• Tidak ada hasil yang ditemukan

KELOMPOK 5. TUJUAN UMUM SYARIAH ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KELOMPOK 5. TUJUAN UMUM SYARIAH ISLAM"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

1 | T u j u a n U m u m S y a r i a h I s l a m BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Syariah adalah tatanan dan ketentuan Allah yang harus dijalankan perintah-Nya dan menjauhi apa yang dilarang-Nya, dalam syariah diajarkan tentang hal-hal yang wajib, yang sunnah, yang mubah, yang makruh dan yang haram dikerjakan dalam seluruh aspek kehidupan manusia baik dalam beribadah maupun dalam pergaulan hidup manusia. Karena hal inilah syariah sangat penting untuk dipelajari sejak dini mungkin oleh seluruh umat manusia di bumi ini.

Syariah akan ada disepanjang masa selama dunia ini belum kiamat, senantiasa relevan degan keadaan dunia dimana saja, karena syariah adalah aturan Allah dan itulah yang akan mengantarkan manusia kepada kebahagiannya di dunia dan akherat.

Menurut Syaikh Ali bin Hasan dan juga penyusun kitab Maqâshidusy-Syari’ah ‘Inda Ibni Taimiyyah yang dijadikan sebagai pegangan beliau dalam daurah tersebut, sesungguhnya ada sebagian ulama berpendapat bahwa memahami tujuan syari’at tidaklah bermanfaat, kecuali bagi para ulama dan para ahli ijtihad saja. Kata beliau, tentu ini merupakan pendapat yang keliru.

Adapun permasalahan mengenai syariah yang penting dan perlu diketahui oleh umat islam salah satunya yaitu tujuan umum dari syariat islam itu sendiri. Untuk itulah pada tulisan kali ini akan dipaparkan dengan jelas mengenai tujuan umum syariat islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan yang dapat dirumuskan sesuai dengan topik yang akan dibahas yaitu apa saja tujuan umum syariat islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits.

1.3. Tujuan Penulisan

(2)

2 | T u j u a n U m u m S y a r i a h I s l a m BAB II PEMBAHASAN 2.1. Muqaddimah

Perkara-perkara pokok yang mendesak dan primer bagi kehidupan manusia (dharuriyat), keperluan-keperluan penting tetapi bukan primer (hajîyat), serta perkara-perkara penunjang (tahsinîyat/kamâlîyat) adalah tiga landasan yang menjadi pondasi bagi ilmu maqâshid asy-syari’ah (tujuan-tujuan dan maksud-maksud syari’ah). Pemeliharaan terhadap pekara dharuriyat, hajîyat dan tahsinîyat/kamâlîyat merupakan perkara yang menjadi tujuan dan maksud dari ditetapkannya syari’at oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala . Semua itu telah dijelaskan dalam Al-Qur`an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikian secara ringkas apa yang diterangkan oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi dalam Daurah Syar’iyah di Ciloto, Bogor, Jawa Barat. Dalam daurah tersebut, beliau menguraikan tentang pemeliharaan terhadap perkara dharuriyat, hajîyat dan tahsinîyat, kaitannya dengan ilmu maqâshid asy-syari’ah. Di antara uraian beliau yang akan dinukil secara ringkas di sini sebagai muqadimah, ialah tentang pemeliharaan terhadap perkara hajîyat (perkara-perkara yang bukan kebutuhan sangat pokok, tetapi penting). Beliau mengatakan:

“Adapun pemeliharaan terhadap perkara hajîyat, maka ia dibangun berdasarkan prinsip memberikan kemudahan dan menghilangkan kesulitan. Ath-Thahir bin ‘Asyur, salah seorang ulama mu’ashirin (zaman kini) yang pertama menulis tentang maqâshid (tujuan-tujuan/maksud-maksud) syari’ah hingga seakan-akan beliau adalah seorang mujaddid (pembaharu) dalam masalah ilmu maqâshid syari’ah sesudah habisnya masa penulisan tentang ilmu ini, mengatakan: “Penelitian terhadap syari’ah menunjukkan bahwa kemudahan dan kelonggaran merupakan salah satu tujuan syari’at”.

Kemudahan dan kelonggaran yang merupakan bagian dari tujuan syari’at ini, tercakup dalam perintah-perintah Rabbul ‘Alamin. Tetapi, bukan berarti kita memahami bolehnya menganggap mudah dan longgar untuk mencukur jenggot, berjabat tangan dengan perempuan atau berbaur antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram, misalnya, dengan alasan, “yang penting hatinya bersih”. Kita akan tetap terus menjelaskan bahwa maksudnya bukan longgar dan mudah untuk melakukan pelanggaran seperti itu. Sebab semua pemahaman yang salah ini termasuk talbis (pemahaman rancu yang dihembuskan) Iblis. Ini semua merupakan perangkap setan yang terkutuk. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

ِ الشَي طَانَ َكامَ َدشٌََفاا َ اد وف اَ َ اشَ َََِ َا ي َْاُْامَف اَُل َي ك ْا َنَم شَ اُ ِ َ َ َِانَ ايَاِ

“Sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu, maka jadikanlah ia musuh(mu), karena sesungguhnya setan-setan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala.” [Fathir/35:6]

(3)

3 | T u j u a n U m u m S y a r i a h I s l a m

دشٌََفاا َ اَ َْاٌاَ َْا شايَل َن ََ

Janganlah kamu menuruti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu. [Al-Baqarah/2:208].

Langkah-langkah setan dimulai dari kaidah-kaidah umum ini. Itulah langkah-langkah yang sekarang paling banyak dimasuki oleh sebagian orang pandai dan sok mempelajari ilmu fiqih, orang-orang yang suka memudah-mudahkan dan meremehkan urusan atas nama maqâshid syari’ah, atas nama ruh syari’at, atas nama “memberi kemudahan dan bukan mempersulit”.

Istilah-istilah ini sebenarnya berasal dari nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah. Oleh karena itu semestinya istilah-istilah tersebut tidak dipergunakan untuk menghancurkan nash-nash Al-Qur`an dan Sunnah.

Sebagai misal firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

شَ َ ََ اَ ان ِ شََََُُ ا ا َ اا وَُمام َن

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. [Al-Baqarah/2:286]

Banyak orang tidak memahami ayat ini. Sehingga beranggapan, bahwa jika mereka merasa berat melaksanakan suatu perintah, misalnya perintah untuk berjenggot, maka mereka meninggalkannya dengan dalih ayat di atas. Padahal ayat di atas merupakan pemberitaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala , bahwasanya Allah tidak membebani para hamba-Nya dengan perintah yang diluar kemampuan mereka. Artinya, seluruh ketentuan syari’at Allah tidak ada yang berada di luar kemampuan hamba-Nya. Hanya para hambalah yang kemudian menganggap berat beberapa syari’at berdasarkan hawa nafsunya, padahal sebenarnya mereka mampu melaksanakannya.

Karena itu, amat penting bagi kaum Muslimin memahami tujuan ditetapkannya syari’at oleh Allah Azza wa Jalla .

2.2. Pentingnya Kaum Muslimin Memahami Tujuan Ditetapkannya Syariah

Pentingnya memahami tujuan syariah bagi umumnya kaum Muslimin, terlihat dalam beberapa poin berikut ini.

(4)

4 | T u j u a n U m u m S y a r i a h I s l a m

dapat mengokohkan aqidah Islamiyah yang bersih ke dalam hatinya. Sehingga sesudah itu, ia memiliki kemantapan dalam agama dan syari’atnya.

Kemantapan ini, tentu saja akan melahirkan komitmen yang tinggi, sehingga seorang Muslim akan bersungguh-sungguh melaksanakan ajaran Islam dengan sebenar-benarnya. Ini semua akan menambah kecintaannya terhadap syariah, meningkatkan keteguhannya dalam berpegang pada agama, dan meningkatkan kekokohannya dalam menempuh jalan Allah yang lurus, berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

b. Kedua : akan dapat memberikan ketahanan dan kekuatan pada diri seorang muslim untuk menghadapi ghazwul-fikri (brain washing/serangan pemikiran) dan serangan pendangkalan ‘aqidah, yang dewasa ini secara gencar dibidikkan ke arah kaum Muslimin dari segenap penjuru.

Pada gilirannya seorang muslim juga akan mampu menolak berbagai ajaran lain yang menyusup, dan berbagai arus pemikiran yang merusak, yang para pelakunya selalu bersembunyi di balik slogan-slogan dusta dan propaganda-propaganda palsu, yang tujuannya memberikan kesan bahwa Islam adalah agama biadab, agama teroris, agama ekstrem, dan membuat-buat dusta atas nama Islam lebih banyak lagi. Juga untuk melekatkan berbagai syubhat dan kesesatan pada Islam, dengan maksud memberikan gambaran salah kepada orang-orang yang tidak mengerti, awam dan orang-orang yang tidak matang dalam belajar.

Muslihat ini tidak akan terlihat oleh orang yang tidak memahami hakikat Islam. Namun jika seseorang mulanya tidak mengerti hakikat Islam dan tidak memahami tujuan-tujuan mulia di balik syari’at, kemudian manakala ia dapat memahaminya, maka ia akan menjadi orang yang memiliki ketahanan untuk menangkal menyusupnya syubhat-syubhat ini ke dalam hatinya. Sehingga ia menjadi orang yang kuat mentalnya, kuat agamanya dan kuat ilmunya menurut kemampuan yang ia miliki.

c. Ketiga : Sesungguhnya kewajiban seorang muslim adalah menyelaraskan kehendak dirinya dengan kehendak syari’at. Akan tetapi orang yang buta maksud dan tujuan syari’at, ia tidak akan mengerti apa yang menjadi kehendak syari’at. Dan orang yang tidak mengerti kehendak syari’at, tentu tidak akan mampu menyelaraskan kehendaknya dengan kehendak syari’at Islam.

Seorang muslim sejati, seluruh tujuan dan kehendaknya akan mengikuti dan ditentukan oleh tujuan-tujuan serta kehendak-kehendak syari’at, bukan mengikuti hawa-hawa nafsu, pendapat-pendapat manusia dan angan-angan kosong. Tetapi semua itu mengikuti kehendak-kehendak, perintah-perintah dan larangan-larangan syari’at.

(5)

5 | T u j u a n U m u m S y a r i a h I s l a m

meyimpang dari ketentuan syari’at secara sengaja, baik langsung maupun tidak langsung, sebab ia mengetahui bahwa di balik itu terdapat besarnya bahaya, kerusakan dan dosa yang hanya diketahui oleh Allah. Barangsiapa yang tidak berusaha menyelaraskan tujuan-tujuan hidupnya secara tepat dengan tujuan-tujuan syari’at, maka ia akan terjebak pada kebiasaan untuk berkelit, berlari, dan menghindar dari beban-beban syari’at, serta berbelit-belit untuk lepas darinya. Wal-‘Iyadzu Billah. Dari sinilah perlunya setiap muslim memahami tujuan-tujuan dan maksud-maksud ditetapkannya syari’at.

d. Keempat : Sebagai realisasi peribadatan secara nyata kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala . Realisasi peribadatan kepada Allah Azza wa Jalla secara nyata ini merupakan tujuan utama diciptakannya makhluk jin dan manusia. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

دَاناشَ َف ان ِ َََُ ََْ ََ اا إَ َ اَََََُِ شَي ََ

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku.” [Adz-Dzariyat/51:56].

Berkaitan dengan hal ini, Al-‘Izz bin ‘Abdus-Salam dalam kitabnya “Qawâ’idul-Ahkam” mengatakan:

Tujuan penulisan kitab (Qawâ’idul-Ahkam) ini adalah untuk:

1. Menjelaskan maslahat-maslahat (kebaikan-kebaikan) yang ada dalam ketaatan kepada Allah, dalam masalah mu’amalah dan dalam semua perilaku baik, supaya manusia berusaha bersungguh-sungguh meraih ketaatan-ketaatan itu.

2. Menjelaskan akibat-akibat dari penyimpangan, supaya para hamba Allah berusaha bersungguh-sungguh untuk menolak penyimpangan-penyimpangan tersebut.

3. Menjelaskan maslahat-maslahat yang ada dalam ibadah, supaya para hamba Allah selalu siap sedia melaksanakannya.

4. Menjelaskan sebagian maslahat yang perlu didahulukan dari maslahat lainnya.

5. Menjelaskan mafsadat (perkara jelek yang merusak) mana yang harus diakhirkan dari mafsadat lainnya, dan

6. Menjelaskan apa saja yang masuk dalam kemampuan usaha manusia, dan apa saja yang tidak masuk dalam kemampuan usaha manusia.

7. Dan syari’at, seluruhnya merupakan maslahat, entah yang bersifat menolak kerusakan maupun yang bersifat mendatangkan kebaikan.

Jika engkau mendengar Allah memanggil

(6)

kitab-6 | T u j u a n U m u m S y a r i a h I s l a m

Nya beberapa hukum yang berkaitan dengan kerusakan dalam bentuk perintah, untuk menjauhi perkara yang merusak itu. Dan menjelaskan beberapa hukum yang berkaitan dengan kebaikan dalam bentuk perintah, untuk mendatangi kebaikan itu.

Terkait dengan panggilan Allah Subhanahu wa Ta’ala :

َمَْا َيي َام ِا َ شَ مََ ش “(Hai orang-orang yang beriman!)”, terdapat atsar dari ‘Abdullah bin Mas’ud z yang diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dalam Syu’abul-Iman, dan diriwayatkan pula oleh imam-iman lain.

Ibnu Mas’ud Radhiyallahu anhu berkata: “Jika engkau mendengar Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

َمَْا َيي َام ِا َ شَ مََ ش “(Hai orang-orang yang beriman!)”, maka peliharalah firman Allah itu pada telingamu. Karena sesungguhnya ia merupakan perintah, yang engkau diperintahkan untuk melaksanakannya atau larangan yang engkau dilarang darinya”.

Demikianlah beberapa tujuan syariah yang perlu dipahami oleh umumnya kaum Muslimin. Termasuk dalam keumuman kaum Muslimin, yaitu para dai yang menda’wahkan (menyeru) agar manusia kembali kepada Rabbul-‘Alamin. Tidak disyaratkan seorang dai harus ulama ahli ijtihad, sebab ilmu memiliki tingkatan-tingkatan. Namun salah satu syarat bagi seorang dai, ia

tidak bodoh tentang ilmu agama.

Jadi seorang laki-laki dari kalangan kaum Muslimin, bila ia memiliki ilmu serta pemahaman yang menjadikannya mempunyai kemampuan dan keahlian untuk berda’wah ilallah, maka orang ini akan bertambah bobotnya, pemahamannya, pemikirannya, daya pandangnya dan kekuatannya, jika ia memahami tujuan-tujuan syari’at. Seorang dai berada di tengah samudera besar da’wahnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

ََ َاف ََُا َ َ َا ي م اُ ِ َعشَ ََ شُ شَِ َع َ ََ ا َ ًَ ِ شَ َ َاا ي ُن ََْ ااَََكََ َاَي Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang berda’wah menuju Allah, mengerjakan amal yang shalih dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri” [Fushshilat/41:33]

Allah juga berfirman:

(7)

7 | T u j u a n U m u m S y a r i a h I s l a m

“Katakanlah: “Inilah jalanku (agamaku). Aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah berdasarkan bashirah (ilmu/hujjah yang nyata)…” [Yusuf/12:108]

Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat itu mengatakan “berdasarkan bashirah (ilmu yang jelas)” dan tidak mengatakan “berdasarkan kebodohan”, maksudnya bashirah/ilmu yang jelas terhadap agama. Bashirah dalam hal Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Seorang dai wajib mengungkapkan maksud-maksud dan tujuan-tujuan ditetapkannya syari’at kepada orang banyak, baik berkaitan dengan perintah maupun larangan, baik yang terdapat dalam Al-Qur`an maupun yang terdapat dalam Sunnah.

Tujuannya, agar lebih banyak lagi memahamkan agama Allah Azza wa Jalla pada umat, dan mendorong semangat mereka, baik orang-orang umum maupun orang-orang tertentu supaya semakin senang dan bergairah melaksanakan kewajiban-kewajiban syari’at ini. Perintah-Nya dilaksanakan, dan larangan-Nya ditinggalkan.

Sebagai misal, ketika menjelaskan kepada umat tentang keutamaan dan pentingnya shalat, maka seorang dai wajib menyebutkan bahwa shalat memiliki tujuan, bahkan memiliki banyak tujuan di samping tujuan pokok shalat, yaitu fardhu. Di samping itu, shalat akan dapat mencegah nafsu pelakunya dari berterus-menerus melakukan perbuatan-perbuatan melampaui batas. Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman:

ِ وَمَ ا َ َ ََ هشَاَ َََ َ اَ سًَ َ َل َ َُاِ َ اد “Sesungguhnya shalat akan mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” [al-Ankabut/29:45].

Seseorang melakukan shalat, seseorang yang lain juga melakukan shalat. Tetapi orang pertama melakukan penyimpangan dan kacau dalam shalatnya, sedangkan orang kedua mantap dan kokoh. Tentu tidak sama antara keduanya.

Pernah beberapa orang sahabat datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam Mereka bertanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya Fulan melakukan shalat di malam hari, tetapi jika tiba waktu pagi ia mencuri”. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

(8)

8 | T u j u a n U m u m S y a r i a h I s l a m

Hadits ini terdapat dalam kitab shahih, sekaligus menjelaskan lemahnya dua hadits yang terkenal di kalangan manusia dan sering disampaikan kepada orang-orang umum dan orang-orang khusus tanpa ilmu, tanpa petunjuk dan tanpa dasar dari Kitabullah. Dua hadits lemah itu ialah yang mereka sangka sebagai sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut:

َي اَُ َ ََُِ ََُي وَمَ ا َ َ ََ هشَاَ َََ َ َا ي اُالََُِ اَُ َ َل َكَ َا “Barangsiapa yang shalatnya tidak dapat menghalanginya dari perbuatan keji dan mungkar, maka tidak ada shalat baginya”

Ini adalah hadits bathil. Dan mereka menyebut lagi hadits yang lain dengan lafazh:

َُنَ ال ان ِ ه َا ي َ َ َيَم َكََُي وَمَ ا َ َ ََ هشَاَ َََ َ َا ي اُالََُِ اَُ َ َل َكَ َاَي “Barangsiapa yang shalatnya tidak menghalanginya dari perbuaan keji dan mungkar, maka tidak akan menambahkan apa-apa, kecuali semakin jauh dari Allah”.

Ini jelas bertentangan dengan hadits shahîh.

Apabila seorang da’i ilallah datang dan menjelaskan keutamaan shalat kepada orang banyak, dan bahwa shalat itu merupakan ibadah yang diwajibkan, sedangkan ibadah yang diwajibkan akan dapat membantu nafsu manusia menjadi istiqamah dan terkendali dari perkara-perkara haram, keji dan mungkar, maka bukankah hal itu merupakan sebab terkuat dan metode paling mantap untuk mengenalkan kepada orang banyak tentang tujuan-tujuan mulia dari ibadah ini? Sehingga karenanya, mereka menerima ibadah ini dengan puas, berdasakan ilmu dan pemahaman. Tidak hanya melakukan ibadah shalat begitu saja, berubah dari ibadah menjadi tradisi belaka.

Dengan menjelaskan tujuan-tujuan penting di balik shalat, misalnya, maka orang akan melaksanakan shalat bukan hanya untuk menghilangkan beban. Sebab, shalat, oleh sementara kalangan dianggap beban berat, yang bila sudah dilaksanakan seakan terlepas dari beban itu. Bandingkan dengan shalat Nabiyyul-Islam, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam , ketika beliau bersabda kepada Bilal:

شَ ل شَ َك َََ َِ َُاِ َ ك ََ ْعَُ ل شَم “Wahai Bilal, qamatilah shalat, dengan shalat itu kita merasa nyaman!”

(9)

9 | T u j u a n U m u m S y a r i a h I s l a m

sebagian kaum Muslimin seakan-akan hanya berhenti pada gambaran lahiriyah shalat, tidak sampai pada hakikatnya. Berhenti pada tampilan luarnya, tidak sampai masuk ke bagian dalamnya. Kita memohon agar Allah menyelamatkan kita semua.

Jadi memahami hukum-hukum syari’at tanpa memahami tujuan-tujuannya merupakan kelemahan yang sangat besar. Maka memahami tujuan-tujuan syari’at ini dibutuhkan oleh siapa saja, baik orang awam, dai ataupun ulama dan mujtahid.

Selanjutnya, pentingnya memahami tujuan-tujuan syari’at, kadang akan terlihat lebih banyak lagi ketika dapat memahami dan menyusun skala prioritas dalam berda’wah ilallah. Sementara itu, memahami skala prioritas membutuhkan kedalaman pemahaman dan penelitian. Ketika Rasulullah mengutus Mu’adz bin Jabal ke Yaman, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpesan:

ََ َُفَ ِ َكاَ َْا َنَل شَي َع اَََ َاامَفََُي ْ اشَي مَ َ عََََ َا ي ْا ََْ ًََُ ااَنَََل َِاُ ُِفُ وَيي .َه ََان وك َْام َد. Sesungguhnya engkau akan datang kepada suatu kaum dari Ahli Kitab, maka hendaklah pertama-tama yang engkau da’wahkan kepada mereka ialah agar mereka mentauhidkan Allah.”[Muttafaq ‘alaih]

Dengan demikian, mentauhidkan Allah merupakan perkara paling besar dan paling agung kedudukannya. Ia berada pada skala prioritas paling tinggi. Maka seorang dai ilallah ketika berda’wah kepada manusia, ia wajib memperhatikan kesalahan apa yang umumnya dilakukan oleh manusia, lalu terapi apa yang paling utama untuk dimulai. Jadi dai harus memperhatikan obyek da’wahnya, lalu memberikan obat yang paling sesuai. Dan ia tidak akan dapat memberikan obat yang paling sesuai, kecuali jika ia memahami tujuan-tujuan syari’at. Salah mendiagnosa akan berakibat fatal.

Demikianlah secara ringkas beberapa hal berkaitan dengan pentingnya memahami tujuan-tujuan syari’at bagi setiap muslim, yang disampaikan oleh Syaikh Ali bin Hasan Al-Halabi Al-Atsari –hafizhahullah-. Maka sudah saatnya kaum Muslimin berusaha menghayati setiap kewajiban atau setiap larangan yang ditetapkan Allah, mengenai tujuan-tujuan di balik itu semua, supaya peribadatan kepada Allah dikerjakan dengan penuh gairah, menyenangkan dan benar, sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Wallahul -Muwaffiq.

2.3. Tujuan Umum Syariat Islam

(10)

10 | T u j u a n U m u m S y a r i a h I s l a m

dan sekaligus memberikan hak kepada setiap orang untuk memilih antara beriman atau tidak, karena, “Tidak ada paksaan dalam memeluk agama Islam” (QS. Al Baqaarah, 2:256).

Manusia diberi kebebasan mutlak untuk memilih, “…Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir” (QS. Al Kahfi, 18:29).

Pada hakikatnya, Islam sangat menghormati dan menghargai hak setiap manusia, bahkan kepada kita sebagai mu’min tidak dibenarkan memaksa orang-orang kafir untuk masuk Islam. Berdakwah untuk menyampaikan kebenaran-Nya adalah kewajiban. Namun demikian jika memaksa maka akan terkesan seolah-olah kita butuh dengan keislaman mereka, padahal bagaimana mungkin kita butuh keislaman orang lain, sedangkan Allah SWT saja tidak butuh dengan keislaman seseorang. Tetapi bila seseorang dengan kesadarannya sendiri akhirnya masuk Islam, maka wajib dipaksa oleh Ulul Amri untuk melaksanakan Syariat Islam.

Dengan memilih muslim, maka tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak melaksanakan kewajibannya. Seandainya ada seorang muslim tidak shalat, hal ini bukan hanya urusan pribadi tapi menjadi urusan semua muslim terutama Ulul Amri. Jika ada seorang muslim tidak melaksanakan kewajiban shalat karena dia tidak yakin akan kewajiban shalat, maka Empat Mahzab dan jumhur (mayoritas) ulama sepakat menyatakan yang bersangkutan kafir. Yang karenanya harus dihukumkan kafir, artinya bila dalam tiga hari dia tidak segera sadar, maka dihukumkan sebagai murtad yang halal darahnya sehingga Ulul Amri bisa menjatuhkan hukuman mati. Tapi, seandainya tidak shalatnya yang bersangkutan bukan karena tidak yakin, tapi karena alasan malas misalnya, maka dalam hal ini “tiga” mazhab (Syafi’i, Hanafi, Maliki) menyatakan yang bersangkutan berdosa besar, sementara Mazhab Hambali tetap mengkafirkannya.

(11)

11 | T u j u a n U m u m S y a r i a h I s l a m

Bahwasanya dalam hukum qishash tersebut terkandung jaminan perlindungan jiwa, kiranya dapat kita simak dari firman Allah SWT: “Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa” (QS. Al Baqarah, 2:179). Bagaimana mungkin di balik hukum qishash dapat disebut, “ada jaminan kelangsungan hidup”, padahal pada pelaksanaan hukum qishash bagi yang membunuh maka hukumannya dibunuh lagi ? Benar, bila hukum qishash dilaksanakan maka ada “dua” orang yang mati (yang dibunuh dan yang membunuh), tapi dampak bila hukum ini dilaksanakan, maka banyaklah jiwa yang terselamatkan. Karena seseorang akan berfikir beribu kali bila ingin membunuh orang lain, sebab risikonya dia akan diancam dibunuh lagi.

Jika seorang pencuri terbukti benar bahwa dia mencuri, maka hukuman yang dijatuhkannya adalah potong tangan, maka seumur hidup orang akan mengetahui kalau dia mantan pencuri. Demikian pula, kalau seorang perampok dijatuhi hukuman potong tangan kanan dan kaki kiri secara bersilang, maka dia seumur hidupnya tidak akan dapat membersihkan dirinya bahwa dia mantan perampok. Dampak dari hukuman ini akan dapat membawa ketenangan dan kenyamanan hidup bermasyarakat dan bernegara.

Yang ketiga yaitu perlindungan terhadap keturunan (Hifzh al-nashli). Islam sangat melindungi keturunan di antaranya dengan menetapkan hukum “Dera” seratus kali bagi pezina ghoiru muhshon (perjaka atau gadis) dan rajam (lempar batu) bagi pezina muhshon (suami/istri, duda/jand) (Al Hadits). Firman Allah SWT : “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman” (An Nuur, 24:2). Ditetapkannya hukuman yang berat bagi pezina tidak lain untuk melindungi keturunan.

Yang keempat yaitu melindungi akal (hifzhul ‘aqli)

.

Permasalahan perlindungan akal ini

sangat menjadi perhatian Islam. Bahkan dalam sebuah hadits Rasulullah Saw menyatakan, “Agama adalah akal, siapa yang tiada berakal (menggunakan akal), maka tiadalah agama baginya”. Oleh karenanya, seseorang harus bisa dengan benar mempergunakan akalnya. Seseorang yang tidak bisa atau belum bisa menggunakan akalnya atau bahkan tidak berakal, maka yang bersangkutan bebas dari segala macam kewajiban-kewajiban dalam Islam. Misalnya dalam kondisi lupa, sedang tidur atau dalam kondisi terpaksa. Kesimpulannya, bahwa hukum Allah hanya berlaku bagi bagi orang yang berakal atau yang bisa menggunakan akalnya.

(12)

12 | T u j u a n U m u m S y a r i a h I s l a m

pula, agar manusia dapat mempertahankan eksistensi kemanusiaannya, karena memang akallah yang membedakan manusia dengan makhluk-makhluk Allah yang lain.

Untuk memelihara dan menjaga agar akal tetap berfungsi, maka Islam mengharamkan segala macam bentuk konsumsi baik makanan, minuman atau apa pun yang dihisap misalnya, yang dapat merusak atau mengganggu fungsi akal. Yang diharamkan oleh Islam adalah khamar. Yang disebut khamar bukanlah hanya sebatas minuman air anggur yang dibasikan seperti di zaman dahulu, tapi yang dimaksud khamar adalah, “setiap segala sesuatu yang membawa akibat memabukkan” (Al Hadits).

Keharaman Khamar sudah sangat jelas, di dalam QS. Al Maidah ayat 90 Allah SWT menyatakan, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan” (QS. Al Maa-idah,5:90) Ayat ini mengisyaratkan, bahwa seseorang yang dalam kondisi mabuk, berjudi, berkorban untuk berhala dan mengundi nasib maka tergolong syaitan, karena sifat syaitani sedang mengusai diri yang bersangkutan.

Kalau khamar sudah dinyatakan haram, maka keberadaannya baik sedikit maupun banyak tetap haram. Suatu saat salah seorang sahabat mau mencoba mencampur khamar dengan obat, namun karena kehati-hatiannya maka ditanyakanlah tentang hal ini kepada Nabi Saw sebagaimana dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad, Nabi Saw bersabda: “Thariq bin Suwaid Ra bertanya kepada Nabi Saw tentang khamar dan beliau melarangnya. Lalu Thariq berkata, “Aku hanya menjadkannya campuran untuk obat”. Lalu Nabi Saw berkata lagi, “Itu bukan obat tetapi penyakit”. Bahkan lebih tegas lagi Nabi Saw menyatakan, “Allah tidak menjadikan penyembuhanmu dengan apa yang diharamkan” (HR Al Baihaqi).

Dalam hadits lain yang diriwayatkan Abu Daud, Nabi Saw menyatakan, “Sesungguhnya Allah menurunkan penyakit sekaligus dengan obatnya, oleh karena itu carilah obatnya, kecuali satu penyakit yaitu penyakit ketuaan”. Sedangkan, dalam hadits Riwayat Bukhari dan Muslim, Nabi saw menyatakan, “Allah menurunkan penyakit dan menurunkan obatnya, diketahui oleh yang mengetahui dan tidak akan diketahui oleh orang yang tidak mengetahui”.

(13)

firman-13 | T u j u a n U m u m S y a r i a h I s l a m

Nya: “Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah ‘Ulama” (QS. Faathir, 35:9).

Yang kelima yaitu melindungi harta (hizhul maal). Yakni dengan membuat aturan yang jelas untuk bisa menjadi hak setiap orang agar terlindungi hartanya di antaranya dengan menetapkan hukum potong tangan bagi pencuri. “Laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Qs. Al Maa-idah, 5:38). Juga peringatan keras sekaligus ancaman dari Allah SWT bagi mereka yang memakan harta milik orang lain dengan zalim, “Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka Jahannam)” (QS. An Nisaa, 4:10).

Yang keenam yaitu melindungi kehormatan seseorang (hifzhul ‘ardh). Termasuk melindungi nama baik seseorang dan lain sebagainya, sehingga setiap orang berhak dilindungi kehormatannya di mata orang lain dari upaya pihak-pihak lain melemparkan fitnah, misalnya. Kecuali kalau mereka sendiri melakukan kejahatan. Karena itu betapa luar biasa Islam menetapkan hukuman yang keras dalam bentuk cambuk atau “Dera” delapan puluh kali bagi seorang yang tidak mampu membuktikan kebenaran tuduhan zinanya kepada orang lain. Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik berbuat zina dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) dengan delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka untuk selama -lamanya. Dan mereka itulah orang-orang yang fasik”(QS. An Nuur, 24:4). Juga dalam firman-Nya: “Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena laknat di dunia dan akhirat. Dan bagi mereka azab yang besar” (QS. An Nuur,24:23). Dan larangan keras pula untuk kita berprasangka buruk, mencari-cari kesalahan dan menggunjing terhadap sesama mu’min (QS. Al Hujurat, 49:12).

Yang ketujuh yaitu melindungi rasa aman seseorang. Dalam kehidupan bermasyarakat, seseorang harus aman dari rasa lapar dan takut. Sehingga seorang pemimpin dalam Islam harus bisa menciptakan lingkungan yang kondusif agar masyarakat yang di bawah kepemimpinannya itu “tidak mengalami kelaparan dan ketakutan”. Allah SWT berfirman: “Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan” (QS. Al Quraisy, 106:4).

(14)

14 | T u j u a n U m u m S y a r i a h I s l a m

yang tergolong Bughot ini, dihukum mati, disalib atau dipotong secara bersilang supaya keamanan negara terjamin (QS. Al Maa-idah, 5:33). Juga peringatan keras dalam hadits yang diriwayatkan Imam Muslim, Nabi Saw menyatakan, “Apabila datang seorang yang mengkudeta khalifah yang sah maka penggallah lehernya”.

(15)

15 | T u j u a n U m u m S y a r i a h I s l a m BAB III PENUTUP 3.1. Kesimpulan

Dari keseluruhan uraian pembahasan pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan beberapa poin penting terkait dengan tujuan umum syariah islam menurut Al-Qur’an dan hadits yakni adanya delapan tujuan umum syariah yaitu:

1. Menjaga atau melindungi agama (hifzhud diin) 2. Melindungi jiwa (hifzhun nafsi),

3. Melindungi keturunan (Hifzh al-nashli) 4. Melindungi akal (hifzhul ‘aqli),

5. Melindungi harta (hizhul maal)

6. Melindungi kehormatan (hifzhul ‘ardh), dan 7. Melindungi rasa aman seseorang

8. Melindungi kehidupan bermasyarakat dan bernegara

Adapun tujuan keseluruhan dari kedelapan poin diatas yakni untuk menegaskan bahwa semua perintah dan larangan yang harus ditunaikan adalah untuk memelihara kemaslahatan manusia.

3.2. Saran

Tidak dibenarkan seseorang untuk merubah hukum syariah baik dalam arti menambah

atau mengurangi ketentuan-ketentuan yang sudah digariskan oleh Allah. Oleh karena syariat

itu sendiri dibuat oleh penciptanya (Tuhan) paling sesuai dengan kemaslahatan manusia di

dunia dan di akhirat kelak, serta tidak memberatkan setiap pelaku dalam pelaksanaanya. Untuk

itu kiranya kita sebagai umat muslim setelah mengetahui apa saja tujuan umum dari syariat

islam dapat semakin memperkuat keimanan kita dengan mengamalkan segala perintah Allah

dan meninggalkan segala larangan-Nya demi menjaga dan memelihara kemaslahatan sesama

(16)

16 | T u j u a n U m u m S y a r i a h I s l a m

DAFTAR PUSTKA

Ibnu Malik , Anas, al-Muwattah, Juz. II Beirut; Dar al-Kutub al-Ilmiah, t,th.

Al-Jabbar,Abd. Syarh al-Ushul al-Khamza, Mesir; Maktabah al-wahlah, 1965.

Muhaemin dkk, Dimensi-Dimensi Studi Islam Cet. I; Surabaya: Karya Abitama, 1994 .

Poerwadarminta, W.J.S, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1976.

Al-Qaththan, Manna, al-Rasyri wa al-Fiqh fi al-Islam T.tp; Muassasah al-Risalah. t.th.

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqhi, Jilid I Cet. I; Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997.

Al-Syatibiy, al-Muwafaqat, Juz. II, Bairut; Dar al-Ma’rifah, t.th.

Referensi

Dokumen terkait

3) dilaporkan dalam neraca dengan klasifikasi (classification) akun yang tepat dan periode akuntansi yang sesuai dengan terjadinya transaksi (cutoff). Bagian flowchart yang

Upaya humas sekolah dalam mengevaluasi kerjasama dengan pihak dunia usaha dan dunia industri (DUDI) di SMK Negeri 5 Surabaya akan efektif jika didukung sinergi peran kedua

Wilayah operasi wind turbine terdapat tiga titik yang berbeda; Cut-in wind speed: kecepatan angin terendah dimana wind turbine mulai menghasilkan daya listrik, Rated

2. Sasaran strategis yang ingin dicapai dalam tujuan industrialisasi perikanan yang bernilai tambah dan berdaya saing adalah standardisasi dan sertifikasi kesehatan ikan,

Rasio konversi pakan adalah jumlah berat makanan yang dibutuhkan oleh ikan, hanya 10% saja yang digunakan untuk tumbuh atau menambah bobot tubuhnya selebihnya digunakan

Salah satu puisi Korea yang penyampaian pesannya juga diperkuat dengan unsur seni rupa adalah antologi puisi kartun atau poemtoon ( 포 엠 툰 ) ‘Dangshinege Cheot Beonjjae

Berdasarkan hasil analisis tanah, karakteristik morfologi dan fisika profil tanah serta karakteristik kimia tanah di lokasi penelitian (Profil Gle Gapui), maka dapat

Hasil pengamatan secara mikroskopis melalui sepuluh lapangan pandang yang berbeda terhadap makrofag dari tiap preparat histologi lamina propia dari ileum ayam pedaging