Transportasiku yang Malang dan Melintang:
Budaya, Sistem atau Peralatan?
Oleh R. Hanna Simatupang
Ketika KMP Tristar I di Palembang, KMP Lampung di Merak, KMP Senopati
Nusantara di P. Mandalika, kereta api di Banyumas, Pesawat FASI di Subang, dan
Adam Air KI 574 mengirimkan berita bahaya di awal tahun 2007, membuat hampir
seluruh rakyat Indonesia panik. Pemerintah melalui Departemen Perhubungan dan
jajarannya sibuk mengirimkan para petugasnya untuk memeriksa, BASARNAS sibuk
mencari cara untuk mengevakuasi korban, DPR melalui Komisi V-nya sibuk
mengundang pihak-pihak yang terkait untuk dengar pendapat, Komite Nasional
Keselamatan Transportasi/KNKT sibuk mencari data dan mencari pihak yang dapat
dimintai keterangan, kantor Jasa Raharja sibuk mencari data para korban, para aparat
terkait sibuk mengamankan lokasi, para sanak keluarga sibuk mencari tahu
keberadaan anggota keluarga dan tentu saja tidak ketinggalan seluruh media juga
sibuk mencari bahan berita untuk dijual.
Seluruh pihak terkait giat dengan target masing-masing tanpa mengenal waktu seakan
kegiatan mereka tersebut dapat segera menyelesaikan permasalahan transportasi
nasional yang sudah carut marut ini dengan seketika. Namun, bila kita melihat seluruh
kejadian dan permasalahan yang terjadi pada sejak Januari 2006 hingga awal Januari
2007 serta beberapa kejadian yang serupa pada tahun-tahun yang silam, mestikah kita
panik, menggebu-gebu dan melakukan perlawanan terhadap keadaan dan sistem yang
ada dan telah diterima tersebut? Jawabannya tentu tidak ada pada rumput yang
transportasi dan nilai-nilai keselamatan transportasi yang harus dianut oleh suatu
bangsa seperti yang diutarakan oleh James Roughton.
Saat ini, masa pencarian, evakuasi dan pembicaraan tentang seluruh kejadian tersebut
sudah usai, kita semua disibukkan dengan berbagai masalah lain di negeri ini,
sehingga kembali masalah tranportasi sebagai mesin pembunuh nomor satu di
Indonesia dikesampingkan lagi. Kita baru akan tergugah kembali bila ada peristiwa
yang hampir sama atau lebih besar atau ada pelarangan bepergian (travel warnings)
dan pelarangan terbang (banned) ke dan dari Indonesia dikeluarkan oleh berbagai
negara terjadi. Lantas bagaimana kita dapat menjawab dengan fokus setiap kejadian
transportasi yang ada? Tentu tidak hanya sesaat dan dengan melalui dengar pendapat
saja atau mencari kesalahan berbagai pihak terkati. Lebih bijaksana apabila kita lebih
menekankan pada penanganan dengan tuntas dan transparan agar permasalahan yang
ada dapat diselesaikan, tidak terulang dan melakukan perbaikan disana-sini. Oleh
karena itu, pemerintah bersama industri pengangkutan nasional jangan lagi tersenyum
mendengar berbagai plesetan kata oleh masyarakat akibat lunturnya kepercayaan
mereka terhadap transportasi nasional: “Di udara kita jatuh, di darat kita nyungsep, di
laut kita tenggelam...”, tetapi terus melakukan peninjauan kembali terhadap seluruh
aturan main, sistem dan prosedur yang ada.
Memang berbagai usaha perbaikan dan peningkatan transportasi nasional telah sering
disuarakan oleh berbagai kalangan, namun tingkat kecelakaan masih terus saja
meningkat. Akhir-akhir ini, kecelakaan jalan raya yang terus menghiasi berbagai
halaman utama media cetak dan elektronik. Lantas, dimanakah hal yang harus
diperbaiki? Sebagian berpendapat bahwa sistem transportasi nasionallah yang harus
lebih dahulu diterapkan secara benar oleh pihak industri dan konsumen. Sebagian lagi
insan pengelola dan pengguna transportasi. Sebagian lagi berpendapat bahwa
perawatan peralatanlah (maintenance) yang paling utama dan terutama. Ketiga
pendapat tersebut dibenarkan, karena memang ketiganya diperlukan dan saling terkait
untuk mendapatkan sistem transportasi nasional yang bebas dari kecelakaan. Namun,
budaya keselamatan lah yang harus diketahui dan dimiliki oleh setiap insan Indonesia
agar transportasi nasional kita dapat berjalan sesuai dengan segala aturan yang telah
ditetapkan oleh pemerintah dan industri. Hal tersebut juga dikemukakan oleh
Strickler, Jr, yang melihat bahwa manusia menjadi lebih paham dan mengerti arti
keselamatan transportasi apabila ia mendapatkan pengetahuan, pendidikan dan
pelatihan yang benar mengenai fungsi dan peran alat transportasi bagi kehidupan dan
kelancaran kegiatan mereka. Lantas, bagaimana kita dapat memulai proses
pengenalan, pendidikan, pelatihan dan penerapan keselamatan transportasi nasional?
Siapakah yang seharusnya memulai peran sebagai guru atau pendidik keselamatan
transportasi nasional? Jawabannya tentu PEMERINTAH sebagai regulator yang
dalam hal ini dilaksanakan oleh DEPARTEMEN PERHUBUNGAN (Dinas
Perhubungan untuk pemerintah daerah).
Mengapa peran Departemen Perhubungan penting dan terutama? Karena dalam
penetapan sistem, budaya keselamatan dan perawatan peralatan transportasi diatur
dalam berbagai aturan yang ditetapkan, perangkat-perangkat yang dibentuk dan
sarana prasarana yang dilakukan oleh pemerintah. Dari segi hukum penerbangan,
berbagai aturan yang ditetapkan untuk standar keselamatan pesawat udara seperti
yang dituangkan dalam Civil Aviation Safety Regulation/CASR yang diadop dari
Federal Aviation Regulations/FAR dapat dianggap sebagai langkah yang tepat dan
proaktif dalam mencegah kekosongan hukum penerbangan nasional. PP No. 51/2002
dan sertifikasi kapal yang beroperasi di Indonesia dan International Safety Maritime
Code/ISM Code juga demikian. Sedang UU No. 14/1992 tentang Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan yang mengatur laik jalan, pengujian dan pemeriksaan kendaraan
bermotor juga merupakan upaya yang baik oleh pemerintah untuk menimbulkan dan
meningkatkan kesadaran masyarakat dalam bertranpsortasi yang selamat dan aman.
Ditambahkan juga bahwa pemerintah juga lah yang melakukan kesepakatan kepada
dunia bahwa industri transportasi nasional telah memenuhi berbagai persyaratan
minimal yang ditetapkan dalam berbagai konvensi internasional.
Dari berbagai perangkat hukum nasional dan internasional tersebut tentu ada berbagai
hak dan kewajiban yang ditimbulkan dan harus dipenuhi oleh pemerintah dan industri
transportasi nasional. Salah satu kewajiban utama Indonesia adalah memelihara dan
meningkatkan keselamatan transportasi nasional agar terus sejalan dengan percepatan
dan perkembangan teknologi peralatan transportasi dan kebutuhan masyarakat. Untuk
mengetahui apakah kewajiban tersebut sudah dilaksanakan atau tidak oleh Indonesia,
adalah dengan dilakukannya audit/pemeriksaan secara rutin dan terus menerus oleh
berbagai badan pemeriksa pengangkutan nasional maupun internasional.
Memang banyak hal dan kendala yang harus diketahui dan dipelajari secara terus
menerus oleh pemerintah agar budaya, sosial, ekonomi, politik dan hukum nasional
tidak bertentangan dan mendukung program keselamatan transportasi tersebut. Oleh
sebab itu, konvensi-konvensi dan organisasi-organisasi internasional seperti:
International Civil Aviation Organization/ICAO dan International Maritime
Organization/IMO memberikan keleluasaan kepada pemerintah Indonesia maupun
negara-negara anggota lainnya untuk membentuk dan menetapkan aturannya sendiri
yang juga sesuai dengan standar minimal internasional yang berlaku. Dengan kata
internasional apabila berbagai aturan dalam konvensi tersebut belum atau tidak dapat
dilaksanakan dengan berbagai kendalanya. Berdasarkan catatan yang ada, Indonesia
hingga saat ini belum pernah mengajukan berbagai keberatan atau ketidaksesuaian
(filling differences) terhadap berbagai aturan yang ditetapkan dalam konvensi
internasional yang berlaku. Padahal pengajuan keberbedaan tersebut juga merupakan
wujud dari kewajiban Indonesia sebagai negara peserta atau anggota dari konvensi
internasional yang ada. Apakah tindakan pengajuan keberbedaan kepada
instansi-instansi pemerintah maupun organisasi-organisasi internasional belum membudaya
dikalangan para ahli hukum kita? Atau memang kita belum memahami aturan main
kita sendiri? Atau kita belum memahami aturan main internasional yang tujuan
utamanya adalah menciptakan “zero accident” dengan (1) menyediakan sumber
hukum, pembiayaan dan pelatihan; (2) mengidentifikasi dan menerapkan berbagai
kebijakan dan prosedur; dan (3) menyediakan petunjuk dan tindakan-tindakan untuk
melakukan perbaikan terhadap berbagai kegiatan yang dapat mengancam
keselamatan.
Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, terletak pada sistem pendidikan dan
pengenalan budaya keselamatan nasional dan pengawasan nasional
Masyarakat sebaiknya dikenalkan pada budaya keselamatan sejak usia dini dari dari
lingkungan terkecil, yaitu rumah. Menurut Roughton, keselamatan adalah suatu
keputusan, rasakan, pikirkan dan tindakan untuk selamat. Tindakan dan perilaku
tersebut terus berkembang sesuai dengan tingkat kematangan dan pemahaman kita
terhadap apa yang dihadapi, oleh karena itu tindakan tersebut pasti mengalami
perubahan sesuai dengan perkembangan yang ada dan pengalaman pribadi orang
tersebut. Hal-hal dan pengetahuan tersebut akan membentuk opini positif atau negatif
yang bersangkutan dalam menghadapi situasi atau kondisi yang dapat mengancam
atau membahayakan keselamatannya. Dapat dikatakan bahwa pengenalan dan
pendidikan budaya keselamatan dapat membentuk perilaku orang atau organisasi
transportasi yang ada. Bila pendidikan dan pengenalan budaya keselamatan
transportasi diberikan secara benar, maka berbagai penyimpang perilaku, seperti:
menyeberang tidak pada jembatan atau tempat penyeberangan, tidak menggunakan
sabuk pengaman, tidak menggunakan pelindung kepala, tidak mengindahkan lampu
pengatur lalu lintas yang akhir-akhir ini sering dilakukan oleh para pengguna jalan
raya, tidak membawa barang bawaan melebihi aturan, tidak berkendara pada
jalur-jalur khusus, tidak duduk di atas atap kereta api, tidak naik kendaraan angkutan yang
telah penuh sesak, tidak merusak peralatan keselamatan transportasi, dan masih
banyak lagi, tidak akan tercermin dalam dunia transportasi nasional kita.
Untuk hal pengawasan, harus dimulai dengan pola pikir, sikap dan ketegasan
Departemen Perhubungan. Dalam hal ini Departemen Perhubungan telah berani
menyatakan secara tegas dan transparan bahwa sistem, budaya dan peralatan yang
digunakan oleh operator belum atau tidak memenuhi standar minimal nasional
ataupun internasional. Hal tersebut telah dinyatakan dalam pemberian kategorisasi
hasil audit yang mengundang pro dan kontra dunia pengangkutan nasional. Namun,
sikap tegas yang menghapus seluruh kata “dispensasi”, “perpanjangan”,
“rekomendasi” bagi para pelaku transportasi nasional sudah saatnya dilakukan.
Ketegasan sikap tersebut juga perlu diberlakukan kepada seluruh pengguna alat
transportasi atau konsumen. Apapun alasan atau pertimbangan yang diberikan oleh
para pelaku dan konsumen kepada pemerintah (termasuk keadaan ekonomi, politik,
sosial atau keperluan merayakan hari-hari besar dan/atau bersikap keras—baca:
perubahan atau penambahan aturan yang bersifat meningkatkan keselamatan
transportasi nasional bukan sebaliknya. Pemerintah jangan lagi membentuk atau
menetapkan suatu aturan yang sifatnya melanggar aturan mainnya sendiri, terutama
yang menyangkut keselamatan. Biasanya, tindakan lembek Departemen Perhubungan
terlihat ketika memberikan kelonggaran tentang jumlah penumpang atau barang yang
diangkut menjelang hari-hari raya karena ketiadaan atau kekurangan fasilitas
pengangkutan, memberikan ijin operasi kepada para operator yang belum memenuhi
persyaratan standar keselamatan khususnya di daerah-daerah terpencil, memberikan
kelonggaran kepada pengguna roda dua untuk mengangkut satu keluarga—Bapak, Ibu
dengan dua atau tiga anak balita—untuk mudik hari raya, dan lain-lain. Berbagai
kelonggaran tersebut berkontribusi langsung terhadap kecelakaan dan faktor
keselamatan Hal yang tidak kalah pentingnya adalah, banyaknya Keputusan Menteri
dan Surat-surat Edaran yang sering mengalami perobahan atau deregulasi. Padahal
diketahui bahwa sebagai salah satu faktor penentu ketertiban dan ketegasan adalah
landasan hukum yang lengkap dan mempunyai kepastian hukum. Dari sisi
pelaksanaan sistem hukum nasional dan pelaksanaan pemerintahan yang bersih dan
tertib/good governance, sikap tersebut dapat melemahkan hukum transportasi
nasional kita dan menghilangkan kepercayaan masyarakat terhadap kepastian hukum
yang ada. Oleh karena itu, diusulkan untuk membuat cetak biru (blue print) hukum
tentang keselamatan transportasi nasional. Peraturan tersebut juga diperlukan untuk
mendukung sikap tegas PEMERINTAH terhadap pemberlakuan berbagai ketentuan
hukum baik nasional maupun internasional tanpa “pandang bulu”. Pemerintah jangan
takut untuk menutup, menuntut dan menjatuhkan sanksi kepada para “pemain nakal”.
Perlu disadari bahwa kecelakaan transportasi bukanlah hal yang tidak dapat dicegah
dibenahi untuk dapat diterapkan di Indonesia. Kebenaran teori di atas, telah terbukti,
dimana jika orang Indonesia berada di negara lain, mereka akan patuh dan takut untuk
berbuat tidak sesuai hukum yang berlaku. Oleh karena itu, seluruh komponen
keselamatan transportasi nasional yang ada harus dilaksanakan secara optimal dan
dengan sikap profesional yang tinggi, sehingga kemungkinan Indonesia mendapat
pelecehan, teguran, dan larangan baik dari dalam maupun dari luar negeri tidak terjadi
lagi. Untuk menguatkan dan menambah semangat kita untuk membangun budaya
keselamatan ttransportasi nasional, dapatlah kita mencontoh sikap ketegasan
pemerintah Australia, New Zealand, Singapore, Amerika dan Eropa sehingga dapat
menurunkan tingkat kecelakaan hingga 0,0 persen. Semoga kita pun dapat seperti
mereka.