• Tidak ada hasil yang ditemukan

UPAYA MENGHINDARI SENGKETA HAK ATAS TANA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "UPAYA MENGHINDARI SENGKETA HAK ATAS TANA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

UPAYA MENGHINDARI SENGKETA HAK ATAS TANAH ULAYAT

PADA MASYARAKAT HUKUM ADAT DENGAN MEKANISME FREE,

PRIOR AND INFORMED CONSENT (FPIC)

Irena Lucy Ishimora dan Muhammad Dimas Tribowo Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Abstrak

Tanah sebagai bagian yang tidak bisa terpisahkan dari kehidupan masyarakat adat, memiliki ciri khasnya tersendiri dimana pendekatan masyarakat adat melihat tanah atau tanah ulayat sebagai hal yang bersifat magis – religius dan komunal. Fungsi sosial tanah ulayat berdampak pada keharusan masyarakat adat untuk selalu mengusahakan tanah tersebut. Seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk dunia, kebutuhan manusia makin meningkat hal ini diiringi dengan kebutuhan untuk menemukan sumber daya – sumber daya baru demi pemenuhannya. Permasalahan – permasalahan seperti sengketa yang terbit dari persinggungan antara masyarakat adat dengan pihak yang melakukan eksplorasi atau eksploitasi berupa sengekta tanah dan lainnya pun tak terhindarkan. Alasan mengapa permasalahan – permasalahan tersebut muncul adalah karena adanya ketidakteraturan hukum baik dalam tataran normatif ataupun implementatif. Pengikutsertaan masyarakat adat dalam setiap proses pengelolaan dan perencanaan kebijakan yang bersinggungan dengannya adalah solusi terhadap setiap permasalahan yang ada, karena dengan musyawarah atau partisipasi aktif dari berbagai pihak permasalahan – permasalahan antara pihak masyarakat adat dengan pihak luar akan dapat diminimalisasi. Pun hal tersebut harus dipayungi dengan norma hukum yang mampu mengakomodasi pihak – pihak yang ada di dalamnya. Keinginan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat adat dalam pengelolaan dan perumusan kebijakan dalam rangka meningkatkan taraf hidup mereka juga menjadi perhatian utama dalam usaha untuk mewujudkan Sustainable Development yang tertera dalam Sustainable Development Goals (SDGs).

(2)

Abstract

Land, a significant part of the indigenous people, seen by indigenous people magic – religious and communalistic in term of its characteristic. Social function of the customary land has impacted the people to manage the land for the sake of society. The world population inevitably grows, so do human needs on resources and the effort to find new resources as its fulfillment. Conflict of interests has resulted dispute among indigenous people and parties planning on exploring and exploiting new resources. Irregularity of law, either in normative or implementative level, has been accused as the cause of such conflicts. Indigenous people participation in land managing process and regulation planning meticulously has been seen as the solution, because discussion and active participation among parties is expected to be able to minimize the probability of the emergence of problems. The willingness to increase indigenous people active participation in regulations establishment and management in order to improve indigenous people standard of living has become the main attention in the effort to sustainable development embodiment as stated in the Sustainable Development Goals (SDGs).

(3)

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kebutuhan manusia sangatlah banyak, bahkan mungkin bisa dikatakan tak terbatas jumlahnya. Seiring perkembangan zaman, khususnya di era globalisasi ini, banyak bermunculan kebutuhan baru yang grafiknya terus meningkat. Tidak banyak orang yang menyadari bahwa sumber daya alam mengambil peran yang cukup signifikan dalam pembuatan komponen dari kebutuhan tersebut. Ambil saja contoh pembuatan tambang – tambang batu bara, timah, emas dan pengalihfungsian hutan menjadi lahan perkebunan yang semua ini pada hakikatnya untuk memenuhi kebutuhan manusia.

Berdasarkan pemeparan di atas dapat dikatakan bahwa tanah merupakan salah satu faktor produksi yang digunakan untuk menghasilkan komoditi – komoditi perdagangan sehingga menjadi objek yang diperebutkan oleh banyak pihak. Dari fakta yang dilansir oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, jumlah penduduk yang mencapai 245 juta jiwa pada tahun 2012 dengan pertumbuhan yang cukup pesat dimana mencapai 1,51% per tahun menyebabkan kebutuhan akan perumahan mencapai 800.000 unit/ tahun. Pertumbuhan industri pun ikut mendorong terjadinya pembukaan lahan – lahan baru, demikian juga dengan pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh pemerintah dalam rangka mengakomodasi kebutuhan masyarakat.(1) Disini terlihat bahwa tanah menjadi objek yang sangat vital dalam proses pembangunan.

(4)

mengusahakan tanah tersebut sejak lama, karena tidak adanya sertifikat bukti kepemilikan tanah.

Munculnya sengketa hak atas tanah antara lain juga bersumber dari buruknya rantai birokrasi dalam proses pembangunan di negeri ini. Birokrasi dalam pemberian sertifikat hak atas tanah ataupun penerbitan izin penggunaan atas tanah yang masih “semrawut” bagai benang kusut tak jarang kita jumpai. Sertifikat yang seharusnya berlaku sebagai bukti kepemilikan atas sebidang obyek tanah bagi satu orang, ternyata dimiliki oleh lebih dari satu orang.(5) Selain itu putaran isu permasalahan tanah ini juga berada pada proses penerbitan izin atas tanah terkait. Penatapan tanah masyarakat adat yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini melalui proses yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 (Permenag No.5/1999) tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat (6) pada hakikatnya masih memiliki lubang – lubang dalam mengakomodasi kepentingan masyarakat adat. Merujuk pada tujuan pembangunan berkelanjutan atau Sustainable Development Goals

(SDGs) yang dideklarasikan pada United Nations Conference on Sustainable Development di Rio de Janeiro (Rio +20), pembangunan harusnya juga tidak membawa dampak negatif bagi masyarakat, baik masyarakat di generasi sekarang dan juga generasi mendatang.

1.2. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang yang dipaparkan diatas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan utama dalam penelitian ini, yakni :

1. Apakah yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan dalam kaitannya dengan tanah dan masyarakat adat?

2. Bagaimanakah pengaturan terkait hak ulayat dalam status quo?

3. Bagaimanakah cara untuk menghindari terjadinya sengketa terkait hak ulayat?

1.3 Perumusan Masalah

(5)

1.3. Tujuan Penelitian

Ada beberapa tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penelitian ini, diantaranya :

1. Agar dapat memahami konsep pembangunan berkelanjutan dalam kaitannya dengan tanah dan masyarakat adat.

2. Agar dapat memahami pengaturan terkait hak ulayat dalam status quo.

3. Agar dapat mengetahui bagaimana cara untuk menghindari terjadinya sengketa terkait hak ulayat.

1.4. Manfaat

Adapun manfaat yang ingin diwujudkan dari penelitian ini, adalah sebagai berikut :

1. Dapat menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan dalam kaitannya dengan tanah dan masyarakat adat.

2. Dapat mengidentifikasi permasalahan – permasalahan yang muncul dari pengaturan terkait hak ulayat saat ini.

3. Agar dapat mengetahui bagaimana cara untuk menghindari terjadinya sengketa terkait hak ulayat.

1.5. Metode Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif, adapun metode penelitian yang digunakan dalam pembuatan karya tulis ini adalah dengan menggunakan metode kajian pustaka. Selain itu, metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini, adalah metode analisis Deskriptif.

2. PEMBAHASAN

2.1. Konsep Pembangunan Berkelanjutan

(6)

Suistainable Development is defined as development that meet the needs of the present without comprosing the ability of future generations to meet their own needs”

Soerjani mengartikan definisi tersebut dengan “Pembangunan untuk mencukupi kebutuhan generasi sekarang tidak boleh mengurangi kemampuan generasi – generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.” Kapasitas produksi masa depan tergantung kepada cadangan dari sumber daya alam, sumber daya manusia, sumber daya buatan manusia dan teknologi, dimana hal – hal itu diwariskan oleh generasi masa kini ke generasi selanjutnya.(8)

Dalam perkembangan terbarunya konsep sustainable development ini berhasil dirumuskan dalam sebuah outcome United Nations Conference on Sustainable Development +20 dimana dihasilkan 17 tujuan utama yang disebut Sustainable Development Goals

(SDGs). SDGs adalah program lanjutan dari Millenium Development Goals (MDGs) yang akan berakhir tahun ini. Selanjutnya segala usaha yang dilakukan semua negara peserta konferensi ini haruslah berpedoman pada SDGs ini.

Dari beberapa konsep di atas dapat kita simpulkan bahwa pemenuhan kebutuhan melalui proses pembangunan haruslah memiliki apa yang dinamakan keadilan antar – generasi dimana pembangunan yang dilakukan tidak merugikan generasi yang sekarang pun menguntungkan generasi yang akan datang.

2.1.1 Konsep Pembangunan Berkelanjutan dalam Kaitannya dengan Masyarakat Adat

Ketika kita mengaitkan hubungan antara masyarakat adat dengan sustainable development disini dapat kita lihat bahwa masyarakat adat sendiri masih termasuk dalam pihak yang mendapat perhatian lebih. Partisipasi dari pada masyarakat adat ini sangat penting dalam pencapaian sustainable development. Bagaimana masyarakat adat (indigeneous people) memiliki porsinya tersendiri dalam setiap tujuan dari pada rencana pembangunan berkelanjuntan yang dinamakan Sustainable Development Goals (SDGs) seperti yang telah dijelaskan sebelumya.

(7)

menurunkan tingkat perbedaan standar hidup dan untuk memenuhi kebutuhan dari mayoritas masyarakat di dunia.

Di dalam outcome itu pula diakui partisipasi masyarakat adat – melalui United Nations Declaration on the Rights of Indigenous People – sangatlah penting dalam hal implementasi strategi – strategi pembangunan berkelanjutan baik tingkat regional, nasional, dan internasional. Keberadaan dari pada masyarakat adat ini tidak bisa lepas dari sejarah dunia dimana terdapat didalamnya penderitaan masyarakat adat akibat rasisme, diskriminasi, ketidak setaraan, dan lain – lain. Pun kita tidak bisa menafikkan keberadaan masyarakat adat sebagai bagian yang harus diikutsertakan dalam pembangunan sebuah bangsa dan negara.

2.1.2 Pengelolaan Tanah yang Dilakukan oleh Masyarakat Adat

Masayarakat adat memiliki hubungan keterikatan yang sangat erat dengan tanah, hubungan ini bersifat magis – religius.(9) Pemahaman yang mereka anut adalah bahwa tanah diberikan oleh kekuatan gaib atau merupakan peninggalan nenek moyang yang diperuntukkan bagi kelangsungan hidup dan penghidupannya sepanjang masa.(10) Penamaan terhadap tanah ini sendiri berbeda – beda di antara kelompok masyarakat adat, namun Undang – Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) (11) menyebutnya dengan hak ulayat. Anggota masyarakat adat dapat mengambil manfaat dari tanah yang termasuk ke dalam wilayah ulayatnya.

(8)

Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa kepemilikan tanah bagi masyarakat adat sangatlah kuat berikut pengelolaannya, hal ini dikarenakan telah diakuinya hak ulayat oleh pemerintah itu sendiri.

2.2. Pengaturan Hak Ulayat dalam Status Quo

Pengertian terhadap istilah hak ulayat ditegaskan oleh G. Kertasapoetra dan kawan – kawan dalam bukunya Hukum Tanah, Jaminan UUPA Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, yang menyatakan bahwa;

“Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan hukum (desa, suku) untuk menjamin ketertiban pemanfaatan/ pendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum, dimana para warga masyarakat (persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/desa yang bersangkutan)”. (16)

Eksistensi dari pada hukum adat ini sudah terinternalisasi dalam UUPA sendiri dimana disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku adalah hukum adat sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara dan seterusnya. Ketentuan ini mengandung makna bahwa unsur – unsur hukum adat di bidang pertanahan yang ada dalam suatu masyarakat adat selama tidak bertentangan dengan ketentuan dan peraturan yang ada dapat dipergunakan dalam rangka pelaksanaan UUPA.(16)

Secara lebih khusus ketika kita berbicara mengenai permasalahan – permasalahan terkait hak ulayat maka dapat mengacu pada Permenag No.5/1999. Dalam Permenag tersebut dijelaskan pada Pasal 1 bahwa hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dimiliki oleh masyarakat hukum adat tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

(9)

perseorangan tanpa melalui proses yang sesuai dengan hukum adat masyarakat di tanah tersebut bahkan tanpa penjelasan bahwa apabila mereka melepas haknya atas tanah tersebut maka untuk selamanya hak ulayat mereka akan lenyap. Hal ini yang seringkali menyebabkan terjadinya konflik setelah masyarakat yang terlambat memahami implikasi tindakan ini mencoba mendapatkan kembali hak ulayat mereka. Di sini terlihat pemerintah belum melindubgi hak dari masyarakat adat atas tanah ulayatnya. Belum lagi dalam penentuan status masyarakat adat ada kriteria – kriteria yang harus dipenuhi oleh masyarakat adat terkait dimana terkadang kriteria ini tidak relevan karena tidak mempertimbangkan faktor – faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi proses kehidupan masyarakat adat yang dinamis. Kriteria – kriteria untuk menunjukkan keberadaan masyarakat adat tersebut bisa jadi adalah kriteria - kriteria masa lalu yang tidak lagi relevan dengan kondisi saat ini dan tidak sesuai dengan perkembangan yang telah berlangsung terhadap sebuah komunitas masyarakat adat yang dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal masyarakat adat.

Terdapat dua faktor yang mempengaruhi permasalahan – permasalahan diatas yaitu paradigma dari para pejabat dan substansi pengaturan terkait hak ulayat masyarakat adat. Permenang sebagai satu – satunya peraturan operasional yang membahas mengenai penyelesaian permasalahan hak ulayat masyarakat adat ternyata masih memiliki sejumlah ambiguitas, misalnya niat untuk menyelesaikan permasalahan tanah ulayat malah dibatasi pada tanah – tanah yang diatasnya tidak terdapat hak – hak atas tanah menurut UUPA. Kriteria keberadaan masyarakat adat yang diatur dalam Permenag juga belum menampung dinamika internal dan eksternal yang telah mendorong perkembangan komunitas masyarakat adat. Minimnya perspektif keadilan transisional (transitional justice) tidak membuat Permenag itu digunakan untuk mengoreksi kebijakan yang keliru dimasa lalu.(17) Hal ini diperparah dengan minimnya musyawarah yang seringkali tidak dilakukan oleh pihak yang ingin menguasai tanah tersebut dengan masyarakat adat.

2.3. Mekanisme perbaikan birokrasi pertanahan dalam kaitannya dengan masyarakat adat

(10)

sendiri. Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) huruf b Permenag No.5/1999, pemberian hak atas tanah tersebut harus didahului dengan pelepasan tanah oleh masyarakat adat sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku. Berarti dapat dikatakan perlu adanya musyawarah dengan pemilik hak ulayat tersebut. Namun pada kenyataannya masyarakat sebagai pemegang hak ulayat tidak diikutsertakan dalam musyawarah yang menyangkut pelepasan tanahnya.

Pada dasarnya sudah terdapat prinsip yang mengakomodasi mekanisme musyawarah diatas yaitu Free Prior and Informed Consent (FPIC) atau Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA), dimana merupakan prinsip yang menegaskan adanya hak masyarakat adat dan atau masyarakat lokal untuk menentukan bentuk – bentuk kegiatan apa yang mereka inginkan pada wilayah mereka. Secara lebih rinci dapat dirumuskan sebagai hak masyarakat adat dan atau komunitas lokal untuk untuk mendapatkan informasi (informed) sebelum (prior) sebuah program atau program pembangunan dilaksanakan dalam wilayah adat mereka, dan berdasarkan informasi tersebut, mereka secara bebas tanpa tekanan (free) manyatakan setuju (consent) atau menolak. Dengan kata lain, sebuah hak masyarakat adat dan atau masyarakat lokal untuk memutuskan jenis kegiatan pembangunan macam apa yang mereka perbolehkan untuk berlangsung dalam wilayah adat mereka. (18)

Untuk mengatasi berbagai permasalahan terkait hak ulayat ini diperlukan pengaturan baru dalam metode penyelesaian sengketa tanah yang pada status quo diatur dalam Permenag No.5/1999. Pencabutan Permenag No.5/1999 ini harus diiringi dengan pemberlakuan peraturan yang baru yang melindungi hak ulayat secara paripurna, penyelesaian sengketa terkait pengalihan hak ulayat yang terjadi sebelum Permenag No.5/1999 juga harus menjadi perhatian dalam peraturan baru tersebut. Selain itu dalam proses pengalihan hak atas tanah ulayat kepada subyek hukum perorangan atau badan hukum juga harus melalui proses yang tidak mencederai hak-hak masyarakat adat seperti musyawarah yang melibatkan masyarakat adat agar mau melepaskan haknya dan juga menetapkan kompensasi pengganti yang sesuai atas tanah ulayat.

(11)

soal itu, melainkan yang ditanyakan harus fakta – fakta, hanya kejadian – kejadian yang telah dialami atau diketahui sendiri oleh mereka. Dengan menggunakan metode itu barulah dapat dicapai keterangan tentang peraturan – peraturan yang nantinya akan benar – benar berlaku dalam hidup bersama di daerah yang diselidiki dan berdasarkan keterangan – keterangan semacam itu dapat dilukiskan hukum adat yang berlaku di daerah itu. (19)

Kita harus menyadari bahwa pembangunan merupakan keniscayaan, maka dari itu untuk menjamin penyediaan tanah tanpa harus menyulut sengketa apabila terkait dengan pengalihan tanah ulayat perlu adanya konsolidasi antara seluruh stakeholder dengan masyarakat adat itu sendiri agar hak-hak masyarakat adat yang dijamin Negara dan pembangunan dapat berjalan harmonis sesuai cita-cita sustainable development.

3. KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. Kesimpulan

Jadi berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan :

1. Tanah dan masyarakat adat memiliki hubungan sangat erat yang bersifat magis – religius. Tanah memiliki fungi sosial, sehingga harus selalu dimanfaatkan demi kepentingan umum. Secara hukum, di Indonesia pun hak ulayat dalam masyarakat adat telah diakui keberadaannya.

2. Sengketa – sengketa tanah yang dialami masyarakat adat dengan pihak baik pemerintah atau swasta menunjukkan bagaimana peraturan – peraturan terkait belum dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat adat. Dimana biasanya pihak swasta atau pemerintah yang melakukan ekplorasi dan eksploitasi terhadap tanah atau hutan adat tanpa melakukan prosedur pengambil alihan tanah atau hutan yang memenuhi rasa keadilan.

3. Akar permasalahan terkait hak ulayat ini pada dasarnya terdapat pada paradigma pejabat dalam melihat eksistensi dari pada hak ulayat dan masyarakat adat itu sendiri. Ketidakikutsertaan masyarakat adat dalam musyawarat dengan pihak luar ini juga menjadi akar permasalahan dari setiap sengketa yang berkaitan dengan hak ulayat. Padahal dalam mewujudkan sustainable development partisipasi masyarakat adat sangat penting sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia.

(12)

1. Perubahan terhadap Permenag. No. 5/ 1999 terhadap beberapa hal yang telah dibahas di atas agar masyarakat adat tidak lagi dirugikan.

2. Adanya sosialisasi yang baik terhadap masyarakat adat akan peratuan – peraturan yang mengatur berbagai hal tentang mereka serta dampak – dampak yang timbul dari segala hubungan hukum dengan pihak luar yang menjadi ruang lingkup aturan tersebut.

3. Adanya partisipasi yang nyata masyarakat adat terkait musyawarah dalam hal adanya pihak baik pemerintah atau swasta yang ingin menguasai tanah tersebut dalam bentuk apapun.

4. DAFTAR PUSTAKA

1. Penanganan Rumah Susun [Internet]. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Republik Indonesia; 14 Juli 2013 [diunduh pada 4 September 2015].

http://pu.go.id/berita/917/Penanganan-Rumah-Susun.

2. Soerjono Soekanto. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada; 2003. 3. Forest Watch Indonesia. Potret Keadaan Hutan Indonesia: Periode 2009 – 2013. Bogor:

Forest Watch Indonesia; 2014.

4. Suku Anak Dalam Bakal Tergusur HTI yang Kuasai 6.900 Ha Hutan. Suara Pembaruan Memihak Kebenaran [Internet]. 2014 September 2 [diunduh pada 6 September 2015].

http://sp.beritasatu.com/home/suku-anak-dalam-bakal-tergusur-hti-yang-kuasai-6900-ha-hutan/63683.

5. Tim di bawah Pimpinan Darwin Ginting. Pengkajian Hukum Tentang Penyelesaian Sengketa Tanah, Melalui Peradilan Adat. Badan Pembinaan Hukum Nasional. 2013: 4. 6. Indonesia. Peraturan Menteri Negara Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor

5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.

7. World Commission on Environment and Development. Reporto of The World Commission on Environment and Development: Our Common Future. Oxford: Oxford University Press; 1987.

8. SPES, editor. Economy and Ecology in Sustainable Development. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 1994.

9. Soepomo. Bab – Bab tentang Hukum Adat. Cetakan ke – dua belas. Jakarta: Pradnya Paramita; 1989.

(13)

11. Indonesia. Undang – Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA), LN RI Tahun 1960 Nomor 104 TLN RI Nomor 2043.

12. Soekanto, Soerjono Soekanto. Pokok – Pokok Hukum Adat. Cetakan ke – tiga. Bandung: Alumni; 1981.

13. Soerjono Soekanto. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada; 2003. hal. 182.

14. B. Ter Haar Bzn. Terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto. Asas – Asas dan Susunan Hukum Adat. Jakarta: Pradnya Paramita; 1994. hal. 115.

15. G.Kertasapoetra, R.G Kartasapoetra, AG.Kartasapoetra, A. Setiady. Hukum Tanah Jaminan Undang – Undang Pokok Agraria Bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah. Jakarta: Bina Aksara; 1985. hal . 88.

16. Sajuti Thalib. Penyunting. Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau. Jakarta: Bina Aksara; 1985. hal 3 – 4.

17. Noer Fauzi R, Siti RM, Yance A, Nurul Firmansyah. Kajian Kritis atas Peraturan Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Permasalahan Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat: Kertas Kerja Epistema No. 01/ 2012 [Internet]. 2012 Aug [diunduh pada 2015 September 7].

http://epistema.or.id/kajian‐ kritis‐ atas ‐ peraturan‐ menteri‐ agraria/.

18. Kelompok Pokja REDD+ Provinsi Sulawesi Tengah Bidang FPIC dan Pemberdayaan. Panduan Penulisan Free Prior Informed Consent (FPIC) – Program UN – REDD+ di Sulawesi Tengah; Januari 2012.

Referensi

Dokumen terkait

Dari data yang di dapat pada Bagian Kemahasiswaan Fakultas Hukum Universitas Lampung diperoleh data yang mendapatkan SK Dekan tentang sanksi akademik pada sebelum

Studi mengenai kinerja perusahaan telah banyak dilakukan oleh para peneliti dengan berbagai ukuran rasio keuangan maupun model analisis yang dapat digunakan dalam

Tripodal extraction reagent with three phosphoric acid groups, together with the corresponding monopodal molecule has been prepared to investigate some metals extraction behavior,

Program ini merupakan penerus dari Program Karya Alternatif Mahasiswa yang dibentuk pada tahun 1997, yang lalu berganti menjadi Program Kreativitas Mahasiswa tahun 2001

rendah (ketinggian bangunan sampai dengan 12 meter) di lokasi sesuai dengan fungsi jalan lokal/lingkungan, Pelaku pembangunan wajib menyediakan lahan pada lahan

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024) 8508081, Fax. Prodi Asal : Pendidikan

Pendekatan pembelajaran berbasis masalah dirancang untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan penalaran, keterampilan menyelesaikan masalah, dan keterampilan

Pada kegiatan pembelajaran anak usia dini, penggunaan media pembelajaran menjadi sesuatu hal yang penting terhadap pencapaian tujuan dari pembelajaran untuk