• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan - Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Departemen Bedah Mulut Dan Maksilofasial Rsgm-P Fkg Usu Tentang Cara Penanganan Dental Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengetahuan - Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Departemen Bedah Mulut Dan Maksilofasial Rsgm-P Fkg Usu Tentang Cara Penanganan Dental Pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pengetahuan

Pengetahuan adalah hasil ‘tahu’ dan terjadi setelah orang melakukan pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui indra mata dan telinga. Ada enam tingkatan pengetahuan, yaitu:12

1. Tahu (know)

Tahu merupakan tingkat pengetahuan paling rendah. Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya, termasuk mengingat kembali sesuatu materi yang telah dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk mengukur bahwa seseorang ‘tahu’ tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, menyatakan, dan sebagainya.12

2. Memahami (comprehension)

Memahami adalah kemampuan untuk menjelaskan dan menginterpretasikan secara benar tentang objek yang diketahui, dalam hal ini mencakup kemampuan menangkap makna dan arti bahan yang diajarkan, yang ditunjukkan dalam bentuk kemampuan menguraikan inti pokok dari suatu bacaan misalnya menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.12

3. Aplikasi (application)

(2)

4. Analisis (analysis)

Analisis adalah suatu kemampuan untu menjabarkan materi atau objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.12

5. Sintesis (synthesis)

Sintesis adalah kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain, sintesis merupakan suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada.12

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi adalah kemampuan melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu objek atau materi. Evaluasi ini dilandaskan pada kriteria yang telah ada atau kriteria yang disusun yang bersangkutan misalnya mendukung, menentang, dan merumuskan.12

Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara atau angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin diukur dari subjek penelitian atau responden. Kedalam pengetahuan yang ingin diukur, dapat disesuaikan dengan tingkatatan-tingkatan di atas.12

2.2 Penanganan Dental

Perawatan terhadap rongga mulut dalam menjaga kebersihan mulut dan program pencegahan harus diberikan kepada pasien kompromis medis. Riwayat medis dan pemeriksaan klinis pada pasien sangat dibutuhkan dalam menuntun untuk mendapatkan keberhasilan dalam perawatan, termasuk untuk proses penyembuhan luka paska tindakan. Identifikasi pasien yang memerlukan perawatan tambahan didasarkan pada riwayat pasien dan hasil evaluasi klinis.1,2

2.2.1 Riwayat Medis

(3)

dampak yang akan terjadi setelah perawatan nantinya. Riwayat medis merupakan proses penggalian informasi melalui anamnesa untuk mengetahui status kesehatan pasien. Riwayat medis memberi gambaran keadaan umum pasien atau keluhan utama, perjalanan dari keluhan yang dialami, informasi tentang kondisi kesehatan masa lalu dan kondisi saat ini, keadaan lingkungan, kondisi keluarga, dan melihat gejala-gejala lain pada organ tubuh lainnya.2,4

Setiap pasien memiliki kondisi kesehatan dan perawatan dental yang dibutuhkan tersendiri. Fungsi dari mengetahui kondisi umum pasien adalah untuk mengevaluasi keparahan dan kerumitan kondisi kesehatan pasien terhadap bagaimana efek dari perawatan dental yang akan dilakukan, memberi batasan terhadap penangan dental yang akan dilakukan berhubungan dengan kondisi sistemik yang ditemukan, mencegah kejadian gawat darurat di ruang kerja dan mencegah komplikasi serius paska perawatan dental.4

Dokter gigi memiliki tanggung jawab untuk memperingati pasien akan tanda-tanda penyakit sistemik yang tidak terdeteksi pada diri pasien.4

2.2.2 Pemeriksaan Klinis

a. Tanda-tanda vital pasien, terdiri dari:2,4

1. Frekuensi pernafasan : 14-16 kali/ menit (normal) 2. Suhu tubuh : 370 C (normal)

3. Denyut nadi : 60 kali/menit

4. Tekanan darah : 120/80 mmHg (normal) b. Pemeriksaan visual dan pemeriksaan oral

(4)

dilakukan jika penyakit sistemik membutuhkan laporan laboratorium untuk menunjang diagnosa dan rencana perawatan pada pasien dengan kondisi sistemik.

c. Evaluasi hubungan kesehatan sistemik dan perawatan dental

Ketika telah diidentifikasi kondisi sistemik maka dokter gigi harus mendapatkan diagnosa penyakit dental untuk memperkirakan resiko paska perawatan.4

d. Perencanaan pemberian medikasi

Dokter gigi harus memiliki rencana dalam memberikan obat-obatan terhadap masalah dental pasien yang bersamaan dengan kondisi sistemik yang dimiliki pasien, seperti pemberian antibiotik harus direncanakan untuk mencegah terjadinya infeksi.4

e. Posisi pasien di kursi dental

Beberapa pasien tidak mampu untuk duduk nyaman di dental chair, misalnya pada pasien dengan penyakit artritis pasien harus mendapat bantal tambahan untuk bagian lehernya.4

2.3 Ginjal

Ginjal merupakan sepasang organ menyerupai kacang yang berwarna coklat kemerahan. Terletak di bagian posterior dibelakang perut (abdomen), di bawah hati dan limpa serta di kelilingi oleh jaringan adiposa. Bagian superior ginjal sejajar dengan tulang vertebra torak ke 12 dan bagian inferior sejajar dengan tulang vertebra lumbar ke 3. Ginjal kanan terletak sedikit di bawah ginjal kiri untuk memberi tempat untuk hati. Ukuran dimensi normal ginjal adalah 11cm (panjang) x 6cm (lebar) x 3 cm (tebal), dengan ginjal kiri 1,5 lebih panjang dari ginjal kanan. Berat rata-rata ginjal adalah 150 g pada laki-laki dan 135 g pada perempuan.23

Ginjal melakukan fungsi-fungsi spesifik, diantaranya :24 • Mempertahankan keseimbangan H2O di tubuh.

(5)

• Mempertahankan volume plasma yang tepat, yang penting dalam pengaturan jangka panjang tekanan darah arteri, melalui peran regulatorik ginjal dalam keseimbangan garam dan H2O.

• Membantu mempertahankan keseimbangan asam-basa tubuh yang tepat dengan menyesuaikan pengeluaran ion hidrogen dan bikarbonat dalam urin.

• Mengekresikan produk-produk air tubuh seperti urea, asam urat, dan kreatinin.

• Mengeluarkan banyak senyawa asing misalnya obat, aditif makanan, pestisida, dan bahan eksogen non-nutritif lain yang masuk ke dalam tubuh.

• Menghasilkan eritropoietin, hormon yang merangsang produksi sel darah merah.

• Menghasilkan resin, hormon enzim yang memicu reaksi berantai dalam penghematan garam oeh ginjal.

• Mengubah vitamin D menjadi bentuk aktifnya.

Merupakan pengeluaran bahan-bahan dari tubuh ke dalam ginjal. Ini bukan merupakan proses terpisah dari proses filtrasi glomerulus, reabsorpsi tubulus dan sekresi tubulus. Semua konstituen plasma yang terfiltrasi atau disekresikan tapi tidak direabsorpsi akan tetap di tubulus dan mengalir ke pelvis ginjal untuk diekresikan sebagai urin dan dikeluarkan dari tubuh.24

Eksresi urin

Merupakan sistem hormon terpenting yang terlibat dalam regulasi natrium dalam ginjal. Renin dihasilkan sebagai respon terhadap penurunan NaCL, volume cairan ekstra seluler, dan tekanan darah. Setelah dikeluarkan ke dalam darah, renin berfungsi sebagai enzim yang mengaktifkan angiotensinogen yang berasal dari paru menjadi angiotensin I. Angiotensin I yang melewati paru akan diubah menjadi

(6)

angiotensin II yang berfungsi sebagai perangsang utama sekresi hormon aldosteron dari korteks adrenal. Fungsi aldosteron adalah meningkatkan resorpsi natrium oleh tubulus distal. Retensi natrium yang terjadi menimbulkan efek osmotik yang menahan lebih banyak H2O di cairan ekstra seluler. Bersama-sama konvervasi

natrium dan H2O membantu mengoreksi ransangan semula yang mengaktifkan sistem

hormon ini. SRAA mendorong retensi garam yang menghambat retensi H2O dan

peningkatan tekanan darah arteri. Dalam kasus hipertensi, terjadi peningkatan abnormal aktivitas SRAA. SRAA juga berperan dalam menyebabkan retensi cairan dan edema pada gagal jantung kongenital. 24

Gambar 1. Sistem renin-angiotensin-aldosteron (SRAA).24

2.4 Penyakit Ginjal Kronis

(7)

Penyakit ginjal kronis adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Berdasarkan panduan Kidney Disease Outcomes

Quality Initiative (K/DOQI) dari The National Kidney Foundation, kerusakan ginjal

lebih dari tiga bulan dengan atau tanpa adanya penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG) atau GFR < 60 ml/mnt/1,73 m2 selama lebih dari 2 bulan dengan atau tanpa disertai kerusakan ginjal dinyatakan sebagai penyakit ginjal kronis.7,8,10

Laju Filtrasi Glomerulus normal adalah sekitar 120-130 ml/menit/1,73m2 luas permukaan tubuh dan bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin, dan ukuran tubuh. Luas permukaan badan dapat diukur dengan nomogram dari tinggi dan berat badan. Pada dewasa rata-rata 130 ml/menit/1,73m2 untuk pria, 120 ml/menit/1,73m2 untuk perempuan dengan koefisien variasi 14-18%. Usia akan mempengaruhi LFG kira-kira 10ml/menit/1,73m2 luas permukaan tubuh setelah usia 40 tahun.7,10

Penyakit ginjal kronis (PGK) diakui sebagai masalah kesehatan utama mempengaruhi sekitar 13% dari populasi Amerika Serikat. Menurut U.S Renal Data

System 2009 Annual Report mencatat bahwa pada tahun 1995, 287.670 warga

Amerika menderita penyakit ginjal tahap akhir. Pada tahun 2007, 527.283 warga Amerika menderita penyakit ginjal tahap akhir, dengan 368.544 pasien menerima perawatan dialisis. Sebuah lembaga Pusat Kontrol dan Pencegahan Penyakit Atlanta mencatat sekitar 17% populasi warga Amerika usia 20 tahun ke atas menderita penyakit ginjal kronis. Prevalensi pasien PGK akan terus meningkat, yang mencerminkan pertumbuhan populasi lansia dan peningkatan jumlah pasien diabetes dan hipertensi. Sebagai akibat meningkatnya jumlah pasien PKG, dokter gigi sebagai praktisi perawatan primer akan dihadapkan dengan pengelolaan masalah medis yang kompleks serta khusus pada pasien dengan penyakit ginjal kronis.3,6,10

2.4.1 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis

Klasifikasi penyakit ginjal kronis berdasarkan tahapannya dibuat atas dasar Laju Filtrasi Glomerulus dengan menggunakan rumus Kockcroft-Gault. Panduan

(8)

ginjal kronis menjadi beberapa tahap (stage) penyakit berdasarkan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG) ginjal (tabel 3): 6,8,10,22

Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronis berdasarkan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)6,8,10,22

Tahapan Definisi

Tahap 1 LFG normal atau meningkat dengan sedikit bukti adanya kerusakan ginjal berdasarkan perubahan pada albuminurea/ proteinurea, hematuria atau histologi. Dengan LFG normal (>= 90 ml/menit/1,73m2 luas permukaan tubuh).

Tahap2 Kerusakan ginjal yang ringan dengan perubahan albiminuria, disertai penurunan LFG ringan (60 – 89 ml/menit/1,73m2 luas permukaan tubuh). Asimtomatik , terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin. Tahap 3 Kerusakan ginjal yang moderat,dengan penurunan LFG sedang (30 -

59 ml/menit/1,73m2 luas permukaan tubuh). Keluhan seperti badan lemah, nafsu makan berkurang, dan penurunan berat badan.

Tahap 4 kerusakan ginjal yang berat, dengan penurunan LFG berat (15 - 29 ml/menit/1,73m2 luas permukaan tubuh). Gejala uremia yang nyata seperti anemia, peningkatan tekanan darah, mudah terkena infeksi, gangguan keseimbangan elektrolit. Pasien dipersiapkan untuk terapi pengganti ginjal.

Tahap 5 Gagal ginjal, LFG ( < 15 ml/menit/1,73m2 luas permukaan tubuh). Komplikasi lebih serius, diperlukan terapi pengganti ginjal.

2.4.2Patofisiologi Penyakit Ginjal Kronis

(9)

hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Fungsi nefron menurun progresif. Adanya peningkatan aktifitas aksis renin-angiotensin-aldosteron internal, ikut memberikan kontribusi tehadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. 8

Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronis, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti anemia, badan lemah, mual, nafsu makan berkurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata, seperti anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, mual, muntah, dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi, seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas, maupun infeksi saluran cerna. Selain itu, juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipovolemia atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% ,akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan terapi pengganti ginjal antara lain dialisis atau transplantasi ginjal (stadium gagal ginjal). 8

2.4.3 Etiologi Penyakit Ginjal Kronis

Berbagai kelainan bisa menyebabkan penyakit ginjal. Dibagi atas dua, yaitu berasal dari ginjal sendiri (contoh: glomerulonefritis, pielonefritis, congenital

hyperplasia) dan berasal dari peyakit sistemik lain. Penyebab terbanyak dari penyakit

(10)

2.4.4 Gambaran Klinis pada Penyakit Ginjal Kronis Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronis meliputi :3,10 a. Sindrom uremia

Terdiri dari lemah, letargi, mudah lelah, anoreksia, mual, muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, perubahan warna kuku, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.

b. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, hiperuremia, hipertensi, dan lain-lain.

c. Gejala komplikasi antara lain hipertensi, anemia, asidosis metabolik, dan gangguan keseimbangan elektrolit.

2.4.5 Gambaran Laboratorium pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis

Adapun gambaran laboratorium pada pasien penyakit ginjal kronis, antara lain:3,8,10

a. Urinalisis

1. Parameter fisik urin.

Warna urin normal adalah pucat-kuning tua. Keadaan patologis obat dan makanan dapat merubah warna urin. Urin merah disebabkan Hb, mioglobin atau pengaruh obat rifampisin. Urin hijau disebabkan oleh zat klinis eksogen atau infeksi Pseudomonas. Urin jingga disebabkan oleh pigmen empedu. Bila urin keruh dikarenakan fosfat atau leukosituria dan bakteri. Bau urin yang khas bisa menandakan beberapa penyakit misalkan bau keton dan lain-lain. Volume urin berbeda-beda pada tiap individu dengan penyakit ginjal kronis, dimana volume urin akan menurun ketika LFG berkurang 5% dari LFG normal.

2. Parameter kimia8

• Adapun pH normal urin adalah 5-7,5 hal ini dipengaruhi oleh asam-basa sistemik.

(11)

• Protein, normal proteinuria tidak lebih dari 150mg/hari. Pada kondisi patologis proteinuria bisa dibedakan menjadi proteinuria glomerulus, proteinuria tubular, proteinuria overload dan proteinuria benigna. • Keton, menunjukkan adanya aseton dan asam asetoasetat disebabkan

oleh kondisi asidosis diabetik, puasa, muntah ataupun olahraga berlebihan.

3. Mikroskopik urin8

Beberapa kondisi/kelaianan yang bisa terlihat secara mikroskopik pada urin :

• Eritrosit pada urin merupakan kelainan yang bisa dibagi menjadi isomorfik (yang bersal dari traktus urinarius) dan dismorfik (yang bersal dari glomerulus). Kondisi ini disebut hematuria.

• Leukosit normal pada urin adalah 2-3/LPB. Bila jumlahnya berlebihan disebabkan oleh infeksi atau inflamasi.

• Sel tubulus ginjal yang terdapat pada urin menandakan kondisi kelainan berupa nekrosis tubular akut atau glomerulonefritis.

• Lipid dalam urin disebabkan oleh penyakit seperti sindrom nefrotik. • Silinder (cast), menunjukkan adanya kelainan pada ginjal.

b. Pemeriksaan fungsi ginjal8 1. Laju Filtrasi Glomerulus

Adalah berapa banyak filtrat yang dapat dihasilkan glomerulus. Normalnya adalah 120-130cc/min/1,73m2.

2. Pemeriksaan konsentrasi ureum plasma

Nilai normal ureum adalah 20-40mg%. Peningkatan ureum terjadi ketika eksresi urin lambat/ kondisi terganggunya ginjal.

3. Pemeriksaan kreatinin plasma

(12)

BB/hari. Kenaikan plasma kreatinin 1-2 mg/dl dari normal menandakan penurunan LFG sekitar 50%.

c. Sesuai dengan penyakit yang mendasarinya.

2.4.6 Gambaran Radiografi pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis

Gambaran radiografi yang bisa dilihat pada pasien penyakit ginjal kronis adalah:3,10

a. Foto Polos Abdomen, terlihat batu radiopaque.

b. Ultrasonografi ginjal, bisa membantu dalam memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil, korteks ginjal yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi, ataupun lokasi jaringan ginjal untuk keperluan biopsi.

c. Renografi, untuk pemeriksaan pemindai ginjal bila ada indikasi.

d. Foto panoramik, membantu dalam melihat kelainan-kelaianan di dalam rongga mulut pasien seperti kehilangan tulang alveolar dan gambaran radiopaque yang terlihat di interproksimal gigi yaitu kalkulus.18

(13)

Gambar 3. Radiografi Panoramik setelah 5 bulan

dilakukan ekstraksi penuh, menunjukkan berkurangnya malformasi tulang.18

Dalam laporan kasus oleh Mahmud Juma dkk (2006) disebutkan bahwa dua gambar di atas merupakan foto panoramik seorang pasien usia 35 tahun yang menderita penyakit ginjal kronis. Pasien telah menderita berbagai komplikasi penyakit akibat penyakit ginjal kronis yang dialami, dan telah menjalani berbagai perawatan. Dalam riwayat dentalnya, pasien mengalami rasa sakit di bagian anterior mandibula. Pasien merasakan nyeri saat mengunyah dan sensitif terhadap rangsangan suhu. Pemeriksaan intraoral didapatkan mobiliti pada beberapa gigi, kehilangan perlekatan generalisata, poket periodontal yang dalam, lesi furkasi, pendarahan gingiva dan deposit plak dental parah di mulut. 18

(14)

2.4.7 Perawatan pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis

Perawatan yang dilakukan untuk penderita penyakit ginjal kronis bervariasi sesuai dengan tahapan penyakit ginjal kronis yang dideritanya. Perawatan penyakit ginjal kronis berdasarkan tahapan kerusakan ginjal adalah sebagai berikut:10,22

1. Penyakit ginjal kronis tahap 1

Pada tahap ini, perawatan yang dilakukan bertujuan untuk memperlambat proses penyakit ginjal kronis dan mengurangi resiko terjadinya penyakit kardiovaskular.22

2. Penyakit ginjal kronis tahap 2

Pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tetapi sudah terjadi peningkatan kadar kreatinin serum dan urea. Perawatan yang dilakukan pada tahap ini adalah bertujuan untuk menghambat terjadinya penurunan fungsi ginjal yang lebih parah.22

3. Penyakit ginjal kronis tahap 3

Penyakit ginjal kronis mulai berkembang disertai dengan anemia dan hiperparatiroidisme sekunder. Pasien mulai mengeluhkan nokturia, badan lemah, mual, nafsu makan berkurang, dan penurunan berat badan. Namun, yang dilakukan pada tahap ini adalah terapi komplikasi dan evaluasi keparahan penurunan fungsi ginjal.22

4. Penyakit ginjal kronis tahap 4

(15)

5. Gagal ginjal

Seseorang disebut gagal ginjal apabila ginjalnya sudah tidak berfungsi dengan baik dan disertai dengan terjadi komplikasi yang serius, sehingga pasien harus memerlukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy).22 Transplantasi ginjal merupakan terapi pengganti utama pada pasien gagal ginjal tahap akhir. Semua pasien gagal ginjal tahap akhir dipertimbangkan sebagai calon resipien transplantasi ginjal kecuali jika mengidap keganasan sistemik, infeksi kronis, penyakit kardiovaskular yang berat atau gangguan neuropsikiatrik yang akan mengganggu pasien dalam mengkonsumsi obat imunosupresif.3

Terapi pengganti ginjal berikutnya adalah peritoneal dialisis. Peritoneal dialisis merupakan salah satu bentuk dialisis untuk membantu penanganan pasien gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronis. Dialisis ini menggunakan membran peritoneum yang bersifat semipermeabel. Melalui membran tersebut darah difiltrasi. Keuntungan peritoneal dialisis dibandingkan dengan hemodialisis adalah secara teknik peritoneal dialisis lebih sederhana, cukup aman serta cukup efisien dan tidak memerlukan fasilitas khusus, sehingga dapat dilakukan di setiap rumah sakit.3

(16)

2.4.8 Komplikasi Penyakit Ginjal Kronis Terhadap Penyakit Sistemik Lain

a. Anemia

Anemia adalah berkurangnya satu atau lebih komponen sel darah merah yang terdiri dari konsentrasi hemoglobin, hematokrit atau jumlah sel darah merah. WHO mendefenisiskan anemia ketika nilai hemoglobin kurang 13 g/dl pada laki-laki dan kurang 12g/dl pada wanita. Gejala anemia pada penyakit ginjal kronis terjadi ketika Laju Filtrasi Glomerulus dibawah 60 ml/menit/1,73m2 permukaan luas badan .6,10

Anemia pada penyakit ginjal kronis menghasilkan berbagai mekanisme seperti defisiensi besi, asam folat, atau vitamin B12, perdarahan pada saluran gastrointestinal, hiperparatiroid yang parah, proses inflamasi akut atau kronis, usia sel darah merah yang pendek akibat hemolisis, berkurangnya sintesis eritropoietin yang dihasilkan oleh sel peritubular kapiler endotelial pada ginjal yang sangat penting, dan hal ini menjadi penyebab penyakit ginjal kronis yang behubungan dengan anemia. Anemia pada penyakit ginjal kronis juga disebabkan karena terjadinya penekanan sum-sum tulang akibat substansi uremia.6,8,9,10

Evaluasi terhadap anemia dimulai saat kadar hemoglobin kurang dari 10% atau hematokrit kurang 30%, meliputi evaluasi terhadap status besi (kadar besi serum/

serum iron, kapasitas ikat besi total/ total iron binding capacity, feritin serum),

mencari sumber perdarahan, morfologi eritrosit, kemungkinan adanya hemolisis dan lain sebagainya.8

(17)

direkomendasikan adalah 11-12 g/dl pada pasien penyakit ginjal kronis, pencapaian Hb yang maksimum sangat baik untuk mengurangi komplikasi dari anemia.8,10

b. Kelainan Tulang dan Mineral

Penyakit ginjal kronis yang berhubungan dengan kelaianan tulang dan mineral disebut juga osteodistrofi renal terdiri dari kelainan pada tulang dan metabolism mineral dan atau kalsifikasi ekstrasekeletal sekunder pada patofisologi penyakit ginjal kronis. Ginjal meupakan tempat pertama untuk ekskresi asam fosfat dan hidroksilasi dari vitamin D. Pada penyakit ginjal kronis akan terjadi penyimpanan fosfat berlebihan (hiperfosfatemia) akibat kemampuan ekresi fosfat pada ginjal berkurang, berkurangnya kemampuan aktivasi ginjal pada vitamin D, terjadi hipokalsemia yang berkembang menjadi hiperparatroid sekunder. Peningkatan level fosfor juga terjadi pada penyakit ginjal kronis tahap 3. 6,10

Penatalaksanaan pada pasien osteodistrofi renal adalah :8

1. Pembatasan asupan fosfat. Pemberian diet rendah fosfat sejalan dengan diet pada pasien penyakit ginjal kronis secara umum yaitu tinggi kalori, rendah protein dan rendah garam, karena fosfat sebagian besar terdapat dalam daging dan produk hewan seperti susu dan telur. Asuapan fosfat dibatasi 600-800 mg/hari. Pembatasan asupan fosfat yang terlalu ketat tidak dianjurkan untuk menghindari terjadiya malnutrisi.

2. Pemberian pengikat fosfat. Pengikat fosfat yang banyak dipakai adalah garam kalsium, alumunium hidroksida, dan garam magnesium. Garam-garam ini diberikan secara oral untuk menghambat absorbs fosfat yang berasal dari makanan. Garam kalsium yang banyak dipakai adalah kalsium karbonat dan kalsium asetat.

3. Pemberian bahan kalsium mimetik ( calcium mimetic agent ), sejenis obat yang dapat menghambat reseptor Ca pada kelenjar paratiroid, dengan nama sevelamer hidrokhlorida.

c. Penyakit Kardiovaskuler

(18)

d. Dislipidemia

Profil lipid bervarasi pada setiap pasien,menggambarkan tingkat kemampuan fungsi ginjal dan nilai proteinuria. Pada pasien penyakit ginjal kronis terjadi pengurangan aktiviatas lipase lipoprotein dan triglesirida hepatik lipase. 10

2.4.9 Manifestasi Oral pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis

Manifestasi oral dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor genetik. Faktor seperti usia, jenis kelamin, nutrisi, sosial ekonomi, kebiasaan menjaga kebersihan gigi dan respon imunologi berperan besar dalam kehidupan pasien penyakit ginjal kronis. Dalam sebuah penelitian, pasien dengan gangguan ginjal menunjukan tanda pada rongga mulut hingga persentase 90%.7, 17

Manifestasi oral pada pasien penyakit ginjal kronis adalah sebagai berikut: 1. Mukosa oral

Manifestasi pada mukosa oral dikarenakan kondisi anemia yang dimiliki pasien penyakit ginjal kronis. Pada mukosa akan terlihat ulser, lesi putih, pigmentasi mukosa, petekie, dan ekimosis akan terlihat pada mukosa oral pasien penyakit ginjal kronis.17,22

Stomatitis, mukositis, dan glositis merupakan inflamasi yang kadang terlihat pada lidah dan mukosa oral. Stomatitis uremia disebabkan oleh efek perawatan atau medikasi serta respon dari jumlah nitrogen dalam pembentukan urea dalam darah

(blood urea nitrogen). Yang dibagi menjadi eritemopultaseus berupa warna

kemerahan dan permukan mukosa seperti terbakar yang ditutupi lapisan abu-abu, ulseratif, hemoragik, dan hiperkeratosis. Hal ini tampak pada permukaan tengah lidah dan permukaan anterior mukosa.9,17,22

Pada pasien yang menjalani perawatan transplantasi ginjal, akan menyebabkan keadaan immunosupresi sehingga pasien mudah terkena infeksi, hiperplasia, ulserasi, dan infeksi seperti kandidiasis oral.17

2. Kelenjar Saliva

Xerostomia atau mulut kering disebabkan karena berkurangnya penyerapan

(19)

pengaruh dari hipertensi. Pasien yang menjalani dialisis akan memperoleh xerostomia kronis. Pada pasien penyakit ginjal kronis tahap 5, dengan perawatan dialisis dan menerima pengobatan yang cukup berat maka akan berefek terhadap hipertensi dan kelainan jantung. Sehingga infeksi pada kerenjar saliva juga akan mudah terjadi.17,22

3. Bau Mulut

Halitosis atau bau mulut dan rasa logam di dalam mulut disebabkan karena meningkatnya konsentrasi urea dalam saliva dan berubah menjadi amonia. 17

4. Gigi

Ketika kondisi aliran saliva untuk menjaga kondisi pH rongga mulut terganggu maka demineralisasi gigi terjadi. Hiploplasia enamel karena perubahan metabolisme kalsium dan fosfor. Sedangkan remineralisasi terganggu karena terganggunya metabolisme kalsium dan fosfat, sehingga pasien dengan penyakit ginjal kronis beresiko karies. Pada pasien penyakit ginjal kronis akan terjadi peningkatan mobiliti gigi, premature loss, maloklusi, dan nekrosis gigi.17,20

5. Gingiva.

Kondisi gingiva pada pasien penyakit ginjal kronis dapat berupa Inflamasi gingiva disebabkan karena keadaan imunosupresi dan uremia, perdarahan pada gingival terjadi karena disfungsi platelet dan efek antikoagulan, hiperplasia gingiva sebagai manifestasi dari penyakit ginjal kronis.17,20

6.Tulang

Perubahan kondisi tulang pada pasien penyakit ginjal kronis disebabkan karena kondisi hiperparatiroid. Hal ini menyebabkan tidak seimbangnya metabolisme kalsium dan fosfat sehingga terjadi osteodistrofi ginjal. Perubahan komposisi tulang maksila akibat demineralisasi pada trabekula dan berkurangnya lamina dura akan meningkatkan resiko fraktur ketika dilakukan perawatan pada pasien penyakit ginjal kronis, seperti pada saat ekstraksi. Penyembuhan luka yang lama paska ekstraksi juga akan dialami . 9,17,20,22

(20)

2.4.10 Penangan Dental pada Pasien Penyakit Ginjal Kronis

Dokter gigi memiliki tanggung jawab untuk memberikan perawatan dental sehubungan dengan meningkatnya angka pasien krompomis medis, salah satunya penyakit ginjal kronis. Diperlukan perencanan yang fundamental untuk menangani pasien yang datang dengan kerusakan ginjal hingga kasus yang berat. Sebelum dijelaskan perawatan yang akan dilakukan kepada pasien, klinisi harus menentukan perawatan yang tepat untuk pasien.3

a. Riwayat Medis

Sebelum memulai prosedur perawatan dental, dalam menggali kondisi umum pasien guna mendapatkan riwayat medis yang lengkap, ada beberapa hal yang sebaiknya kita ketahui pada pasien penyakit ginjal kronis, antara lain:9

1. Apa panyebab penyakit ginjal kronis yang diderita 2. Status kardiovaskular dan gangguan lain yang menyertai

3. Perawatan yang dijalani untuk menangani penyakit ginjal kronis 4. Obat-obatan yang dikonsumsi dalam merawat penyakit ginjal kronis 5. Riwayat anemia, infeksi, perdarahan abnormal, kelainan tulang 6. Rincian perawatan dialisis yang dijalani

Sebelum melanjutkan perawatan, sebaiknya dokter gigi melakukan komunikasi dengan dokter ahli yang merawat pasien penyakit ginjal kronis mengenai kondisi lebih rinci dari pasien.

b. Prosedur penangan dental

Para ahli spesialis ginjal berpendapat bahwa penanganan dental yang terbaik dilakukan terhadap pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis adalah satu hari setelah dialisis agar keseimbangan cairan dan elektrolit menjadi optimal.15

Adapun hal-hal yang harus diperhatikan ketika melakukan penanganan dental pada pasien penyakit ginjal kronis, antara lain :

(21)

a. Pasien dalam perawatan penggunaan obat-obatan konservatif.

Dalam menjalankan perawatan dental dibutuhkan komunikasi yang baik dengan dokter spesialis ginjal yang merawat pasien, harus diperhatikan stadium penyakit pasien dan perawatan yang dijalani. Dalam pemberian obat-obatan pada pasien penyakit ginjal kronis, perlu dipertimbangkan perubahan farmakokinetik yang terjadi dalam absorbsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat-obatan. Pasien dengan gangguan ginjal disertai dengan gangguan pada saluran gastro-intestinal seperti gastric atropy, penigkatan pH lambung, ulser dan pendarahan pada saluranan gastro-intetinal, yang bisa memperlambat penyerapan obat-obatan yang dikonsumsi secara oral. Sebelum melakukan prosedur perawatan dental invasif, sebaiknya diperhatikan masalah hematologi pasien. Dihindari fokal infeksi yang mungkin terjadi. Masalah hipertensi dan mengawasi tekanan darah pasien harus diperhatikan. Dalam pemberian obat-obatan, hindari penggunaan obat-obatan yang bersifat nefrotoxic (seperti tetrasiklin, aminoglikosida), dan pemberian dosis yang tepat harus diperhatikan secara detail.7

Pemberian antibiotik profilaksis dibutuhkan sebelum pencabutan, skeling, dan bedah periodontal. Termasuk pada penderita polikistik ginjal, pasien penerima perawatan peritoneal dialisis (bisa berakibat bakteremia sehingga terjadi peritonitis), dan juga pada pasien yang menerima perawatan hemodialisis. Pemberian obat-obatan sebaiknya diberikan setelah konsultasi lebih lajut antara dokter gigi dan ahli ginjal yang merawat pasien penyakit ginjal kronis, kecuali pada kondisi gawat darurat. Antibiotik seperti eritromisin, kloksasilin, dan fusidin bisa diberikan dengan dosis biasa. Penisilin, metronidazole dan sepaloridin digunakan dengan pemberian dosis yang rendah, jika terjadi peningkatan level serum darah sangat tinggi bisa menjadi racun pada sistem saraf pusat. Pemberian tetrasiklin bisa memperburuk retensi nitrogen dan asidosis pada pasien penyakit ginjal kronis. Pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani perawatan hemodialisis akan mudah terkena infeksi endokarditis. Dikarenakan adanya perubahan volume dan hemodialisis yang mempengaruhi kerja jantung sehingga menghasilkan stress yang memberikan

(22)

kesempatan berkembangnya infeksi endokarditis. Oleh karena itu, dibutuhkan pemberian antibiotik profilaksis sebelum memulai perawatan dental untuk mencegah berkembangnya infeksi endokarditis dan infeksi lainnya.9,16,18

American Hearth Association memberi protokol pemberian antibiotik yang

dimodifikasi pada pasien penyakit ginjal kronis berat: vancomisin (1gm) diinfuskan selama satu jam ketika dialisis sehari sebelum perawatan dental. Amoksisilin (3gm) diberikan secara oral satu jam sebelum penaganan dental, pemberian kedua tidak dibutuhkan. Eritromisin etil suksinat (500mg) atau eritromisin stearata (1gm) diberikan 2 jam sebelum prosedur dental, kemudian setengah dosis 6 jam setelah perawatan. Klindamisin (300mg) diberikan secara oral satu jam sebelum prosedur dental, kemudian 15mg 6 jam setelah perawatan. 9

Pemberian anastesi lokal aman digunakan kecuali jika terdapat kecenderungan risiko pendarahan yang berat. Pemberian anastesi yang optimal dieprlukan untuk mencegah toksisitas. Anastesi seperti lidokain dan diazepam aman digunakan untuk pasien penyakit ginjal kronis. Pemberian anastesi umum kontra indikasi jika pasien penyakit ginjal kronis disertai dengan anemia.2,16

Pemberian anastesi lokal dan anastesi umum

Pada pasien penyakit ginjal kronis akan mengalami kondisi imunosupresan, terutama pada pasien yang menjalani perawatan transplantasi ginjal. Kondisi ini akan memudahkan bakteri untuk menginfeksi pasien penyakit ginjal kronis. Tindakan dental yang tidak steril akan memudahkan terjadinya bakterimia pada pasien yang menjalani perawatan dental.9

b. Pasien dalam perawatan peritoneal dialisis

(23)

perawatan ini ketika akan menjalankan perawatan dental, namun prosedur tetap dan kondisi pasien harus diperhatikan saat akan melakukan perawatan dental.7

c. Pasien dengan perawatan hemodialisis

Pasien yang menjalani hemodialisis biasanya melakukan perawatan 3 kali seminggu. Selama proses perawatan, darah pasien diberi antikoagulan dengan heparin untuk membantu menyalurkan darah. Karena itu, perawatan dental memiliki resiko pendarahan harus dilakukan satu hari setelah hemodialisa. Kondisi pasien yang diikuti dengan disfungsi platelet dan anemia, memunculkan resiko infeksi bakteri virus HBC, HCV, HIV. 7

d. Pasien dengan perawatan transplantasi ginjal

Pasien akan mengkonsumsi obat-obatan imunosupresan sebelum menerima transplantasi. Kondisi ini akan memudahkan bakteri untuk menginfeksi pasien penyakit ginjal kronis sehingga beresiko infeksi oral pada pasien. Pasien akan mengonsumsi kortikosteroid, calcineurin inhibitor (Cs, tacrolimus) dan inhibitors of

lympochyte proliferation (azathioprine, mychophenolate mophetil). Pada pasien yang

menjalani proses transplantasi ginjal akan mengalami hiperplasia gingiva, hipertrofi gingiva, ulserasi sebagai manifestasi obat-obatan yang dikonsumsi pasien dalam menjalani transplantasi.7,1

2. Pertimbangan terhadap Hemostasis

Pada pasien penyakit ginjal kronis yang disertai anemia yang parah,harus diperhatikan jumlah hematokrit pasien.2

Untuk mengatasi perdarahan lokal, gunakan gelatin sponge pada soket dan sebaiknya dilakukan penjahitan untuk mengatasi luka yang besar untuk mengoptimalkan penyembuhan luka pada saat pencabutan ataupun bedah. 2

3. Tindakan prekausa di dental chair

Adapun tindakan prekausa pasien penyakit ginjal kronis di dental chair adalah sebagai berikut:

(24)

b. Jika prosedur berlangsung lama, biarkan pasien berjalan atau berdiri sejenak agar tidak terjadi penyumbatan pembuluh darah.

c. Dokter gigi harus mengawasi tekanan darah sebelum dan selama perawatan.

d. Jika diperlukan, lakukan pemberian obat sedativ (penenang) sebelum perawatan dental dilakukan

e. Bagi operator, gunakan perlindungan (berdasarkan standard precaution) sebaik mungkin terhadap transmisi infeksi virus seperti virus hepatitis B, hepatitis C, tuberkolosis, dan HIV.

.

(25)

2.5 Kerangka Teori

2. Penanganan Dental pada Pasien

Penyakit Ginjal Kronis

Pengetahuan Penanganan Dental Penyakit Ginjal Kronis

Klasifikasi PGK Patofisiologi PGK

Etiologi PGK Gambaran

Klinis

Penanganan Dental pada Pasien PGK Manifestasi Oral

pada Pasien PGK

Komplikasi PGK dengan

Penyakit Sistemik Lain Perawatan PGK

Gambaran Laboratorium

(26)

2.6 Kerangka Konsep

Tingkat Pengetahuan Mahasiswa Kepaniteraan Klinik Departemen Bedah

Mulut dan Maksilofasial RSGM-P FKG USU

Cara Penanganan Dental pada Pasien Penyakit

Ginjal Kronis

• Defenisi

• Klasifikasi PGK

• Patofisiologi PGK

• Etiologi PGK

• Gambaran Klinis

• Perawatan PGK

• Komplikasi PGK dengan Penyakit Sistemik Lain

• Manifestasi Oral pada Pasien PGK

Gambar

Gambar 1. Sistem renin-angiotensin-aldosteron (SRAA).24
Tabel 1. Klasifikasi penyakit ginjal kronis berdasarkan Laju Filtrasi Glomerulus (LFG)6,8,10,22
gambar di atas merupakan foto panoramik seorang pasien usia 35 tahun yang

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Web yang berisi informasi mengenai pendakian gunung, pengarungan sungai, dan pemanjatan tebing, pengetahuan dasar berpetulang, lokasi outdoor yang ada di Indonesia beserta peta

4 Tahun 2015 tentang perubahan keempat atas peraturan presiden nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadan Barang/Jasa Pemerintah, pasal 83 ayat 1 huruf h, yang berbunyi:. “K elompok

[r]

Diberitahukan bahwa berdasarkan hasil evaluasi dokumen penawaran, Kelompok Kerja 1 Unit Layanan Pengadaan Kantor Pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah menetapkan

Kelompok Kerja Unit Layanan Pengadaan Daerah Kementerian Keuangan Provinsi Jawa Barat melaksanakan Pengadaan Konsultan Pengawas Pembangunan Gedung dan Sarana

[r]

Berdasarkan fase zat terdispersi, sistem koloid terbagi atas tiga bagian, yaitu koloid sol, emulsi, dan buih.. Sol ialah koloid dengan zat terdispersinya