• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBATASAN TAR DAN NIKOTIN SEBUAH PRORIT (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMBATASAN TAR DAN NIKOTIN SEBUAH PRORIT (1)"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

1 PEMBATASAN TAR DAN NIKOTIN : SEBUAH PRORITAS UNTUK

MEMBEBASKAN BANGSA DARI BELENGGU ROKOK

(Studi Terhadap Kebijakan ‘Setengah Hati’ dalam PP No 109 tahun 2012 Mengenai Pengamanan Produk Tembakau Sebagai Zat Adiktif Bagi Kesehatan)

Disusun oleh: Nama : Desiana Rizka Fimmastuti NIM : 10/ 305078/ SP/ 24358

JURUSAN POLITIK DAN PEMERINTAHAN FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

(2)

2 DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI iv

SUMMARY v

A.Pendahuluan 1

B.Telaah Pustaka 2

- Kebijakan Publik 2

- Kebijakan Perlindungan Produk Tembakau 3

C.METODE 5

D.PP No 109 tahun 2012:Celah Meningkatnya Ketergantungan Produk Tembakau 6 E.Pembatasan Kadar Tar dan Nikotin : Sebuah Upaya Penyelesaian Masalah 11 F. Pembentukan Tim Gabungan dalam Pengecekan Kadar : Sebuah Tawaran Implementasi

Kebijakan Melalui Instrumen State Auxiliary Agencies 14 - Pengendalian Secara Halus : Reaksi Atas Komposisi Kepentingan yang Kompleks 14 - State Auxiliary Agencies dalam Implementasi Kebijakan 17 - Kontekstualisasi Kebijakan : Sebuah Upaya Lanjutan 18 G. Pengawasan dan Pengawalan Kebijakan: Sebuah Kewajiban 20

H. Kesimpulan 23

(3)

3 SUMMARY

PEMBATASAN TAR DAN NIKOTIN : SEBUAH PRORITAS UNTUK MEMBEBASKAN BANGSA DARI BELENGGU ROKOK

RESTRICTION OF TAR AND NICOTINE : A PRIORITY TO LET THE NATION FREE FROM THE DANGER OF CIGARETTES

(Studi Terhadap Kebijakan ‘Setengah Hati' dalam PP No 109 tahun 2012 Mengenai Pengamanan Produk Tembakau Sebagai Zat Adiktif Bagi Kesehatan) A study of "half-hearted"public policy in PP 109/2012 about the RESTRICTION of

tobacco as an addictive substance for health

Government has the highest power in a country, and also has to manage various interest in the society. Because of these reasons, government has to accomplish the people's welfare and manages social order to its society in various aspects. Government can achieve it by making public policy. It contains details of the rule, so people will understand which one is the best one. If we analize many health regulations, I can suggest you that tobacco regulation is the most interesting one. As we know that the regulation has fluctuation and contains a lot of interest from corporate, state, employee, tobacco's farmer, and also health activist.

I have a standing position, as an activist, that people's health is the most important thing. Tobacco, especially cigarettes have impact toward people's helath. Government has regulate about that by UU 26/2009 that contains various aspects of health. Beside that, government have producted PP 109/2012 about protection to tobacco products as an addictive substance. Many people consider that the policy is comprehensive enough because it regulates about design, no smoking area, and also the advertisements in the mass media. Those details were not been set in the previous policy. But I think, the policy ignore an important thing : the restriction of tar and nicotine. It will increase the level of cigarettes addiction

(4)

4 the existence was blocked, it was predicted that economic stability would be disrupted. Further information, cigarettes workers dan farmers will make a massive protest.

Because of these reasons, government should be wise to provide the best solution for us. We know that cigarette consumption is increasing and also the quality of health is decreasing. Furthermore, the budget of ‘jamkesmas' is given so much for the treatment of diseases caused by smoking. In this condition, there should be any restrictions on tar and nicotine, as in the previous era. The government can establish a team in a process of checking the content of tar and nicotine in cigarettes. When the tar and nicotine is in conformity with the regulations, then the authorized team will give permission to release the product. Meanwhile, in anticipation of the turmoil stemming from the company and the community, the government should disseminate why it should be done. Socialization is accompanied by the exposure of sanctions that will be imposed on those who commit offenses. When this is executed, then the level of addiction to society caused by smoking can be derived. But the government also should not turn a blind eye to the risks that may come if the policy is applied. Tobacco farmers and factory workers would be threatened his life because of a dwindling cigarette consumption. Furthermore , the government must prepare for alternative employment, which may include optimization of garment enterprises, replacement alternative seed , fertilizer subsidies, and so on .

(5)

5 PEMBATASAN TAR DAN NIKOTIN : SEBUAH PRORITAS UNTUK

MEMBEBASKAN BANGSA DARI BELENGGU ROKOK

Sebuah Studi Terhadap Kebijakan ‘Setengah Hati’ dalam PP No 109 tahun 2012 Mengenai Pengamanan Produk Tembakau Sebagai Zat Adiktif Bagi Kesehatan

A. PENDAHULUAN

Kesejahteraan dan kehidupan yang layak merupakan dambaan setiap lapisan masyarakat. Untuk mewujudkannya diperlukan peran dari berbagai pihak, salah satunya adanya negara yang memiliki otoritas tertinggi untuk mengelola dan mewujudkan cita- cita tersebut. Otoritas tertinggi yang dimilikinya ini menjadikan Negara berperan penting dalam menekankan tujuan utamanya, yaitu servicing, empowerment, dan making public policy (regulation).

Kebijakan menjadi salah satu pijakan dalam melihat bagaimana kepiawaian pemerintah dalam mengelola publik yang beragam. Dengan melakukan analisa kebijakan dapat terlihat sejauhmana intervensi pemerintah dalam dimensi yang penting, salah satunya adalah dimensi kesehatan yang dampaknya begitu luas dirasakan oleh masyarakat. Berkaitan dengan hal ini, pemerintah telah mengeluarkan UU No 36 tahun 2009 tentang kesehatan, dimana mengatur berbagai aspek mengenai kesehatan. Guna semakin mempertajam regulasi tersebut, pemerintah belum lama ini mengeluarkan PP No 109 tahun 2012 tentang pengamanan produk tembakau sebagai zat adiktif bagi kesehatan. Produk tembakau menjadi hal yang menarik untuk dilihat karena selama ini, kebijakan tembakau menjadi topik yang diperdebatkan mengingat terdapat banyak kepentingan di dalamnya.

(6)

6 merupakan celah yang justru mampu membuat tingkat kecanduan rokok di Indonesia semakin tinggi. Terlihat dengan jelas bahwa fenomena ini adalah sebuah kesengajaan yang dilakukan pemerintah untuk bernego dengan pihak perusahaan. Atas dasar inilah kebijakan ini menarik untuk dielaborasi karena melibatkan dimensi politis yang begitu kental, mulai dari banyak stakeholder terlibat hingga dampaknya yang begitu besar bagi masyarakat.

Untuk itu diperlukan tambahan pembatasan kandungan tar dan nikotin yang juga dikombinasikan dengan pengaturan mengenai iklan dan kemasan dalam kebijakan selanjutnya. Atas dasar hal ini, rumusan masalah dalam karya ini adalah : Bagaimanakah langkah kebijakan ideal yang bisa dilakukan oleh pemerintah untuk membatasi kadar tar dan nikotin?

Tulisan ini hendak membahas gagasan baru dalam mengelola kepentingan publik terkait dengan hal tembakau, serta lengkah interventif yang harus dilakukan pemerintah untuk menjamin kepentingan publik tersebut. Pembatasan kadar tar dan nikotin adalah upaya halus dalam mengurangi daya rusak rokok terhadap kesehatan masyarakat. Upaya halus memang pas untuk diterapkan dalam kondisi sosial masyarakat Indonesia, karena jika pemerintah melakukan upaya keras maka akan ada gerakan penolakan yang begitu massif dari masyarakat. Selain itu, harapan akhir melalui solusi ini adalah mampu mengurangi tingkat kecanduan masyarakat akibat adanya nikotin dan tar dalam rokok. Dengan begitu, kebijakan yang dihasilkan akan lebih komprehensif, yang mana dapat diterapkan oleh pemerintahan hasil suksesi tahun 2014.

B. TELAAH PUSTAKA Kebijakan Publik

(7)

7 pemerintah harus memutuskan desain terhadap permasalahan yang tengah dihadapi (Laswell dalam Badjuri dan Yuwono, 2005).

Pemerintah berupaya membuat kebijakan publik dalam rangka merespon isu- isu yang ada di masyarakat. Isu- isu tersebut diartikulasikan oleh aktor politik, dan kemudian diagregasikan guna direspon melalui kebijakan. Hal inilah yang memperlihatkan bahwa kebijakan merupakan produk dari proses politik, dimana banyak aktor terlibat didalamnya. Hal ini bertujuan agar kebijakan lebih komprehensif dan akuntabel.

Perlu diingat bahwa proses pembuatan kebijakan tidaklah sesederhana itu. Badjuri dan Juwono (2005) memaparkan bahwa siklus kebijakan dimulai dari identifikasi isu, kemudian terus berproses melalui agenda kebijakan, analisis kebijakan, pengambilan keputusan, implementasi, evaluasi dampak kebijakan, dilanjutkan dengan umpan balik kebijakan, dan seterusnya sehingga terbentuklah sebuah proses yang tidak berhenti.

Berdasarkan pemaparan di atas, terlihat bahwa kebijakan public merupakan upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam menyelesaikan masalah. Jika dianalisa secara mendalam, terdapat kekurangan dan kelebihdan dalam setiap kebijakan. Untuk itu, menjadi penting adanya analisa kebijakan untuk memberikan input bagi kebijakan selanjutnya. Setidaknya ada dua perspektif dalam analisis kebijakan yaitu pertama, perspektif yang dibangun dengan premis objektifitas dan kedua, perspektif yang dibangun di atas prinsip intersubjektifitas analisis (Santoso 2010, h. 8). Perspektif pertama telah berkontribusi dalam berkembangnya analisis terhadap kebijakan (analysis of policy), sedangkan perspektif kedua telah berkontribusi dalam berkembangnya analisis untuk kebijakan (analysis for policy) (Santoso 2010, h. 9). Pada tulisan ini, penulis akan menerapkan analisis untuk kebijakan, yang ditujukan untuk memproduksi suatu produk yang secara spesifik menjadi bagian dari proses kebijakan tertentu (Santoso 2010, h. 30). Secara lebih spesifik, penulis akan menggunakan model mixed scanning dalam menganalisa, dimana akan berusaha memadukan dimensi teknis-administratif dan politis. Disinilah kebijakan dilihat sebagai proses untuk mengakomodir berbagai kepentingan, yang berujung pada alternatif yang dianggap rasional dan efektif.

(8)

8 Indonesia merupakan sebuah Negara dunia ketiga yang sedang mengalami dinamika dari waktu ke waktu. Pemerintah pun senantiasa berbenah untuk menghasilkan kebijakan yang mampu mensejahterakan rakyat. Namun hingga bulan Maret 2013, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 28,55 juta orang (11,37 persen) dari total penduduk (Data BPS, 2013). Berbicara soal kemiskinan, hal ini tidak dapat dilepaskan dari berbagai komoditas yang mendominasinya. Sebagaimana data BPS (2013) menunjukkan bahwa rokok merupakan komoditas kedua yang berpengaruh setelah beras. Pada September 2013, misalnya, kontribusi rokok terhadap GK mencapai 10,08 persen di perkotaan dan 8,31 persen di pedesaan (Kadir, 2014). Dari hal ini, terlihat bahwa para penduduk miskin rela mengeluarkan pendapatannya untuk membeli rokok daripada komoditas lainnya seperti telur dan gula pasir. Hal ini menunjukkan bahwa rokok membuat masyarakat merasakan efek ketergantungan, sehingga mengorbankan pendapatannya untuk kepuasan sesaat.

Melihat fenomena rokok dan ketergantungan yang tercipta, pemerintah telah melakukan intervensi terhadap keberadaan produk ini melalui PP No 109 tahun 2012. Berikut adalah substansi dari peraturan tersebut :

1. PP Tembakau ini mengatur produksi& impor, peredaran, perlindungan khusus bagi anak dan perempuan hamil, dan Kawasan Tanpa Rokok.

2. Pelarangan untuk menggunakan nama merek dagang dan logo produk termasuk brand image, serta tidak bertujuan untuk promosi, dan dilarang untuk kegiatan yang diliput media. Produsen dilarang mencantumkan kata- kata promotif seperti “light”, “mild”,”slim”,”low tar” dan sebagainya. Tidak hanya itu, produsen dilarang mengemas kurang dr 20 batang dalam setiap kemasan. Hal ini dilakukan untuk meningkatkan harga jual setiap bungkusnya.

(9)

9 4. Terkait dengan desain kemasan, diatur bahwa produsen harus menyertakan gambar pada bagian atas (depan & belakang) kemasan dengan luas 40%. Tidak lupa harus diawali dengan kata "Peringatan” dengan huruf warna putih & dasar hitam.

Terlihat dalam regulasi tersebut pemerintah telah mengatur hal detail mengenai produk tembakau. Ini menunjukkan adanya intervensi yang besar terhadap industry rokok di Indonesia. Intervensi besar juga tidak hanya terjadi di Indonesia akan tetapi dinegara lain seperti di India dan Thailand (Susanto & Julianto 2013). Pada tahun 2008, India telah melarang adanya iklan di media massa, media luar ruang, ataupun menjadi sponsor olahraga dan pergelaran musik. Di samping itu, mereka juga mengatur pencantuman gambar efek negative rokok, serta melarang penggunaan kalimat ‘light’. ‘low tar’ dan sebagainya.

Sedangkan di Thailand, terdapat dua regulasi yang berperan dominan dalam menurunkan prevalensi rokok dari 70 % pada tahun 1995 menjadi 49 % di tahun 2013. Pada UU Pengendalian Produk Tembakau, telah diatur mengenai pengemasan, pelabelan, promosi, periklanan, dan sponsorship produk tembakau. Pengaturan mengenai peringatan kesehatan berupa teks dan gambar di kemasan rokok telah diaturnya sejak Maret 2005. Thailand juga melarang hampir semua iklan dan promosi tembakau. Sedangkan melalui UU Perlindungan Kesehatan bagi Nonperokok, pemerintah telah melarang semua kegiatan merokok di tempat publik, tempat kerja, dan transportasi publik. Tidak hanya itu, harga rokok di Thailand cukup mahal, sekitar Rp 50.000 per pak, disebabkan oleh cukai rokok yang dinaikkan bertahap dari 55 persen (1992) hingga 85 persen (2009) (Susanto & Julianto 2013).

C. METODE

(10)

10 kebijakan. Keseluruhan paparan tersebut akan diakhiri dengan rekomendasi yang diberikan penulis.

Penulis menggunakan dua sumber data dalam penulisan karya tulis ilmiah ini, yakni sumber primer dan sekunder. Sumber primer dilakukan dengan melakukan wawancara secara mendalam, sedangkan sumber data sekunder diperoleh dari sumber kedua atau data yang telah diolah oleh pihak lain. Dalam hal ini diperoleh melalui berbagai literatur, majalah, dan hasil penelitian pihak lain.

Pada karya ini, penulis menggunakan teknik analisa kualitatif. Proses analisa ini dimulai dengan mengumpulkan seluruh data yang diperoleh, kemudian menelaah data yang bersumber baik dari wawancara maupun dokumen-dokumen yang telah didapatkan. Setelah data tersebut dibaca, dipelajari dan ditelaah selanjutnya data tersebut direduksi menjadi rangkuman- rangkuman penting (inti).

Penulis kemudian melakukan penafsiran data, dengan memiliki standing position yang telah ditetapkan sejak awal proses. Penulis melihat kebijakan berdasarkan sebuah keyakinan bahwa kesehatan merupakan aspek utama yang harus diperjuangkan. Penulis mengakui bahwa penulis menganut nonpositivisme, yang mana realitas merupakan bagian dari kehidupannya. Masih ada aspek- aspek yang terabaikan oleh negara dalam mewujudkan Indonesia yang benar- benar sehat, salah satunya adalah tidak diaturnya kadungan nikotin dan tar dalam produk tembakau. Pada titik inilah kebijakan dinilai memiliki celah yang justru dapat membuat rokok semakin menjamur di Indonesia.

(11)

11 D. PP No 109 tahun 2012 : Celah Meningkatnya Ketergantungan Produk

Tembakau

Tembakau merupakan sebuah tanaman yang menjadi bahan baku utama rokok. Memang sekilas nampaknya tidak menjadi sebuah permasalahan serius. Akan tetapi setelah dilakukan kajian yang mendalam, diketahui bahwa rokok memiliki dampak yang begitu serius bagi masyarat baik bagi perokok aktif maupun pasif. Apalagi Indonesia menduduki peringkat ke-3 dengan jumlah perokok terbesar di dunia setelah Cina dan India. Berdasarkan data tahun 2010 menunjukkan bahwa prevalensi perokok saat ini mencapai 34,7%.

Banyaknya para perokok di Indonesia bukanlah merupakan isapan jempol semata, yakni 70% dari total penduduk atau 141,44 juta orang (Depkes, 2006) . Hal ini jelas memberikan dampak yang negatif terhadap masyarakat, dimana 76,6% dari mereka merokok di dalam rumah bersama anggota keluarga (Depkes, 2010). Realitas ini menunjukkan bahwa para perokok akan berpotensi untuk menyebarkan berbagai macam penyakit kepada keluarganya akibat asap rokok. Setidaknya ada beberapa fakta yang mendasarinya salah satunya adalah ancaman kesehatan yang akan terganggu. Perokok berpotensi untuk terkena berbagai macam penyakit seperti kanker paru-paru, gangguan pernafasan akut, jantung, stroke, melemahnya fungsi otak pada anak, sulit konsentrasi bahkan bisa menimbulkan gejala kematian mendadak pada bayi yang lebih dikenal dengan sebutan sudden infant death syndrome (SIDS) (detail ini dapat dilihat di doktersehat.com, 2013). Hal ini terbukti pula dimana data menunjukkan bahwa pada tahun 2008 terdapat lebih 5 juta orang yang meninggal akibat penyakit yang disebabkan rokok, atau setiap 1 menit terdapat 9 orang yang meninggal akibat racun pada rokok (Prasetya 2010, h. 4). Ini merupakan rangkaian fakta yang menunjukkan bahwa pencegahan rokok menjadi hal yang utama untuk diagendakan.

(12)

12 memiliki kemajuan yang signifikan daripada sebelumnya. Kesemua itu dilakukan untuk menekan konsumsi rokok, sehingga dampak negatif rokok dapat terbendung.

Meskipun kebijakan tersebut terlihat detail dan sangat komprehensif, akan tetapi terdapat sebuah aspek yang telah terabaikan jika dibandingkan dengan sebelumnya. Aspek tersebut menyangkut kadungan tar dan nikotin yang notabene belum diatur dalam kebijakan tersebut. Jika kita mau menilik kebijakan jauh sebelumnya yang diatur dalam PP No 81 tahun 1999 yang notabene lahir atas adanya UU no 23 tahun 1992. Pada pasal 4 (1) disebutkan bahwa “Kadar kandungan nikotin dan tar pada batang rokok yang beredar di wilayah Indonesia tidak boleh melebihi kadar kandungan nikotin 1,5 mg dan kadar kandungan tar 20 mg”. Hal ini merupakan hal yang sangat disayangkan karena justru mengurangi hal yang telah diatur sebelumnya dengan baik.

Melihat adanya realitas yang sangat disayangkan dalam kebijakan pengamanan produk tembakau, saya selaku seorang nonpositifis yang menganut pentingnya kesehatan, menilai bahwa kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah haruslah selayaknya diperbaharui demi mewujudkan tatanan yang ideal yaitu dengan mengatur kadar nikotin dan tar dalam produk tembakau. Aspek mengenai pemabatasan kadar tar dan nikotin memang perlu untuk segera diatur karena tar dan nikotin adalah sumber ketergantungan akan produk tembakau. Disamping itu, terdapat ada beberapa pertimbangan dari arus politik, arus kebijakan, dan arus masalah.

Isu mengenai pembatasan kadar nikotin dan tar memang pernah diatur oleh pemerintah pada tahun 1999. Akan tetapi paska direvisinya UU No 23 tahun 1992 menjadi UU No 36 tahun 2009, pemerintah terkesan setengah hati dalam melakukan perlindungan terhadap produk tembakau. Pada segi arus politik, saya mengamati bahwa isu pembatasan nikotin dan tar memang sengaja disetting untuk tidak menjadi prioritas pemerintah, mengingat terdengar berita bahwa terdapat indikasi penghapusan pasal nikotin sebagai zat adiktif dalam UU No 36 tahun 2009. Ternyata hal ini berlanjut pada kebijakan selanjutnya yang tertuang dalam PP No 109 tahun 2012. Pada PP tersebut belum ada aturan mengenai pembatasan kadar tar dan nikotin, padahal pada PP sebelumnya (PP No 81 tahun 1999) sudah dilakukan pembatasan.

(13)

13 organisasi politik, swasta dalam hal ini perusahaan rokok memiliki power yang begitu kuat. Produk mereka memiliki andil yang cukup besar dalam keuangan negara. Di samping itu, mereka juga memiliki pengaruh besar terhadap mata pencaharian para buruh dan petani. Namun pemerintah selaku pemegang otoritas tertinggi seakan- akan lemah dihadapan para aktor kebijakan tersebut. Saya melihat bahwa pemerintah sangatlah pragmatis untuk ‘melindungi’ pasar yang berperan signifikan. Upaya ini juga dilakukan untuk menjaga geliat para buruh, yang memiliki potensi gerakan yang luar biasa untuk mengganggu kestabilan politik negara. Berikut adalah beberapa hal yang dapat menjelaskan realitas ini.

Pertama, pemerintah menilai bahwa ketika zat pencandu nikotin dan tar diatur dengan jelas, maka hal ini menjadi bumerang bagi eksistensi industri rokok. Untuk itu, pemerintah sengaja tidak mengaturnya karena untuk menjaga eksistensi rokok yang sangat kontributif pada sumber keuangan negara. Data menunjukkan bahwa mulai dari tahun 1997 hasil cukai rokok tercatat sebesar Rp 4,792 triliun sampai dengan tahun 2007 dengan mencapai angka Rp 42 triliun (Departemen Keuangan, RAPBN 2008). Realitas ini menunjukkan bahwa peningkatan penerimaan cukai selama satu dasawarsa sangat luar biasa melebihi dari 5 kali lipat yang dihasilkan oleh industri rokok (Departemen Keuanga, RAPBN 2008). Di samping itu, data terbaru menunjukkan bahwa penerimaan cukai rokok pada tahun 2011 adalah Rp 73,3 triliun, dan pada tahun 2012 telah naik menjadi Rp. 90,5 triliun (Almawadi, Issa 2013). Dengan melihat peningkatan pendapatan akibat cukai rokok tersebut, tidak ayal jika pemerintah memang dengan sengaja ‘menjaga’ keradaan rokok yang notabene memberikan sumbangan yang begitu signifikan pada pemasukan negara.

Kedua, pemerintah juga memang dengan sengaja tidak mengatur mengenai kandungan tar dan nikotin karena melihat banyaknya petani tembakau dan para buruh yang menggantungkan hidupnya pada rokok. Ketika tar dan nikotin tidak diatur, maka industri rokok dapat leluasa memproduksi rokoknya tanpa takut akan dikenai sanksi. Di sinilah masyarakat dimungkinkan akan tetap mengalami kecanduan akibat kandungan tersebut. Dengan demikian, kehidupan para pekerja dan petani tidak akan terganggu lagi.

(14)

14 yang notabene tergambar pada kebijakan sebelumnya. Ini merupakan upaya untuk pembentukan konsensus berbagai aktor, sekaligus menunjukkan bahwa pemerintah tidak memiliki kebakuan sikap politik yang jelas.

Untuk itu, pemerintah sudah seharusnya segera mengagendakan isu mengenai pembatasan tar dan nikotin dalam kebijakan tersebut. Menurut saya, hal ini merupakan akar dari ketergantungan akan rokok. Tar mengandung kurang lebih empat puluh tiga bahan yang menjadi penyebab kanker, sedangkan nikotin merupakan zat adiktif yang menyebabkan ketagihan. Pengaturan mengenai iklan dan desain kemasan tidaklah cukup untuk mengurangi konsumsi rokok, karena pada dasarnya akar pemicu kanker dan ketergantungan adalah tar dan nikotin. Secara ril, pemerintah harus memiliki kebakuan sikap dengan cara memaktubkan batasan tar dan nikotin dalam produk hukum. Kandungan tar yang semakin rendah dapat menurunkan resiko kanker bagi penikmatnya (detail ini dapat dilihat di blog.ub.ac.id, 2013). Sedangkan jika kandungan nikotin dibatasi, maka tingkat kecanduan masyarakat akibat rokok akan berkurang. Hal ini sudah diteliti oleh ilmuwan dari UCSF dan San Francisco General Hospital Medical Center, yang mana menunjukkan bahwa jika kadar nikotin dalam rokok rendah maka tingkat kecanduan dapat dihindari. Pada penelitian tersebut, para perokok dapat mengurangi atau malah mengakhirinya (detail ini dapat dilihat di id.prmob.net,2013). Dengan begitu masyarakat lama- kelamaan akan terbebas dari belenggu rokok. Solusi ini merupakan hal memang tepat karena meskipun iklan dan desain rokok diatur, tetapi kadar tar dan nikotin justru bebas maka ini akan menimbulkan efek yang lebih berat. Kadar yang tidak dibatasi, akan memberi pintu lebar bagi perusahaan untuk mengatur kadar dengan bebas sehingga dapat memberikan efek kecanduan yang lebih besar pula.

(15)

15 Kandungan tar dan nikotin merupakan hal yang harus segera diatur kadarnya, dan kemudian ditambahkan pada kebijakan yang telah berlaku. Kedua zat ini dapat mengakibatkan berbagai penyakit antara lain kanker, penyakit jantung, impotensi, penyakit darah, enfisema, bronkitis kronik, dan gangguan kehamilan (Badan POM, 2013). Data menyebutkan bahwa 25% dari para pengidap penyakit jantung disebabkan oleh kegiatan merokok (Priyatna, Andi 2012). Tidak hanya itu banyaknya penderita penyakit akibat rokok berimplikasi pada tersedotnya anggaran publik yang dialokasikan untuk jamkesmas. Data menunjukkan bahwa sebanyak Rp. 2,11 triliun dari total Rp. 7,4 triliun dana jamkesemas telah dihabiskan untuk pembiayaan pengobatan penyakit akibat rokok (Unoviana 2012). Realitas ini merupakan wujud dari pemborosan anggaran publik. Dana yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk kesehatan umum justru dimanfaatkan untuk mengobati penyakit akibat kesalahan pribadi para perokok. Untuk itu pemerintah memang sudah seharusnya mengatur mengenai pembatasan tar dan nikotin mengingat dampaknya pada sektor kesehatan dan dana kesehatan masyarakat begitu luar biasa.

Berbagai uraian di atas menunjukkan bahwa aspek pengaturan kadar tar dan nikotin memang harus diprioritaskan untuk ditelurkan dalam kebijakan. Memang tar dan nikotin sepintas terlihat hal yang kecil. Akan tetapi jika diamati lebih jauh hal ini justru merupakan akar dari tingginya ketergantungan akan rokok. Untuk itu, pada bagian selanjutnya saya ingin memaparkan mengenai langkah- langkah yang harus dilakukan dalam merespon permasalahan tersebut.

(16)

16 analisa SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat). Hal ini akan bemanfaat dalam menganalisa dan mencari informasi (Santoso 2004, h. 85), sehingga mampu menunjukkan bahwa pembatasan tar dan nikotin merupakan hal yang terbaik dan harus ditambahkan pada kebijakan tersebut.

Isu mengenai pembatasan tar dan nikotin merupakan hal yang sangat sensitif. Sebagaimana yang saya paparkan sebelumnya pemerintah memang tidak mau mengotak atik hal ini karena akan secara langsung mengancam eksistensi rokok. Ada berbagai kejadian yang terlihat ‘sengaja’ dilakukan, salah satunya adalah penghapusan pasal nikotin sebagai zat adiktif dalam UU No 36 tahun 2009. Namun jika diamati sebelumnya ketika masa pemerintahan B. J Habibie dimana diberlakukannya UU No 23 tahun 1992, secara riil pemerintah mengeluarkan PP No 81 tahun 1999 yang secara tegas mengatur mengenai kadar tar dan nikotin. Akan tetapi, hal ini justru tidak diatur pada kebijakan yang terbaru. Ketika ketergantungan masyarakat akan rokok tinggi maka pemerintah seharusnya semakin memperketat kadar tar dan nikotin. Pada kebijakan sebelumnya, kadungan nikotin maksimal adalah 1,5 mg, sedangkan untuk tar adalah 20 mg. Untuk itu, pemerintah seharusnya semakin membatasinya, misalkan dengan mengatur kadar nikotin maksimal 0,5 mg dan untuk tar adalah 5 mg. Penetapan batas maksimal ini harus berdasarkan uji tar dan nikotin.

Di sisi lain, dapat dilakukan analisa latar belakang pentingnya pembatasan kadar tar dan nikotin dari dua segi internal dan ekternal.Dari segi internal, terdapat dua aspek yang penting yaitu adanya kekuatan dan kelemahan pembatasan kadar tar dan nikotin. Kekuatan dari solusi tersebut adalah pertama, dapat mengurangi tingkat kecanduan rokok masyarakat. Sebagaimana kita tahu bahwa semakin tinggi kadar tar dan nikotin maka tingkat kecanduan rokok dan ancaman kesehatan juga akan semakin meningkat. Kedua, pembatasan tar dan nikotin dapat menekan impor rokok dari negara lain. Sebagaimana kita tahu bahwa mayoritas rokok dari luar negeri berkadar tar 14 mg, dan nikotin 1 mg. Kandungan tar dan nikotin yang tinggi dalam rokok luar berpotensi untuk menimbulkan kecanduan bagi masyarakat, dan mengancam kesehatan lebih jauh. Dengan dibelakukannya kadar tar dan nikotin maksimal akan secara langsung membendung masuknya rokok dari luar negeri, sehingga rokok luar yang ‘berbahaya’ akan semakin dapat ditekan peredarannya di Indonesia.

(17)

17 yang awalnya mengandung kadar tar dan nikotin yang dibawah standar untuk meningkatkan tar dan nikotin agar maksimal. Di sinilah akan terdapat kelemahan tersendiri yang akan datang dari perusahaan. Untuk itu diperlukan adanya pasal penjelas, yang memaparkan bahwa pabrik rokok yang sudah memiliki kadar tar dan nikotin dibawah standar dilarang untuk meningkatkan kadar tersebut.

Sedangkan dari segi eksternal dapat diamati dua aspek yang harus diperhatikan yaitu adanya peluang dan ancaman. Dari segi peluang dapat dilihat adanya point utama. Pertama dengan melakukan pembatasan tar dan nikotin, dampak positifnya adalah dapat mengurangi tingkat ketergantungan dan mengurangi resiko bahaya efek rokok di kalangan masyarakat. Para perokok berat mayoritas sudah mantap dengan satu merk rokok dengan kandungan tar dan nikotin tertentu. Ketika rokok merk tersebut dikurangi kandungan tar dan nikotinnya, biasanya para perokok akan merasakan pahit ketika menghisap batang rokok (Aang 2013, komunikasi personal 23 Juni). Hal inilah yang bisa membuat para perokok kapok untuk mengkonsumsi karena rokok tersebut sudah tidak sesuai harapan. Jika mereka ingin beralih, maka mereka dimungkinkan akan beralih pada rokok yang kandungan tar dan nikotinnya jauh lebih rendah atau justru berhenti sama sekali. Dengan demikian tingkat kecanduan dan ancaman kesehatan akibat rokok dapat diminimalisir, sehingga kualitas hidup akan lebih baik. Kedua, pembatasan tar dan nikotin dapat memberikan kenyamanan bagi orang yang tidak merokok. Sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya bahwa pembatasan dapat mengurangi konsumsi rokok. Alhasil hal ini akan berkontribusi pada banyaknya orang yang akan berhenti merokok. Inilah yang akan membuat kenyamanan bagi masyarakat luas karena terbebas dari asap, sehingga ancaman gangguan kesehatan bagi perokok pasif akan semakin rendah.

(18)

18 industri rokok bisa saja berpeluang pada semakin berkurangnya kegiatan yang disponsori oleh rokok, seperti turnamen bulutangkis serta beasiswa pendidikan. Sedangkan bagi perusahaan rokok yang masih kecil, hal ini dapat mengakibatkan banyaknya industri dan pengusaha rokok akan gulung tikar karena masyarakat memiliki ketergantungan yang kecil atas rokok. Kedua, minimnya konsumsi rokok atas pembatasan tar dan nikotin membuat perusahaan berfikir ulang untuk mempekerjakan buruh pabrik dalam jumlah banyak. Inilah yang membuat banyak perusahaan berpotensi untuk mengurangi jumlah pekerja, sehingga akan tercipta pengangguran dalam jumlah yang besar. Di sisi lain, petani selaku produsen tembakau juga akan merasa kehilangan pembeli tembakau hasil panenannya, dan lama kelamaan akan gulung tikar. Di sinilah dikhawatirkan akan memicu terjadinya demo dan aksi protes dari kalangan buruh dan petani karena pekerjaan mereka terancam.

Berdasarkan analisa SWOT yang telah dilakukan, memang terlihat bahwa pembatasan kadar tar dan nikotin memang sebuah hal yang memberikan ancaman yang bagitu terasa baik dampaknya pada keuangan negara maupun sektor pekerjaan. Namun saya meyakini bahwa hal ini dapat disiasati untuk menutup atau meminimalisir ancaman ini. Untuk itu diperlukan adanya startegi implementasi yang tepat agar solusi ini aplikatif dan mampu menjawab problematika yang membelenggu Indonesia. Pada bagian selanjutnya, akan dipaparkan mengenai implementasi yang ditawarkan agar impact yang muncul dapat sesuai dengan harapan.

F. Pembentukan Tim Gabungan dalam Pengecekan Kadar : Sebuah Tawaran Implementasi Kebijakan Melalui Instrumen State Auxiliary Agencies

(19)

19 Pembatasan kadar tar dan nikotin merupakan upaya yang dilakukan secara soft untuk melakukan pengendalian. Pemerintah bisa saja melakukan cara yang lebih radikal, yaitu dengan menutup pabrik rokok. Akan tetapi cara radikal tersebut dapat menuai protes yang besar dari kalangan buruh dan masyarakat pro rokok. Mereka bisa melakukan gerakan dan perlawanan kepada pemerintah. Untuk itu, selain adanya peraturan hal detail kemasan, iklan dan kawasan tanpa rokok, pemerintah harus melakukan intervensi lebih lanjut.

Pembatasan tar dan nikotin adalah hal yang harus diprioritaskan. Namun kita tidak bisa menutup mata bahwa terdapat aktor lain yang memiliki kepentingan terhadap kebijakan ini. Untuk itu diperlukan strategi implementasi yang taktis agar program ini dapat diterapkan dengan baik. Setidaknya jika dilakukan pemetaan, ada aktor- aktor yang bermain di dalamnya yaitu perusahaan rokok, aktivis antirokok, dan pemerintah. Jika dilakukan elaborasi, kepentingan antara aktivis anti rokok dengan perusahaan rokok sangat bertentangan. Jika pembatasan tar dan nikotin dilakukan, perusahaan rokok selaku aktor yang dirugikan jelas akan melakukan upaya untuk menggagalkan implementasi program tersebut. Namun ada hal yang lebih dikhawatirkan, yaitu perusahaan tidak melakukan perlawanan, akan tetapi mereka justru berkecenderungan untuk melakukan penyelewengan. Kadar tar dan nikotin memang hanya tercantum dalam kemasan rokok, namun perhitungan kadar tersebut sejauh ini dilakukan oleh perusahaan. Untuk itu, pemerintah harus melihat adanya kepentingan- kepentingan yang bermain dalam kebijakan ini agar kelak dapat berjalan.

(20)

20 Melihat dampaknya yang begitu luar biasa, untuk itu diperlukan adanya upaya pencegahan yang dilakukan. Memang, pengambilan keputusan mengenai pembatasan tar dan nikotin memang terletak pada pemerintah, dalam hal ini kementrian kesehatan. Dalam pengambilan keputusan ini, kemenkes sebaiknya terlebih dahulu menggalang dukungan dari masyarakat luas baik yang mendukung maupun tidak mendukung. Kemenkes harus melakukan upaya penyadaran pada berbagai pihak agar kebijakan ini tidak gagal. Hal penting yang harus disadari pula bahwa akan ada tawar menawar dalam pemberlakukan regulasi. Jika kemenkes tidak mempunyai strategi pengelolaan konflik yang tepat, timbulnya konflik akan menjadi hal yang harus diwaspadai. Masyarakat awam seringkali tidak menyadari pentingnya aspek kesehatan, dan terkadang tidak mau tahu. Para buruh hanya menginginkan mendapatkan lapangan perkerjaan tepat, sedangkan petani tembakau hanya menginginkan hidup dengan layak. Mereka terkadang tidak mau tahu dampak apa yang akan ditimbulkan atas produk mereka. Mereka seringkali mengorganisir masa dan melakukan tindak anarki agar kebijakan bisa digagalkan. Untuk itu, pemerintah juga harus memikirkan solusi jitu agar konflik tidak akan terjadi.

Di samping adanya potensi konflik yang terjadi, harus diakui pula bahwa keberhasilan implementasi kebijakan juga dipengaruhi oleh implementor kebijakan. Guna menghasilkan implementasi yang sesuai dengan harapan, para implemetor adalah orang- orang yang memiliki kompetensi dan idealisme yang tinggi agar tidak mudah melakukan penyelewengan. Secara konkret, hal yang harus dilakukan pemerintah agar implementasi pembatasan tar dan nikotin berjalan dengan baik adalah membentuk badan atau tim yang bertugas untuk melakukan pengukuran kadar tar dan nikotin terhadap rokok lokal maupun luar. Dengan adanya hal ini, akan ada alat ukur standar yang berlaku sehingga validitasnya dapat terjaga. Secara konkret badan ini berhak untuk mengeluarkan ijin beredarnya suatu produk tembakau. Terkait dengan detailing mengenai tim implementor ini akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.

(21)

21 State Auxiliary Agencies dalam Implementasi Kebijakan

Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, pembatasan tar dan nikotin adalah sebuah program yang perlu ditambahkan dalam kebijakan perlindungan produk tembakau. Hal yang tidak kalah penting untuk dipikirkan adalah siapakah sosok implementor program yang tepat. Tim implementor ini sebaiknya berupa state auxiliary agencies, yang berperan untuk memabantu lembaga eksekutif untuk menyelesaikan permasalahan publik. Contoh SAI yang sudah ada di Indonesia adalah KPK, KPU, Komnas HAM, dan sebagainya. Misalnya, pembentukan KPK melalui UU No. 30/2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebabkan karena lembaga pemerintah yang ada baik kejaksaan maupun kepolisian belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam menangani korupsi. Hal ini bisa diberlakukan pula pada konteks ini. Alas an yang mendasarinya adalah karena upaya untuk menurunkan tingkat kecanduan rokok memerlukan pendekatan dari berbagai sisi, baik sisi iklan dan desain kemasan, kawasan tanpa rokok, dan tambahan mengenai kadar. Cakupan yang luas dan kompleks inilah yang membuat lembaga ini prioritas untuk dibentuk. Berikut adalah penjelasan detail mengenai lembaga ini :

1. Komposisi anggota tim

Lembaga/ Tim ini harus beranggotakan dari berbagai kalangan masyarakat, yang terdiri dari perwakilan dari kalangan industri, aktifis antirokok, kalangan ilmuwan, dan juga staf pemerintah. Dengan adanya tim implementor yang terdiri dari berbagai kalangan akan terjadi pengawasan secara bersama sehingga tim tersebut senantiasa objektif. Objektifitas inilah yang harus dijaga karena kadar tar rawan diselewengkan karena hanya berbentuk tulisan pada kemasan rokok. Di samping itu, adanya perwakilan setiap kalangan dalam tim justru dapat dimanfaatkan pemerintah untuk mengendalikan konflik yang berada di luar. Misalkan, perwakilan petani dalam tim tersebut adalah elit yang memiliki legitimasi dalam asosiasi petani. Ketika terjadi protes oleh para petani, maka elit inilah yang bertugas memberikan penjelasan. Dengan bagitu, konflik dalam masyarakat dapat secara langsung termanajemen. Akan tetapi, alangkah lebih baiknya jika pemerintah membentuk badan yang bertugas mengawasi setiap proses yang dilakukan. Dengan adanya pengawasan ini, maka implementasi pembatasan tar dan nikotin akan bisa berjalan lebih baik.

(22)

22 Tim ini berbentuk state auxiliary agencies, yang dibekali dengan kewenangan yang perlu diatur lebih lanjut. Setidaknya kewenangan mendasar yang perlu dimiliki tim ini adala kewenangan untuk melakukan pengujian produk, mengawasi dan menindak setiap pelanggaran. Jika kewenangan hanya sebatas pada kewenangan memberi rekomendasi, dikhawatirkan kasus demi kasus tidak direspon oleh pemerintah. Hal ini bisa jadi karena pemerintan ingin ‘melindungi’ pasar yang berkontribusi dalam meningkatkan APBN.

Selain memiliki kewenangan yang besar, komite ini juga harus memiliki pola pertanggungjawaban yang jelas. Komite ini sebaiknya diatur secara sentralistis, dan memiliki perwakilan di setiap daerah di Indonesia. Kesemua ini dilakukan agar pengawasan dapat terjadi secara efektif dan efisien. Sedangkan terkait pola pertanggungjawaban, komite ini harus bertanggungjawab langsung kepada Presiden.

3. Instrumentasi dan Anggaran

Secara lebih jauh, hal yang perlu dipikirkan adalah instrumentasi yang digunakan dalam pelaksanaannya. Tidak hanya itu, pendekatan implementasi yang digunakan haruslah secara top down karena terdapat detail- detail yang harus dipenuhi oleh implementor. Tim penguji kadar merupakan tim yang dibuat oleh pemerintah harus dibekali dengan alat- alat, detail kadar maksimal, serta cara- cara melakukan pengujian. Detail ini telah ditetapkan oleh pemerintah, agar kesemua hal itu berlaku secara umum. Di samping itu, proses tersebut juga menggunakan pendekatan prosedural dimana implementasi kebijakan haruslah sesuai dengan proses dan prosedur yang tepat.

Seperti organisasi lainnya, Komisi yang akan dibentuk ini membutuhkan dukungan dana bagi pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Untuk itu pemerintah perlu mengalokasikan sebagian dana bagi operasionalisasi tim ini. Dana ini dapat berasal dari berbagai sumber, salah satunya dari hasil menaikkan cukai rokok. Ini merupakan salah satu solusi tambahan selain melakukan pembatasan tar dan nikotin. Cukai rokok perlu dinaikkan agar harga pasar akan naik. Ketika harga pasar naik, harapannya keinginan masyarakat untuk mengkonsumsi rokok juga berkurang seperti yang terjadi di Thailand.

(23)

23 Untuk melaksanakan tujuan kebijakan, hal yang harus dilakukan adalah mengkontekstualisasikan tujuan kebijakan dengan kondisi setempat dimana kebijakan ini akan diimplementasikan. Agar tujuan dapat tercapai pemerintah harus mengkontekstualisasikan dengan pihak pengusaha dan juga masyarakat. Terkait kontekstualisasi tujuan dengan para pengusaha, pemerintah harus memaparkan produk hukum dan sanksi yang tegas. Pada momen ini pemerintah seharusnya memberikan penjelasan yang logis mengapa pembatasan tar dan nikotin harus dilakukan. Di samping itu pemerintah juga memaparkan adanya sanksi yang tegas apabila ada perusahaan yang melanggarnya. Dengan adanya hal ini, maka perusahaan menjadi enggan untuk melakukan penyelewengan kadar.

Meskipun pembatasan tar dan nikotin hanya dilakukan terhadap perusahaan, akan tetapi pemerintah juga harus melakukan kontektualisasi tujuan dengan para petani dan buruh. Hal ini dikarenakan mereka akan terkena dampaknya meskipun secara tidak langsung, yaitu terkait dengan penghidupan mereka. Untuk itu, pemerintah juga harus melakukan pendekatan dan memberikan penjelasan mengenai tujuan kebijakan yaitu agar terbebas dari kecanduan akibat rokok. Konteks yang memang terdapat di kalangan petani dan buruh adalah mereka tidak ingin kehilangan sumber penghidupan mereka. Untuk mengurangi adanya pengangguran atas tutupnya pabrik rokok, pemerintah dapat mensiasatinya dengan membuka lapangan pekerjaan padat karya yang mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang banyak. Lapangan kerja ini dapat berupa pendayagunaan ladang atau perkebunan milik pemerintah, optimalisasi garmen dan sebagainya. Selain itu, para petani tembakau juga secara perlahan diberikan pengarahan untuk menanam tanaman pengganti tembakau. Meski menarik perhatian para petani bukan merupakan hal yang mudah, pemerintah bisa memberikan edukasi cara penanaman, bibit gratis bagi petani, serta subsidi pupuk bagi petani. Dengan demikian para buruh dan petani tidak lagi mengalami gejolak karena pemerintah sudah mempersiapkan alternatif lapangan pekerjaan yang dapat dimanfaatkan.

(24)

24 langsung dapat menutup kekurangan tersebut. Akan tetapi jika dilakukan terus menerus, mekanisme ini justru akan menyuntikkan semangat perekonomian dalam negeri untuk bangkit dan mewujudkan swasembada. Untuk itu, pembatasan tar dan nikotin memang sudah harus segera dilakukan. Hal ini merupakan mekanisme dasar yang harus dilakukan serta diimbangi dengan pengetatan iklan dan desain produk agar mewujudkan Indonesia bebas dari rokok.

Sedangkan terkait dengan masyarakat awam, hal yang dilakukan justu lebih mudah. Jika diamati, masyarakat di Indonesia masih memiliki budaya merokok yang masih kuat karena kesadaran dan tingkat pengetahuan yang rendah. Mungkin saja masyarakat akan melakukan protes karen produk rokok sudah tidak sesuai dengan harapan. Untuk itu diperlukan adanya penyadaran sejak dini kepada masyarakat. Tim yang bertugas melakukan uji kadar juga diberikan amanah untuk melakukan sosialisasi kepada masyarakat awam. Sosialisasi ini dilakukan dengan membentuk tim kecil yang tersebar di seluruh provinsi dan kabupaten. Ketika ingin mewujudkan Indonesia bebas dari rokok, memang diperlukan usaha yang keras. Tim yang tersebar di berbagai wilayah tersebut kemudian melakukan koordinasi dengan dinas terkait untuk melakukan sosialisasi secara berkala. Sosialisasi ini dapat berupa bahaya rokok, simulasi anti rokok, serta pemberian poster profokatif sehingga dapat meningkatkan semangat masyarakat untuk berhenti merokok.

G. Pengawasan dan Pengawalan Kebijakan: Sebuah Kewajiban

Pada bagian sebelumnya telah dipaparkan mengenai implementasi pembatasan kadar tar dan nikotin. Harus menjadi perhatian bahwa implementasi tidaklah cukup, karena diperlukan adanya monitoring agar penerapan kebijakan sesuai dengan harapan. Namun perlu dicatat pula bahwa monitoring pembatasan kadar tar dan nikotin bukanlah hal yang terpisah dari evaluasinya. Informasi yang didapatkan melalui proses monitoring dapat menjadi data tambahan dalam melihat kinerja dan output kebijakan penerapan tar dan nikotin secara umum.

(25)

25 Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa pembatasan kadar tar dan nikotin secara nyata dilakukan dengan membuat tim yang terdiri dari berbagai pihak. Tim ini bertugas untuk melakukan pengukuran kadar, dan pemberian ijin terhadap produk tembakau. Kesemua itu dilakukan secara top down. Untuk itu dalam monitoring harus dilakukan adalah mmemastikan bahwa formula kebijakan dan desain implementasi diwujudkan secara konkret.

Untuk itu dalam rangka proses monitoring, terdapat poin verivikasi yang perlu diperhatikan. Point verivikasi terdiri dari :

1. Kesesuaian dengan prosedur dengan kinerja tim

Poin ini perlu dilakukan pengawasan karena hal prosedural seringkali dilewatkan. Bisa saja untuk produk tertentu diuji secara berulang kali untuk mencapai data yang valid. Tapi bisa pula produk tidak dilakukan uji atas adanya pesanan dari pihak yang berkepentingan. Untuk itu, diperlukan monitoring untuk menjamin adanya perlakuan sama sesuai dengan prosedur yang tertuang dalam juklak juknis. Secara nyata, pengawasan ini dilakukan oleh berbagai pihak, yaitu kementrian kesehatan selaku instansi yang menaungi, LSM/NGO, serta tim khusus yang bertugas melakukan pengawasan.

2. Inspeksi Lapangan dalam Rangka Pengecekan

Diperlukan upaya untuk mengecek rokok yang beredar apakah sudah sesuai dengan takaran yang dimaksud. Hal ini dikarenakan bisa dimungkinkan bahwa tim melakukan pengukuran pada awal produksi. Namun pada akhir produksi perusahaan melakukan penyelewengan. Untuk itu harus ada sidak di lapangan untuk menilai apakah sudah terlaksana ataukah belum. Pada poin ini peran serta masyarakat juga penting, karena masyarakatlah yang akan bersentuhan langsung dengan produk. Ketika terdapat kejanggalan pada produk, maka masyarakat juga dapat melakukan pelaporan untuk ditindaklanjuti lebih jauh.

3. Pengamatan Terhadap Target

(26)

26 dengan hasil yang telah dicapai oleh tim. Menjadi agak sulit adalah perusahaan lokal yang skalanya masih kecil, karena terkadang banyak yang mendaftarkan diri.

4. Mengamati Respon Publik

Proses ini dilakukan dengan melihat apakah terdapat protes yang dilakukan masyarakat. Sebagaimana kita tahu bahwa pembatasan tar dan nikotin berdampak yang signifikan pada kehidupan sosial. Hal yang bisa diamati adalah apakah ada protes yang signifikan dari direksi perusahaan, gerakan buruh dan petani tembakau. Pada kondisi ini, aspirasi mereka harus diakomodir. Aspirasi mereka terkadang menunjukkan keluputan dari kebijakan yang telah ditetapkan.

Dengan adanya beberapa poin yang dilihat dalam monitoring, dapat diambil beberapa pelajaran menarik sehingga kelak akan alternatif untuk mengubah atau menambahkan aturan mengenai tembakau jika memang aturan yang ada belum mampu mencapai harapan. Data statistik dan aspirasi yang diutarakan oleh para pemilik perusahaan, para buruh, dan petani tembakau dapat menjadi feedback bagi kebijakan selanjutnya untuk mengurangi tingkat kecanduan akibat rokok.

(27)

27 H. Kesimpulan

Rangkaian tulisan di atas dapat membuka mata kita bahwa kebijakan public merupakan hal yang penting untuk dianalisa. Disinilah kepiawaian pemerintah dalam managing public interest dapat dielaborasi mendalam. Pada bidang kesehatan, pemerintah memang terlihat piawai karena mengeluarkan PP No 109 tahun 2012 yang telah sangat detail mengatur mengenai desain, kawasan tanpa rokok, iklan media massa, dan sebagainya. Namun kebijakan ini belum komprehensif untuk mengurangi daya rusak rokok, karena belum mengatur kadar tar dan nikotin. Padahal kadar ini sudah diatur pada kebijakan sebelumnya.

Pembatasan tar dan nikotin adalah hal yang penting karena tar dan nikotin merupakan zat yang menyababkan ketergantungan bagi para perokok. Jika pembatasan tar dan nikotin ditambahkan, penulis merasa kebijakan akan lebih komprehensif dalam menurunkan ketergantungan terhadap rokok. Ketergantungan rokok menjadi akar dari berbagai masalah lainnya. Selain kualitas kesehatan yang menurun, di samping itu anggaran jamkesmas juga banyak yang tersedot untuk pengobatan penyakit akibat rokok.

Pada kondisi terebut, harus dilakukan pembatasan tar dan nikotin seperti pada era sebelumnya. Secara konkret, kebijakan ini dapat direalisasi dengan pembentukan state auxiliary agencies yang memiliki kewenangan untuk mengawasi sekaligus menindak setiap pelanggaran yang terjadi. Selain itu, pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi mengapa hal ini penting dilakukan beserta sanksi yang menyertainya. Kesemua itu harus senantiasa dibarengi dengan proses monitoring, evaluasi, dan mengamati impact yang dihasilkan. Dengan begitu, pemerintah dapat mempertimbangkan alternatif untuk mengubah atau menambahkan aturan mengenai tembakau jika memang aturan yang ada belum mampu mencapai harapan.

(28)

28 DAFTAR REFERENSI

‘Bahaya Merokok Bagi Kesehatan’, 2012, dilihat pada 21 April 2013 <http://doktersehat.com/bahaya-merokok-bagi-kesehatan/#ixzz2R4wHKB9k>

‘Fakta Tentang Rokok MILD , KRETEK dan CERUTU’, 2012, dilihat pada 19 Juni 2013 <http://blog.ub.ac.id/adityascania/2010/02/28/fakta-tentang-rokok-mild-kretek-dan-cerutu/>

‘Ketergantungan Nikotin memangkas dalam Tes Strategi Merokok Rokok Baru’, 2012, dilihat pada 19 Juni 2013 <http://id.prmob.net/rokok/nikotin/food-and-drug-administration-485389.html>

‘Sosialisasi isi PP no. 109 thn 2012 mengenai tembakau’,2013, dilihat pada 28 Januari 2014, < http://chirpstory.com/li/54454>

Almawadi, Issa 2013, ‘Pendapatan cukai negara dari HM Sampoerna Rp 27,7T’ dilihat pada 21 April 2013 <http://nasional.kontan.co.id/news/pendapatan-cukai-negara-dari-hm-sampoerna-rp-277t>

Badan POM 2013,’ Dampak Negatif Senyawa Nikotin Dan Tar Dalam Rokok’ dilihat pada

21 April 2013

<http://ulpk.pom.go.id/ulpk/index.php?task=view&id=173&option=com_easyfaq&I temid=26&lang=in>

Badjuri, Abdulkahar & Yuwono, Teguh 2005, Kebijakan Publik Konsep dan Strategi, Semarang, Universitas Diponegoro Press.

BPS 2013,’Jumlah Penduduk Miskin Maret 2013 Mencapai 28,07 Juta Orang’, dilihat pada 28 Januari 2014 < http://www.bps.go.id/?news=1023>

Data dilihat dari Seminar Nasional Kawasan Tanpa Rokok 2012, ‘Solusi Perlindungan Terhadap Bahaya Asap Rokok’ dilihat pada 21 April 2013 <http://www.psikm.unud.ac.id/kawasan_tanpa_rokok/?page_id=4

Kartika Unoviana 2013, ‘Rp 2 Triliun Habis untuk Pengobatan akibat Rokok’ dilihat pada 21 April

(29)

29 http://health.kompas.com/read/2013/01/23/17290227/Rp.2.Triliun.Habis.untuk.Peng obatan.akibat.Rokok>

Prasetya, Lukyta Dwi 2010, Pengaruh Negatif Rokok bagi Kesehatan di Kalangan Remaja,

dilihat pada 21 April 2012 <

http://www.Fimadiklus.googlecode.com%2Ffiles%2F10%2520lukyta%2520Pengar uh%2520Negatif%2520Rokok%2520bagi%2520Kesehatan%2520di%2520Kalanga n%2520Remaja.pdf&ei=RYpzUabfNsaKrQf664DoDA&usg=AFQjCNH4MLq7aqJ 60wKh_rZKV3SEopLmlg&bvm=bv.45512109,d.bmk >

Priyatna, Andi 2012, ‘Bahaya Merokok’ dilihat pada 22 April 2012 <http://www.geschool.net/667708/blog/post/view?id=17918>

Ruslan, Kadir 2014, ‘Rokok, Si Miskin, dan Anak-anak’, dilihat pada 28 Januari 2014 http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2014/01/20/rokok-si-miskin-dan-anak-anak-625865.html

Santoso, Purwo 2010, Modul Pembelajaran Analisis Kebijakan Publik, Yogyakarta, Research Center for Politics and Government Jurusan Politik dan Pemerintahan FISIPOL UGM.

Seminar Nasional Kawasan Tanpa Rokok 2012, ‘Solusi Perlindungan Terhadap Bahaya Asap

Rokok’ dilihat pada 21 April 2013

<http://www.psikm.unud.ac.id/kawasan_tanpa_rokok/?page_id=4>

Susanto, Ichwan & Julianto, Irwan 2013,’Belajar dari Regulasi Rokok Negara Lain’, dilihat

pada 28 Januari 2014 <

Referensi

Dokumen terkait

Monitoring dan evaluasi khusus dilakukan dengan tujuan untuk memonitor dan mengevaluasi Monitoring dan evaluasi khusus dilakukan dengan tujuan untuk memonitor dan mengevaluasi

[r]

Usaha untuk mendapatkan kenyamana thermal terutama adalah mengurangi perolehan panas, memberikan aliran udara yang cukup dan membawa panas keluar bangunan serta

Kesimpulan : ada hubungan faktor teman sebaya, media massa, kepribadian dengan kekerasan dalam berpacaran, sedangkan faktor pola asuh orangtua tidak ada hubungan..

Rendahnya pencapaian nilai kelulusan pada kelompok kontrol kemungkinan disebabkan oleh berbagai faktor, diantaranya adalah tidak adanya umpan balik sehingga mahasiswa

(1) Seksi Penyebaran dan Pengembangan Ternak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf d angka 2, mempunyai tugas melaksanakan sebagian tugas Bidang Usaha Peternakan

Seluruh dosen jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang berjasa dalam mendidik dan memberikan ilmunya bagi penulis dari awal masuk kuliah hingga akhir

Berdasarkan analisis yang telah dilakukan, dan hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini telah diterima, selanjutnya akan dibahas lebih jauh mengenai penyebab diterimanya