• Tidak ada hasil yang ditemukan

Risk Perception dan Sensation Seeking

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Risk Perception dan Sensation Seeking"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Bab ini akan membahas teori Risk Perception dan Sensation-Seeking. Teori ini berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan.

A. Sensation-Seeking

1. Definisi Sensation-Seeking

Sensation seeking adalah sebuah perilaku yang menjelaskan tentang penekanan pada pencarian ide yang bervariasi, impulsif, kompleks, intens dan adanya kemauan untuk mengambil resiko baik fisik, hukum ataupun finansial demi mendapatkan pengalaman yang diinginkan tersebut. Kegiatan kongkrit dari sensation seeking tersebut merupakan bentuk dari pengalaman yang menyenangkan bagi orang tertentu dengan berusaha memaksimalkan gairah dan memacu adrenalin mereka untuk aktif sehingga dengan adanya rasa tegang tersebut individu tersebut akan mendapatkan kepuasan dan rasa bahagia ketika mereka melewati situasi tersebut (Zuckerman, 2007).

(2)

Zuckerman, dan Neeb, 1981). Sensation seeking berada dalam sebuah kontinum artinya, semua orang pasti memiliki sensation seeking, antara tinggi dan rendah. Sensation seeking terbentuk dalam tingkah laku yang dimotivasi oleh kebutuhan demi suatu bentuk pengalaman yang baru yang bervariasi dan merupakan sensasi yang kompleks (Halonen, Jane S. & Santrock, Jhon W, 1999).

Istilah dalam definisi sensation seeking menurut Zuckerman merujuk pada variety yaitu kebutuhan akan perubahan akan hal yang telah dialami dan menginginkan hal yang baru. Selain itu, novel di atas menunjukkan adanya ketertarikan pada hal yang tidak dapat di prediksi. Kompleksitas mengacu pada jumlah suatu kegiatan. Sedangkan risiko sendiri mengau pada kecenderungan mendapat resiko negative baik fisik atau pun sosial (Zuckerman, 1979).

Dalam hal ini dapat dipahami bahwa individu dengan sensation seeking tinggi, memiliki keinginan atau kebutuhan untuk melakukan aktifitas yang memberikan stimulasi terhadap indera yang dimilikinya. Untuk memenuhi stimulasi tersebut, individu melakukan aktifitas yang dapat memberikan sensasi dan pengalaman yang kuat atau intense. Dari kedua definisi menurut ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa sensation-seeking adalah keinginan atau perilaku dari individu yang mendorong seseorang untuk mencari pengalaman baru, kompleks, dan intense untuk mendapatkan stimulasi indrawi. Lebih lanjut, Zuckerman (2007) menjelaskan bahwa pengemudi dengan sensation-seeking yang tinggi punya kecenderungan melihat dirinya sebagai individu dengan skill mengemudi yang baik yang kemudian menjadikan dirinya sensation-seeker sehingga menilai rendah risiko yang ada dalam tiap aktifitasnya dalam hal ini yaitu mengemudikan kendaraan.

(3)

lalu lintas yang ada dengan tujuan untuk terhindar dari kecelakaan. Tapi, pengemudi dengan sensation-seeking yang tinggi memiliki presentasi kefatalan yang tinggi apabila mengalami kecelakaan dibanding dengan pengemudi dengan sensation- seeking yang rendah.( Wong, Chung, dan Huang, 2010). Hennesey (2011) menegaskan pendapat ini dengan mengemukakan bahwa mengemudi merupakan kesempatan yang baik bagi pengemudi dengan sensation-seeking yang tinggi untuk memenuhi kebutuhan mereka akan arousal, ketegangan, bahaya, kecepatan, dan kompetisi.

2. Karakteristik Perilaku Sensation Seeking

Dalam penelitiannya Zuckerman menguraikan beberapa ciri perilaku dari orang – orang yang memiliki sensation seeking yang tinggi, yaitu:

a. Terlibat dalam aktifitas yang berisiko tinggi, baik dalam pekerjaan, hobi, olahraga, maupun kegiatan sehari – harinya.

b. Menyukai situasi fobik yang umum, seperti kegelapan, ketinggian, kedalaman, ataupun atensi yang tinggi terhadap binatang yang berbahaya.

c. Punya keberanian ekstrim

d. Menyukai segala hal yang menantang

e. Dapat menikmati segala sesuatu yang berbahaya

f. Menganggap semua situasi sebagai situasi yang kurang berisiko dan mengaggap eneteng g. Masuk ke perilaku yang berisiko tinggi

h. Keluar dari situasi yang ada karena ridak ada stimulasi seperti yang diinginkannya i. Berkurang atau bahkan hilang rasa cemas terhadap situasi berisiko.

(4)

penelitian membuktikan bahwa senation seeking meningkat sejak usia kanak – kanak hingga remaja dan puncaknya adalah tahap remaja akhir dengan usia sekitar 18 – 20 tahun (Larsen & Buss, 2002). Sejalan dengan penelitian yang menyatakan bahwa sensation seeking mengalami peningkatan pada usia 16 tahun dan mulai mengalami penurunan pada awal usia 20 tahun (Hole, 2007).

3. Dimensi Sensation-seeking

Adapun dimensi – dimensi Senation-Seeking menurut Zuckerman (1979) antar lain:

a. Thrill and Adventure

Dimensi ini berhubungan dengan individu yang memiliki kebutuhan untuk beraktifitas yang beresiko pada tiap individu. Aktifitas yang beresiko ini diliputi keinginan yang kuat untuk ikut terlibat dalam aktifitas fisik yang berbahaya dam merupakan kegiatan yag tidak biasa dari yang dilakukan orang lain pada umumnya dalam hal ini adalah mengemudi yang berbahaya dan berisiko mengakibatkan kecelakaan. Sejalan dengan penelitian (Schewebel, dkk, 2007; Wong, Chung, Huang, 2010) yang menyatakan bahwa sensation seeking merupakan kebutuhan individu untuk mendapatkan suatu pengalaman yang menibulkan gairah atau arousal.

b. Experience Seeking

Dimensi pencarian pengalaman berhubungan dengan penghayatan individu terhadap pengalaman baru yang ia alami dan rasakan melalui indera. Dalam hal ini, ia mendapatkan pengalaman dari cara mengemudi yang berisiko yang ia lakukan.

c. Disinhibition

Dimensi ini berhubungan dengan perilaku impulsive individu, meliputi keinginan yang kuat untuk melakukan aktifitas yang mengandung resiko sosial.

d. Boredom Susceptibility

(5)

Berdasarkan pemaparan diatas dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa dimensi yang dapat membentuk tinggi rendahnya tingkat Sensation- seeking terhadap individu.

B. Persepsi Risiko Kecelakaan 1. Definisi Persepsi

Menurut Robbins (2001) persepsi adalah proses yang digunakan individu untuk mengelola dan menafsirkan kesan indera mereka dalam rangka memberi makna kepada lingkungan mereka. Apa yang dipersepsikan oleh seseorang dapat berbeda dari kenyataan objektif. Individu – individu memandang satu benda yang sama, namun mempersepsikannya secara berbeda. Sejumlah faktor berperan dalam membentuk dan kadang memutarbalikkan persepsi. Faktor – faktor ini dapat berbeda dalam objek atau target yang dipersepsikan, atau dalam konteks situasi dimana persepsi itu dibuat.

Persepsi adalah proses dari seseorang dalam memahami lingkungannya yang melibatkan pengorganisasian dan penafsiran sebagai rangasangan dalam suatu pengalaman psikologis. Setiap orang memberi arti sendiri terhadap rangsangan, individu melihat hal yang sama dengan cara yang berbeda. Persepsi berperan dalam penerimaan rangsangan, mengaturnya, dan menterjemahkannya atau menginterpretasikan rangsangan untuk mempengaruhi peilaku dan membentuk sikap (Gibson, 1996). Kemampuan membeda – bedakan, mengelompokkan, memfokuskan perhatian terhadap suatu objek rangsang. Dalam proses pengelompokkan dan membedakan ini persepsi melibatkan proses interpretasi berdasarkan pengalaman terhadap suatu peristiwa atau objek (Saleh dan Wahab, 2004).

(6)

yang berbeda pada setiap individu meskipun dalam objek yang sama. Karena hal itu, persepsi juga dapat mempengaruhi perilaku dan membentuk sikap dari seseorang.

2. Persepsi Risiko

A. Definisi Persepsi Risiko

Slovic (1987) mendefinisikan persepsi risiko sebagai penilaian yang dibuat oleg individu saat mereka diminta untuk membuat karakterisasi dan evaluasi dari aktifitas berbahay serta teknologinya. Sementara Deery (1999) mengemukakan bahwa persepsi risiko sebagau penalaman subjektif tentang potensi risiko dalam lalu lintas. Dari kedua definisi diatas, dapat disimpulkan bahwa persepsi risiko adalah kemampuan seseorang untunk memberikan penilaian terhadap karakteristik risiko dan value yang terdapat dalam sebuah pilihan dan pilihan dari penilaian ini merupakan pengalaman subjektif dari setiap individu. Dalam hal ini, mengemudi. Jenis risiko yang dipersepsikan oleh individu adalah kemungkinan terjadinya kecelakaan akibat keputusan-keputusan yang dibuat saat mengemudikan kendaraan (Eby & Molnar, 1998; Berry, Johnson, & Porter, 2011). Maka, dalam penelitian ini, persepsi risiko merupakan kemampuan seseorang untuk secara subjektif memberikan penilaian terhadap risiko kecelakaan yang terdapat dalam suatu situasi mengemudi. Dalam situasi mengemudi, persepsi risiko yangdilakukan oleh individu bersifat kontekstual yang berarti tinggi rendahnya risiko yang diperpesi oleh ondividu bergantung pada situasi mengemudi yang spesifik (Ivers dkk, 2009).

(7)

perasaan mendebarkan yang didapatkan ketika mengemudi berisiko mengalahkan pertimbangan nilai kemungkinan yang mungkin terjadi saat kecelakaan. Matthews (2001) mengemukakan bahwa peranan persepsi risiko dalam perilaku mengemudi. Menurutnya, persepsi risiko berperan dalam penilaian pengemudi terhadap apa yang dibutuhkan terhadap lingkungan disekitarnya. Di samping itu, persepsi risiko juga memberikan penilaian terhadap pilihan untuk menyelesaikan permasalan yang ada. Kedua fungsi tersebut dipengaruhi oleh karakteristik kepribadian dari pengemudi itu sendiri. Secara khusus pada perilaku melanggar peraturan lalu lintas yng menyebabkan kecelakaan. Porter (2011) juga menerangkan bahwa perspsi risiko memiliki hubungan terhadap perilaku melanggar rambu – rambu lalu lintas, termasuk diantaranya perilaku melanggar lampu merah.

Sjoberg, Moen, & Rundmo (2004) mengemukakan bahwa persepsi risiko adalah penilaian subjektif tentang terjadinya suatu kecelakaan dan seberapa besar perhatian individu akan konsekuensinya. Untuk memahami resiko mencakup evaluasi probabilitas serta konsekuensi dari hasil negatif (1988) dalam Ferguson). Sedangkan menurut Brown dan Groeger (1988) dalam Ferguson (2003) persepsi risiko tidak hanya meliputi pemeriksaan potensi bahaya di lingkungan lalu lintas tetapi juga pemeriksaan kemampuan pengemudi dan kendaraan untuk mencegah potensi bahaya dari tabrakan sesungguhnya. Sedangkan Diamant & Brousand (2002) menyatakan bahwa persepi risiko merupakan kemampuan untuk mengidentifikasi faktor risiko yang relevan dan kemampuan untuk mengatasi resiko tersebut.

(8)

mengatasi risiko yang mungkin akan terjadi serta seberapa besar perhatian individu akan konsekuensinya.

3. Faktor – faktor Persepsi Risiko

Ropeik & Slovic (2003) menyebutkan bahwa faktor – faktor persepsi risiko terdiri dari 10 faktor, yaitu:

1. Ketakutan (dread) 2. Kontrol

3. Asal Risiko (alam atau manusia) 4. Pilihan

5. Melibatkan anak – anak 6. Baru tidaknya risiko 7. Kewaspadaan

8. Bias hal itu akan terjadi pada diri sendiri 9. Pertukaran risiko keuntungan

10. Kepercayaan terhadap faktor yang menghindarkan kecelakaan

Faktor – faktor risiko tersebut merupakan faktor – faktor secara umum, yang dapat digunakan dalam berbagai jenis persepsi risiko. Dalam jurnal penelitiannya, Ropeik & Slovic (2003) memberikan penjelasan dan contoh penggunaan faktor – faktor persepsi risiko tersebut dalam berbagai jenis seperti persepsi risiko dalam hal teknologi, persepsi risiko dalam hal komunikasi, persepsi risiko dalam hal kecelakaan dan sebagainya. Persepsi risiko dalam hal teknologi seperti dampak teknologi baru yang diciptakan, seperti teknologi nuklir. Persepsi risiko dalam hal komunikasi seperti merebaknya informasi mengenai terorisme. Persepsi risiko dalam hal kecelakaan seperti yang di gunakan peneliti dalam penelitiannya ini yaitu persepsi risiko terjadinya kecelakaan lalu lintas saat berkendara.

(9)

1. Ketakutan (dread)

Kejadian memiliki risiko yang bsear apabila akibat yang akan di timbulkan menakutkan. Ropeik & Slovic (2003) menyatakan bahwa kematian yang menakutkan sering menimbulkan perhatian yang lebih dari individu. Dalam mengemudi, apabila individu menganggap bahwa akibat dari perilaku mengemudi yang berisiko adalah terlibat dalam kecelakaan serta mengalami cara kematian yang menakutkan, maka risiko yang dipersepsi adalah besar.

2. Kontrol

Persepsi dari suatu risiko akan dianggap kecil apabila individu merasa kontrol (kendali) atas situasi yang dihadapi. Akan tetapi, apabila individu merasa tidak memiliki kontrol atas situasi yang dihadapinya, maka individu tersebut akan memiliki persepsi risiko yang besar terhadap situasi yang dihadapinya tersebut. Misalkan, posisi sebagai pengendara di dalam sebuah mobil akan dianggap oleh individu sebagai sutuasi yang berisiko rendah, karena pengemudi merasa memiliki kontrol atas mobil yang dikemudikannya tersebut terhadap segala hal yang akan terjadi selama mengemudi. Namun, apabila individu berposisi sebagai penumpang, maka ia akan mempersepsi hal tersebut sebagai risiko yang tinggi karena ia tidak memiliki kontrol atas kemudi kendaraan tersebut (Ropeik & Slovic, 2003).

3. Asal Risiko (alam atau manusia)

(10)

4. Pilihan

Suatu risiko yang dipilih individu akan di persepsi lebih rendah jika dibandingkan dengan apabila risiko tersebut dipaksakan oleh orang lain kepada diri kita. Misalkan, jika kita mengemudikan kendaraan sambil menggunakan handphone, maka persepsi terhadap risiko tersebut akan cenderung rendah karena anda merada dapat kontrol atas situasi yang akan terjadi. Tetapi jika kita melihat orang lain yang melakukan hal yang sama dalam hal ini yaitu mengemudikan kendaraan sambil menggunakan handphone maka kita akan merasa kesal dengan risiko yang dipaksakan oleh orang tersebut kepda kita. Hal ini dikarenakan kita tidak dapat mengontrol situasi yang akan terjadi, sebab pengemudi lain tersebut yang memiliki kontrol sehingga kita mempersepsikan risiko yang tinggi terhadap kecelakaan pada diri kita. Faktor ini berkontribusi dalam contoh yang peneliti sebutkan, karena kita memiliki kendali atas kendaraan yang kita kemudikan (Ropeik & Slovic, 2003).

5. Melibatkan Anak – anak

Suatu kondisi atau kejadian akan dipersepsi lebih memiliki risiko apabila melibatkan anak – anak (Ropeik & Slovic, 2003). Misalkan, individu yang mengendarai sebuah mobil akan mengurungkan niatnya untuk melakukan maneuver – maneuver tertentu (dalam hal ini yang membahayakan) karena di dalam mobil yang dikendarai terdapat penumpang anak – anak. Individu akan memberikan persepsi terhadap manuver – manuver yang dilakukan memiliki risiko yang tinggi apabila terdapat anak – anak di dalam kendaraan yang dikendarai, tapi, apabila individu mengemudikan kendaraan tanpa adanya penumpang anak – anak, maka individu cenderung akan melakukan manuver – manuver tersebut dan memperspsikan manuver yang dilakukan tersebut kecil risikonya. 6. Baru tidaknya risiko

(11)

apabila individu menemui situasi risiko yang sudah dikenali, maka individu akan mempersepsikan risiko tersebut rendah walaupun individu tersebut berada pada setiap risiko yang sama (Ropeik & Slovic, 2003). Misalka, ketika pengemudi melewati suatu persimpangan yang belum pernah dilewati, pengemudi akan lebih berhati – hati karena persepsi pada situasi tempat yang baru ditemui nya. Tetapi jika pengendara yang sama sudah sering melewati persimpangan tersebut, maka pengendara akan lebih ceroboh (misalkan menerobos lampu lalu lintas di persimpangan yang sudah sering di lalui tersebut) karena sudah mempersepsi risiko kecelakaan rendah pada situasi tersebut (Budiastomo dan Santoso, 2007).

7. Kewaspadaan

Semakin waspada inividu terhadap suatu situasi yang berisiko, semakin individu tersebut lebih menaruh perhatian pada risiko tersebut (Ropeik & Slovic, 2003). Misalkan, semakin banyak informasi yang didapatkan oleh individu bawha Jalan “X” merupakan jalan yang rawan terjadi kecelakaan, maka individu tersebut kan lebih waspada dalam mengemudikan kendaraannya. Hal ini di tunjukkan dengan individu tersebut akan lebih berhati – hati apabila melewati jalan tersebut karena informasi yang dia dapat tentang jalan yang rawan keelakaan tersebut. Walaupun pada kenyataannya, seseorang dapat mengalami kecelakaan di jalan manapun yang dilewatinya akibat perilaku mengemudi yang dilakukannya. Tetapi informasi tersebut meningkatkan kewaspadaan pengemudi, sehingga ia lebih perhatian terhadap risiko kecelakaan yang ditimbulkan di jalan “X” tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa ia mempersepsi risiko terjadinya kecelakaan tinggi apabila tidak waspada dan tidak mengemudi secara hati – hati.

8. Bias hal itu akan terjadi pada diri sendiri

(12)

Misalkan, informasi tentang jalan “X” merupakan jalan rawan kecelakaan (karena berdasarkan data satistik jalan tersebut memiliki angka kecelakaan yang tinggi) akan membuat individu menganggap bahwa setiap orang yang melewati jalan tersebut akan mengalami kecelakaan, baik mengemudi secara aman atau pun tidak aman (hal ini berarti resiko kecelakaan apabila melewati jalan tersebut di persepsi tinggi). Padahal kemungkinan akan terjadinya kecelakaan belum tentu terjadi pada setiap individu, baik dengan berkendara aman maupun tidak aman, walaupun jalan tersebut rawan kecelakaan. Hal ini menjelaskan mengapa kemungkinan satistik seringkali tidak relevan bagi kita dan merupakan bentuk komunikasi resiko yang tidak efektif (Ropeik & Slovic, 2003).

9. Pertukaran risiko keuntungan

Beberapa peneliti persepsi risiko dan penganalisis risiko menilai bahwa pertukaran risiko keuntungan adalah faktor utama yang membuat individu lebih atau kurang takut terhadap suatu ancaman. Jika individu melihat adanya suatu keuntungan dari suatu perilaku atau pilihan, risiko yang dipersepsikannya terhadap perilaku atau pilihannya tersebut dipersepsikan lebih kecil risikonya. Jika individu melihat tidak adanya suatu keuntungan dari suatu perilaku atau pilihan, risiko yang dipersepsikan akan lebih besar. (Ropeik & Slovic, 2003). Misalkan, seorang pengemudi akan mempersepsikan perilaku mengemudi melawan arah sebagai risiko kecil apabila pengemudi tersebut sedang terburu – buru dan beranggapan bahwa bila mengemudi melawan arah akan mendapatkan keuntungan berupa tidak perlu memutar kendaraan pada tempat berputar yang seharusnya yang jaraknya lebih jauh serta dapat tiba di tempat tujuan lebih awal. Tapi jika ia tidak sedang terburu – buru, maka ia akan lebih melihat bahaya yang ditimbulkan dari mengemudi melawan arah tersebut dan mempersepsi risiko terjadinya kecelakaan lebih besar.

(13)

Penelitian menunjukkan bahwa semakin kecil kepercayaan kita terhadap faktor – faktor (misalkan lembaga perlindungan, orang, ataupun benda) yang dapat melindungi diri, maka kita akan semakin takut terhadap risiko yang akan kita hadapi. Tetapi, semakin besar kepercayaan kita terhadap faktor – faktor yang dapat melindungi diri kita, semakin kecil rasa khawatir yang kita rasakan (Ropeik & Slovic, 2003). Apabila seorang pengemudi percaya bahwa kendaraan yang digunakannya aman dan layak untuk dikendarai, mak risiko yang dipersepsikannya kecil. Namun, apabila pengemudi tersebut tidak percaya bahwa kendaraan yang digunakannya aman dan layak untuk dikendarai, maka risiko yang dipersepsikannya besar sehingga ia tidak percaya bahwa kendaraannya tersebut dapat digunakan untuk membawanya ke tempat tujuan dengan selamat.

C. Pengemudi Remaja

Menurut PP No. 43 tahun 1993, pengemudi adalah orang yang mengemudikan kendaraan bermotor atau orang yang secara langsung mengawasi calon pengemudi yang sedang belajar mengemudikan kendaraan bermotor. Pengemudi harus memenuhi persyaratan agar dapat mengemudikan kendaraan. Menurut Hamidan (2001) dalam Utami (2010) persyaratan pengemudi adalah :

1. Setiap pengemudi wajib memiliki SIM 2. Cukup umur

3. Sehat jasmani dan rohani

4. Berpengalaman tentang peraturan lalu lintas 5. Cakap mengemudikan kendaraan

(14)

wanita dan 13 – 22 tahun bagi pria. Rentang usia ini dibagi 2 bagian yaitu, 12/13 tahun sampai 17/18 tahun adalah remaja awal, dan usia 17/18 tahun sampai 21/22 tahun adalah remaja akhir

Batasan usia pengemudi remaja sendiri telah dikemukakan oleh beberapa ahli. Pengemudi remaja sendiri termasuk ke dalam golongan pengemudi usia muda (young driver). Menurut Ferguson (2003), pengemudi muda adalah pengemudi yang berada pada rentang usia 18 – 24 tahun. Pengemudi pada usia ini cenderung untuk menilai situasi berbahaya kurang berisiko daripada pengemudi yang lebih tua usianya (Ferguson, 2003). Parry (dalam Tasca, 2000) mengatakan bahwa perilaku yang berisiko paling banyak ditampilkan oleh young driver yaitu pada rentang usia 17 – 35 tahun dimana remaja mendominasi dalam perilaku mengemudi yang berisiko terhadap terjadinya kecelakaan tersebut.

Fenomena tingginya kecelakaan lalu lintas pada pengemudi remaja d berbagai Negara khususnya di Indonesia, telah menjadikan dasar berbagai penelitian terhadap pengemudi remaja di berbagai negara. Diantaranya adalah penelitian mengenai sensation-seeking dan risk perception.

Berbagai penelitian mengenai persepsi risiko dan sensation-seeking kecelakaan pada pengemudi remaja menunjukkan bahwa pengemudi remaja memiliki persepsi risiko kecelakan yang rendah daripada pengemudi yang berusia lebih tua. Sebagian besar studi dan penelitian mengenai persepsi risiko pengemudi usia muda menunjukkan bahwa kesalahan persepsi terhadap bahaya sebagai salah satu faktor penyebab kecelakaan lalu lintas (Rundmo dan Iversen, 2004).

(15)

laki pada umumnya mempersepsi risiko yang berhubungan dengan mengemudi lebih rendah dibandingkan dengan perempuan (dalam Rundmo dan Iversen, 2004).

Pada penelitian ini, sampel yang digunakan adalah pengemudi pada rentang usia remaja awal sampai remaja pertengahan 12/13 tahun sampai 17/18 tahun karena mempertimbangkan perilaku sensation seeking yang tinggi serta risk perception yang rendah.

Kerangka Berpikir

D. Hipotesis Penelitian

Adapun hipotesis dalan penelitian ini adalah;

Ha: Terdapat hubungan antara Sensation-seeking dengan risk perception terhadap pengemudi sepeda motor motor di kota Bandung.

H0: Tidak terdapat hubungan antara sesntaion seeking dengan risk perception terhadap pengendara sepeda motor di kota Bandung

Bab ini telah membahas teori yang menjadi dasar penelitian.

Langkah – langkah penelitian yang telah dilakukan akan dipaparkan dalam bab selanjutnya dari skripsi ini, yaitu bab metode penelitian.

Risk perception rendah Tinggi

Pengemudi Remaja(young

drivier) Risk perception

Tinggi Rendah

Referensi

Dokumen terkait