• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ujian Akhir Semester Kerangka Pemikiran (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ujian Akhir Semester Kerangka Pemikiran (1)"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

UJIAN AKHIR SEMESTER: KERANGKA PEMIKIRAN

METODOLOGI PENELITIAN HUBUNGAN INTERNASIONAL

Makalah

Diajukan untuk Memenuhi Ujian Akhir Sekolah Mata Kuliah Metodologi Penelitian Hubungan Internasional

Disusun oleh:

Ramadhani Eko Putranto

1110113000014

PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

Judul Penelitian

Peranan Six-Party Talks dalam Konflik Semenanjung Korea Pada Tahun 2003-2009

Pertanyaan Penelitian

1. Bagaimanakah peranan dari Six-Party Talks dalam konflik di Semenanjung Korea pada tahun 2003-2009?

Kerangka Pemikiran

Dalam upaya untuk menganalisis dan mengupas permasalahan yang ada terhadap

penelitian penulis terkait dengan “Peranan Six-Party Talks dalam Konflik Semenanjung Korea pada tahun 2003-2009”, penulis akan meggunakan teori neorealisme untuk mencoba menjawab

dan menganilisis penelitian tersebut. Neorealisme muncul pertama kali dan mulai menjadi bahan

perbincangan oleh pakar hubungan internasional pada tahun 1970-an. Kenneth Waltz, seorang pria

berkebangsaan Amerika Serika Serikat, adalah seorang yang paling berjasa dalam

mengembangkan diskursus neorealisme.

Kepopuleran ini berawal dari sebuah buku yang ditulis olehnya yang berjudul Theory of International Politics yang diterbitkan pada tahun 1979 yang mengupas ide-ide dan proses pembangunan argumen-argumen neorealisme. Sebagaimana dikutip dari buku Teori-teori

Hubungan Internasional, neorealisme muncul atas dasar tantangan yang dikemukakan oleh teori

independensi dan sebagian lain merupakan koreksi terhadap pengabaian realisme tradisional

(3)

Pada dasarnya terdapat beberapa perbedaan antara realisme dan neoralisme dalam

beberapa aspek dan asumsi. Salah satunya adalah neorealisme tidak semata-mata hanya

didominasi oleh aspek militer, akan tetapi lebih diorientasikan kepada studi perdamaian dan

berfokus kepada isu-isu pembangunan terutama di negara-negara berkembang (Burchill &

Linklater, 1996). Perspektif neorealisme lebih cenderung berfokus pada sistem interasional yang

dilihat oleh Waltz sebagai faktor utama yang mendorong aktor negara bertindak. Fokus Waltz

adalah pada struktur sistem internasional dan konsekuensi tersebut bagi hubungan internasional

yang dilakukan oleh aktor negara nantinya.

Terkait dengan perbedaan asumsi yang ada tersebut, Robert Gilpin juga memiliki pendapat

yang membedakan realisme dan neorealisme. Gilpin melihat bahwa seiring dengan perkembangan

zaman terutama pada abad ke-20, perkembangan yang terjadi dilihat dari berbagai fenomena yang

terjadi selama ini membuktikan bahwa tidak hanya faktor-faktor militeristik saja yang berpengaruh

dalam sistem internasional, tetapi faktor ekonomi dan politik (Gilipin, 1981:1).

Terkait dengan sistem internasional tersebut, Waltz melihat bahwa tatanan sistem

internasional adalah anarkis, dengan tidak adanya otoritas apa pun yang mengatur sikap

negara-negara terhadap bangsa lain (Burchill & Linklater, 1996:117). Hal ini bermaksud bahwa

neorealisme memandang pesimis akan kehadiran sistem internasional yang harmonis dan

memandang bahwa perdamaian akan sulit terjadi di tengah situasi sistem internasional yang di

mana tidak ada satupun negara yang dapat mendorong negara lain untuk bertindak.

Bagi neorealisme, karena struktur yang menjadi konteks dari perilaku negara-negara,

dalam sebuah sistem yang secara struktural anarkhi, negara harus bertindak semata-mata

(4)

& Linklater, 1996). Dia menambahkan bahwa dalam sistem yang anarkhi, negara tidak bisa

menggantungkan keamanan dan kelangsungan hidupnya pada negara atau institusi lain, melainkan

pada kemampuannya sendiri (self-help), yakni mengumpulkan berbagai sarana kekuatan militernya (Burchill & Linklater, 1996).

Sebagaimana dikutip dari Whyte (Whyte, 2012):

Waltz (1986) claims that the anarchic international system was a force that fashioned the

states which constitute the system. The structure of the anarchic system compelled states to worry about security and take adequate measures achieve it. The preferences of states could not explain international outcomes, rather, Waltz argued that “state behaviour varies more with differences of power than with difference in ideology, in internal structure of property relations or in governmental form (Waltz, 1986, cited in Walt, 2002, p.202-203).”

Terkait dengan pernyataan di atas, Waltz percaya bahwa negara-bangsa tidak seperti

individu dalam masyarakat domestik yang eksis dalam lingkungan swadaya, dimana kebutuhan

untuk bertahan hidup mengharuskan mereka untuk mencari keamanan dengan menambah

kekuatan militer (Burchill & Linklater, 1996:117). Waltz percaya bahwa sistem internasional

memiliki struktur sosial yang bisa didefinisikan sebagai dengan tepat dengan tiga karakteristik

penting; yaitu prinsip tatanan sistem, karakter unit dalam sistem, dan distribusi kemampuan unit

dalam sistem (Burchill & Linklater, 1996: 117).

(5)

menjalankan serangkaian fungsi pemerintah seperti pertahanan nasional, pengumpulan pajak dan

peraturan ekonomi. Sehingga, ada satu hal di mana negara-negara berbeda dan bahkan berbeda

jauh: dalam kekuatanya, apa yang disebut Waltz sebagai kapabilitas relatifnya. Dengan demikian,

hubungan internasional menurut Waltz merupakan suatu anarki yang terdiri dari negara-negara

yang beragam dan hanya berbeda dalam satu hal penting: kekuatan relatifnya (Burchill &

Linklater, 1996:112-118).

Selain Waltz, tokoh lain yang berperan besar dalam pengembangan neorealisme adalah

Barry Buzan. Di dalam buku Barry Buzan yang berjudul “People, States and Fear” sebagaimana

tercantum dalam buku Aktor Isu dan Metodologi karya Yulius P. Hermawan, Buzan membagi

sektor keamanan ke dalam 5 bidang: militer, politik, lingkungan, ekonomi dan sosial (Hermawan,

2007). Menurut pendekatan ini sektor militer hanya merupakan salah satu aspek penting dalam

konsep kemanan, keamanan yang lebih luas akan dipengaruhi oleh sektor politik, ekonomi, sosial

dan lingkungan baik dari peringkat individu, nasional, regional, dan global.

Kelima sektor ini adalah sektor yang pada dasarnya dilihat oleh Buzan sebagai faktor

penggerak suatu negara bertindak. Terkait dengan aspek militer, Buzan menyatakan bahwa militer

merupakan aspek yang tidak akan pernah bisa terlepaskan dalam hubungan yang dibangun dalam

negara, hanya saja kajian realisme terlalu berfokus pada hal ini (Hermawan, 2007). Buzan melihat

bahwa militer tidak hanya satu-satunya spek yang dapat dilihat. Dia menambahkan empat sektor

lainnya yaitu politik, lingkungan, ekonomi dan sosial ke dalam asumsi nya.

Terkait dengan sektor politik, Buzan berargumen bahwa struktur internasional deipngaruhi

oleh politik yang saling berorelasi dalam hubungan negara-negara (Hermawan, 2007). Buzan

(6)

internasional dan begitu pula sistem internasional itu sendiri. Terdapat hubungan kausal antara

keduanya. Terkait dengan sektor ekonomi yang dimaksud oleh Buzan adalah faktor ekonomi

sebagai penggerak dalam sosialisasi negara-negara yang menjadi motor bagi negara untuk

mencapai kepentingannya masing-masing (Hermawan, 2007). Buzan merefleksikan pendapatnya

pada kenyataan bahwa negara-negara melakukan hubungan ekonomi yang notabene usahanya

untuk memenuhi kebutuhannya demi pencapaian power.

Sektor lingkungan dan sosial juga berperan dalam pembentukkan sikap negara di sistem

internasional di mana lingkungan dan sosial lambat laun mendorong negara untuk bertindak atas

dasar kepentingannya dan upayanya mencapai power (Hermawan, 2007). Hermawan menyebut ini sebagai Peace Strategies. Di mana Peace Strategies merupakan kombinasi baru antara kajian perdamaian dan keamanan/strategis, konsep ini menekankan pembahasannya pada upaya

pencapaian keamanan dan perdamaian nasional, regional, serta internasional melalui

pengagabungan teori perdamaian, konflik, pembangunan dan peradaban umat manusia

(Hermawan, 2007). Peace Strategies memfokuskan pencapaian kemananan dan perdamaian tanpa harus berperang (security and peace without war) (Hermawan, 2007:35).

Neorealis menjadikan sistem internasional sebagai struktur yang dihasilkan dari interaksi

para unit aktor.Namun, sifat dari struktur sistem internasional tersebut mengalami tingkat

kerumitan sehinnga memunculkan beberapa lensa yang digunakan untuk memotret baik sifat, tipe

aktor dan interaksi keamanan yang dihasilkannya. Lensa analisa tersebut berupa sektor analisis

(7)

Tiga sektor yang relevan tersebut adalah faktor militer, faktor politik dan faktor ekonomi.

Sektor militer yang dimaksud adalah kapabilitas aktor dalam memperkuat kekuatan militer,

sedangkan sektor politik adalah adanya usaha dari aktor-aktor lainnya yang mencoba ikut andil

dalam suatu masalah dalam skala internasional yang pada akhirnya dapat memperkeruh dan

memperalot jalannya permasalahan. Sektor ekonomi adalah sektor yang memusatkan perhatiannya

pada hubungan perdagangan, produksi, keuangan diantara para/unit aktor. Sektor ini merujuk pada

hubungan antara unit/aktor dalam pasar internasional dan akses terhadap

perdagangan/perekonomian internasional.

 Keamanan

Kemanan merupakan sebuah isu yang tentu menjadi perhatian utama bagi tiap negara.

Terutama dalam neorealisme. Kemanan memliki peranan besar dalam menentukan arah kebijakan

negara. Dalam bukunya Perwita dan Yani menyatakan bahwa keamanan yaitu (Perwita & Yani

2005):

a nation is secure tp the extent to which it is not in danger of having to sacrifice core

values if it wishes to avoid war, and is able, if challenged, to maintain them by victory in such a war”.

Kemudian Arnold Wolfers melihat bahwa keamanan adalah:

Security, in any objective sense, measures the absence of threats to acquired values and

(8)

Definisi keamanan diatas menunjukkan persamaan dalam hal kebebasan terhadap

ancaman-ancaman (militer) namun, konsepsi diatas juga secara jelas mengindikasikan perbedaan atau aktor

keamanan (individual, nasional atau internasional).

Balance of Power

Dalam asumsi-asumsi yang ditawarkan neorealisme terdapat sebuah konsep yang bernama

balance of power. Waltz berargumen bahwa di dalam sistem internasional negara-negara besar akan selalu cenderung menyeimbangkan satu sama lain. Tetapi “teori balance of power

menyebabkan seseorang memperdiksi bahwa negara-negara lain... akan mencoba menggiring

kekuatan lain menjadi seimbang” (Jackson & Sorensen, 2005:111)

Pendapat ini dikembangkan oleh Waltz dengan melihat apa yang terjadi pada situasi sistem

internasional kala itu. Waltz menyatakan:

“Pasca perang dunia didominasi oleh dua negara superpower, Amerika Serikat dan Uni

Soviet, yang di mana dunia terbagi dalam sistem bipolar. Kemudian, Uni Soviet runtuh dan

hancurnya Uni Soviet mengakibatkan suatu sistem yang berbeda dengan beberapa negara

berkekuatan besar tetapi dengan Amerika Serikat sebagai kekuatan paling dominan dalam

sistem tersebut. Selanjutnya negara-negara berkekuatan kecil dan lemah memiliki

kecendrungan mengaliansikan dirinya dengan negara-negara berkekuatan besar. Dalam

membuat argumen ini Waltz berangkat dari kaum Realis klasik yang mendasarkan diri

pada sifat manusia yang dipandang `sangat buruk` dan karenanya mengarah pada konflik

dan konfrontasi. Bagi Waltz, negara-negara adalah pencari kekuasaan dan sadar-keamanan

bukan disebabkan oleh sifat manusia tetapi lebih disebabkan struktur sistem internasional

(9)

Seperti diketahui, Waltz menganggap realisme klasik dan neoklasik sebagai titik awal dan

mengembangkan sebagian asumsi dan pemikiran intinya. Sebagai contoh, ia menggunakan

konsep anarki internasional dan memfokuskan secara khusus pada negara-negara (Jackson &

Sorensen, 2005). Dengan kata lain, Waltz melihat bahwa negara masih dianggap sebagai aktor

terpenting dalam sistem internasional. Waltz juga menganggap bahwa perhatian

mendasar-mendasar negara-negara adalah keamanan dan kelangsungan hidup. Ia juga menganggap bahwa

masalah utama konflik negara berkekuatan besar adalah perang, dan bahwa tugas utama hubungan

internasional di antara negara-negara berkekuatan besar adalah perdamaian dan keamanan. Oleh

karena itu, Waltz memandang bahwa balance of power terjadi secara alamiah dan dialami oleh setiap negara.

Erns B. Hass dalam bukunya The Balance of Power: Prscription, Concept of progpaganda? di mana terdapat delapan konsep yang dalam menjelaskan balance of power,yaitu (Sitepu, 2001):

1. Keseimbangan sebagai akibat dari distribusi kekuatan yang seimbang di antara

negara-negara.

2. Keseimbangan sebagai akibat dari distribusi kekuatan yang tidak seimbang di anatara

negara-negara bangsa.

3. Keseimbangan sebagai akibat dari dominasi salah satu negara bangsa.

4. Suatu sistem yang relatif stabil dan damai.

5. Suatu sistem yang dicirikan oleh ketidakstabilan dan perang.

6. Cara lain untuk menyebutkan keuntungan politik.

7. Suatu dalail sejarah yang universal.

(10)

 Kepentingan Nasional

Neorealisme kemudian juga memandang penting akan kehadiran konsep kepentingan

nasional dalam analisis hubungan yang terjadi antar negara. Seperti halnya realisme yang

menitikberatkan kepentingan nasional dalam argumennya, neorealisme melihat bahwa

kepentingan nasional memiliki peranan besar. Sebagaimana dikutip dari buku Ilmu Hubungan

Intrenasional Disiplin dan Mentodolgi karya Mohtar Mas’oed, Frankel merumuskan kepentingan

nasional sebagai aspirasi dari suatu negara yang dapat diwujudkan secara operasional dalam upaya

mencapai suatu tujuan yang spesifik (Mas'oed, 1990).

Menurut Morgenthau kepentingan nasional memegang peranan yang besar dalam

membentuk kebijakan nasional suatu negara. Kepentingan nasional akan selalu diperjuangkan

negara. Kepentingan nasional akan menentukan sikap yang diambil oleh negara nantinya yang

berupa kebijakan. Kepentingan nasional adalah langkah pertama walaupun sifatnya yang abstrak

dan berupa buah-buah pemikiran namun pada akhirnya akan menjadi faktor penggerak utama

dalam merumuskan suatu kebijakan ataupun politik luar negeri. Menurut Joseph Frankel, hakikat

kepentingan nasional sebagai keseluruhan nilai yang hendak ditegakkan oleh suatu bangsa

(Mas'oed, 1990).

Anak Agung Perwita dalam bukunya Pengantar Hubungan Internasional Disiplin dan

Metodologi menyatakan bahwa kepentingan nasional juga merupakan upaya negara untuk

mengejar power, dimana power adalah segala sesuatu yang dapat mengembangkan dan memelihara kontrol suatu negara terhadap negara lain (Perwita & Yani, 2005). Hubungan power

(11)

Lebih jauh setiap negara akan berusaha untuk mencapai apa yang dianggapnya sebagai

kepentingan-kepentingan yang harus diwujudkan, baik secara kerjasama maupun paksaan. Karena

itu kekuasaan dan kepentingan nasional dianggap sebagai sarana dan sekaligus tujuan dari

tindakan suatu negara untuk bertahan hidup (survival) dalam politik internasional (Perwita & Yani, 2005).

Sejalan dengan pernyataan tersebut, Morgenthau juga menyatakan bahwa tujuan negara

dalam politik internasional adalah mencapai “kepentingan nasional”, yang di mana kepentingan

nasional berbeda dengan kepentingan “sub-nasional” dan “supra-nasional” dan perilaku negara

dalam hubungan internasional dituntut oleh pengejaran kepentingan nasional, kepentingan

nasional itu adalah memperoleh, memepertahankan atau memperbesar kekuatan negara (dalam

Mas’oed, 1990:18).

Waltz juga mengemukakan asumsinya mengenai kepentingan nasional. Di dalam

neorealisme, Waltz percaya dan menghipotesiskan bahwa negara pada dasarnya secara otomatis

akan selalu memimpin pembuat kebijakan dalam membawa kepentingan nasional tersebut (Waltz,

1979). Sebagaimana dikutip dalam Jackson dan Sorensen, bagi neorealisme hal yang terpenting

bagi negara adalah kemanan dan kelangsungan hidup, sehingga dengan demikian dalam berjuang

untuk keamanan, negara akan berusaha untuk mengembangkan kemampuan mereka dengan

negara lainnya, berusaha memastikan keamanan ekonomi maupun militer wilayah adalah

merupakan suatu kalkulus kepentingan nasional suatu negara yang secara otomatis akan dibawa

dalam kebijakan negara (Jackson & Sorensen, 2005).

Lebih jauh, sebagaimana dikutip dari J. Peter Pham, Morgenthau menyatakan (Pham,

(12)

“….‘‘while the interests which a nation may pursue in its relation[s] with other nations

are of infinite variety and magnitude,’’ the resources which are available to the United

States—or any country—for the pursuit of such interests would necessarily be ‘‘limited in quantity and kind.’’

Relative Gain

Berbeda dengan realisme yang melihat bahwa hubungan antar negara akan diwarnai oleh

perang di mana secara langsung dapat ditarik kesimpulan bahwa potensi kerja sama hampir tidak

mungkin terjadi, neorealisme melihatnya dalam perspektif yang berbeda. Neorealisme melihat

bahwa potensi kerja sama antar negara masih mungkin untuk dilakukan dan dapat terwujud hanya

saja dalam kondisi dan situasi tertentu.

Neorealisme berpendapat bahwa ketidakamanan sistem internasional yang anarki

menyebabkan negara khawatir bukan hanya tentang seberapa banyak keuntungan yang mereka

dapatkan (keuntungan absolut), tetapi tentang seberapa banyak keuntungan yang didapatkan

dibandingkan dengan negara-negara lain (keuntungan relatif) (Snidal, 1991:703). Negara yang

tidak proporsional dalam kaitannya dengan hubungannya dengan negara-negara lain, dapat

mencapai keunggulan yang mengancam tujuan atau bahkan sangat keamanan mitra koperasi

mereka (Snidal, 1991:703).

Hal ini sejalan dengan pendapat Keohane yang mengatakan “As man by nature has a

restless desire for power and self-interest (Whyte, 2012).” Maka kerja sama antar negara dalam sistem internasional akan sangat sulit terbentuk. Menurut Mersheimer dalam jurnal yang sama

(13)

dan kecurangan, keduanya hadir dari pemikiran anarkis aktor-aktor dalam sistem internasional

(Whyte, 2012). Sehingga, kerja sama antar negara akan diwarnai oleh pertimbangan-pertimbangan

tersebut.

Terkait dengan relative gain ini, Waltz berargumen:

“Ketika negara dihadapkan dengan kemungkinan-kemungkinan kerja sama yang saling

menguntungkan, negara yang merasa tidak aman pasti akan bertanya bagaimana

keuntungan akan dibagi. Mereka dipaksa untuk tidak bertanya "Apakah kita berdua

untung?" tapi "Siapa yang akan lebih banyak untung?" Jika keuntungan yang diharapkan

nantinyaakan dibagi, misalnya, dalam rasio dua banding satu, satu negara dapat

menggunakan ketidak proporsional lawannya untuk menerapkan kebijakan yang

dimaksudkan untuk merusak atau menghancurkan yang lain. Bahkan prospek keuntungan

absolut yang besar bagi kedua belah pihak tidak mendapatkan kerjasama mereka selama

setiap ketakutan bagaimana negara lain akan menggunakan peningkatan kemampuan.”

(Waltz dalam Snidal, 1991:703)

Grieco memberikan pendapat dalam sistem internasional yang sangat bertumpu pada

relative gain akan membawa kondisi yang sangat tidak kondisif dalam kerja sama internasional, yang kemudian ia menambahkan (Whyte, 2012):

“argues that realists find that states are positional, not atomistic, in character; therefore

(14)

Secara umum, dapat disimpulkan bahwa kerja sama dalam sistem internasional diwarnai

oleh tindakan prasangka dan curiga akan aktor mana yang mendapatkan keuntungan lebih banyak

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Burchill, S., & Linklater, A. (1996). Teori-teori Hubungan Internasional (Terjemahan).

Bandung: Nusa Media Bandung.

Gilpin, R. (1981). War and Change in World Politics. Cambridge: Cambridge University Press. Hermawan, Y. P. (2007). Transformasi dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu dan

Metodologi. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Jackson, R., & Sorensen, G. (2005). Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mas'oed, M. (1990). Ilmu Hubungan Internasional Disiplin dan Metodologi. Jakarta: LP3ES. Perwita, A. A., & Yani, Y. M. (2005). Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT

Remaja Rosdakarya.

Pham, J. P. (2008). What Is in the National Interest? Hans Morgenthau's Realist Vision and American Foreign Policy. American Foreign Policy Interest, 256-265.

Sitepu, A. P. (2001). Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Snidal, D. (1991). Relative Gains and the Pattern of International Cooperation. The American Political Science Review, 701-726.

Waltz, K. (1979). Theory of International Politics. California: Addison Wesley Publishing Company.

Whyte, A. (2012). Neorealism and Neoliberal Institutionalism: Born of the Same Approach?

Referensi

Dokumen terkait

4 galur mutan kapas menunjukkan karakter agronomis yang berbeda nyata dengan induknya Tabel 1 terlihat bahwa tinggi tanaman dengan rata-rata yang tertinggi pada varietas

Jurus Golok Lima sebagai sebuah atraksi pertunjukan sebelum melakukan jurus Pencak Silat inti seperti tepak dua, tepak tilu, dan padungdung, yang unik dalam jurus golok

dilanjutkan dengan pembelajaran yang meliputi konsep dasar pembelajaran, komponen-komponen pembelajaran, prinsip-prinsip pembelajaran, pendekatan, strategi dan model

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dukungan yang diberikan orang tua dan sekolah terhadap keberhasilan kerja yang dicapai oleh anak tunagrahita.. Penelitian

Semakin tinggi kadar fenolik total pada sampel, maka semakin kuat aktivitas penghambatan radikal bebas yang dihasilkan.. Senyawa fenolik juga dilaporkan

Penelitian ini mendeskripsikan keberadaan unsur-unsur penghinaan dan pencemaran nama baik dalam tuturan di media sosial yang penuturnya dilaporkan dengan tuduhan melanggar

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan sebagai bahan pertimbangan dalam merancang intervensi yang tepat guna mengembangkan posttraumatic growth pada diri

Setiap Jamaah Calon Haji Tahun 1434 H / 2013 M dikenakan biaya swadaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 sebesar Rp.700.000,00 (Tujuh ratus ribu rupiah) dan infaq pembangunan