarakat.

Pertama, yaitu penyelesaian secara penal. Upaya penal, tindak pidana yang dilakukan dalam penyelesain-nya diarahkan untuk menempuh proses hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dengan istilah lain upaya penal diselesaikan melalui jalur pengadilan. Kedua, upaya non penal. Upaya non penal lebih mengedepan-kan upaya preventif yang bersifat pencegahan terhadap tindak pidana yang mungkin akan terjadi.4

Atas dasar uraian diatas maka penulis mencoba untuk mengkaji tentang hal tersebut dengan judul: Peran Kepala Desa Sebagai Mediator

4Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai

Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Adityaa Bakti, 2002, hlm. 42.

dalam Penyelesaian Perkara Pidana (Studi pada Desa Adijaya).

Karya tulis ini disusun dalam rangka menjawab dua masalah pokok, yaitu:

1) Bagaimanakah peran kepala desa sebagai mediator dalam penyelesain perkara pidana? 2) Bagaimanakah kekuatan hukum

dari hasil mediasi perkara pidana oleh kepala desa?

Pada penelitian ini penulis melakuk-an dua pendekatmelakuk-an yaitu pendekatmelakuk-an yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Prosedur pengumpu-lan data dalam penulisan penelitian ini dengan cara studi kepustakaan dan lapangan. Data yang diperoleh dikelola dengan menggunakan meto-de induktif.

II. PEMBAHASAN

A.Peran Kepala Desa Sebagai Mediator dalam Penyelesain Perkara Pidana

Berdasarkan hasil wawancara yang telah penulis lakukan, diperoleh jawaban atas permasalahan mengenai peran kepala desa sebagai mediator dalam penyelesaian perkara pidana adalah sebagai berikut:

Peran (role) adalah sesuatu yang diharapkan, yang dimiliki oleh individu yang mempunyai keduduk-an lebih tinggi dalam kehidupkeduduk-an masyarakat. Peran erat kaitannya dengan status, dimana di antara keduanya sangat sulit dipisahkan. Soerjono Soekanto melanjutkan bahwa peran adalah pola perilaku yang terkait dengan status.

(6)

1) Peran normatif adalah peran yang dilakukan oeh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada seperangkat norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, pengaturan peran dalam pelaksanaan fungsi diatur dalam Pasal 1 Angka (6) Permendagri Nomor 112 Tahun 2014. Tugas Kepala Desa sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Ayat (1). Kewenangan diatur dalam Pasal 26 Ayat (2). Bentuk pelaksanaan peran kepala desa adalah untuk menyelenggarakan rumah tangga Desanya dan melaksanakan tugas dari Peme-rintah dan PemePeme-rintah Daerah. 2) Peran ideal adalah peran yang

dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada nilai-nilai ideal atau yang seharusnya dilakukan yang sesuai dengan kedudukannya didalam suatu sistem.

3) Peran faktual adalah peran yang dilakukan oleh seseorang atau lembaga yang didasarkan pada kenyataan secara konkrit di lapangan atau kehidupan sosial yang terjadi secara nyata. Bentuk peran faktual Kepala Desa adalah menyelenggarakan Pemerintahan Desa, melaksana-kan Pembangunan Desa, pem-binaan kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa. Pengaturan mengenai aturan hukum yang berkaitan dengan peran faktual kepala desa diatur dalam Pasal 26 Ayat (1) dan Ayat (2).5

Proses penyelesaian perkara pidana pada masyarakat Karang Endah menggunakan musyawarah untuk

5Ibid, hlm.243-244.

mufakat yang disebut mediasi. Suratman menuturkan bahwa mediasi dilakukan dengan mengha-dirkan pihak-pihak seperti pelaku, korban, keluarga pelaku maupun keluarga korban dan Kepala Desa, Kepala Dusun atau Ketua RT sebagai mediator. Mediasi tentunya menguta-makan perdamaian, mencari titik temu dari suatu masalah atau persoalan.6

Penyelesaian perkara pidana pada masyarakat Adijaya memiliki sebuah proses yang bertahap. Penyelesaian perkara pidana secara mediasi memiliki proses

bertahap yaitu:

a) Pertama sebelum melakukan perdamaian kepada pihak korban, pihak dari pelaku tidak bisa langsung mengajak melakukan perdamaian. Pihak pelaku harus memberikan jarak waktu antara kapan kejadian yang menjadi penyebab musibah itu terjadi dengan tujuan agar pihak keluarga korban tidak emosi ketika utusan dari pihak pelaku menemui keluarga

korban dengan maksud

mengajak berdamai.

b) Tahap kedua pihak pelaku mengutus salah satu dari anggota keluarganya menemui pihak keluarga korban untuk mengajak berdamai dan setelah pihak korban menyetujui kesepakatan tersebut baru ditentukan waktu pertemuan kedua belah pihak, dalam mengutus utusan untuk melakukan perdamaian.

6Hasil wawancara penulis dengan Suratman

(7)

c) Tahap terakhir setelah ditentu-kan waktu dan tempat melaksa-nakan perdamaian, pihak keluarga korban, korban, pelaku, keluarga pelaku dan disaksikan Kepala Desa. Pelaku melakukan musyawarah dan setelah mene-mukan kesepakatan perdamaian, kemudian diwujudkan dalam bentuk surat perdamaian yang kemudian surat tersebut di-pegang oleh kedua belah pihak, Kepala Desa. Di dalam proses perdamaian seluruh biaya yang dikeluarkan ditanggung oleh si pelaku atau keluarga pelaku.7

Sunarto DM berpandangan kalau kita melihat dari segi hukum legalistik positfistik, artinya pandangan hukum normatif tertulis maupun tidak tertulis kepala desa tidak mempunyai kewenangan peran dalam penye-lesain perkara pidana, tapi dalam perkembangan ke pendekatan hukum dan masyarakat. Perkara ringan yang tidak ada dampak negatif begitu luas bagi masyarakat di situ peran Kepala desa bisa mendamaikan. Fungsi hukum disini saling memaafkan, fungi social memberikan kesejah-teraan bagi masyarakatnya.8

Mediasi adalah penyelesaian perkara melalui proses perundingan antara para pihak yang berperkara dengan dibantu oleh mediator. A Rahman mengatakan bahwa dalam perkem-bangannya, sebuah proses mediasi, mediator menjalankan peran untuk

7Hasil Wawancara dengan Ngatino selaku

Kepala Desa Adijaya Kecamatan

Terbanggi Besar Kabupaten Lampung Tengah, pada tanggal 23 Oktober 2017. 8Hasil wawancara penulis dengan Sunarto

DM selaku Akademisi Hukum Pidana Universitas Lampung, pada tanggal 2 November 2017.

menengahi para pihak yang berpekara. Peran ini diwujudkan melalui tugas mediator yang secara aktif membantu para pihak dalam memberikan alternatif solusi yang terbaik bagi penyelesaian perkara diajukan mediator sepenuhnya berada dan ditemukan sendiri oleh kesepakatan para pihak yang berperkara. Mediator tidak dapat memaksakan gagasannya sebagai penyelesaian perkara yang harus dipatuhi, sehingga diperlukan seorang mediator yang memiliki pengetahuan yang cukup luas tentang bidang-bidang terkait yang diperkarakan oleh para pihak.9

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dianalisis bahwa dalam proses penyelesaian perkara pidana pada masyarakat termasuk kedalam semua model mediasi penal tersebut, karena dalam proses penyelesaian perkara pidana memiliki ciri-ciri seperti berikut:

1) Dilakukan oleh keterkaitan pihak Kepala Desa untuk mengundang semua pihak yang terkait dalam perkara pidana seperti korban dan pelaku serta keluarga mereka, apabila terjadi sebuah kesepakatan tidak melanjutkan tuntutan atau proses Peradilan.

2) Sering mendahului hukum positifdan telah ada sebelum Indonesia merdeka yang sering juga mengilhami mediasi modern.

3) Dalam penyelesaian dapat di-gunakan dalam berbagai proses peradilan pidana, terlebih lagi pada masyarakat.

9Hasil wawancara penulis dengan A Rahman

selaku Bhabinkamtibmas Polsek

(8)

4) Dalam proses penyelesaian sering berkaitan dengan peren-canaan perbaikan materil dengan menaksir nilai kompensasi. 5) Kesepakatan yang dihasilkan

adalah sebuah kesepakatan yang dihasilkan bersama secara komprehensif yang memuaskan korban dan dapat membantu pelaku keluar dari kesusahan.

Berdasarkan 5 (lima) ciri dari penyelesaian perkara pidana pada masyarakat termasuk kedalam lima model mediasi penal karena didasarkan pada ciri-ciri dari proses penyelesaian perkara pidana pada masyarakat yang telah dijelaskan di atas. Dikaji dari perspektif peraturan perundang-undangan Indonesia saat ini (ius constitutum), dalam melak-sanakan tugas sebagaimana di-maksud pada Ayat (1) Pasal 26 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Kepala Desa berkewajiban: menyelesaikan perse-lisihan masyarakat di Desa, menurut hemat peneliti tidak lain adalah fungsi kepala desa untuk berperan sebagai mediator.

Penerapan penyelesaian perkara pidana delik biasa termasuk didalamnya tindak pidana ringan sebagaimana dipaparkan para responden diatas, merupakan upaya penerapan restorative justice dalam penegakkan hukum oleh aparat kepolisian. Upaya yang dilakukan ini sejalan dengan pemikiran hukum progresif dalam menentukan apakah kasus yang sedang ditangani akan dilanjutkan ke tahap selanjutnya atau tidak. Sesuai dengan apa yang menjadi pemikiran dasar hukum progresif yang dibawa oleh Satjopto Raharjo, bahwa hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk

hukum. Penyidik haruslah berusaha menempatkan hukum sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang diinginkan manusia sebagai individu, kelompok, dan masyarakat, bukan sebaliknya karena terbentur prosedur hukum yang ada (legalistik formal) sehingga tujuan hukum yang diiinginan manusia tidak tercapai.

Syarat sahnya mediasi adalah jika mediasi menghasilkan kesepakatan maka harus dibuat secara tertulis sesuai Pasal 17 Ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dimana menyebutkan “jika mediasi meng-hasilkan kesepakatan perdamaian, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditanda tangani oleh para pihak dan

mediator”. Syarat ini ditegaskan juga dalam Pasal 1851 KUHPerdata, bahwa persetujuan perdamaian harus bentuk tertulis, boleh akta dibawah tangan (onderhandse acte) dan dapat juga berbentuk akta otentik. Proses mediasi dilakukan oleh kedua belah pihak yang diatur oleh mediator. Pengaturan mengenai proses mediasi diatur di dalam Pasal 6 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 yang

menye-butkan “proses mediasi pada asasnya tertutup kecuali para pihak menghendaki lain”. Dari isi pasal tersebut berarti proses mediasi dapat dilakukan dengan 2 cara pertemuan, yakni mediasi tertutup oleh umum dan mediasi terbuka untuk umum atas persetujuan para pihak.

(9)

-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Mediasi juga diatur dalam Peraturan

Mahkamah Agung Republik

Indonesia Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Sifat sukarela dalam mediasi meberikan keleluasaan para pihak untuk menentukan sendiri mekanisme penyelesaian sengketa mediasui yang mereka inginkan. .

A Rahman menambahkan, musya-warah dan mufakat merupakan falsafah masyarakat Indonesia dalam setiap mengambil keputusan, termasuk penyelesaian perkara. Musyawarah dan mufakat ini telat tercatat dalam falsafah Bangsa Indonesia pada sila ke-4 Pancasila, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Per-musyawaratan Perwakilan, dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan peraturan perundang-undangan lain-nya. Hal ini dapat dilihat pada penyelesaian menurut hukum adat selalu ditujukan untuk memulihkan neraca keseimbangan tatanan masyarakat yang terganggu akibat terjadinya perkara. Corak musya-warah dan mufakat ini dalam penye-lesaian perkara biasanya didahului oleh adanya semangat itikad baik, adil, dan bijaksana dari orang yang dipercaya sebagai penengah perkara (mediator).10

Apabila dicermati, hakikatnya cara penyelesaian perkara, melalui mediasi dengan Kepada Desa sebagai mediator, sama dengan prinsip musyawarah untuk mufakat yang telah ada dalam masyrakat

10Hasil wawancara penulis dengan A

Rahman selaku Bhabinkamtibmas Polsek Terbanggi Besar, pada tanggal 16 Oktober 2017.

Indonesia, “rukun” yaitu suatu

konsep yang mengandung makna menjauhkan diri dari benturan konflik dengan segala dimensinya.

Menurut Ngatino, peran kepala desa itu sendiri sangat membantu masyarakatnya karena rata-rata yang diselesaikan di kepala desa yakni perkara pidana ringan yang biasanya dilakukan oleh anak-anak. Mereka meyakini apabila perkara ringan diselesaikan di kepala desa itu sangatlah efektif dibandingkan perkara ringan dibawa ke jalur peradilan.11

Suratman menambahkan, bahwa peran kepala desa itu sendiri sangat membantu proses penyelesaian perkara awal pada masyrakat, khususnya kasus-kasus dengan kategori ringan dan bisa di selesaikan secara musyawarah.12

Fungsi kepala desa sebagai penyelesai perkara sebagaimana diatur dalam Pasal 26 Ayat (4) huruf k Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa tidak terlepas dari kenyataan historis bahwa di masa lalu di tingkat desa dan masyarakat hukum adat dikenal adanya peradilan desa dan atau peradilan adat. Sekalipun Pasal 6 Ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 menyatakan Hakim Pengadilan Negeri-lah yang dapat menjadi seorang mediator sedangkan pihak lain, yakni orang yang ditentukan sendiri oleh para

11Hasil Wawancara dengan Ngatino selaku

Kepala Desa Adijaya Kecamatan

Terbanggi Besar Kabupaten Lampung Tengah, pada tanggal 23 Oktober 2017. 12Hasil wawancara penulis dengan Suratman

(10)

pihak untuk bertindak sebagai mediator tapi harus terlebih dahulu memiliki sertifikat sebagai mediator, hal tersebut tidak berlaku jika proses mediasi terjadi di luar pengadilan sebagaimana yang dilakukan oleh kepala desa.

Kepala desa melaksanakan tugas sebagai penyelesaian perselisihan merupakan kewenangan yang bersumber dari atribusi berdasar Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Konsekuensinya adalah seorang kepala desa tidak harus memiliki sertifikasi mediator untuk dapat melaskanakan tugas sebagai penyelesai perselisihan.

B.Kekuatan Hukum Dari Hasil Mediasi Perkara Pidana Oleh Kepala Desa

Berdasarkan hasil wawancara yang telah penulis lakukan, diperoleh jawaban atas permasalahan mengenai kekuatan hukum dari hasil mediasi perkara pidana oleh kepala desa adalah sebagai berikut:

Di Indonesia perkara pidana tidak dapat diselesaikan diluar proses pengadilan, akan tetapi dalam hal tertentu dimungkinkan pelaksanaa-nya. Dalam praktiknya penegakan hukum pidana di Indonesai, walaupun tidak ada landasan hukum formalnya perkara pidana sering diselesaikan diluar proses pengadilan melalui diskresi aparat penegak hukum, mekanisme perdamaian, lembaga adat dan sebagainya. Konsekuensi makin diterapkan eksistensi mediasi penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian perkara dibidang hukum pidana melalui restitusi dalam proses pidana menunjukkan, bahwa perbedaan

antara hukum pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi.

(11)

Setelah mediasi berhasil maka kesepakatan perdamaian kemudian ditandatangani oleh kedua belah pihak. Pada Pasal 17 Ayat (5) menyebutkan “para pihak dapat mengajukan kesepakatan perdamaian kepada hakim untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian” kemudian

pada Ayat (6) menyebutkan “jika para pihak tidak menghendaki kesepakatan perdamaian dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian, kesepakatan perdamaian harus memuat klausula pencabutan gugatan dan atau klausula yang menyatakan

perkara telah selesai”. Dari kedua ayat ini menegaskan bahwa persetujuan perdamaian dapat dibuat oleh Kepala Desa atas kehendak dari para pihak yang berperkara yang berarti tidak setiap perkara melalui mediasi memiliki akta perdamaian tergantung dari keinginan para pihak yang berperkara.

Sedangkan di dalam Pasal 130 Ayat

(2) HIR menyebutkan “jika perdamaian yang demikian itu dapat dicapai maka pada waktu bersidang, diperbuat sebuah surat (akta) tentang itu, dalam mana kedua belah pihak dihukum akan menaati perjanjian yang diperbuat itu, surat mana akan berkekuatan dan akan dijalankan

sebagai putusan biasa”. Adanya perbedaan yang mendasar dari HIR dengan PERMA tersebut dimana suatu persetujuan perdamaian dibuat ketika telah terjadinya kesepakatan antara kedua belah pihak yang bersengketa sedangkan di dalam PERMA persetujuan perdamaian dapat dimintakan kepada Kepala Desa apabila adanya keinginan dari kedua belah pihak yang bersengketa. Jika dilihat dari kekuatan hukumnya maka persetujuan perdamaian tidak memiliki kekuatan eksekutorial yang

biasa disebut akte van dading deed of compromise yang tidak lebih dari perjanjian biasa. Sedangkan akta perdamaian memiliki kekuatan eksekutorial yang berarti apabila salah satu pihak yang bersengketa tidak melaksanakannya secara sukarela atau melanggar ketentuan dari akta perdamaian yang telah disepakati maka dapat diajukan permohonan eksekusi kepada Ketua Pengadilan.

Menurut Ngatino, hasil keputusan yang diperoleh dari proses mediasi dapat memberi kepuasan bagi para pihak yang berpekara, karena keputusan yang diberikan bukan keputusan mutlak atau keputusan sebelah pihak, melainkan keputusan yang disetujui bersama yang sifatnya lebih kekeluargaan. Oleh karena itu, para pihak yang berpekara akan dengan senang hati menjalankan dan mematuhi putusan sebagaimana yang dihasilkan dari proses mediasi.13

Suratman mengatakan bahwa mediasi yang dilaksanakan merupa-kan jalan terbaik untuk menyelesai-kan permasalahan yang di hadapi, hasil keputusan yang diberikan membuat hubungan para pihak yang berpekara menjadi membaik sehingga perkara pidana yang terjadi tidak berkepanjangan. Denda yang diberikanpun dapat menjadi pembe-lajaran untuk pelaku kedepannya supaya dapat menyadari bahwa persaudaraan itu mahal harganya, sehingga hal yang telah terjadi ini tidak terjadi lagi, denda yang dikenakan sebagai sanksi juga

13Hasil Wawancara dengan Ngatino selaku

Kepala Desa Adijaya Kecamatan

(12)

merupakan kesepakatan antara para pihak yang berkpekara.14

Menurut A Rahman, pelaksanaan mediasi di desa sudah sesuai dengan peraturan yang ada, kasus-kasus yang dimediasi sesuai dengan peraturan yang sudah dibuat yaitu kasus-kasus yang diselesaiakan me-rupakan kasus yang berskala kecil, misalnya penganiayan ringan, pencurian ringan dan lain sebagai-nya. Sepertinya masyarakat mengerti tentang adanya kewenangan aparatur desa untuk menyelesaikan sengketa skala kecil tersebut, hal itu dibuktikan dengan tidak langsung dilaporkannya kepada polisi apabila ada sengketa maupun permasalahan yang terjadi di dalam masyarakat, masyarakat lebih memilih melapor-kan kepada aparatur desauntuk dapat segera diselesaikan tanpa melalui kepolisian yang dianggap terlalu lama untuk memperoleh keputusan.15

Sunarto DM menambahkan, proses mediasi lebih bermanfaat dibanding-kan diselesaidibanding-kan di kepolisian, jika dikepolisian yang tebukti bersalah hanya dipenjara yang sama sekali tidak berguna bagi korban pihak yang dirugikan, dan hal itu akan membuat keluarga korban selalu bermusuhan dengan pihak yang satu lagi. Tetapi dengan adanya mediasi, kerugian yang dialami oleh korban akan diusahakan dikembalikan seperti keadaan semula sesuai

14Hasil wawancara penulis dengan Suratman

selaku Kepala Desa Karang Endah Kecamatan Terbanggi Besar Kabupaten Lampung Tengah, pada tanggal 24 Oktober 2017.

15Hasil wawancara penulis dengan A

Rahman selaku Bhabinkamtibmas Polsek Terbanggi Besar, pada tanggal 16 Oktober 2017.

dengan kesepakatan yang diskusikan para pihak.16

Menurut penulis, hampir semua masyarakat di desa Adijaya maupun di desa Karang Endah, merasa mudah dan bisa menerima hasil keputusan yang dihasilkan dari proses mediasi dan masyarakat marasa sangat terbantu dengan adanya proses mediasi, karena prosesnya lebih mudah dan waktu yang diperlukan untuk menyelesa-ikan masalah lebih cepat dibanding-kan dengan proses di kepolisian.

Kekuatan hukum dari akta perdamaian ini sama dengan kekuatan hukum dari putusan Pengadilan seperti yang tercantum dalam Pasal 17 Ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dimana

menyebutkan “jika mediasi meng -hasilkan kesepakatan perdamain, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditanda tangani oleh para pihak dan

mediator”.

III. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dan diuraikan penulis, maka dapat disimpulkan yaitu:

1. Peran kepala desa sebagai mediator dalam penyelesain perkara pidana (studi pada Desa Adijaya) telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 26 Ayat (1)

16Hasil wawancara penulis dengan Sunarto

(13)

dan Ayat (4) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Bahkan untuk lebih menekankan fungsi kepala desa sebagai penyelesaian perselisih-an, Pasal 28 mengancam melalui sanksi, bagi Kepala Desa yang tidak melaksanakan kewajiban tersebut dikenai sanksi administratif berupa teguran lisan dan/atau teguran tertulis. Dalam hal sanksi administratif tidak dilaksanakan, maka dilaku-kan tindakan pemberhentian sementara dan dapat dilanjutkan dengan pemberhentian. Penera-pan mediasi oleh kepala desa merupakan upaya dalam mene-rapkan atau mewujudkan

restorative justice, hal ini diterapkan oleh kepala desa hanya terhadap perkara tindak pidana ringan saja.

2. Kekuatan hukum dari hasil mediasi perkara pidana oleh kepala desa (studi pada Desa Adijaya) melahirkan suatu kesepakatan perdamaian yang biasanya dibuat secara tertulis. Hasil persetujuan perdamaian tersebut dapat dimintakan kepada kepala desa agar hasil mediasi memiliki kekuatan mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Walaupun tidak memiliki kekuatan eksekutorial layaknya akta perdamaian dalam Pengadilan seperti yang tercantum dalam Pasal 17 Ayat (1) PERMA Nomor 1 Tahun 2008 dimana menyebutkan

“jika mediasi menghasilkan

kesepakatan perdamain, para pihak dengan bantuan mediator wajib merumuskan secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditanda tangani oleh para pihak dan mediator”.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas maka dalam hal ini penulis dapat memberikan saran:

1. Peran kepala desa dalam me-laksanakan kewajiban menyele-saikan perselisihan masyarakat di desa berdasarkan Undang-Undang Desa seharusnya lebih diperkuat sebagai penyelesaian perselisihan guna memperluas

access to justice dan mengurangi beban peradilan Negara.

2. Perlunya pelatihan bagi kepala desa guna meningkatkan kompe-tensinya sebagai mediator dalam penyelesaian perkara pidana pada masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

Buku - buku

Atmasasmita, Romli, 2008, Sinergi Kerja Polri Dan Kejaksaan Agung Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Univ. Indonesia, Depok.

Nawawi Arief, Barda, 2010, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana; Perkembangan KonsepKUHP Baru, Jakarta, Kencana Prenada Media Group Negeri, Semarang.

Undang-Undang

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

(14)

Referensi

Dokumen terkait

Jenis Jenis Perkara Pidana yang diselesaikan melalui Mediasi Penal di Wilayah Surakarta ... Praktik Penyelesaian Perkara Pidana dengan Mediasi Penal di Wilayah Surakarta

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan penulis dapat disimpulkan bahwa: 1) Perlindungan hukum hak-hak korban dalam proses penyelesaian perkara pidana di

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan mekanisme keikutsertaan masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan restoratif pada penyelesaian perkara tindak pidana yang

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan mekanisme keikutsertaan masyarakat dalam pelaksanaan kebijakan restoratif pada penyelesaian perkara tindak pidana yang

kepolisian dalam pemberdayaan korban guna penyelesaian perkara pidana. Oleh karena itu akan dipaparkan 3 (tiga) penelitian yang

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keadilan restoratif adalah proses penyelesaian perkara pidana dengan melibatkan korban tindak pidana, pelaku tindak pidana dan

67 Apabila telah dilakukan upaya Diversi kepada pihak korban dengan pihak pelaku, dan upaya tersebut tidak mendapatkan kesepakatan oleh keuda belah pihak, maka pihak

87 Anak yang mengatur bahwa penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari