• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Biopelet Berbahan Baku Limbah Padat Minyak Atsiri Okta Prima Indahsari1, Wakhyu Priyadi Siswosumarto2 PT PERKEBUNAN NUSANTARA X Email: 1oktaprima2010@gmail.com 2wakhyups@gmail.com Abstrak - Kajian Biopellet Berbahan Baku Limbah Padat Minyak Atsiri

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kajian Biopelet Berbahan Baku Limbah Padat Minyak Atsiri Okta Prima Indahsari1, Wakhyu Priyadi Siswosumarto2 PT PERKEBUNAN NUSANTARA X Email: 1oktaprima2010@gmail.com 2wakhyups@gmail.com Abstrak - Kajian Biopellet Berbahan Baku Limbah Padat Minyak Atsiri "

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Kajian Biopelet Berbahan Baku Limbah Padat Minyak Atsiri

Okta Prima Indahsari1, Wakhyu Priyadi Siswosumarto2

PT PERKEBUNAN NUSANTARA X

Email:

1oktaprima2010@gmail.com 2wakhyups@gmail.com

Abstrak

Produksi minyak atsiri membutuhkan bahan bakar dalam jumlah besar. Selama ini mayoritas bahan bakar proses destilasi minyak atsiri menggunakan kayu bakar. Pemanfaatan kayu bakar secara kontinu dapat mengakibatkan berkurangnya areal hutan dan kerusakan hutan, juga ketergantungan produsen minyak atsiri terhadap kayu bakar. Oleh karena itu penulis pengkaji pemanfaatan limbah padat minyak atsiri sebagai biopelet, sehingga produsen minyak atsiri memiliki kemandirian energi. Selain untuk kebutuhan destilasi, biopelet diharapkan dapat menjadi sumber energi terbarukan yang memiliki nilai ekonomis tinggi. Bahan baku yang digunakan sebagai biopelet adalah limbah destilasi daun dan batang Tembakau Besuki Na-Oogst (Nicotiana tabacum), limbah destilasi daun Tembakau Kasturi serta limbah destilasi kayu gaharu (Aquilaria sp). Perekat yang digunakan adalah tepung kanji, tetes, dan vinasse. Limbah kering diserbukkan, ditimbang, dicampur dengan perekat, dicetak dan dipress, lalu dikeringkan. Hasil uji kadar air biopelet 1,9%- 6,6%, kadar abu 1,7% – 20,5%, kadar zat terbang 73,5% - 96,4%, kadar karbon terikat 0,4%-12,3%. Densitas biopelet 0,41 kg/dm3

0,64 kg/dm3. Nilai kalor biopelet 3.604,80 kkal/kg - 6.374,04 kkal/kg. Dari 12 varian biopelet,

biopelet limbah gaharu dengan perekat kanji sangat prospektif, sedangkan 11 biopelet lainnya bisa dikembangkan dengan perlakuan perbandingan bahan baku dan bahan perekat.

[Kata kunci: limbah padat, biopelet, varian perekat, nilai kalor]

Abstract

Essential oil production needs sums of fuel. All this time, majority fuel for essential oil distillation is firewood. Utilization effect of firewood continuously are deforestation and forest degradation also dependency producer to firewood. Therefore, the authors were studying solid waste utilization of essential oil as biopelet, so the essential oil producers will have energy independence. Except for distillation, the biopelet is expected as the renewable energy which has high economic scale. Raw material used as biopelet are leaves and stem waste of Besuki Na-Oogst Tobacco (Nicotiana tabacum), leaves waste of Kasturi Tobacco, and wood waste of agarwood (Aquilaria sp). The binders used are cassava starch, molasses, and vinasse. Dried waste change into powder, weighed, mixed to the binder, poured into the biopelet mold, pressed, and dried. The test results are biopelet moisture content 1.9% to 6.6%, ash content 1.7% to 20.5%, volatile matter 73.5% to 96.4%, fixed carbon 0.4% to

12.3%. The bulk density of biopelet noted 0.41 kg/dm3 to 0.64 kg/dm3. The calorific value

3,604.80 kcal/kg to 6,374.04 kcal/kg. From 12 various of biopelets, gaharu waste biopelet with cassava starch is the most potencial one, while the rests could be developed by treatment of ratio raw material to binder.

[Keywords: solid waste, biopelet, varian of binder, calorific value]

(2)

1.1 Latar Belakang

Kegiatan produksi minyak atsiri menyisakan limbah padat yang cukup banyak, mengingat rendemen minyak atsiri hanya berkisar 0,1% hingga 7,8%. Hanya beberapa komoditas yang mampu mencapai rendemen di atas 10% seperti biji pala 12% sampai 15% dan bunga cengkeh 15% hingga 17,89% [2]. Gambaran mengenai produksi kebun rakyat penghasil minyak atsiri tersaji dalam Tabel 1.

Tabel 1. Produksi kebun rakyat tahun 2010-2015 (ribu ton)

Jenis Tanaman 2010 2011 2012 2013 2014 2015 Rata-rata

Tanaman Tahunan

Pala 15.7 19.8 25.2 28.1 32.7 34.3 25.97

Kayu manis 88.1 90.3 89.6 92 91.4 91.5 90.48

Kemiri 100.6 99.5 97.6 107.2 100.6 100.7 101.03

Lada 83.7 87.1 87.8 91 87.4 88.3 87.55

Panili 2.6 2.9 3.1 2.6 2 2 2.53

Cengkeh 96.5 70.7 97.8 107.6 120.2 121.3 102.35

Tanaman Semusim

Sereh wangi 2.3 2.4 2.6 2.7 3.1 2.9 2.67

Jarak kepyar 1.7 2.3 1.6 1.4 1.3 1.5 1.63

Nilam 2.2 2.9 2.6 2.1 2.1 2.4 2.38

Total produksi dari 9 bahan baku minyak atsiri pada Tabel 1 [32] adalah 2.499,60 ribu ton. Jika diasumsikan rendemen minyak atsiri tersebut rata-rata 10%, maka total limbah padat selama lima tahun sekitar 249,96 ribu ton. Angka itu belum termasuk limbah padat dari puluhan jenis bahan baku minyak atsiri lainnya yang ada di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa potensi untuk meraup nilai tambah dari limbah minyak atsiri sangat besar.

Selama ini limbah padat minyak atsiri telah ada yang dimanfaatkan sebagai pakan ternak, pupuk organik, dan media tumbuh jamur pangan [30]. Di sisi lain, produsen minyak atsiri umumnya menggunakan kayu bakar untuk proses produksi. Kecuali makin langka dan mahal, penebangan kayu menyebabkan menyusutnya luas areal hutan sekaligus merusak hutan. Berdasarkan realita tersebut, penulis bermaksud memanfaatkan limbah padat minyak atsiri sebagai bahan bakar dalam bentuk biopelet.

Bahan baku yang dipilih adalah daun dan batang Tembakau Bawah Naungan (TBN), daun Tembakau Kasturi, serta gaharu. Daun TBN dan daun Tembakau Kasturi dipilih untuk mewakili limbah padat minyak atsiri dari bahan dedaunan. Adapun batang tembakau dan gaharu dipilih untuk mewakili limbah padat minyak atsiri dari bahan baku kayu-kayuan.

1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.2.1 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah:

1. Mengolah limbah padat minyak atsiri dari empat jenis bahan baku, yakni daun TBN, batang TBN, daun tembakau kasturi, kayu gaharu menjadi biopelet.

2. Menganalisis biopelet dari limbah padat minyak atsiri.

3. Membandingkan kualitas biopelet dengan kualitas delapan jenis kayu untuk bahan bakar 4. Membandingkan hasil analisis biopelet dengan standar negara importir biopelet.

(3)

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Menciptakan bioenergi dari biomassa yang selama ini belum dimanfaatkan secara optimal. 2. Biopelet limbah minyak atsiri diharapkan dapat menghasilkan kalor yang tinggi, dapat menyubstitusi kayu bakar, ramah lingkungan, dan berkontribusi menurunkan emisi karbon. 3. Menawarkan peralihan system dari cradle to grave menjadi cradle to cradle pada bisnis

minyak atsiri melalui produksi biopelet

4. Menciptakan kemandirian energi produsen minyak atsiri.

5. Menggali potensi biopelet untuk penetrasi ke pasar lokal dan global.

1.3 Dasar Teori

1.3.1 Biopelet

Secara umum bahan baku biomassa dibedakan menjadi dua jenis utama, yaitu pohon berkayu (woody) dan rumput-rumputan (herbaceous) . Saat ini material berkayu diperkirakan merupakan 50% dari total potensial bioenergi sedangkan 20% lainnya adalah jerami yang diperoleh dari hasil samping pertanian [22]. Kualitas pembakaran biomassa dapat ditingkatkan dengan pengembangan bahan bakar biomassa dalam bentuk biopelet yang dikenal dengan istilah biopelet [21]. Biopelet adalah jenis bahan bakar padat berbasis limbah dengan ukuran lebih kecil dari ukuran briket [33]. Limbah eksploitasi seperti sisa penebangan, cabang dan ranting, limbah industri perkayuan seperti sisa potongan, serbuk gergaji dan kulit kayu hingga limbah pertanian seperti jerami dan sekam dapat dijadikan bahan baku biopelet kayu [24]. Limbah biomassa dapat digunakan sebagai bahan bakar secara langsung seperti halnya yang telah dilakukan oleh masyarakat Indonesia sejak dulu, tetapi biomassa memiliki kelemahan jika dibakar secara langsung karena sifat fisiknya yang buruk, seperti: kerapatan energi yang rendah dan permasalahan penanganan, penyimpanan, serta transportasi [25].

1.3.2 Bahan Perekat

Tepung kanji merupakan pati yang diekstrak dari singkong. Komposisi kimia tepung kanji adalah kadar abu 0,1% (o), serat 0,5%, air 10-15%, karbohidrat 85-87,8%, protein 0,5-0,8%, lemak 0,2-1%, energi 307-362,8 kal/100 gr bahan [17,21]. Molase adalah hasil samping yang berasal dari pembuatan gula tebu (Saccharum officinarum L). Tetes tebu berupa cairan kental dan diperoleh dari tahap pemisahan kristal gula. Molase tidak dapat lagi dibentuk menjadi sukrosa namun masih mengandung gula dengan kadar tinggi 50-60%, asam amino dan mineral [16]. Vinasse adalah produk sampingan dari proses pembuatan etanol pada industri pengolahan gula. Sifat fisik dan kimia vinasse ditentukan dari bahan baku awal produksi etanol [23]. Vinasse yang berasal dari pembuatan etanol dengan bahan baku molase akan berwarna hitam kemerahan dengan kandungan padatan 50.000 -100.000 mg/L [26]. Vinasse biasanya memiliki kadar air sekitar 93%, dan padatan organik dan mineral seperti kalium, kalsium, dan magnesium [12].

1.4 Nilai Sejarah Objek Penelitian

Penelitian biopelet yang menggunakan perekat kanji pernah dilakukan tahun 2009 [34] dan tahun 2017 [14]. Kegiatan penelitian yang menganalisis sifat fisik dan nilai kalor biopelet pernah dilakukan tahun 2011 [20], tahun 2015 [3, 31], dan tahun 2016 [31].

2. METODE PENELITIAN 2.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian Kajian Biopelet Berbahan Baku Limbah Padat Minyak Atsiri dilaksanakan mulai bulan November sampai dengan Desember 2017 di Penelitian Tembakau Jember.

(4)

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah disk mill, manual press, dan oven. Disk mill digunakan untuk menepungkan limbah padat minyak atsiri. Untuk mencetak biopelet digunakan manual press. Sedangkan pengeringan biopelet yang telah dicetak dikeringkan dengan oven pada suhu 600C -700C hingga berat biopelet konstan.

Bahan baku yang digunakan adalah limbah destilasi daun dan batang Tembakau Besuki Na-Oogst (Nicotiana tabacum), limbah destilasi daun Tembakau Kasturi serta limbah destilasi kayu gaharu (Aquilaria sp). Adapun bahan perekat yang digunakan adalah tepung kanji, tetes, dan vinasse.

2.3 Metode Penelitian

Gambar 1. Bagan Proses Pembuatan Biopelet

Untuk menguji kualitas biopelet yang dihasilkan, dilakukan analisis fisik yang terdiri dari kadar air mengacu pada ASTM E 871-82 (2013) [4], kadar zat terbang ASTM E-872-82 (2013) [5], kadar abu ASTM D 1102-84 (2013) [6]. Kadar karbon terikat adalah nilai yang dihitung, merupakan hasil dari penjumlahan persentase kadar air, kadar abu, dan kadar zat terbang dikurangkan dari 100. Kadar sulfur merujuk pada ASTM E 775-87 (2008) [7], densitas biopelet ASTM E 873-82 (2013) [8], dan nilai kalor mengacu pada ASTM E 711-87 (2004) [9].

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Definisi Varian dan Standar Biopelet

3.1.1 Definisi Varian Biopelet

Berikut definisi 12 varian biopelet dalam penelitian ini:

Tabel 2. Definisi Varian Biopelet

Varian Definisi Varian Definisi

PLDK Biopelet limbah daun TBN perekat kanji PLKK Biopelet limbah daun TBN perekat kanji PLDT Biopelet limbah daun TBN perekat tetes PLKT Biopelet limbah daun kasturi perekat tetes PLDV Biopelet limbah daun TBN perekat vinasse PLKV Biopelet limbah daun kasturi perekat vinasse PLBK Biopelet limbah batang TBN perekat kanji PLGK Biopelet limbah gaharu perekat kanji PLBT Biopelet limbah batang TBN perekat tetes PLGT Biopelet limbah gaharu perekat tetes PLBV Biopelet limbah batang TBN perekat

vinasse

PLGV Biopelet limbah gaharu perekat vinasse

3.1.2 Standar Biopelet

Berikut adalah kode standar biopelet di beberapa negara yang dapat dijadikan acuan produsen biopelet untuk memenuhi persyaratan dimaksud. Standar biopelet di Indonesia yakni SNI 8021:2014 [28], Amerika Serikat (PFI) [19], Austria (ONORM M 7135) [18], Jerman (DIN 51371) [15], Perancis (AFNOR) [1], Selandia Baru (AS/NZS 4886:2007) [10], Swedia (SS 187170) [27], Italia (CTI- R 04/5) [13].

3.2 Kadar Air

Perlakuan pendahuluan

Pencampuran dengan bahan perekat Pencetakan

pengerpre

Pengeringan Pengecilan

ukuran

Pengeringan

Penimbangan

pengerpress

(5)

Kadar air biopelet dibandingkan dengan kadar air biopelet yang ditetapkan di enam negara, yakni Perancis, Indonesia, Jerman, Austria, Swedia, dan Selandia Baru.

3.80 4.8 6.6

5.8 4.4

2.5

4.2 3.7 4.1

2.4 2.4 1.9 Indonesia,

Jerman, Austria 12

Selandia Baru 8 Swedia 10 Perancis 15 0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 14.00 16.00

PLDK PLDT PLDV PLBK PLBT PLBV PLKK PLKT PLKV PLGK PLGT PLGV

Ka da r A ir (% ) Varian Biopellet

Gambar 2. Kadar air biopelet

Kadar air biopelet hasil uji berada pada interval 1,9% hingga 6,6%. (Gambar 2). Semua biopelet memenuhi kadar air standar yang ditetapkan di Selandia Baru (maks 8%), Swedia (maks 10%), Indonesia, Jerman, Austria (maks 12%), dan Perancis (15%). Berdasarkan kadar air, semua varian biopelet berpotensi untuk kebutuhan dalam negeri maupun diekspor ke lima negara tersebut di atas.

Tabel 3. Kadar air 8 jenis kayu

Kayu Lamtoro Trembesi Turi Gamal Angsana Sengon Waru Gmelina Kadar air

(%) 10,13 10,36 6,83 23,97 7,53 14.21

10,3

3 9,24

Meninjau Tabel 3 [11], kadar air semua varian biopelet lebih rendah dibandingkan dengan kadar air 8 jenis kayu. Artinya, berdasarkan parameter kadar air, semua varian biopelet berpotensi menyubstitusi 8 jenis kayu sebagai bahan bakar.

3.3 Kadar Abu

Kadar abu biopelet dibandingkan dengan kadar abu biopelet yang ditetapkan di lima negara, yakni Amerika Serikat (AS), Indonesia, Jerman, Austria, dan Perancis..

11.85 12.35 14.5 9.7 3.5 9.7 5.4 13.4 20.5

1.7 2.8 2

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21

PLDK PLDT PLDV PLBK PLBT PLBV PLKK PLKT PLKV PLGK PLGT PLGV

Ka da r A bu ( % ) Varian Pellet

Hasil Uji Indonesia, Jerman (<1.5) Austria (<0.5) AS standard (<2) AS premium (<1) Perancis (≤6)

Gambar 3. Kadar abu biopelet

(6)

(<0,5%). Berdasarkan kadar abu, maka PLDK, PLDT, PLDV, PLBK, PLBV, PLKT, dan PLKV tidak dapat menembus pasar ekspor.

Tabel 4. Kadar abu 8 jenis kayu

Kayu Lamtoro Trembesi Turi Gamal Angsana Sengon Waru Gmelina Kadar abu (%) 5,78 1,92 0,62 2,97 9,08 1,08 1,48 1,47

Menilik Tabel 4 [11], 1) kadar abu PLBT, PLKK, PLGK, PLGT, dan PLGV lebih baik daripada Kayu Lamtoro dan Kayu Angsana; 2) kadar abu PLGK lebih baik daripada Kayu Trembesi; 3) kadar abu PLGK, PLGT, PLGV lebih baik daripada kadar abu Kayu Gamal; Artinya, berdasarkan parameter kadar abu, PLBT, PLKK, PLGK, PLGT, dan PLGV dapat menyubstitusi Kayu Lamtoro dan Kayu Angsana; PLGK, PLGT, PLGV menyubstitusi Kayu Gamal, dan hanya PLGK yang dapat menyubstitusi Kayu Trembesi sebagai bahan bakar.

3.4 Kadar Zat Terbang

Kadar zat terbang hanya dibandingkan dengan standard yang ditetapkan di Indonesia. negara importir tidak mensyaratkan kadar zat terbang biopelet dalam standardisasinya.

Tabel 5. Kadar zat terbang biopelet

Parameter SNI 8021: 2014 PLDK PLDT PLDV PLBK PLBT PLBV PLKK PLKT PLKV PLGK PLGT PLGV Kadar zat terbang (%) Maks 80 83,55 82,2 73,5 84 84,2 86,9 78,1 75,4 74,5 96,4 93,0 95,7

Dari Tabel 5 tampak bahwa PLDV, PLKK, PLKT, dan PLKV memenuhi kadar zat terbang yang ditetapkan dalam SNI 8021:2014, yakni maksimal 80%. Berdasarkan kadar zat terbang, keempat varian biopelet tersebut dapat bersaing di dalam negeri.

3.5 Kadar Karbon Terikat

Kadar karbon terikat hanya dibandingkan dengan standard yang ditetapkan di Indonesia. negara importir tidak mensyaratkan kadar karbon terikat biopelet dalam standardisasinya.

Tabel 6. Kadar karbon terikat

Parameter SNI 8021: 2014 PLDK PLDT PLDV PLBK PLBT PLBV PLKK PLKT PLKV PLGK PLGT PLGV Kadar karbon terikat (%) Min 14 0,8 0,65 5,4 0.5 7.9 0.9 12.3 7.5 0.9 - 1.8 0.4

Tabel 6 menunjukkan bahwa tidak satupun kadar karbon terikat biopelet yang memenuhi SNI 8021:2014, yakni minimal 14%. Rendahnya kadar karbon terikat disebabkan oleh tingginya kadar abu dan kadar zat terbang.

3.6 Kadar Sulfur

(7)

1.05

0.8

0.7 0.7 0.9

0.6

0.8 0.9 0.7

0.6 0.7 0.6

0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20

PLDK PLDT PLDV PLBK PLBT PLBV PLKK PLKT PLKV PLGK PLGT PLGV

Ka

da

r

Su

lfu

r

(%

)

Varian Pellet

Hasil Uji Austria (<0.04) Jerman(<0.08) Perancis (<0.10)

Gambar 4. Kadar sulfur biopelet

Gambar 4 mendeskripsikan bahwa tidak satupun jenis biopelet yang memenuhi standar kadar sulfur yang ditetapkan oleh Austria, Jerman, dan Perancis. Berdasarkan nilai kadar sulfur, tidak satupun varian biopelet yang berpotensi diekspor ke Austria, Jerman, dan Perancis.

3.7 Densitas

Densitas biopelet hasil uji dibandingkan dengan densitas biopelet yang ditetapkan di lima negara, yakni Amerika Serikat (AS), Indonesia, Jerman, Austria, dan Perancis.

0.47 0.58 0.59 0.51 0.41 0.43 0.60 0.51 0.49 0.64 0.63 0.57

-0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40

PLDK PLDT PLDV PLBK PLBT PLBV PLKK PLKT PLKV PLGK PLGT PLGV

D

en

si

ta

s

(k

g/

dm

3)

Varian Pellet

Hasil Uji Indonesia (>0.80) Austria (>1.20) Jerman ( 1.00-1.40) AS (>0.64) Perancis (>1.15)

Gambar 5. Densitas biopelet

Dari Gambar 5 diketahui bahwa tidak satupun varian biopelet yang memenuhi standard yang ditetapkan di AS (>0,64 kg/dm3), Indonesia (>0,80 kg/dm3) Jerman (1,00-1,40 kg/dm3),

Austria (>1,2 kg/dm3), dan Perancis (>1,15 kg/dm3). Rendahnya densitas biopelet hasil uji

disebabkan oleh proses cetak dan pengepresan secara manual, sehingga kekuatan tekan rendah serta ada kemungkinan densitas dari sebagian sisi biopelet tidak homogen.

3.8 Nilai Kalor

(8)

5,199.28

4,633.99 5,005.69

4,441.66 4,412.02

4,315.87 3,882.55

3,763.88 3,604.80

6,367.75

6,129.79 6,374.04

0.00 1,000.00 2,000.00 3,000.00 4,000.00 5,000.00 6,000.00 7,000.00

PLDK PLDT PLDV PLBK PLBT PLBV PLKK PLKT PLKV PLGK PLGT PLGV

Hasil Uji Indonesia (>4,000.00)

Austria (≥ 4,299.3) Italia, Perancis (≥ 4,036.6)

Swedia, Jerman (>4,179.9) AS (>4,557.3)

Gambar 6. Nilai kalor biopelet

Gambar 6 menerangkan bahwa nilai kalor PLKK, PLKT, dan PLKV yang tidak memenuhi standar Indonesia, Italia, Perancis, Austria, Swedia dan Jerman; nilai kalor PLBK, PLBT, PLBV, PLKK, PLKT, dan PLKV tidak memenuhi standar AS. Maka berdasarkan nilai kalor, hanya 50% varian biopelet (PLDK, PLDT, PLDV, PLGK, PLGT, PLGV) yang bisa menembus ke pasar di tujuh negara tersebut.

Tabel 7. Nilai kalor 8 jenis kayu

Kayu Lamtoro Trembesi Turi Gamal Angsana Sengon Waru Gmelina Kalor (kkal/kg) 4197 3926 3965 4168 4060 3948 4266 4282

Berdasarkan Tabel 7 [11], hanya PLKK, PLKT, dan PLKV yang tidak dapat menyubstitusi 8 jenis kayu sebagai bahan bakar.

3.9 Analisis Proksimat Biopelet Berdasarkan Bahan Baku

Berdasarkan jenis bahan baku yang digunakan, yakni limbah destilasi dari daun TBN, batang TBN, daun Tembakau Kasturi, dan Kayu Gaharu, berikut analisis proksimat selengkapnya dalam Tabel 8.

Tabel 8. Analisis Proksimat Biopelet Berdasarkan Bahan Baku

Kadar air (%) Maks 12 - Maks 12 Maks 12 Maks 15 Maks 8,00 Maks 10,00 5,07 4,23 4,00 2,23 Kadar abu (%) Maks 1,5 Maks 2 Maks 0,5 Maks 1,5 Maks 6 12,90 7,63 13,10 2,17

Kadar zat terbang (%) Maks 80 79,75 85,03 76,00 95,03

Kadar karbon terikat (%) Min 14 2,28 3,10 6,90 0,73

Densitas (kg/dm3) Min 0,8 Min 0,64 Min 1,20 Min 1,00 Min 1,15 0,55 0,45 0,53 0,61 Nilai kalor (kkal/kg) Min 4.000 Min. 4.557,3 Min 4.299,3 Min 4.179,9 Min 4.036,6 Min 4.179,9 4.946,32 4.389,85 3.750,41 6.290,53

Parameter Limbah

Destilasi Daun TBN

Limbah Destilasi Btg

TBN

Limbah Destilasi

Gaharu Limbah Destilasi Kasturi Indonesia Standar AS Standar

Austria

Standar Jerman

Standar Perancis

Standar Selandia Baru

Standar Swedia

(9)

destilasi gaharu (6.290,53 kkal/kg) hampir mendekati nilai kalor batubara (6.300 kkal/kg) [11].

3.10 Analisis Proksimat Biopelet Berdasarkan Bahan Perekat

Berdasarkan jenis bahan perekat yang digunakan, yakni tepung kanji, tetes, dan vinasse, analisis proksimat selengkapnya terangkum dalam Tabel 9.

Tabel 9. Analisis Proksimat Biopelet Berdasarkan Bahan Perekat

Kadar air (%) Maks 12 - Maks 12 Maks 12 Maks 15 Maks 8,00 Maks 10,00 4,05 3,83 3,78 Kadar abu (%) Maks 1,5 Maks 2 Maks 0,5 Maks 1,5 Maks 6 7,16 8,01 11,68

Kadar zat terbang (%) Maks 80 85,51 83,70 82,65

Kadar karbon terikat (%) Min 14 3,40 4,46 1,90

Densitas (kg/dm3) Min 0,8 Min 0,64 Min 1,20 Min 1,00 Min 1,15 0,56 0,53 0,52 Nilai kalor (cal/gr) Min 4.000 Min. 4.557,3 Min 4.299,3 Min 4.179,9 Min 4.036,6 Min 4.179,9 4.972,81 4.734,92 4.825,10

Pellet Berperekat

Vinasse Standar

Perancis

Standar Selandia Baru

Standar Swedia

Pellet Berperekat

Kanji

Pellet Berperekat

Tetes

Parameter Indonesia Standar AS Standar

Austria

Standar Jerman

Ditinjau dari parameter kadar air dan nilai kalor, biopelet dengan ketiga jenis perekat memenuhi standard dari delapan negara seperti pada Tabel 9. Perekat kanji memiliki kemampuan terbaik untuk mencapai kalor tertinggi pada biopelet. Kadar abu dan densitas biopelet berperekat kanji terbaik dibandingkan dengan biopelet berperekat tetes dan vinasse. Kadar zat terbang biopelet berperekat vinasse paling unggul dibandingkan biopelet berperekat kanji dan biopelet berperekat tetes. Tetes memiliki keunggulan dalam membentuk kadar karbon terikat dibandingkan dengan tepung kanji dan vinasse. Dilihat dari parameter kadar abu dan densitas, tidak satupun jenis biopelet yang memenuhi standar dari delapan negara. Ditilik dari kadar zat terbang dan kadar karbon terikat, tidak satupun biopelet dengan ketiga jenis perekat yang memenuhi SNI 8021: 2014. Secara umum, dapat dikatakan bahwa tepung kanji paling potensial dipilih sebagai bahan perekat biopelet.

4.11Water Boiling Test (WBT)

Untuk mengukur laju konsumsi biopelet, dilakukan Water Boiling Test (WBT). Hasil WBT selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Hasil WBT Biopelet

No. Pelet Massa awal (gr) Waktu pendidihan 1 L air (menit) Massa terpakai (gr) Laju konsumsi (kg/jam) Berat abu (gr)

1 PLBK 540 60 340 0.34 200

2 PLBT 540 120 360 0.18 180

3 PLBV 700 100 320 0.19 380

4 PLKK 820 40 180 0.27 640

5 PLKT 520 80 240 0.18 280

6 PLKV 660 100 340 0.20 320

7 PLGK 760 60 300 0.30 460

8 PLGT 720 40 200 0.30 520

9 PLGV 640 60 220 0.22 420

Berdasarkan Tabel 10, PLBT dan PLKT diketahui memiliki laju konsumsi terbaik karena hanya membutuhkan 0,18 kg biopelet/jam untuk mendidihkan 1 liter air. Adapun hanya PLBT yang memiliki berat abu terbaik karena residua abunya paling sedikit.

4. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan

(10)

1. Berdasarkan parameter kadar air, kadar abu, kadar zat terbang, dan nilai kalor, beberapa biopelet hasil uji mampu memenuhi standard yang ditetapkan oleh BSN maupun 7 negara importir

2. Berdasarkan parameter kadar sulfur, kadar karbon terikat, dan densitas, tidak satupun varian biopelet yang memenuhi standard BSN maupun 7 negara importir biopelet.

3. Berdasarkan hasil WBT, laju konsumsi biopelet berkisar 0,18 s.d 0,34 kg/jam dan berat abu berkisar 180 s.d 520 gr.

4. Limbah padat destilasi minyak atsiri berpotensi dimanfaatkan menjadi biopelet

5. Biopelet berbahan baku limbah padat gaharu berperekat kanji adalah varian biopelet yang paling potensial untuk dikembangkan.

4.2 Saran

Berikut saran-saran berdasarkan hasil penelitian:

1. Perlu penelitian lebih lanjut untuk memenuhi kadar sulfur dan kadar karbon terikat.

2. Untuk meningkatkan densitas dan produktivitas biopelet, pencetakan dilakukan dengan mesin. Produksi skala UKM dapat menggunakan Small Wood Biopelet Machine dan Flat

Die Wood Biopelet Machine. Produksi skala industri dapat menggunakan Ring Die Wood

Biopelet Machine dan Vertical Ring Die Wood Biopelet Machine.

3. Dapat dilakukan analisis proksimat keteguhan tekan bahan serta analisis ultimat yang meliputi kadar klorin, kadar nitrogen, dan kandungan logam berat.

DAFTAR PUSTAKA

[1] AFNOR. French Standardization Association

[2] Armando R. Memproduksi 15 minyak atsiri berkualitas. PT Penebar Swadaya. Yogyakarta. 2016 [3] Arsad E. Analisa sifat fisis dan nilai kalor biopelet bambu. Balai Riset dan Standardisasi Industri Banjarbaru. 2015 [4] ASTM E 871-82 (2013) Standard Test Method for Moisture Analysis of Particulate Wood Fuels [5] ASTM E-872-82 (2013) Standard Test Method for Volatile Matter in the Analysis of Particulate Wood

Fuels

[6] ASTM D 1102-84 (2013) Standard Test Method for Ash in Wood

[7] ASTM E 775-87 (2008) Standard Test Methods for Total Sulfur in the Analysis Sample of Refuse-Derived Fuel [8] ASTM E 873-82 (2013) Standard Test Method for Bulk Density of Densified Particulate. Biomass Fuels [9] ASTM E 711-87 (2004) Test Method for Gross Calorific Value of Refuse-Derived Fuel by the Bomb

Calorimeter

[10] Australian/New Zealand Standard 4886:2007. The Australian/New Zealand standard for domestic solid fuel burning appliance—biopelet heaters—determination of flue gas emission

[11] Cahyono TD et al. Analisis nilai kalor dan kelayakan ekonomis kayu sebagai bahan bakar substitusi batu bara di pabrik semen. Tesis. Bogor: Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana IPB. 2008

[12] Christofoletti CA, Escher JP, Correia JE, Marinho JFU, and Fontanetti CS. Sugarcane vinasse: environmental implications of its use. Waste Manag. 33. 2013. p 2752–2761

[13] CTI- R 04/5 the Italian standard for biopelets

[14] Damayanti R, Lusiana N, Prasetyo J. Studi pengaruh ukuran partikel dan penambahan perekat tapioka terhadap karakteristik biopelet dari kulit coklat (Theobroma cacao l.) sebagai bahan bakar alternatif terbarukan. Jurnal Teknotan Vol. 11 No. 1, April 2017

[15] Deutsch Industry Norm51371. The German standard for wood biopelets.

[16] Juwita, R. 2012. Studi produksi alkohol dari tetes tebu (Saccharum officinarum L) selama proses fermentasi. Faperta Unhas Makassar. 2012

[17] Oladunmoye OO, Aworh OC, Dixon BM, Erukainure OL, Elemo GN. Chemical and functional properties of cassava starch, durum wheat semolina flour, and their blends. Journal Food &

Nutrition Vol. 2, Issue 2. 2014. P 132-138

[18] ONORM M 7135. The Austrian standards for compressed wood or compressed bark. [19] Pelet Fuel Institute. www.biopeletheat.org

(11)

[21] Rahman, AM. Mempelajari karakteristik kimia dan fisik tepung tapioka dan mocal (modified cassava

flour) sebagai penyalut kacang pada produk kacang salut. Skripsi. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB. 2007

[22] Rochman R. Biomass to liquid (kayu dan rerumputan).Majari Magazine. http:majarimagazine.com/ 2009/02/biomasa-to-liquit-kayu-dan-rerumputan. 2009

[23] Safirul BI, Muhammad F, dan Ismail T. Desain proses pengelolaan limbah vinasse dengan metode pemekatan dan pembakaran pada pabrik gula-alkohol terintegrasi. Jurnal Teknik Pomits (Surabaya: Fakultas Teknologi Industri, Institut Teknologi Sepuluh Nopember). 2012

[24] Sanusi. Karakteristik biopelet kayu sengon. Makassar: Universitas Hasanuddin. 2010

[25] Saptoadi H. 2006. The best biobriquette dimension and its particle size. Bangkok: The 2nd Joint International Conference on “Sustainable Energy and Environment. 2006

[26] Soeprijanto, Ismail T. Murtina DL, Niken B. Pengolahan vinasse dari air limbah industri alkohol menjadi biogas menggunakan bioreaktor UASB. Jurnal Purifikasi (Jurusan Teknik Kimia, ITS). 2010 [27] SS 18 71 The Swedish standard for biofuels and peat

[28] Standard Nasional Indonesia 8021:2014 Biopelet Kayu

[29] Sukarta IN, Ayuni PS. Analisis proksimat dan nilai kalor pada biopelet biosolid yang dikombinasikan dengan biomassa limbah bambu. Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 5, No. 1, April 2016

[30] Supriyanto. Zero waste untuk green environment dan teknologi atsiri. Kongres Nasional Minyak Atsiri. Malang. 2017

[31] Unpinit T, Poblarp T, Sailoon N, Wongwicha P, Thabuout M. Fuel properties of bio-biopelets produced from selected materials under various compacting pressure. Energy Procedia 79. 2015. hal 657 – 662

[32] Wardana HD. Zero waste pada industri minyak atsiri untuk meningkatkan nilai proses yang lebih ramah lingkungan. Kongres Nasional Minyak Atsiri Malang. 2017

[33] Windarwati S. Seminar Nasional Teknologi Kimia Kayu. Bogor. 2011

Gambar

Tabel 1.  Produksi kebun rakyat tahun 2010-2015 (ribu ton)
Gambar 1s . Bagan Proses Pembuatan Biopeletpengerpre
Gambar 3. Kadar abu biopelet
Gambar 4. Kadar sulfur biopeletGambar 4 mendeskripsikan bahwa tidak satupun jenis biopelet yang memenuhi standar kadarsulfur yang ditetapkan oleh Austria, Jerman, dan Perancis
+3

Referensi

Dokumen terkait

bahwa beberapa ketentuan dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 1 Tahun 2016 tentang Pedoman Teknis Pengawasan Iklan Kosmetika perlu

Pengambilan kesimpulan pada grafik di gambar 4.5 diuraikan pada gambar 4.8 (a) dan gambar 4.8 (b). Dari tabel 4.5 dan 4.6 terlihat renentang data pada variasi nilai batas potong

2) Sampai saat ini setelah 3 tahun berjalannya program penanggulangan pengangguran, dari pihak Karang Taruna “Eka Taruna Bhakti” belum dilakukan pemberian kredit

Besarnya IGIP merupakan indikator dalam meyakinkan dan memvalidasi apakah model yang kita lakukan pada Modern Production Data Analysis sudah tepat. IGIP yang didapat pada dari

Permasalahan yang dikaji dalam penelitian tersebut adalah identifikasi manifestasi pemikiran eksistensialisme Sartre terhadap tokoh Meursault yang didalamnya juga

Sebagai salah satu instalasi yang memberikan pelayanan pembedahan, selayaknya memiliki sebuah pedoman yang dapat memandu atau sebagai acuan dalam

Bagi remaja, window shopping dapat menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan, yaitu dengan menampilkan dirinya, bersosialisai dengan teman, menikmati fasilitas

Penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian Donna (2011) yang sebelumnya menyebutkan bahwa PDRB tidak berpengaruh terhadap penerimaan pajak reklame. Dalam hal ini