• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perikatan dalam Hukum Perdata badan hukum perdata

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perikatan dalam Hukum Perdata badan hukum perdata"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Perikatan merupakan hubungan hukum. Hubungan hukum adalah suatu hubungan yang diakui dan diatur oleh hukum. Hubungan hukum yang diatur oleh hukum, seperti jual beli, sewa menyewa, tukar-menukar, dan lain-lain, sedangkan memenuhi makan malam dan janji untuk jalan-jalan bukan merupakan hubungan hukum. Namun, ia dikuasai oleh peraturan kesopanan. perikatan itu difokuskan pada hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang lain. Namun perlu dikemukakan bahwa subjek hukum dalam lalu lintas hukum tidak hanya orang saja, tetapi juga mencakup badan hukum, terutama badan hukum privat, sehingga definisi perikatan perlu dilengkapi dan disempurnakan.

Dalam perikatan terdapat banyak sekali hal-hal yang perlu dijelaskan kembali, termasuk di dalamnya mengenai unsure-unsurnya, jenis-jenis, risiko, ganti rugi, dan lain-lain. Oleh karena itu dalam makalah ini saya akan membahas lebih detail mengenai perikatan.

2. Rumusan Pembahasan

Berasarkan latar belakang tersebut diatas dapat dirumuskan beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Pengertian dan Unsur-Unsur Perikatan 2. Jenis-jenis perikatan

3. Somasi 4. Ganti rugi

5. Keadaan memaksa 6. Risiko

3. Tujuan Penulisan

(2)

BAB II PEMBAHASAN

1. Pengertian dan Unsur-Unsur Perikatan

Istilah perikatan merupakan terjemahan dari kata verbintenis (Belanda). Namun demikian, dalam kepustakaan hukum Indonesia memakai bermacam-macam istilah untuk menerjemahkan verbintenis. Subekti dan Tjiptosudibio, menggunakan istilah perikatan untuk verbintenis dan perjanjian untuk Overeenkomst.1 ada ahli yang menggunakan istilah perutangan untuk menerjemahkan kata verbinteni. Dalam bahasa Inggris disebut dengan obligation. Obligation hanya dilihat dari kewajiban saja. Perikatan dapat dipandang dari dua segi, yaitu hak dan kewajiban. Para ahli memberikan definisi perikatan, sebagai berikut.

Nieuwenhuis mengartikan perikatan sebagai:

“Hubungan hukum harta kekayaan antara dua orang atau lebih, di mana pihak yang satu (debitor) wajib melakukan prestasi2, sedangkan pihak lain berhak atas suatu prestasi.”

Pendapat lain dikemukakan oleh C. Asser’s dan Sudikno Mertokusumo yang mengartikan perikatan sebagai: “ hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih berdasarkan mana orang yang satu terhadap orang lainnya berhak atas suatu penunaian/prestasi dan orang lain ini terhadap orang itu berkewajiban atas penunaian/prestasi itu.”

Ciri khas perikatan menurut Asser’s adalah, bahwa perikatan merupakan hubungan hukum. Hubungan hukum adalah suatu hubungan yang diakui dan diatur oleh hukum. Hubungan hukum yang diatur oleh hukum, seperti jual beli, sewa menyewa, tukar-menukar, dan lain-lain, sedangkan memenuhi makan malam dan

(3)

janji untuk jalan-jalan bukan merupakan hubungan hukum. Namun, ia dikuasai oleh peraturan kesopanan. Sudikno Mertokusumo mendefinisikan perikatan sebagai:3

“Hubungan hukum (vermogensreechtelijke rechtbetrekking) yang berisi hak di satu pihak dan kewajiban di pihak lain, yang timbul karena dua orang berhubungan (karena hubungan hukum).”

Pada prinsipnya, ketiga definisi perikatan itu difokuskan pada hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang lain. Namun perlu dikemukakan bahwa subjek hukum dalam lalu lintas hukum tidak hanya orang saja, tetapi juga mencakup badan hukum, terutama badan hukum privat, sehingga definisi perikatan perlu dilengkapi dan disempurnakan. Menurut Salim H.S. mengatakan dalam bukunya bahwa perikatan adalah suatu hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang hukum harta kekayaan, di mana subjek hukum yang satu berhak atas suatu prestasi, sedangkan subjek hukum yang lain berkewajiban untuk memenuhi prestasi tersebut.

Unsur-unsur perikatan sebagai berikut:4 1. Adanya hubungan hukum.

2. Adanya dua pihak, yaitu pihak kreditor dan pihak debitor. Kreditor adalah orang atau badan hukum yang berhak atas suatu prestasi. Pihak debitor adalah orang atau badan hukum yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi.

3. Adanya hak dan kewajiban. 4. Adanya prestasi

5. Dalam bidang hukum harta kekayaan.

Kaidah hukum perikatan meliputi: (1) Kaidah hukum tertulis yaitu kaidah hukum yang terdapat dalam undang-undang, traktat, dan yurisprudensi; (2) kaidah hukum tidak tertulis yaitu kaidah yang timbul, tumbuh dan hidup dalam praktik kehidupan masyarakat (kebiasaan), seperti transaksi gadai, jual tahunan atau jual

(4)

lepas. Subjek hukum dalam hukum perikatan terdiri dari: (1) kreditor, yaitu orang (badan hukum) yang berhak atas prestasi, (2) debitor, yaitu orang (badan hukum) yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Sedangkan bidang yang dimaksud adalah bidang harta kekayaan, yaitu menyangkut hak dan kewajiban yang dapat dinilai uang. Suatu harta kekayaan dapat berwujud atau tidak berwujud.5

2. Jenis-jenis Perikatan

Pada dasarnya jenis perikatan dapat dibedakan menjadi dua jenis: perikatan perdata (obligation verbintesis) dan perikatan wajar (natuurlijk verbintenis). Perikatan perdata atau disebut juga dengan obligation verbintesis adalah suatu perikatan yang dapat dituntuk di muka dan di hadapan pengadilan manakala salah satu pihak atau lebih telah melakukan wanprestasi. Contoh: A berutang pada B sebesar Rp. 20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah) dan berjanji akan membayarnya pada tanggal 25 Januari 1996. Namun, pada tanggal tersebut A tidak membayar utangnya. Ada dua tindakan yang dapan dilakukan B, yaitu: (1) memberikan teguran atau somasi sebanyak tiga kali kepada A, dan (2) Apabila teguran itu tidak diindahkan, maka B dapat menuntut/meminta kepada pengadilan supaya A dapat melunasi hutangnya pada B, sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat di antara mereka. Perikatan wajar atau natuurlijk verbintenisa adalah suatu perikatan yang timbul karena adanya perjudian. Perikatan seperti itu tidak dapat dituntut di depan pengadilan. Namun secara moral, pihak yang berhutang berkebajiban untuk melunasi hutangnya.

Sedang perikatan perdata dapat dibagi menjadi enam jenis, di antaranya:6 1. Perikatan bersyarat

Perikatan bersyarat diatur dalam Pasal 1253 KUH Perdata sampai dengan Pasal 1267 KUH Perdata. Yang dimaksud dengan perikatan bersyarat adalah perikatan yang digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan yang belum tentu akan terjadi, baik

(5)

secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa semacam itu, maupun secara membatalkan perikatan menurut terjadinya atau tidak terjadinya peristiwa tersebut (Pasal 1253 KUH Perdata). Ada dua syarat dalam perikatan bersyarat, yaitu:

a. Syarat yang menangguhkan, adalah perikatan bersyarat yang pelaksanaannya dapat ditangguhkan sampai syaratnya terpenuhi. b. Syarat batal, adalah suatu syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan

perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali pada keadaan semula, seolah-olah tidak terjadi suatu perikatan.

2. Perikatan dengan Ketetapan Waktu

Perikatan dengan ketetapan waktu diatur dalam pasal 1268 SW sampai dengan pasal 1271 BW. Yang disebut dengan perikatan dengan ketetapan waktu adalah suatu perikatan yang ditangguhkan pelaksanaannya sampai pada waktu yang ditentukan. Suatu contoh, Ali telah membeli sebuah rumah pada Ahmad seharga Rp. 5.000.000,00. Tetapi, Ahmad menangguhkan pelaksanaan prestasinya itu pada saat terjadi perjanjian. Ia akan membayarnya pada waktu yang telah ditentukannya. Misalnya tanggal 15 Januari 1997.

Keuntungan perikatan dengan ketetapan waktu adalah membantu pihak si berhutang, karena ia dapat menangguhkan pelaksanaan utangnya/prestasinya sampai waktu yang ditentukan.7

3. Perikatan Alternatif

Perikatan mana suka atau alternative diatur dalam pasal 1272 KUH Perdata sampai dengan pasal 1277 KUH Perdata. Dalam perikatan alternative, debitor dalam memenuhi kewajibannya dapat memilih salah satu di antara prestasi yang telah ditentukan. Di sini alternative didasarkan pada segi sisi dan maksud perjanjian.

4. Perikatan Tanggung Renteng

(6)

Perikatan tanggung renteng diatur dalam Pasal 1278 KUH Perdata s.d. Pasal 1295 KUH Perdata. Perikatan tanggung renteng adalah suatu perikatan di mana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berutang berhadapan dengan satu orang kreditor, di mana salah satu dari debitor itu telah membayar uangnya kepada kreditor, maka pembayaran itu akan membebaskan teman-teman yang lain dari hutang. Contoh, A, B, dan C berutang pada D. Dari ketiga debitor, salah satu di antaranya, misalnya B telah membayar utang itu kepada D, maka pihak A dan C telah terbebas dari pembayaran utang mereka.8

5. Perikatan Dapat Dibagi dan Tak Dapat Dibagi

Diatur dalam Pasal 1296 KUH Perdata s.d. Pasal 1303 KUH Perdata. Perikatan dapat dibagi adalah suatu perikatan di mana setiap debitor hanya bertanggung jawab sebesar bagiannya terhadap pemenuhan prestasinya. Dengan demikian dia pun terbebas dari kewajiban pemenuhan prestasi selebihnya. Masing-masing kreditor hanya berhak menagih sebesar bagiannya saja. Jadi, di sini, jika barang atau harga yang menjadi objek prestasi memang sesuai untuk dibagi-bagi. Contoh: empat orang kreditor berhadapan dengan empat orang debitor yang diwajibkan membayar Rp. 100.000,00. Masing-masing debitor menanggung kewajiban sebesar RP. 20.000,00 serta masing-masing kreditor berhak menagih bagiannya hanya sebesar 25.000,00.9

Ada dua penyebab timbulnya perikatan tak dapat dibagi, yaitu: (1) oleh karena sifat prestasi tidak dapat dibagi-bagi/dipisah-pisahkan, dan (2) berdasarkan kekuatan. Sedangkan berdasarkan tujuan atau maksud perjanjian, dapat dibagi menjadi tiga segi, yaitu: (1) maksud para pihak sendiri, (2) dari penentuan yang jelas dalam perjanjian, (3) dari hakiakat perjanjian itu benar-benar tidak mungkin dibagi-bagi.

(7)

6. Perikatan dengan Ancaman Hukuman

Diatur dalam Pasal 1304 KUH Perdata s.d. 1312 KUH Perdata. Perikatan dengan ancaman hukuman adalah suatu perikatan di mana seseorang untuk jaminan pelaksanaan suatu perikatan diwajibkan melakukan sesuatu manakala perikatan itu tidak dipenuhi.

Ada dua macam perikatan dengan ancaman hukuman, meliputi sebagai berikut:

a. Untuk menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban. Jadi, suatu janji pidana atau benda.

b. Untuk menetapkan penggantian kerugian yang akan terutang karena wanprestasi dan menghindarkan percekcokan tentang itu.10

3. Somasi

Istilah pernyataan lalai atau somasi merupakan terjemahan dari

ingebrekestelling.11 Somasi adalah teguran dari kreditor kepada debitor agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara keduanya. Ketentuan tentang somasi diatur dalam Pasal 1238 dan Pasal 1243 KUH Perdata.

Ada tiga faktor terjadinya somasi, antar lain: 1) Debitor melaksanakan prestasi yang keliru

2) Debitor tidak memenuhi prestasi pada hari yang telah dijanjikan

3) Prestasi yang dilaksanakan oleh debitor tidak lagi berguna bagi kreditor karena kadaluarsa.

Isi yang harus dimuat dalam surat somasi, yaitu: (1) apa yang dituntut, (2) dasar tuntutan, (3) tanggal paling lambat untuk memenuhi prestasi. Sedangkan peristiwa yang tidak memerlukan somasi, di antaranya: (1) debitor menolak pemenuhan, (2) debitor mengakui kelalaian, (3) pemenuhan prestasi tidak mungkin

(8)

dilakukan, (4) pemenuhan tidak berarti lagi (zinloos), (5) denitor melakukan prestasi tidak sebagaimana mestinya.12

Ajaran tentang somasi ini sebagai instrument hukum guna mendorong debitor untuk memenuhi prestasinya. Bila prestasi tidak dilaksanakan, maka sudah tentu tidak dapat diharapkan prestasi. Momentum adanya somasi ini apabila prestasi tidak dilakukan pada waktu yang telah diperjanjikan antara kreditor dengan debitor.13

Bentuk dan Isi Somasi

Dari telaahan berbagai ketentuan tentang somasi, tampaklah bahwa bentuk somasi yang harus disampaikan kreditor kepada debitor adalah dalam bentuk surat perintah atau sebuah akta yang sejenis. Yang berwenang mengeluarkan surat perintah itu adalah kreditor atau pejabat yang berwenang untuk itu. Pejabat yang berwenang adalah juru sita, Badan Urusan Piutang Negara, dan lain-lain.

Surat teguran harus dilakukan paling sedikit tiga kali, dengan mempertimbangkan jarak tempat kedudukan kreditor dengan tempat tinggal debitor. Tenggang waktu yang ideal untuk menyampaikan teguran antara peringatan I, II, dan III adalah tiga puluh hari, sehingga waktu yang diperlukan untuk itu selama tiga bulan atau Sembilan puluh hari. Contoh, BUPN mengirimkan surat teguran kepada debitor supaya menghadaop ke kantor BUPN dengan tujuan untuk melunasi utang-utang yang tidak dibayarnya kepada bank.14

4. Wanprestasi

Wanprestasi berasal dari istilah yang terdapat dalam bahasa Belanda yaitu

“wanprestatie” yang artinya tidak dipenuhinya prestasi atau kewajiban yang telah ditetapkan terhadap pihak-pihak tertentu di dalam suatu perikatan, baik perikatan yang dilahirkan dari suatu perjanjian ataupun perikatan yang timbul karena undang-undang.

Pengertian mengenai wanprestasi belum mendapat keseragaman, masih terdapat bermacam-macam istilah yang dipakai untuk wanprestasi, sehingga tidak 12 Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, h. 206

(9)

terdapat kata sepakat untuk menentukan istilah mana yang hendak dipergunakan. Istilah mengenai wanprestasi ini terdaspat di berabgai istilah yaitu: “ingkar janji, cidera janji, melanggar janji, dan lain sebagainya. Dengan adanya bermacam-macam istilah mengenai wanprestsi ini, telah menimbulkan kesimpang siuran dengan maksud aslinya yaitu “wanprestsi”. Ada beberapa sarjana yang tetap menggunakan istilah “wanprestasi” dan memberi pendapat tentang pengertian mengenai wanprestsi tersebut.

Wirjono Prodjodikoro, mengatakan bahwa wanprestasi adalah ketiadaan suatu prestasi didalam hukum perjanjian, berarti suatu hal yang harus dilaksanakan sebagai isi dari suatu perjanjian. Barangkali dalam bahasa Indonesia dapat dipakai istilah “pelaksanaan janji untuk prestasi dan ketiadaan pelaksanaannya janji untuk wanprestasi”.15

Ada empat akibat adanya wanprestasi, sebagaimana dikemukakan berikut ini: a. Perikatan tetap ada

Kreditor masih dapat menuntut kepada debitor pelaksanaan prestasi, apabila ia terlambat memenuhi prestasi. Di samping itu, kreditor berhak untuk menuntut ganti rugi akibat keterlambatan melaksanakan prestasinya. Hal ini disebabkan kreditor akan mendapat keuntungan apabila debitor melaksanakan prestasi tepat pada waktunya.

b. Debitor harus membayar ganti rugi kepada kreditor (Pasal 1243 KUH Perdata)

c. Beban risiko beralih untuk kerugian debitor jika halangan itu timbul setelah debitor wanprestasi, kecuali bila ada kesengajaan atau kesalahan besar dari pihak debitor. Oleh karena itu, debitor tidak dibenarkan untuk berpegang pada keadaan memaksa.

d. Jika perikatan lahir dari perjanjian timbale balik, kreditor dapat membebaskan diri dari kewajibannya memberikan kontra prestasi dengan menggunakan Pasal 1266 KUH Perdata.

(10)

Tuntutan atas Dasar Wanprestasi

Kreditor dapat menuntut kepada debitor yang telah melakukan wanprestasi hal-hal sebagai berikut:

a. Kreditor dapat meminta pemenuhan prestasi saja dari debitor.

b. Kreditor dapat menuntut prestasi disertai ganti rugi kepada debitor (Pasal 1267 KUH Perdata)

c. Kreditor dapat menuntut dan meminta ganti rugi, hanya mungkin kerugian karena keterlambatan (H.R. 1 November 1918)

d. Kreditor dapat menuntut pembatalan perjanjian.

e. Kreditor dapat menuntut pembatalan disertai ganti rugi kepada debitor. Ganti rugi berupa pembayaran uang denda.

Akibat kelalaian debitor yang dapat dipertanggungjawabkan, yaitu: a. Debitor berada dalam keadaan memaksa

b. Beban risiko beralih untuk kerugian kreditor, dan dengan demikian debitor hanya bertanggung jawab atas wanprestasi dalam hal ada kesengajaan atau kesalahan besar lainnya.

c. Kreditor tetap diwajibkan member prestasi balasan (Pasal 1602 KUH Perdata)16

5. Ganti Rugi

Menurut pasal 1243 KUH Perdata, pengertian ganti rugi perdata lebih menitikberatkan pada ganti kerugian karena tidak terpenuhinya suatu perikatan, yakni kewajiban debitur untuk mengganti kerugian kreditir akibat kelalaian pihak debitur melakukan wanprestasi. Ganti rugi tesebut meliputi:

1. Ongkos atau biaya yang telah dikeluarkan.

2. Kerugian yang sesungguhnya karena kerusakan, kehilangan benda milik kreditur akibat kelalaian debitur.

3. Bunga atau keuntungan yang diharapkan.17

(11)

Sedangkan dalam buku Salim H.S. mengatakan bahwa ada dua sebab timbulnya ganti rugi, yaitu ganti rugi karena wanprestasi dan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum. Ganti rugi karena wanprestasi diatur dalam buku III KUH Perdata, yang dimulai dari pasal 1243 KUH Perdata s.d. pasal 1252 KUH Perdata, sedangkan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 KUH Perdata. Ganti rugi karena perbuatan melawan hukum adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada orang yang telah menimbulkan kesalahan kepada pihak yang dirugikannya. Ganti rugi itu timbul karena adanya kesalahan, bukan karena adanya perjanjian.

Ganti rugi karena wanprestasi adalah suatu bentuk ganti rugi yang dibebankan kepada debitor yang tidak memenuhi isi perjanjian yang telah dibuat antara kreditor dengan debitor. Misalnya, A berjanji akan mengirimkan barang kepada B pada tanggal 10 Januari 1996, tetapi pada tanggal yang telah ditentukan, A belum juga mengirimkan barang tersebut kepada B. Supaya B dapat menuntut ganti rugi karena keterlambatan tersebut, maka B harus memberikan peringatan (somasi) kepada A, minimal tiga kali. Apabila peringatan/teguran itu telah dilakukan, maka barulah B dapat menuntut A untuk membayar ganti kerugian. Jadi momentum timbulnya ganti rugi adalah pada saat telah dilakukan somasi.

Ganti kerugian yang dapat dituntut oleh kreditor kepada debitor, yaitu:18 1. Kerugian yang telah dideritanya, yaitu berupa penggantian biaya-biaya

dan kerugian.

2. Keuntungan yang sedianya akan diperoleh (Pasal 1246 KUH Perdata), ini ditujukan kepada bungan-bunga.

Yang diartikan dengan biaya-biaya adalah ongkos yang telah dikeluarkan oleh kreditor untuk mengurus objek perjanjian. Kerugian adalah berkurangnya harta kekayaan yang disebabkan adanya kerusakan atau kerugian, sedangkan bunga-bunga adalah keuntungan yang akan dinikmati oleh kreditor. Penggantian biaya-biaya,

(12)

kerugian, dan bunga itu harus merupakan akibat langsung dari wanprestasi dan dapat diduga pada saat sebelum terjadinya perjanjian.

Di dalam pasal 1249 KUH Perdata, ditentukan bahwa penggantian kerugian yang disebabkan karena wanprestasi hanya ditentukan dalam bentuk uang. Namun, dalam perkembangannya menurut para ahli dan yurisprudensi bahwa kerugian dapat dibedakan menjadi dua macam; ganti rugi materiil dang anti rugi inmateriil. Kerugian materiil adalah suatu kerugian yang diderita kreditor dalam bentuk uang/kekayaan benda, sedangkan kerugian inmateriil adalah suatu kerugian yang diderita oleh kreditor yang tidak bernilai uang, seperti rasa sakit, pucat, dan lain-lain.19

6. Keadaan Memaksa

1. Dasar Hukum dan Pengertian Keadaan Memaksa

Keadaan memaksa atau overmacht atau force majeure adalah suatu keadaan di luar kendali manusia yang terjadi setelah diadakannya perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi prestasinya kepada kreditur. Atas keadaan memaksa ini, debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung resiko.

(13)

atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatanyang terlarang olehnya.’

Ketentuan ini memberikan kelonggaran kepada debitor untuk tidak melakukan penggantian biaya, kerugian dan bunga kepada kreditor, oleh karena suatu kedaan yang berada di luar kekuasaannya. Ada tiga hal yang menyebabkan debitor untuk tidak melakukan penggantian biaya, kerugian, dan bunga yakni:20

1. Adanya suatu hal yang tak terduga sebelumnya, atau 2. Terjadinya secara kebetulan, dan atau

3. Keadaan memaksa

Yang diartikan denga keadaan memaksa adalah suatu keadaan di mana debitor tidak dapat melakukan prestasinya kepada kreditor, yang disebabkan adanya kejadian yang berada di luar kekuasaannya, seperti karena adanya gempa bumi, banjir, lahar, dan lain-lain.

2. Macam Keadaan Memaksa

Keadaan memaksa dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu:21

1. Keadaan memaksa absolute, adalah suatu keadaan di mana debitor sama sekali tidak dapat memenuhi perutangannya kepada kreditor, oleh karena adanya gempa bumi, banjir bandang, dan adanya lahar. Contohnya: A ingin membayar utangnya kepada B, namun tiba-tiba pada saat A ingin melakukan pembayaran, terjadi gempa bumi, sehingga A sama sekali tidak dapat membayar utang kepada B.

2. Keadaan memaksa yang relative adalah suatu keadaan yang menyebabkan debitor masih mungkin untuk melaksanakan prestasinya, tetapi pelaksanaan prestasi itu harus dilakukan dengan memberikan korban yang besar, yang tidak seimbang. Atau menggunakan kekuatan jiwa yang di luar kemampuan manusia, atau

(14)

kemungkinan tertimpa bahaya kerugian yang sangat besar. Contoh, keadaan memaksa relative, seorang penyanyi telah mengikat dirinya untuk menyanyi di sebuah konser tetapi beberapa detik sebelum pertunjukan, ia menerima kabar bahwa anaknya meninggal. Contoh lainnya, A telah meminjam kredit usaha tani dari KUD dengan janji akan dibayar pada musim panen, tetapi sebelum panen, padinya diserang oleh ulat. Dengan demikian, pada saat itu ia tidak mampu membayar kredit usaha taninya kepada KUD, tetapi ia akan membayar pada musim mendatang.22

Teori-teori Keadaan Memaksa

Ada dua teori yang membahas tentang keadaan memaksa, yaitu: (1) teori ketidakmungkinan, dan (2) teori penghapusan atau peniadaan kesalahaan. Teori ketidakmungkinan berpendapat bahwa keadaan memaksa adalah suatu keadaan ‘tidak mungkin’ melakukan pemenuhan prestasi yang diperjanjikan.

Ketidakmungkinan dapat dibedakan menjadi dua macam:

a. Ketidakmungkinan ‘absolut’ atauu objektif adalah ketidakmungkinan sama sekali dari debitor untuk melakukan prestasinya pada kreditor. b. Ketidakmungkinan relative atau ketidakmungkinan subjektif, adalah

suatu ketidakmungkinan relative dari debitor untuk memenuhi prestasinya.

Teori/ajaran penghapusan atau peniadaan kesalahan, berarti dengan adanya overmacht, terhapuslah kesalahan debitor atau overmacht peniadaan kesalahan, sehingga akibat kesalahan yang telah ditiadakan tadi tidak boleh/bisa dipertanggungjawabkan.

Sedangkan ada tiga akibat keadaan memaksa:23

1. Debitor tidak perlu membayar ganti rugi (Pasal 1244 KUH Perdata)

(15)

2. Beban risiko tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara.

3. Kreditor tidak berhak atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460 KUH Perdata.

7. Risiko

Di dalam teori hukum dikenal suatu ajaran yang disebut dengan resicoleer (ajaran tentang risiko). Resicoleer adalah suatu ajaran di mana seseorang berkewajiban untuk memikul kerugian jikalau ada sesuatu kejadian di luar kesalahan salah satu pihak yang menimpa benda yang menjadi objek perjanjian.

Ajaran ini timbul apabila terdapat keadaan memaksa (overmacht). Ajaran ini dapat diterapkan pada perjanjian sepihak dan perjanjian timbale balik. Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian di mana salah satu pihak aktif melakukan prestasi, sedangkan pihak lainnya pasif. Misalnya: A memberikan sebidang tanah pada B. Tanah itu direncanakan untuk diserahkan pada tangga 10 Mei 1966, tetapi pada tanggal 15 April 1996 tanah itu musnah. Pertanyaannya kini, siapa yang menanggung risiko? Yang menanggung risiko atas musnahnya tanah tersebut adalah B (penerima tanah) (Pasal 1237 KUH Perdata). Perjanjian timbale balik adalah suatu perjanjian di mana kedua belah pihak diwajibkan untuk melakukan prestasi sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua belah pihak.24

Sedang yang termasuk dalam perjanjian timbale balik adalah jual beli, sewa-menyewa, tukar-menukar, dan lain-lain. Contohnya: A telah membeli seuah rumah beserta tanahnya kepada B seharga Rp. 10.000.000,-. Rumah itu dibeli pada tanggal 10 Januari 1996, namun rumah tersebut belum diserahkan kuncinya oleh B kepada A. pada tanggan 10 Februari 1996 terjadi gempa bumi yang memusnahkan rumah tersebut. Menurut Pasal 1460 KUH Perdata, yang menanggung risiko atas musnahnya rumah tersebut adalah A, walaupun rumah tersebut belum diserahkan dan dibayar lunas, sehingga B berhak menagih pembayaran yang belum dilunasi oleh A.

(16)

Ketentuan Pasal 1460 KUH Perdata telah dicabut berdasarkan SEMA Nomor 3 Tahun 1963, sehingga ketentuan ini tidak dapat diterapkan secara tegas, namun penerapannya harus memperhatikan:

1. Bergantung pada letak dan tempat beradanya barang itu

2. Bergantung pada orang yang melakukan kesalahan atas musnahnya barang tersebut.

(17)

BAB III PENUTUP

Kesimpulan

1. Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara subjek hukum yang satu dengan subjek hukum yang lain dalam bidang hukum harta kekayaan, di mana subjek hukum yang satu berhak atas suatu prestasi, sedangkan subjek hukum yang lain berkewajiban untuk memenuhi prestasi tersebut.

2. Jenis perikatan dapat dibedakan menjadi dua jenis: perikatan perdata (obligation verbintesis) dan perikatan wajar (natuurlijk verbintenis). Perikatan perdata atau disebut juga dengan obligation verbintesis adalah suatu perikatan yang dapat dituntuk di muka dan di hadapan pengadilan manakala salah satu pihak atau lebih telah melakukan wanprestasi.

3. Somasi adalah teguran dari kreditor kepada debitor agar dapat memenuhi prestasi sesuai dengan isi perjanjian yang telah disepakati antara keduanya. Ketentuan tentang somasi diatur dalam Pasal 1238 dan Pasal 1243 KUH Perdata.

4. Wanprestasi belum mendapat keseragaman, masih terdapat bermacam-macam istilah yang dipakai untuk wanprestasi, sehingga tidak terdapat kata sepakat untuk menentukan istilah mana yang hendak dipergunakan. Istilah mengenai wanprestasi ini terdaspat di berabgai istilah yaitu: “ingkar janji, cidera janji, melanggar janji, dan lain sebagainya.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

H.S., Salim. Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW). Yogyakarta: Sinar Grafika, 2006.

Tutik, Titik Triwulan. Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

Muhammad, Abdulkadir. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bhakti,1990

Referensi

Dokumen terkait

MoU dapat diartikan pula sebagai perjanjian pendahuluan, yang mengatur dan memberikan kesempatan kepada para pihak untuk melakukan studi kelayakan terlebih dahulu sebelum membuat

Barang jaminan merupakan pengaman bagi kreditor atas risiko tidak kembali kredit yang telah disalurkan kepada debitor dan hal tersebut diikatkan dalam bentuk perjanjian pengikatan

Kerjasama antar keduanya dituangkan kedalam perjanjian kerjasama yang telah disepakati, sehingga berlaku seperti undang-undang.Penulisan hukum ini bertujuan untuk

Akta atau perjanjian tertulis tersebut adalah untuk menjamin kepastian hukum pihak yang akan melakukan kerja sama dalam kegiatan bisnis, sebagai legalitas suatu bentuk usaha dan

yakni persyaratan keabsahan suatu perjanjian atau kontrak harus mengacu kepada ketentuan seperti misalnya, yang ditentukan dalam Pasal 1320 KUH-Perdata yang telah

Upaya hukum yang dimaksud adalah permohonan kasasi dan peninjauan kembali sesuai ketentuan Pasal 11 sampai dengan Pasal 13 UUKPKPU yang dapat diajukan oleh debitor atau kreditor

Hukum kepailitan, untuk mengajukan permohonan pernyataan pailit, baik debitor maupun kreditor harus memenuhi terlebih dahulu persyaratan-persyaratan yang menjadi unsur-unsur

Pada hubungan antara dokter dengan pasien, kebanyakan berbentuk perikatan ikhtiar, di mana untuk mencapai prestasi dokter harus berusaha semaksimal mungkin, sehingga prestasi