• Tidak ada hasil yang ditemukan

Contoh Liputan Perjalanan ULAR ITU BERNA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Contoh Liputan Perjalanan ULAR ITU BERNA"

Copied!
2
0
0

Teks penuh

(1)

Ular Itu Bernama “Matarmaja”

Oleh Mutya Widyalestari, 1106005162 | Ilmu Sejarah | Tugas VIII

walnya, kami kira Matarmaja adalah singkatan untuk Mataram-Majapahit, dua kerajaan mahapenting yang pernah eksis lalu lenyap di Jawadwipa. Kami tidak ambil peduli, sungguh pun bila kemudian kami mengetahui nama lengkapnya, jauh setelah perjalanan awal tahun itu berakhir: Malang-Blitar-Madiun-Jakarta. Matarmaja. Ular besi yang kami naiki dari Stasiun Pasar Senen. Melewati hutan, sawah, rumah penduduk, daerah kumuh, cerobong pabrik, jalanan penuh truk-truk, serta lautan petromaks di kegelapan malam tanpa batas. Pemandangan itu menemani kami selama 21 jam, sebelum akhirnya tiba di Stasiun Malang, tumpah ruah bersama para pendaki Semeru, orang-orang yang pulang kampung, para pedagang, serta makhluk-makhluk sejenis kami ini: para pelesir di saat liburan dengan roda koper yang menderit, ransel yang gemuk, serta gemerisik plastik berisi Popmie, air mineral, atau keripik singkong yang tak sempat habis di kereta. Kami dengan jiwa-jiwa kami yang seperti opsir-opsir kompeni kegerahan, yang bosan dengan angkuhnya ibu kota lantas melipir ke Bandung atau Bukittinggi, mencari sejuk di antara gunung-gunung dan udara yang basah.

A

Perjalanan menggunakan kereta diesel, dengan lokomotif yang bergemuruh dan tempat duduk bagi setiap orang, bukannya gejes-gejes aliran listrik dan desak-desakkan khas Commuter Line, selalu menyimpan cerita yang berbeda. Entah tentang bokong yang nyaris kempes, kebosanan, bau pesing yang mengambang, atau sekadar bistik sapi dari restorasi dengan harga yang tak manusiawi. Ada banyak sekali pengalaman yang bisa dibagi. Sudah banyak artikel di koran, internet, dan buku cerita yang menulis semua itu dengan nada satir, ironi, hiperbola, bahkan kasmaran. Bukan kejutan jika ada orang yang tergila-gila dengan si ular besi. Mereka yang menyebut dirinya maniak, hapal berbagai rute, nama, jumlah gerbong, tahun pembuatan, sampai nomor seri tiap kereta. Terlepas dari plus minusnya, benda itu memang layak dicintai. Sama seperti manusia, dia eksis dengan kekurangan. Dia mengajarkan kehidupan. Dan Matarmaja sebagai Ekonomi (AC), cukup piawai menjadi guru dengan rupa-rupa pengalaman yang menarik untuk dibagi.

Sekarang setelah semua kereta ekonomi disematkan pendingin udara dan harganya dilipatgandakan, beberapa protes masih dapat ditemukan dari balik pintu aluminium toilet: coretan pedas dengan spidol yang entah diperoleh dari mana: “Rakyat tidak butuh AC”, “Jangan cuma harga dinaikkin”, dan umpatan lain yang lebih liar, polos, meledak-ledak, tapi apa adanya. Memang, adanya Panasonic atau Sanyo di langit-langit tak serta-merta mengubah corak dan warna khas kelas ekonomi. Meski kami tak lagi bisa menjumpai bau prengus kambing, kokokkan ayam, orang kejang-kejang, balita yang tidak bisa diam, atau penjual musang dan monyet seperti zaman ayah saya berkendara dengan Bima atau Senja, gerbong kami masih tetap diwarnai oleh orang-orang yang berperilaku ajaib.

Matarmaja bisa jadi anak kembar “barak pengungsian” yang terpisah sejak lahir. Ketika malam tiba, tubuh-tubuh bergelimpangan dengan napas mendengkur dari bawah bangku, koridor tempat orang berlalu-lalang (saya tidak tahu apa sebutannya), dan di sambungan kereta, yang itu berarti di muka pintu toilet. Orang-orang itu tampak tidak teganggu dengan aroma yang menyusup dari balik W.C. Mereka mungkin hanya berpikir di sana udaranya lebih hangat, cukup menggelar koran dua lembar lantas bisa menyelonjorkan kaki, tidak harus mengigil di atas bangku dalam gerbong, membungkus diri dengan dua lapis sarung seperti bacang. Saat malam tiba, Matarmaja seolah berubah jadi kulkas dan kami terperangkap di dalamnya. Keringat susah keluar dan jadinya ingin sekali kencing. Namun, hasrat itu lenyap bersama pikiran harus merangsek dengan kaki berjinjit, bersusah payah mengucap permisi berulang-ulang, berhati-hati agar tidak menginjak tangan atau rambut orang-orang yang terlelap itu.

(2)

petugas di sana harus kami bayar dua ribu. Sama seperti besaran yang harus saya setor pada tukang parkir motor di Pondok Cina.

Restorasinya sendiri tidak seperti yang saya bayangkan. Bentuknya lebih kurus dan kurang bersih, tapi agak lebih beradab dari gerbong kami yang kusut dan urakan. Mulanya kami skeptis dengan nama restorasi. Otak yang lelah tidak sempat menghubungkannya dengan kata “rest” yang berarti istirahat (alias kereta makan) tetapi malah Restorasi Meiji, sebuah fase sejarah di negeri timur yang jauh.

Kala pagi-pagi buta, kurang lebih pukul dua atau tiga pagi, terdengar riuh pedagang asongan yang menjajakan nasi pecel, sate, minuman hangat, dan tentu saja: Popmie. Kami yang masih lapar dan malas maraton ke restorasi akhirnya rela merogoh kocek lima sampai dua puluh ribu rupiah. Hiegenis atau tidak itu urusan belakangan, yang penting lumayan untuk ganjal perut.

Setelah perut terisi, rasanya tidur bisa lebih lelap. Kawan-kawan sudah mulai kembali ke alam kapuk sejalan dengan memudarnya suara-suara para pengasong, tetapi saya memutuskan membaca Bahasa Jepang untuk Pemula yang bahkan saya tak tahu kenapa saya bawa dari rumah. Mengambil barang dari tas yang terpasung di bagasi langit-langit lumayan butuh tenaga ekstra. Saya mendesah. Kalau kami datang lebih pagi di Senen, mungkin ruang untuk tas-tas ini akan lebih lega. Penumpang Matarmaja sudah menerapkan hukum rimba tanpa diminta. Siapa cepat dia dapat. Persetan dengan mengambil hak orang lain. Bagasi yang harusnya untuk kami berlima sudah dilahap hampir sepertiganya oleh kardus-kardus, koper Polo, dan buntelan tak dikenal.

Saya berhasil mengalihkan pikiran untuk kegiatan yang produktif: belajar bahasa asing. Setidaknya itulah yang saya pikirkan. Jika rata-rata satu buku bisa dihabiskan dalam dua sampai tiga jam, berarti harus ada enam sampai tujuh buku yang dibawa. Saya jadi menyesal kenapa tidak membawa paket SNI (Sejarah Nasional Indonesia) tadi. Pas ada tujuh jilid. Turun dari kereta, gelar saya bisa-bisa nambah satu: master of history. Tapi kalau begitu, saya mesti merelakan tempat baju dan oleh-oleh di ransel. Apa akan lebih baik jika membawa satu galaxy tab berisi Tersanjung dari episode satu sampai tamat saja, ya? Saya yakin sinetron itu akan benar-benar berguna. Berbeda dengan novel, film dapat membuat orang tertawa dan menangis di saat bersamaan.

Hawa yang dingin, ditambah pusing melihat huruf kanji yang keriting, sukses membuat saya angkat tangan. Daripada kena kencing batu, saya putuskan mampir ke tempat yang paling saya benci se-Matarmaja:

toilet. Tempat tidak layak yang luasnya tak sampai satu meter persegi. Baunya membuat isi perut naik. Heran sekali kenapa bisa ada orang yang ngorok di depan pintunya tanpa kena gangguan pernapasan. Orang-orang yang mengatakan tinja dan air seni langsung dibuang ke atas rel berarti belum pernah naik kereta masa kini. Kereta zaman penjajahan mungkin iya, tapi Matarmaja tidak. Ada semacam pispot raksasa di bawah jamban yang menampung hajat para penumpang. Saya kira, peraturan "digunakan waktu kerta jalan" lebih dimaksudkan agar tidak diintip orang.

Kereta yang dijadwalkan tiba pukul 07.30 “ngaret” sampai pukul 10.30. Sekitar jam delapan pagi kami sudah senewen. Bantal sewaan sudah ditarik kembali. Hawa begitu gerah dan air panas di restorasi tak lagi bisa dibeli. Kulit kami mulai mencokelat, seperti daging apel yang baru dikupas dan terpapar oksigen. Saya mengingatkan diri sendiri untuk membawa losion di perjalanan pulang nanti. Satu lagi pelajaran penting. Sunblock rupanya tak hanya berguna di pantai atau tengah laut.

Kulit yang menggelap adalah hal terakhir yang bisa kami pikirkan. Sekarang saatnya mencari tahu bagaimana keluar dari kejenuhan selain banyak berdoa agar penderitaan ini cepat berakhir. Ini pertama kalinya saya naik KA Ekonomi AC. Sebelumnya, saya pernah merasakan perjanalan seorang diri rute Jakarta-Semarang dengan eksekuif Argo Sindoro. Rasanya sangat nyaman, tidak ada yang mengganggu, tepat waktu sampai tujuan. Berbeda dengan Matarmaja yang baru turun dari sana, saya langsung didamprat Kakak yang sudah menunggu lama: “Kenapa tidak naik pesawat saja? Pesan dari empat bulan sebelumnya. Kamu bisa dapat fasilitas jauh lebih baik dengan harga beda sedikit!”

Referensi

Dokumen terkait

 Tumor parotis juga dapat diobati dengan obat tradisional atau disembuhkan dengan meminum rebusan daun sirsak. anker merupakan penyakit yang mematikan dan pengobatan nya

Dengan menerapkan model pembelajaran Kooperatif tipe Team Assisted Individualization (TAI) di kelas X MIA 7 SMA Negeri 1 Karanganyar penelitian ini diharapkan

Strategi pembelajaran edupreneurship berbasis multiple intelligences dilakukan melalui aktivitas peserta didik dengan menggunakan salah satu kecerdasan atau

Peran dari fungsi pengawasan untuk mengawal berbagai kegiatan dan program pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah yang memenuhi prinsip tata kelola

1 Krus Harianto, Penghembangan Industri Nata De Soya yang Berwawasan Lingkungan Dalam Rangka Diversivikasi Usaha Pada Sentra Industri Kecil dan Menengah Tahu, (Semarang :

Terhadap  hasil  penelitian  menunjukkan  adanya  hubungan positif yang signifikan antara kepuasan  kerja  dengan  produktivitas  pada  karyawan  PT.  Pupuk  Sriwidjaja 

Dengan demikian terdapat 9 kombinasi perlakuan dan di ulang sebanyak tiga kali sehingga terdapat 27 satuan percobaan.Hasil penelitian menunjukkan frekuensi Pupuk

pada trimester dua yang pemeriksaan kehamilan 1 kal hamil pada trimester tiga yang pemeriksaan kehamilan satu wawancara dengan beberapa alasan mereka tidak pemeriksaan