• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan dan Kelangsungan Hidup Larv

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perkembangan dan Kelangsungan Hidup Larv"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

PERKEMBANGAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA KERANG MUTIARA (Pinctada maxima) PADA KONDISI SUHU

YANG BERBEDA

SKRIPSI

OLEH:

ARIS SANDO HAMZAH I1A2 11 023

JURUSAN/PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI

(2)
(3)

iii

PERKEMBANGAN DAN KELANGSUNGAN HIDUP LARVA KERANG MUTIARA (Pinctada maxima) PADA KONDISI SUHU

YANG BERBEDA

Development and Survival Rate of the Pearl Oyster (Pinctada maxima) Larvae in Different Temperature Conditions

SKRIPSI

OLEH:

ARIS SANDO HAMZAH I1A2 11 023

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Perikanan Jurusan/ Prog. Studi Budidaya Perairan

JURUSAN/PROGRAM STUDI BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI

(4)
(5)

v

HALAMAN PENGESAHAN

Judul : Perkembangan dan Kelangsungan Hidup Larva Kerang Mutiara (Pinctada maxima) pada Kondisi Suhu yang Berbeda

Nama : Aris Sando Hamzah

Stambuk : I1A2 11 023

Program Studi : Budidaya Perairan

Jurusan : Budidaya Perairan

Fakultas : Perikanan dan Ilmu Kelautan

Menyetujui,

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Muhaimin Hamzah, S.Pi., M.Si Ir. Mat Sardi Hamzah, M.P

NIP. 19750815 200501 1 003 NIP. 19570715 198602 1 009

Mengetahui,

Dekan Fakultas Perikanan dan Ketua Jurusan Budidaya Perairan Ilmu Kelautan

Prof. Ir. H. La Sara, M.S., Ph.D H. Agus Kurnia, S.Pi., M.Si., Ph.D NIP. 19600422 198703 1 003 NIP. 19700802 199512 1 001

(6)
(7)

vii

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI DENGAN JUDUL

INI ADALAH KARYA SAYA DENGAN ARAHAN DARI PEMBIMBING

DAN BELUM DIAJUKAN DALAM BENTUK APAPUN KEPADA

PERGURUAN TINGGI MANAPUN. SUMBER INFORMASI YANG

BERASAL ATAU DIKUTIP DARI PENULIS LAIN TELAH DISEBUTKAN

DALAM TEKS DAN DICANTUMKAN DALAM DAFTAR PUSTAKA DI

BAGIAN AKHIR SKRIPSI INI.

KENDARI, 25 MEI 2016

ARIS SANDO HAMZAH

(8)
(9)

ix

RIWAYAT HIDUP

(10)
(11)

xi

KATA PENGANTAR

Kerang mutiara merupakan kerang yang dapat menghasilkan mutiara dengan warna yang eksotis dan digemari oleh berbagai kalangan. Selain dijadikan sebagai perhiasan, mutiara yang dihasilkan juga dijadikan sebagai alat ritual keagamaan, dan dijadikan sebagai suatu simbol keindahan oleh beberapa negara di dunia. Kerang mutiara (Pinctada maxima) merupakan salah satu organisme unggulan penting pada sektor budidaya perairan. Selain jenis tersebut, ada pula beberapa jenis kerang penghasil mutiara seperti kerang mabe (Pteria penguin), Pinctada fucata, Pinctada margaritifera dan lain sebagainya. Akan tetapi di Indonesia jenis Pinctada maxima umumnya yang menjadi andalan industri kerang mutiara. Kerang mutiara (P. maxima) merupakan organisme ekonomis penting dan umumnya hanya bisa dihasilkan dengan cara dibudidayakan.

Suhu merupakan salah satu parameter kualitas air yang bertanggung jawab dalam mempengaruhi aktivitas fisiologis organisme akuatik dan berdampak terhadap pertumbuhan, kelangsungan hidup serta perkembangan stadia larva kerang mutiara (P. maxima) sehingga dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas spat yang akan dihasilkan. Beberapa kajian serupa pada larva kerang mutiara sudah banyak dilakukan, akan tetapi pengaruh suhu terhadap perkembangan stadia larva kerang mutiara (P. maxima) masih belum banyak diungkapkan.

Kendari, 25 Mei 2016

(12)
(13)

xiii

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirabbil’alamin, berkat rahmat Allah yang maha pengasih dan

berkat izinnya lah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini walaupun masih memiliki banyak kekurangan. Karya kecil ini penulis persembahkan kepada nenekku tercinta Hj. Salma Napirah yang mengasuhku sejak kecil, ibundaku tercinta Marlia Napirah, S.Pd., ayahandaku tercinta Ir. Mat Sardi Hamzah, M.P., saudara-saudaraku yang selalu aku banggakan Muhammad Zul Fahmi Hamzah, Siti Sakinah Maulidtya Aprili Hamzah, Siti Amalia Firdausa Hamzah dan Yulia Sahupala. Keluarga dan kerabatku yang selalu aku banggakan bapak Ir. Rab Ali Napirah, bapak Ir. Rahman Napirah, M.Si., bapak Djalaluddin Napirah, SH., ibu Aida, SH., ibu Yuliana Hadia Nibu, S.Pd., ibu Syamsiah Napirah, S.Ag., ibu Rosma Napirah (Onco Os), Syahrani Djalal Napirah, Riski Muhammad Akbar Napirah, Anisa Montalea Zulfebrianti Napirah, Mardiana Napirah, Asriyana Napirah, Muhammad Ryman Napirah, Muhammad Risal Aidin Napirah dan Muhammad Rayan Napirah.

Demikian pula penulis sampaikan kepada:

1. Prof. Dr. Ir. H. Usman Rianse, M.S., Rektor Universitas Halu Oleo.

2. Prof. Ir. H. La Sara, M.S., Ph.D., Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo.

3. Hendra Munandar, M.Si., Ketua LPBIL LIPI Mataram.

(14)

xiv

5. H. Agus Kurnia, S.Pi., M.Si., Ph.D., Ketua Jurusan Budidaya Perairan.

6. Dosen Pembimbing Skripsiku Dr. Muhaimin Hamzah, S.Pi., M.Si., dan Ir. Mat Sardi Hamzah, M.Si.

7. Dosen Penguji Skripsiku H. Agus Kurnia, S.Pi., M.Si., Ph.D., dan Ermayanti Ishak, S.Pi., M.Si.

(15)

xv

10. Sahabat-sahabatku BDP 011 Muhammad Riszal, Rahmad Budiarfa, Rusdi Febriyadi K., Zhulfirah Zahrah, Muhammad Ridwan, La Bardin, Fendy, Narsun, Asril, Sutriani S. Yusuf, Makritan, Jumaisa, Mindar, Ratna, S.Pi., Alkudus Hidayat, S.Pi., Firda Afrianti, S.Pi, Nita Irmaluyu, S.Pi., Naimruddin, Musdian, Mitnawati, Nurul Qamariah, S.Pi., Ratna, S.Pi., Jusdam, Dominggus Kiliykily, Darwiana, S.Pi., La Ode Maru, Reliyanto, Alghazali La Ranti, Yusrin, Yustin Palio, Arleleng, Ahmad Riyadi, Citra Rahmadhani, S.Pi., Alvin, Ulfa Kurniati, S.Pi., Ashar, Windra, S.Pi., Yuliana, S.Pi., Hasriati, S.Pi., Sulman Hasnur, Desi Febrianti, Hasnah, S.Pi., Hardila Paala, S.Pi., Abdul Budiatma, S.Pi., Yusrin, Aldin, La Ipu, Misnah, Sarto, Aldin, Nurkholis, Iskandardinata, Rudolfo, Tian Sumarlan, Neli Marlisa, dan Husein.

11. Keluarga BDP, MSP, Agribisnis, BDP Abalone, IKL, dan PSP seluruh angkatan tanpa terkecuali.

12. Keluarga Besar HIPPMA-LASWABUL Kendari (Himpunan Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Lasaritapo Wabula) dan Keluarga Besar KMWB (Kerukunan Masyarakat Wabula Buton).

13. Adik-adikku peserta Magang/PKL di LPBIL LIPI Mataram, Irma, Obi, Yogi, Onggi, Roni, Putra, Ni Luh, Kiki, dan seluruhnya tanpa terkecuali.

(16)

xvi

(17)

xvii

Perkembangan dan Kelangsungan Hidup Larva Kerang Mutiara (Pinctada maxima) pada Kondisi Suhu yang Berbeda

ABSTRAK

Penelitian perkembangan dan kelangsungan hidup larva kerang mutiara (P. maxima) pada kondisi suhu yang berbeda telah dilaksanakan di Laboratorium Unit Pelaksana Teknis Loka Pengembangan Bio Industri Laut Mataram, Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dari 10 Februari - 17 Maret 2016. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kisaran suhu optimum bagi perkembangan dan kelangsungan hidup larva kerang mutiara (P. maxima). Ukuran larva kerang mutiara (P. maxima) yang digunakan dalam penelitian ini yaitu 80 x 75µm (AP x DV) yang ditentukan berdasarkan fase awal perkembangan larva (D-veliger). Larva dipelihara dalam bak kontainer dengan kepadatan 20.000 larva dalam 80 liter air laut pada kondisi suhu yang berbeda. Penelitian didesain menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan tiga ulangan. Larva kerang mutiara dipelihara pada lima perlakuan suhu yang berbeda, yaitu 26,5-28oC (perlakuan Kontrol), 26oC±0,5 (perlakuan A), 28oC±0,5 (perlakuan B), 30oC±0,5 (perlakuan C) dan 32oC±0,5 (perlakuan D). Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat kelangsungan hidup, pertumbuhan mutlak, laju pertumbuhan spesifik DV dan AP tertinggi didapatkan pada perlakuan B (suhu 28oC±0,5) dengan nilai masing-masing 8,00%±0,16, 1458,32µm±32,16,

5,46%±0,03 dan 5,71%±0,04. Perkembangan stadia larva kerang mutiara hingga mencapai spat tertinggi pada perlakuan B (suhu 28±0,5oC) dengan nilai AP x DV yaitu D-veliger (80 x 75µm), Umbo (170,67µm±30,11 x 153,67µm±26,76), Eyespot (209,00µm±9,94 x 196,00µm±9,66), Pediveliger (237,22µm±29,86 x 207,50µm±31,17) dan Spat dengan nilai AP (1510,67µm±155,56). Kesimpulan pada penilitian ini bahwa suhu air optimum pada pemeliharaan larva kerang mutiara (P. maxima) yaitu 28oC±0.5.

(18)
(19)

xix

Development and Survival Rate of the Pearl Oyster (Pinctada maxima) Larvae in Different Temperature Conditions

ABSTRACT

Study of development and survival rate of the pearl oyster (Pinctada maxima) larvae in different temperature conditions has been conducted in the Laboratory of Mataram Marine Bio Industry Technical Implementation Unit of Research Center for Oseanography, Indonesian Institute of Sciences (LIPI) from Pebruary 10th to March 17th 2016. The aim of the present sudy was determine temperature range for the development and survival rate of the pearl oyster (P. maxima) larvae. The size of pearl oyster (P. maxima) larvae that used in the study was 80 x 75µm (AP x DV) based on the initial phase of larval development (D-veliger). The larvae were reared in container tanks with a density of 20,000 larvae in 80 liters of sea water at a different temperature conditions. The study was designed using completely randomized design (CRD) with five treatments and three replicates. Pearl oyster larvae was reared in five different temperatures, they were 26,5-28oC (Control treatment), 26oC±0,5 (treatment A), 28oC±0,5 (treatment B), 30oC±0,5 (treatment C) and 32oC±0,5 (treatment D). The results showed that the highest survival rate, absolute growth and specific growth rate of DV and AP were obtained in treatment B (temperature 28oC±0.5) with values 8,00%±0,16,

1458,32μm±32,16, 5,46%±0,03 and 5,71%±0,04, respectively. The development stage of pearl oyster larvae (AP x DV) in treatment B (temperature of 28°C±0,5) D-veliger (80x75μm), Umbo (170,67μm±30,11 x 153,67μm±26,76), Eyespot

(209,00μm±9,94 x 196,00μm±9,66), Pediveliger (207,50μm±29.86 x 237,22μm±31,17) and spat with the value of AP was (1510, 67μm ± 155,56). This study concluded that optimum water temperature to reared pearl oyster (P. maxima) larvae was 28oC±0,5.

(20)
(21)
(22)

xxii

5. Panjang dan Tinggi Cangkang ... 27 6. Kualitas Air ... 28 E. Analisis Data ... 28

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil... 31 1. Tingkat Kelangsungan Hidup ... 31 2. Pertumbuhan ... 32 3. Perkembangan ... 35 4. Parameter Kualitas Air ... 36

B. Pembahasan ... 36 1. Tingkat Kelangsungan Hidup ... 36 2. Pertumbuhan ... 38 3. Perkembangan ... 43 4. Parameter Kualitas Air ... 49

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan ... 51 B. Saran ... 51 DAFTAR PUSTAKA

(23)

xxiii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Alat dan Bahan Beserta Kegunaan ... 21 2. Perlakuan dan Ulangan pada Penelitian ... 23 3. Kualitas Air dan Peralatan yang Digunakan dalam Penelitian ... 28 4. Perkembangan Stadia Larva Kerang Mutiara (P. maxima) Hingga

(24)
(25)

xxv 5. Persentase Dosis Campuran Pakan Berdasarkan Fase

Perkembangan Larva Hingga Menempel pada Kolektor ... 25 6. Pengukuran Panjang Anterio-Posterior (AP) dan Dorso-Ventral

(DV) Larva Kerang Mutiara (P. maxima) ... 27 7. Kelangsungan Hidup Larva Kerang Mutiara (P. maxima) pada

Kondisi Suhu yang Berbeda (Mean±SD) ... 31 8. Pertumbuhan Mutlak Kerang Mutiara (P. maxima) pada

Kondisi Suhu yang Berbeda (Mean±SD) ... 32 9. Laju Pertumbuhan Spesifik DV Larva Kerang Mutiara (P. maxima)

pada Kondisi Suhu yang Berbeda (Mean±SD) ... 33 10. Laju Pertumbuhan Spesifik AP Larva Kerang Mutiara (P. maxima)

pada Kondisi Suhu yang Berbeda (Mean±SD) ... 34 11. Larva Kerang Mutiara (P. maxima) Stadia D-Veliger dan Umbo .. 45 12. Larva Kerang Mutiara (P. maxima) Stadia Eyespot Tampak

(26)
(27)

xxvii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

(28)
(29)

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kerang mutiara (Pinctada maxima) merupakan salah satu komoditas perikanan penting yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan menjadi andalan usaha budidaya di Indonesia. Hal ini didukung oleh perairan nusantara yang berpotensi dalam pengembangan usaha budidaya kerang mutiara. Teknik budidaya kerang mutiara pada mulanya dikuasai oleh tenaga asing (Jepang) khusus untuk hatchery dan operasi penyuntikan. Namun seiring dengan perkembangan teknologi bidang kelautan, maka pada dekade tahun 1980an telah terjadi alih teknologi dari tenaga asing ke tenaga kerja Indonesia (Hamzah, 2008a; Hamzah dan Setyono, 2010). Dewasa ini usaha budidaya kerang mutiara semakin meningkat, seiring dengan permintaan butiran mutiara baik pasar domestik maupun mancanegara. Namun para pengusaha terutama skala industri sering mengalami kendala dalam penyedian induk alam yang matang gonad. Penyebab utama kekurangan induk matang gonad adalah kompetisi antar nelayan penyelam yang menjual kulit cangkang untuk industri kerajinan perhiasan dan penyedian induk untuk perusahaan budidaya kerang mutiara.

(30)

2

Hamzah (2008b) yang mengemukakan bahwa kematian massal anakan kerang mutiara rerata sebesar 68,57% bersamaan dengan naiknya kondisi suhu harian dari level 29°C menjadi 31°C dengan gradient 2°C di perairan Buton, Sulawesi Tenggara. Kemudian Hamzah (2009) menyimpulkan bahwa kematian massal anakan kerang mutiara ukuran lebar cangkang antara 3-4 cm yang terjadi di Laut adalah diduga kuat disebabkan oleh perubahan kondisi suhu yang terjadi secara ekstrim pada periode waktu yang singkat. Fase perkembangan stadia larva merupakan masa kritis yang dimana pengaruh perubahan parameter lingkungan khususnya suhu yang tidak sesuai sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva sehingga dapat menyebabkan kematian (Doroudi dan Southgate, 1999; Yukihira et al., 2000; Cataldo et al., 2005; Dove dan O’Connor, 2007).

Kajian terdahulu mengenai pengaruh suhu terhadap pemeliharaan larva kerang mutiara sudah banyak dilakukan (Doroudi et al., 1999; Yukihira et al., 2000; Saucedo et al., 2004; Southgate dan Lucas, 2008; Winanto dkk., 2009; Winanto, 2009; Hamzah, 2016) akan tetapi percobaan dengan kisaran suhu yang luas yaitu 26-32oC serta dampaknya terhadap pertumbuhan, kelangsungan hidup dan perkembangan stadia larva kerang mutiara (P. maxima) belum banyak diungkapkan, sehingga penelitian ini perlu dilaksanakan agar dapat diketahui kisaran suhu optimum bagi pemeliharaan larva kerang mutiara (P. maxima).

B. Rumusan Masalah

(31)

3

pada musim peralihan. Sebagai akibat dari keadaan ini, jumlah dan kualitas benih yang menempel pada kolektor rendah sehingga berdampak terhadap produksi pada balai benih yang rendah. Kualitas air khususnya suhu merupakan salah satu faktor pembatas dan penentu bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva kerang mutiara (P. maxima) yang berdampak pada proses metabolisme. Southgate dan Lucas (2008) menjelaskan bahwa suhu rendah yang terjadi pada musim dingin menyebabkan lambatnya aktivitas makan dan aktivitas lainnya pada larva kerang mutiara. Lebih lanjut dijelaskan bahwa setiap spesies maupun populasi memiliki rentang suhu optimum yang berbeda dan kemungkinan dipengaruhi oleh faktor genetik. Cáceres-Puig et al. (2007) juga menambahkan bahwa suhu tinggi mengakibatkan stres fisiologis dan metabolik, serta terjadi denaturasi protein dan enzim pada keluarga kerang Mytilidae dan Pectinidae. Perkembangan larva merupakan masa kritis dimana pengaruh lingkungan khususnya suhu yang terlalu rendah atau terlalu tinggi dapat menghambat laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva sehingga berpengaruh terhadap kualitas dan kuantitas benih (juvenil) yang akan dihasilkan. Selain itu, kerang mutiara juga memiliki toleransi suhu yang berbeda pada tiap tingkatan stadia dan kadang-kadang toleransi akan suhu meningkat selama masa perkembangan (Southgate dan Lucas, 2008).

C. Tujuan dan Kegunaan

(32)

4

(33)

5

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi

Kerang mutiara (P. maxima) termasuk dalam kelas bivalvia yang merupakan kelas terbesar kedua dalam filum Moluska (Gosling, 2015) dengan jumlah lebih dari 7000 spesies yang tersebar di seluruh dunia dengan daerah penyebaran di Perairan Tawar, Estuari dan Laut (Lewbart, 2012). Southgate dan Lucas (2008) mengklasifikasikan kerang mutiara (P. maxima) sebagai berikut:

Phylum : Mollusca

Class : Bivalvia (Linnaeus, 1758)

Subclass : Pteriomorphia (Beurlen, 1944) Order : Pterioida (Newell, 1965)

Suborder : Pteriina (Newell, 1965)

Superfamily : Pterioidea (Gray, 1847) Family : Pteriidae (Gray, 1847)

Genus : Pinctada (Roding, 1798)

Species : Pinctada maxima (Jameson, 1901) Secara tradisional taksonomi kerang mutiara ditentukan berdasarkan tampilan cangkang (bentuk dan warna) yang dikenal sebagai karakter yang mudah dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan heterogenitas antara habitat. Identifikasi spesies sangat sulit pada kerang muda karena bentuk cangkang yang hampir sama (Cunha et al., 2011). Genera Pteriidae secara tradisional juga ditentukan oleh bentuk cangkang. Selain perbedaan dalam bentuk cangkang, genera Pteria dan Pinctada dibedakan oleh pola gigi engsel dan bentuk goresan otot adduktor

(34)

6

serta hubungan ventrikel dan usus, juga telah diusulkan sebagai karakter diagnostik dalam tingkatan genus (Southgate dan Lucas, 2008).

B. Morfologi dan Anatomi

Bivalvia memiliki dua katup cangkang yang dihubungkan oleh engsel pada bagian punggung dan terhubung oleh ligamen elastis (Gosling, 2015). Cangkang tertutup melawan air dengan lapisan organik mengeluarkan scleroprotein dari pinggiran mantel, yang merupakan suatu periostracum yang jarang (Lewbart, 2012). Bagian dorsal cangkang berbentuk datar dan panjang serta dihubungkan oleh semacam engsel berwarna hitam (Takemura dan Kafuku, 1957 dalam Winanto, 2009). Menurut Dame (2012) cangkang pada bivalvia memainkan peranan penting dalam penentuan dan interpretasi dari kondisi lingkungan masa lalu. Informasi lingkungan tersimpan ketika pembentukan kristal kalsium karbonat dalam pembentukan cangkang kerang. Pinctada fucata di Taiwan memiliki lebar cangkang lebih besar dari pada di Jepang dan Korea. Perbedaan-perbedaan pada nilai pertumbuhan dan terutama bentuk morfologi diduga bahwa tiram alami Taiwan mungkin menyimpan ciri genetik asli (Hwang et al., 2007).

(35)

7

kecoklatan dari protein. Benang ini muncul melalui bagian ventral cangkang dan berfungsi sebagai tali tambat untuk menempelkan kerang pada substrat dan kerang lainnya (Gosling, 2015). Kaki dan byssus terletak pada daerah anterior, ventral ke mulut dan dikelilingi oleh labial palps (Southgate dan Lucas, 2008).

Gambar 1. Morfologi dan Anatomi Kerang Mutiara (Pinctada sp.) (Sumber: Southgate dan Lucas, 2008)

(36)

8

menambahkan bahwa semakin tinggi kadar kalsium karbonat yang terkandung dalam cangkang berbanding lurus dengan tingginya daya metabolisme reaksi enzim dalam mencerna protein untuk pertumbuhan. Bivalvia dengan lamellibranch juga memiliki karakteristik pada insang. Insang berfungsi dalam menyaring makanan dan respirasi. Setiap insang memiliki sumbu utama pada bagian dorsal yang berupa pembuluh darah dan otot (Southgate dan Lucas, 2008).

C. Habitat dan Penyebaran

Sebagian besar spesies Pteriidae menghuni zona littoral dangkal dan daerah sublittoral landas kontinen. Beberapa spesies ditemukan pada dasar perairan berpasir dengan kedalaman maksimal sekitar 100-120m (Southgate dan Lucas, 2008). Pada kedalaman 2m kulit cangkang ditumbuhi lumut halus yang mengindikasikan pertumbuhan kerang dalam keadaan normal. Sementara kerang yang diletakan pada kedalaman dibawahnya dominan ditumbuhi teritip (biofouling) yang bersifat parasit dan menghambat pertumbuhan, merusak susunan kulit cangkang, dan berdampak pada kematian bila tidak cepat dibersihkan (Hamzah dan Nababan, 2009; Hamzah dan Setyono, 2009). Hamzah (2010) menyatakan bahwa kerang mabe (P. penguin) juga banyak ditemukan pada daerah teluk-teluk yang memiliki sonasi hutan bakau dan karang serta menyebar pada kedalaman perairan antara 20–60m. Tingkah laku sebaran larva kerang mutiara, P. maxima dan P. martensii lebih condong bersifat phototaxis negatif atau tidak tertarik pada cahaya

(37)

9

Kerang mutiara (P. maxima) tersebar pada pertengahan daerah Indo-Pasifik, termasuk Asia Tenggara, daerah perairan Pilipina, Laut China Selatan, Thailand, Australia, dari Myanmar ke Pulau Solomon, Papua New Guinea, Polynesia, Micronesia, Jepang Selatan, Fillipina dan Indonesia, Sementara di Indonesia umumnya banyak ditemukan di wilayah Indonesia bagian timur seperti Irian jaya, Sulawesi dan Maluku terutama gugus kepulauan Arafura (Lind et al., 2007; Southgate dan Lucas, 2008).

D. Kualitas Air

Hamzah dan Sumadhiharga (2002) mengemukakan bahwa kisaran ambang toleransi variasi musiman kondisi suhu dan salinitas yang ideal untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup anakan kerang mutiara ukuran stadia kritis (lebar cangkang antara 3-4cm) adalah antara 28-290C dan salinitas antara 30-33ppt. Tidak ada pengaruh sinergi antara suhu dan salinitas, tetapi keduanya memberikan pengaruh yang nyata terhadap lama waktu pencapaian stadia. Pada suhu optimum aktivitas metabolisme berjalan maksimum, sehingga larva berkembang dengan baik. Sedangkan suhu 260C diduga relatif rendah untuk perkembangan larva dan

sebaliknya suhu 300C relatif tinggi untuk perkembangan larva (Winanto dkk., 2009). Suhu air sangat berperan dalam mengendalikan proses metabolisme, pada kisaran suhu antara 26-290C kerang mutiara sangat aktif melakukan kegiatan metabolisme dan mampu tumbuh dengan baik (Susilowati dan Sumantadinata, 2011). Loncatan suhu dengan gradien 10C masih dalam batas ambang toleransi

(38)

10

25ppt menunjukan persentasi yang lebih rendah dibandingkan dengan salinitas 34ppt dan 31ppt, hal ini diduga bahwa tekanan osmotik dalam sel telur berbeda dengan lingkungannya. Selain itu, pada salinitas 34ppt menunjukan tingkat kelangsungan hidup larva tertinggi dan diduga salinitas tersebut merupakan salinitas optimum dalam mendukung aktivitas metabolisme larva kerang mutiara (Awaluddin dkk., 2013). Salinitas umumnya dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya oleh pola sirkulasi air, penguapan (evaporasi), curah hujan (presipitasi) dan adanya aliran sungai (run off) (Patty, 2013).

Nilai derajat keasaman (pH) merupakan salah satu parameter kimia penting yang dapat dijadikan sebagai indikator pemantau kestabilan perairan, perubahan nilai pH dalam suatu perairan terhadap organisme akuatik mempunyai batasan tertentu dengan nilai pH yang bervariasi (Simanjuntak, 2012). Habitat kerang mutiara berbeda pada perairan dengan pH lebih tinggi dari 6,75 namun kerang mutiara tidak dapat bereproduksi bila pH lebih tinggi dari 9. Perubahan pH sedikit saja dari pH alami akan menyebabkan terganggunya sistem penyangga yang dapat menimbulkan perubahan dan ketidak seimbangan kadar CO2 sehingga dapat

(39)

11

Oksigen terlarut merupakan salah satu penunjang utama kehidupan di laut dan indikator kesuburan perairan. Kadar oksigen terlarut semakin menurun seiring dengan semakin meningkatnya limbah organik di perairan dan kadar oksigen terlarut berkurang dengan bertambahnya kedalaman (Simanjuntak, 2012). Kerang dapat hidup dengan baik pada perairan dengan kandungan oksigen terlarut berkisar antara 5,20-6,60 (Imai, 1982 dalam Winanto 2009). Dhivya dan Lipton (2015) menemukan bahwa Perna indica dengan panjang rata-rata 20mm menunjukkan laju konsumsi oksigen lebih tinggi pada suhu tinggi yaitu 35°C.

E. Cara Makan dan Kebiasaan Makan

Kerang mutiara (P. maxima) termasuk biota laut bersifat plankton feeder, sehingga dipercaya akan membersihkan air dari kemungkinan terjadinya blooming plankton yang tidak dikehendaki. Beberapa jenis alga yang umum diberikan untuk pakan antara lain Isochrysis galbana, Pavlova lutheri/, Monochrysis lutheri, Chromulina sp., Chaetoceros sp., Nannochloropsis sp., dan Dicrateria sp., Untuk

fase pertumbuhan sampai menjelang spat dapat diberi variasi berbagai jenis alga tersebut. Namun untuk stadia awal larva, jenis fitoplankton flagelata yang paling penting untuk pakan adalah Isochrysis galbana dengan ukuran sekitar 7 µm. Adakalanya digunakan jenis Tetraselmis tetrathele dan Chlorella sp., terutama untuk stadia spat atau sebagai pakan campuran induk (Winanto, 2004; dan Winanto, 2009). Menurut Marshall et al. (2010) secara umum, kombinasi dari spesies alga I. galbana dan C. calcitrans sangat berhasil untuk pemeliharaan larva kerang.

(40)

12

pertumbuhan dan kelangsungan hidup untuk Crassostrea gigas, Venerupis philippinarum dan Pecten maximus, sedangkan hanya pakan I. galbana saja tidak.

Menurut CMFRI (1991) dalam Supii (2007) menyatakan bahwa budidaya pada stadia awal larva (D shape) sampai stadia umbo diberi pakan fitoplankton jenis Isochrysis galbana dengan kepadatan 5000 sel/ekor/hari. Beberapa jenis mikroalga

yang digunakan sebagai pakan larva Pteria sterna antara lain Nannochloris sp., Pavlova lutheri, Isochrysis galbana, Phaeodactilum tricornutum, Chaetoceros

meulleri, Chaetoceros calcitran, Thalassiosira weisflogii, Dunaliella salina,

Tetraselmis tetrathele, Tetraselmis suecica, namun mikroalga yang dapat dicerna

oleh larva hanya Nannochloris sp., Pavlova lutheri dan Isochrysis galbana (Winanto, 2009). Isochrysis galbana dan Pavlova lutheri memiliki kandungan lemak yang tinggi (Martinez-Fernandez, 2006). Larva kerang mutiara (P. maxima) lebih efektif diberikan pakan alami jenis Isochrisis galbana sebagai bahan pakan utama sehingga memberikan perkembangan yang cenderung lebih cepat mencapai fase spat (hari ke 18) (Hamzah, 2008a). Menurut Brown (1991) dalam Hermawan dkk. (2007) I. galbana memiliki kandungan gizi yang lebih lengkap yaitu protein 29%, karbohidrat 12,9% dan lemak 23% serta mempunyai kandungan EPA sebesar 1,88% dan DHA sebesar 6,76% sedangkan kandungan gizi Chaetoceros sp. adalah protein 29%, karbohidrat 9% dan lemak 12%.

(41)

13

yang bergerak-gerak akan membawa masuk makanan ke dalam mulut (Velayudhan dan Gandhi, 1987 dalam Winanto, 2009). Kerang hijau bersifat filter feeder (penyaring makanan) sehingga kebutuhan makanan tergantung pada perairan sekitarnya terutama makanan yang terbawa oleh arus (Hermawan dkk., 2007). Pada prinsipnya mikro alga yang digunakan sebagai pakan larva kerang atau organisme laut lainnya adalah mempunyai ukuran yang tepat untuk dimakan atau sesuai dengan bukaan mulut larva/spat, mudah dibudidayakan, cepat tumbuh dengan kepadatan tinggi dan tidak menghasilkan substansi racun (Ponis et al., 2006). Makanan yang ditelan masuk dari mulut kemudian melalui kerongkongan yang pendek langsung masuk perut, atau saluran kantong tipis pada perut dengan kulit luar (cuticle) kasar yang berfungsi untuk memisah-misahkan makanan. Sisa makanan akan dibuang melalui saluran usus yang relatif pendek dan bentuknya seperti huruf S kemudian keluar lewat anus (Velayudhan dan Gandhi, 1987 dalam Winanto, 2009).

F. Biologi dan Fisiologi

(42)

14

P. fucata laju konsumsi oksigen meningkat tinggi selama jam pertama kerang dimasukkan kembali ke dalam air dan laju konsumsi normal dicatat setelah waktu tersebut. Kebutuhan oksigen terlarut kerang mutiara (P. fucata) menunjukan bahwa kerang berukuran 40-50 mm mengkonsumsi oksigen 1,339 µl/l; ukuran 50-60 mm mengkonsumsi 1, 650 µl/l dan ukuran 60-70 mm mengkonsumsi 1,810 µl/l (Darmaraj, 1983 dalam Winanto, 2009).

Osmoregulasi adalah proses yang dilakukan oleh hewan laut untuk mengatur keseimbangan konsentrasi cairan tubuh dan ion-ion agar seimbangan dengan konsentrasi mediumnya. Osmoregulasi dipengaruhi oleh konsentrasi kadar garam (salinitas) dalam perairan, jika kosentrasi salinitas terlalu rendah atau terlalu tinggi maka akan berdampak terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup kerang mutiara (P. maxima). Kerang mutiara merupakan osmokonformer, dengan menggunakan penutupan katup berkelanjutan untuk menyangga perubahan salinitas yang cepat (Southgate dan Lucas, 2008). Beberapa kerang mutiara hidup pada habitat pesisir dimana salinitas menurun akibat runoff terestrial. Larva P. imbricata mempunyai toleransi yang rendah terhadap salinitas, apalagi jika salinitas

turun sampai kurang dari 29‰. Pada kisaran salinitas 29–35‰, persentase

perkembangan embrio sampai stadia D-veliger meningkat signifikan seiring dengan meningkatnya salinitas (Winanto dkk., 2009). Beberapa spesies kerang mutiara cukup eurihalin dalam menoleransi kisaran salinitas yang besar. Kerang mutiara (P. margaritifera) memiliki kisaran salinitas pada fase embrio yaitu <25-39 ppt, fase

(43)

15

maxima) memiliki kisaran salinitas pada fase spat yaitu 30-34 ppt (Southgate dan

Lucas, 2008).

Nutrisi adalah proses dimana hewan memperoleh kebutuhan energi untuk metabolisme dari kandungan bahan kimia, seperti asam amino, asam lemak, vitamin dan mineral, yang semuanya diperlukan untuk pertumbuhan dan kesejahteraan. Kebutuhan ini terpenuhi melalui konsumsi bahan makanan yang cocok, yang kemudian mengalami proses pencernaan dan penyerapan (Lucas dan Southgate, 2008). Pengunaan energi untuk metabolisme rutin spat P. maxima umur 35 hari lebih rendah jika dibandingkan umur 25 hari. Hal ini diduga, spat umur 25 hari lebih banyak membutuhkan energi karena masih berada pada masa transisi hidup sebagai bentik, sehingga harus memproduksi banyak bysuss untuk menempelkan diri pada substrat. Sebaliknya pada umur 35 hari kondisi relatif sudah lebih stabil, spat sudah menetap, jika ada produksi bysuss hanya untuk mengimbangi pertambahan berat, sehingga membutuhkan energi yang lebih kecil (Winanto, 2009). Suhu merupakan salah satu parameter lingkungan yang mempengaruhi metabolisme larva kerang mutiara (P. maxima), semakin rendah suhu maka laju metabolisme semakin menurun, sehingga laju pertumbuhan larva jadi lambat. Sebaliknya semakin tinggi suhu maka laju metabolisme makin meningkat dan akan diikuti dengan meningkatnya laju pertumbuhan larva (Winanto dkk., 2009).

G. Reproduksi dan Siklus Hidup

(44)

16

ketersediaan jumlah makanan di sekitar tempat hidupnya. Jika persediaan makanan cukup, maka alat reproduksinya betina, sedangkan apabila persediaan makanan kurang maka alat reproduksinya jantan (Winanto, 2004). Kerang mutiara (P. maxima) telah mencapai kematangan gonad akhir pada tahun pertama, ditandai

kecenderungan protandrous dengan pemijahan terjadi semua berentetan tahun, dengan suatu puncak pada bulan September-November dengan suhu antara 27oC dan 29oC (Southgate dan Lucas, 2008). Menurut Gomez-Robles et al. (2005)

puncak reproduksi P. margaritifera terjadi pada musim panas yaitu pada bulan Agustus dengan suhu air 29,5°C. Tingginya tingkat kematangan gonad dan pasca vitellogenik oosit selama musim dingin, berkaitan dengan suhu laut yang hangat yaitu 23-24°C. Selain itu, selama musim dingin, oosit mengalami artesia.

Pemijahan kerang mutiara biasanya dipicu oleh perubahan kondisi lingkungan, seperti kenaikan atau penurunan suhu air atau perubahan salinitas, dan perubahan serupa digunakan untuk menginduksi pemijahan dalam kondisi budidaya (Southgate dan Lucas, 2008). Proses reproduksi diawali dengan fertilisasi eksternal yang terjadi di dalam air. Selama proses pemijahan biasanya induk jantan memijah lebih duluan, kemudian sekitar 30-35 menit baru induk betina mengelurkan sel-sel telurnya (Southgate dan Lucas, 2008; Saoruddin, 2004 dalam Susilowati dan Sumantadinata, 2011; dan Hamzah, 2013a). Narita et al. (2008) menambahkan bahwa bentuk morfologi spermatozoa dari kerang mutiara, P. fucata martensii dibagi dalam 3 bagian yaitu acrosoma, nucleus, mitochondrion dan

(45)

17

larva kerang mutiara membutuhkan 16-30 hari dan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti suhu air, nutrisi dan ketersediaan substrat yang tepat untuk proses menempel. Lebih lanjut Hermawan dkk. (2007) menjelaskan bahwa pada kondisi normal yaitu suhu berkisar antara 28–300C, larva akan menempatkan diri untuk menetap dan melekat pada substrat setelah berumur 20–22 hari dengan ukuran 200– 250µm sedangkan pada rentang suhu 24,3–27,20C, larva baru akan menetap dan melekat pada spat kolektor setelah berumur 32 hari dan berukuran 250–300µm.

Gambar 2. Siklus Hidup Kerang Mutiara (P. maxima) (Keterangan: a. telur dan sperma; b. telur dibuahi; c. pembelahan sel; d. gastrula; e. larva bentuk-d; f. stadia umbo; g. spat; h. dewasa) (Sumber: Winanto, 2009)

Siklus hidup kerang dimulai dengan fertilisasi telur, biasanya dalam perairan terjadi disekeliling kerang dewasa (Dame, 2012). Fase kehidupan awal kerang mutiara dimulai dengan penonjolan polar, kemudian membentuk polar lube II yang merupakan awal proses pembelahan sel. Setelah terjadi fertilisasi, maka akan terjadi fase pembelahan menjadi 2, 4, 8, 16, dan 32 sel dengan kisaran waktu ±45 menit

(46)

18

sampai ±2 jam kemudian mencapai fase morula (multi sel) pada waktu ± 2,5 jam, fase blastula dicapai pada umur ±3,5 jam dan mulai bergerak berputar-putar selanjutnya pada waktu ± 7 jam mencapai fase gastrula yang dimana pada fase ini bersifat fotonegatif serta bergerak dengan silia, kemudian pembentukan granula setelah pembelahan sel terakhir sudah bersilia setelah berumur antara 7-9 jam (Hamzah, 2008a; dan Hamzah, 2013a).

Gambar 3. Morfologi Tahapan Perkembangan Larva (P. maxima) (Keterangan: a. D-veliger; b. umbo awal; c. umbo tengah; d. eye-spot; e. umbo akhir (pediveliger); f. plantigrade) (Sumber: Winanto, 2009)

(47)

19

Stadia awal larva P. maxima (bentuk D) dijumpai setelah 24 jam, larva mempunyai cangkang prodissocanch I dengan ukuran kira-kira 70 x 60µm (panjang x tinggi) (Southgate dan Lucas, 2008). Larva stadia veliger bersifat poto-positif, sehingga nampak berenang-renang disekitar permukaan air (Brusca, 1990 dalam Winanto, 2009). Southgate dan Lucas (2008) menambahkan bahwa fase D-veligers menunjukan pertumbuhan awal cangkang sekitar 1-2 hari setelah fertilisasi dan setelah itu bagian umbo mulai timbul pada bagian dorsal cangkang. Fase eye spot ditandai dengan bintik hitam pada dua sisi cangkang serta mulai menempel pada kolektor setelah mencapai 15-17 hari. Pada larva P. fucata stadia eye-spot berkembang pada hari ke-15 dengan ukuran 190 x 180 µm (Alagarswami et al., 1987 dalam Winanto 2009). Pada fase pedi-veliger (umbo akhir) yang dicapai pada 18–20 hari terlihat mulai terbentuk kaki (byssus) yang menonjol pada bagian dorsal yang digunakan untuk menepel. Gerakan larva mulai melambat dan nampak adanya pertumbuhan organ penempel seperti lidah yang keluar dari dalam tubuh larva. Beberapa larva yang belum mendapatkan tempat untuk menempel masih melakukan gerakan memutar lambat dengan terus mencari tempat untuk menempel (Wardana dkk., 2014).

(48)

20

(49)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada 10 Februari – 17 Maret 2016 di Laboratorium Unit Pelaksana Teknis Loka Pengembangan Bio Industri Laut Mataram, Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

B. Alat dan Bahan

Alat dan bahan beserta kegunaan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Alat dan Bahan Beserta Kegunaan

No. Alat dan Bahan Satuan Kegunaan

A. Alat

1. Termometer batang 0C Mengukur suhu 2. Hand refraktometer ppt Mengukur salinitas 3.

10. Net plankton (screen net) µm Menyaring larva kerang mutiara 11. Wadah container unit Media penelitian

12. Wadah plastik unit Tempat menyimpan pakan

13. Arloji jam Menghitung waktu pengamatan

(50)

22

1. Pemijahan induk dan Perawatan Larva

Seleksi induk kerang mutiara yaitu dengan melihat Tingkat Kematangan Gonad (TKG) induk kerang mutiara yaitu ≥70% dengan perbandingan jumlah jantan dan betina adalah 4:4 (4 ekor induk jantan dan 4 ekor induk betina) dengan ukuran panjang cangkang sekitar 12cm. Selanjutnya dilakukan pemijahan induk dengan metode kejutan suhu (thermal shock) atau proses pheromon bila sulit memijah yang bertujuan untuk mempercepat proses rangsangan. Setelah selesai memijah dilakukan pengadukan air dalam bak tersebut agar terjadi fertilisasi (pembuahan) merata.

(51)

23

tinggi cangkang yaitu bagian dorsal-ventral (DV) sebagai data ukuran larva awal pengamatan.

Kualitas air yang dijadikan sebagai media percobaan disterilisasi mulai dari penampungan air (tower) hingga dialirkan masuk ke dalam bak uji melalui UV dan pada ujung selang air dipasang kantung saringan (filter bag). Sehingga media air yang digunakan untuk pemeliharaan hewan uji bersih dan terhindar dari kotoran atau partikel-partikel yang dapat mengganggu kehidupan larva. Larva yang telah mencapai fase D-veliger, didederkan pada setiap bak uji yang telah disiapkan dengan padat tebar 20.000 larva/80 liter air sesuai dengan jumlah perlakuan suhu.

Wadah penelitian diberi perlakuan suhu 28-32oC diatur menggunakan heater dan pada perlakuan suhu rendah yaitu 26oC ditambahkan pendingin berupa media yang berisi es sejumlah 3 buah/bak uji yang berfungsi untuk menurunkan suhu media uji sesuai nilai perlakuan serta ditambahkan heater untuk menstabilkan suhu media tersebut.

Perlakuan dan ulangan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Perlakuan dan Ulangan Penelitian

(52)

24

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan 15 media percobaan yang terdiri atas 5 perlakuan suhu yang berbeda dan diulang sebanyak 3 kali. Selanjutnya media percobaan yang terdiri atas 15 unit selanjutnya diacak. Tata letak media penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Tata Letak Media Penelitian (Keterangan: K. Kontrol (suhu 26,5-280C); A. suhu 260C±0,5; B. suhu 280C±0,5; C. suhu 300C±0,5; D. suhu 320C±0,5; 1. ulangan ke-1; 2. ulangan ke-2 dan 3. ulangan ke-3) 2. Pemberian Pakan

Pemberian komposisi pakan campuran dilakukan 2 kali sehari (pagi dan sore) seperti terlihat pada Gambar 5 yaitu pada fase D-veliger diberikan pakan campuran Isochrysis galbana dan Pavlova lutheri dengan jumlah total 2000 sel/larva; fase Umbo-Veliger diberikan pakan campuran I. galbana dan P. lutheri dengan jumlah total 3000 sel/larva; fase Eyespot diberikan pakan campuran I. galbana dan P. lutheri dengan jumlah total 3500 sel/larva; fase Pediveliger diberi

pakan campuran Chaetoceros sp., I. galbana dan P. lutheri dengan jumlah total 4000 sel/larva; fase Plantigrade diberi pakan campuran Chaetoceros sp., I. galbana dan P. lutheri dengan jumlah total 4500 sel/larva. Fase Spat diberi pakan

(53)

25

Pemberian dosis pakan didasarkan pada pemeriksaan isi lambung larva. Indikator warna yang menunjukkan keadaan lambung larva yaitu jika berwarna kuning muda, maka kondisi larva kurang makan dan dosis pakan ditambah 50% dari jumlah dosis awal, selanjutnya bila lambung berwana coklat tua menggambarkan bahwa lambung berisi makanan dan tidak perlu ditambah pakan.

Gambar 5. Persentase Dosis Campuran Pakan Berdasarkan Fase Perkembangan Larva Hingga Menempel pada Kolektor (Sumber: SOP UPT. LPBIL-LIPI Mataram dan PT. Autore Pearl Oyster)

3. Pergantian Air

(54)

26

digunakan disterilkan dengan cara disaring menggunakan filter bag sehingga air bebas dari partikel maupun organisme yang tidak diinginkan.

D. Parameter Yang Diamati

1. Kelangsungan Hidup

Kelangsungan hidup larva atau anakan kerang dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Winanto (2009) yaitu :

= � × % ... (1)

Keterangan :

SR = kelangsungan hidup (%)

N1 = jumlah larva akhir pengamatan (individu)

N0 = jumlah larva awal pengamatan (individu)

2. Pertumbuhan Mutlak

Pertumbuhan mutlak larva atau anakan kerang dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Bhujel (2008) yaitu :

PM = L1 - L0 ... (2)

Keterangan :

PM = pertumbuhan mutlak (µm)

L1 = panjang larva pada akhir pengamatan (µm)

L0 = panjang larva pada awal pengamatan (µm)

3. Laju Pertumbuhan Spesifik

Laju pertumbuhan spesifik larva atau anakan kerang dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Bhujel (2008) yaitu :

SGR = 100(Ln L1– Ln L0)/ T ... (3)

Keterangan :

SGR = laju pertumbuhan spesifik (%)

(55)

27

L0 = panjang rerata pada awal pengamatan (µm)

T = waktu pengamatan (hari) Ln = logaritma natural

4. Perkembangan Stadia

Pengamatan perkembangan stadia larva pada setiap perlakuan digunakan mikroskop yang dilengkapi dengan kamera digital dan bisa diakses dalam bentuk gambar (foto larva). Perkembangan stadia larva didokumetasi dengan kamera. Kemudian mencatat ukuran AP x DV dan tingkat perkembangan stadia.

5. Panjang dan Tinggi Cangkang

Pengukuran larva meliputi pengukuran panjang dan tinggi cangkang berdasarkan metode yang digunakan oleh Winanto (2009) dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Pengukuran Panjang dan Tinggi Larva Kerang Mutiara (P. maxima) (Keterangan: AP. panjang cangkang bagian anterior-posterior dan DV. tinggi cangkang bagian dorso-ventral)

6. Kualitas Air

(56)

28

bak pendederan larva hingga mencapai spat (juvenil) yang meliputi salinitas, pH dan oksigen terlarut dilakukan saat tidak ganti air.

Untuk mendapatkan nilai suhu rendah sesuai dengan nilai perlakuan, maka wadah percobaan dimasukan es dengan dilengkapi oleh pipa paralon yang dimodifikasi agar tidak terkontaminasi langsung dengan air media uji serta dipasang Heater untuk mengatur suhu, sehingga suhunya secara otomatis sesuai dengan kisaran nilai perlakuan. Sistem kerja alat pemanas otomatis (heater) yaitu dengan memutar tombol secara otomatis, sehingga kualitas suhu air media pengamatan tetap berada pada kisaran suhu perlakuan yang telah ditetapkan. Tabel 3. Kualitas Air dan Peralatan yang Digunakan dalam Pengukuran

No. Kualitas Air Satuan Alat

(57)

29

Model matematika dari rancangan percobaan dan Uji Duncan adalah terlihat sebagai berikut:

Yij = µ + ƒi+ ϵij ... (6) Keterangan :

Yij = variabel yang akan dianalisis, dimisalkan berdistribusi

normal

µ = rata-rata umum atau rata-rata sebenarnya

ƒi = efek perlakuan ke- i

€ij = kekeliruan, berupa efek acak yang berasal dari unit

eksperimen ke j karena dikenai perlakuan ke i

� ������ ∶ = �′. � ... (7)

Keterangan :

Rp = wilayah nyata terkecil Duncan

qα’ = sebaran wilayah di-student-kan untuk uji Duncan pada

(58)

30

(59)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

1. Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup larva kerang mutiara (Pinctada maxima) merupakan persentase dari jumlah spat (akhir pengamatan) umur 35 hari setelah pemijahan dibanding dengan jumlah larva awal pengamatan. Hasil penelitian tingkat kelangsungan hidup selama penelitian disajikan pada Gambar 7.

Gambar 7. Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Kerang Mutiara (P. maxima) pada Kondisi Suhu yang Berbeda (Mean±SD) (Keterangan: notasi yang sama menunjukan pengaruh yang tidak berbeda nyata)

Pada Gambar 7 terlihat bahwa tingkat kelangsungan hidup tertinggi didapatkan pada perlakuan B yaitu 8,00%±0,16 dan diikuti secara berturut-turut oleh perlakuan Kontrol yaitu 7,53%±0,20, perlakuan C yaitu 5,25%±1,81, perlakuan A yaitu 3,99%±0,57 dan terendah pada perlakuan D yaitu 3,98%±0,53. Hasil analisis ragam (Lampiran 4) menunjukan bahwa perlakuan suhu memberikan

(60)

32

pengaruh yang sangat nyata (Sig.≤0,01) terhadap kelangsungan hidup larva kerang mutiara (P. maxima).

2. Pertumbuhan

Pertumbuhan larva kerang mutiara (P. maxima) merupakan perubahan ukuran cangkang dari waktu ke waktu. Pertumbuhan larva kerang mutiara (P. maxima) pada penelitian ini meliputi pertumbuhan mutlak dan laju pertumbuhan spesifik (pertumbuhan harian).

2.1.Pertumbuhan Mutlak

Pertumbuhan mutlak dihitung berdasarkan data ukuran anterior-posterior (AP) larva awal pengamatan (fase D-veliger) sampai menempel pada kolektor (spat) umur 35 hari setelah pemijahan. Hasil penelitian pertumbuhan mutlak selama penelitian disajikan pada Gambar 8.

Gambar 8. Pertumbuhan Mutlak Kerang Mutiara (P. maxima) pada Kondisi Suhu yang Berbeda (Mean±SD) (Keterangan: notasi yang sama menunjukan pengaruh yang tidak berbeda nyata)

(61)

33

Pada Gambar 8 terlihat bahwa pertumbuhan mutlak tertinggi didapatkan pada perlakuan B yaitu 1458,32µm±32,16 dan diikuti secara berturut-turut oleh perlakuan C yaitu 1379,71µm±15,47, perlakuan Kontrol yaitu 1258,21µm±67,45, perlakuan D yaitu 1072,40µm±51,13 dan terendah pada perlakuan A yaitu 1031,31µm±158,49. Hasil analisis ragam (Lampiran 5) menunjukan bahwa perlakuan suhu memberikan pengaruh yang sangat nyata (Sig.≤0,01) terhadap pertumbuhan mutlak larva kerang mutiara (P. maxima) hingga mencapai spat.

2.2.Laju Pertumbuhan Spesifik

2.2.1.Laju Pertumbuhan Spesifik Dorsal-Ventral

Laju pertumbuhan spesifik larva dihitung berdasarkan data ukuran dorsal-ventral larva awal pengamatan hingga mencapai 20 hari setelah pemijahan. Hasil penelitian laju pertumbuhan spesifik dorsal-ventral selama penelitian disajikan pada Gambar 9.

Gambar 9. Laju Pertumbuhan Spesifik DV Larva Kerang Mutiara (P. maxima) pada Kondisi Suhu yang Berbeda (Mean±SD) (Keterangan: notasi yang sama menunjukan pengaruh yang tidak berbeda nyata)

(62)

34

Pada Gambar 9 terlihat bahwa laju pertumbuhan spesifik dorsal-ventral tertinggi didapatkan pada perlakuan B yaitu 5,46%±0,03 dan diikuti secara berturut-turut oleh perlakuan C yaitu 5,27%±0,09, perlakuan Kontrol yaitu 5,25%±0,08, perlakuan A yaitu 5,12%±0,08 dan terendah pada perlakuan D yaitu 4,91%±0,12. Hasil analisis ragam (Lampiran 6) menunjukan bahwa perlakuan suhu memberikan pengaruh yang sangat nyata (Sig.≤0,01) terhadap laju pertumbuhan spesifik dorsal-ventral larva kerang mutiara (P. maxima).

2.2.2.Laju Pertumbuhan Spesifik Anterior-Posterior

Laju pertumbuhan spesifik larva dihitung berdasarkan data ukuran anterior-posterior larva awal pengamatan hingga mencapai 20 hari setelah pemijahan. Hasil penelitian laju pertumbuhan spesifik anterior-posterior selama penelitian disajikan pada Gambar 10.

Gambar 10. Laju Pertumbuhan Spesifik AP Larva Kerang Mutiara (P. maxima) pada Kondisi Suhu yang Berbeda (Mean±SD) (Keterangan: notasi yang sama menunjukan pengaruh yang tidak berbeda nyata)

(63)

35

Pada Gambar 9 terlihat bahwa laju pertumbuhan spesifik anterior-posterior tertinggi didapatkan pada perlakuan B yaitu 5,71%±0,04 dan diikuti secara berturut-turut oleh perlakuan C yaitu 5,54%±0,23, perlakuan D yaitu 5,21%±0,11, perlakuan Kontrol yaitu 5,15%±0,08 dan terendah pada perlakuan A yaitu 5,14%±0,05. Hasil analisis ragam (Lampiran 7) menunjukan bahwa perlakuan suhu memberikan pengaruh yang sangat nyata (Sig.≤0,01) terhadap laju pertumbuhan spesifik anterior-posterior larva kerang mutiara (P. maxima).

3. Perkembangan

Data perkembangan stadia larva kerang mutiara (P. maxima) hingga mencapai spat berdasarkan pengaruh suhu yang berbeda terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Perkembangan Stadia Larva Kerang Mutiara (P. maxima) Hingga Mencapai Spat (Juvenil)

No. Stadia Waktu Keterangan

1. D-Veliger 24 jam-12 hari

Larva berbentuk D dengan ukuran AP x DV yaitu sekitar 80 x 75µm

2. Umbo 12-18 hari Muncul tonjolan dibagian dorsal cangkang dengan masing-masing ukuran AP±SD x DV±SD pada masing-masing perlakuan yaitu kontrol (162,50µm±17,25 x 151,67µm±16,02), A (159,55µm±18,64 x 148,18µm± 22,28), B (170,67µm±30,11 x 153,67µm±26,76), C (158,46µm±12,14 x 142,31µm±10,13) dan D (157,50µm±10,35 x 143,75µm±10,61)

(64)

36

No. Stadia Waktu Keterangan

4. Pediveliger 22-24 hari Terlihat kaki yang keluar pada bagian dorsal cangkang dengan masing-masing ukuran AP±SD x DV±SD pada masing-masing perlakuan yaitu kontrol (227,14µm±14,68 x 203,57µm±9,45), A (227,27µm±20,90 x 196,82µm±19,53), B (237,22µm±29,86 x 207,50µm±31,17), C (234,33µm±23,67 x 201,67µm±26,57) dan D (227,14µm±19,76 x 199,29µm±18,35)

5. Spat >26 hari Menyerupai bentuk anakan kerang dengan masing ukuran AP±SD pada masing-masing perlakuan yaitu Kontrol (1382,11µm ± 198,81), A (1196,25µm ± 343,66), B (1510,67µm ± 155,56), C (1231,46µm ± 322,24) dan D (1152,40µm ± 296,19)

4. Parameter Kualitas Air

Kisaran parameter kualitas air yang terukur selama penelitian berdasarkan perlakuan suhu yang berbeda terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Parameter Kualitas Air yang Diukur Selama Penelitian

No. Parameter Kisaran Referensi

1.

30-34 ppt (Taylor et al., 2004; Southgate dan Lucas, 2008; Winanto dkk., 2009) 7,8-8,6 (Matsui, 1960 dalam Winanto, 2009)

B. Pembahasan

1. Tingkat Kelangsungan Hidup

(65)

D-37

veliger) hingga mencapai stadia spat (juvenil) yang berumur 35 hari setelah pemijahan. Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa suhu memberikan pengaruh yang sangat nyata (Sig.<0,01) bagi kelangsungan hidup larva kerang mutiara (P. maxima) dari stadia D-veliger hingga mencapai spat (juvenil). Hal ini didukung oleh pernyataan Southgate dan Lucas (2008) bahwa suhu terlalu rendah dan terlalu tinggi memberikan pengaruh terhadap kelangsungan hidup kerang mutiara (P. maxima). Lebih lanjut O’Connor dan Lawler (2004) menyatakan bahwa perbedaan toleransi suhu tidak hanya terjadi pada masa embrio hingga juvenil, tetapi juga berpengaruh pada spat hingga mencapai kerang dewasa, terutama pada suhu rendah.

(66)

38

larva kerang mutiara Akoya (India) hidup dengan baik pada kisaran suhu 24-29oC dan Pteria sterna pada kisaran suhu 21-28oC.

Kelangsungan hidup terendah didapatkan pada perlakuan D (suhu 32oC±0,5) dengan nilai 3,98%±0,53 dan menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan A (suhu 26oC±0,5) dan perlakuan C (suhu 30oC±0,5) dengan nilai persentasi masing-masing yaitu 3,99%±0,57 dan 5,25%±1,81. Rendahnya nilai kelangsungan hidup yang terjadi pada perlakuan tersebut diduga bahwa larva kerang mutiara (P. maxima) tidak dapat mentolelir suhu tersebut sehingga terjadi mortalitas yang cukup tinggi. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Winanto (2009) yang mengemukakan bahwa suhu 26oC dan 30oC memberikan hasil kelangsungan hidup yang rendah dibandingkan suhu 28oC dengan salinitas 30-34ppt. Nair dan Appukuttan (2003) juga menambahkan bahwa suhu >33oC menyebabkan mortalitas yang tinggi pada larva kerang. Peningkatan suhu menyebabkan perubahan signifikan pada aktivitas fisiologis yang akan mempengaruhi kemampuan organisme untuk bertahan hidup pada kondisi yang tidak menguntungkan (Rajagopal et al., 2005). Saucedo et al. (2004) menjelaskan bahwa beberapa jenis bivalvia memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan suhu air dalam bertahan hidup dan bereproduksi.

2. Pertumbuhan

(67)

39

Southgate dan Lucas (2008) pengukuran cangkang merupakan metode yang paling umum digunakan untuk menentukan tingkat pertumbuhan pada kerang mutiara.

2.1.Pertumbuhan Mutlak

Pertumbuhan mutlak merupakan pertumbuhan larva awal pengamatan hingga mencapai spat (akhir pengamatan). Laju pertumbuhan mutlak merupakan parameter yang menentukan laju peningkatan ukuran maupun bobot pada waktu tertentu, umumnya digunakan untuk menggambarkan pertumbuhan bivalvia yang dibudidayakan dan sangat berperan penting dalam membandingkan antara perlakuan dalam studi yang sama. Umumnya pertumbuhan mutlak kerang mutiara dipengaruhi oleh ukuran dan usia bivalvia serta variasi musiman dalam memperoleh makanan, suhu air dan lokasi budidaya (Southgate dan Lucas, 2008). Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukan bahwa suhu memberikan pengaruh yang sangat nyata (Sig.<0,01) bagi pertumbuhan mutlak larva kerang mutiara (P. maxima) hingga mencapai spat (juvenil) dengan taraf kepercayaan 99%. Hal ini

didukung oleh hasil penelitian Doroudi et al. (1999) bahwa dalam kisaran salinitas yang cocok, pertumbuhan larva P. margaritifera tergantung pada suhu. Lebih lanjut Yukihira et al. (2000) menjelaskan bahwa tingkat metabolisme moluska khususnya kerang mutiara dan organisme poikilothermic lainnya biasanya meningkat seiring dengan peningkatan suhu hingga titik maksimal.

(68)

40

dengan nilai 1258,21µm±67,45. Hasil yang hampir sama juga dilaporkan oleh Saucedo et al. (2009) bahwa P. mazatlanica secara signifikan mencapai ukuran yang lebih besar, tingkat pertumbuhan yang lebih besar dan lebih berat (basah dan kering) terjadi pada suhu 29oC, dan diberi pakan campuran Isochrysis-Chaetoceros (untuk berat) serta Pavlova-Chaetoceros (untuk tinggi cangkang). Cáceres-Puig et al. (2007) juga menambahkan bahwa kerang subtropis Crassostrea corteziensis

merupakan spesies eurythermal dengan kisaran toleransi suhu yang luas yaitu 16-32°C. Akan tetapi spesies ini sangat tergantung pada suhu antara 24-30°C dan tumbuh dengan baik pada suhu optimal yaitu suhu 28oC. Terlepas dari faktor tersebut, ternyata pertumbuhan panjang mutlak Dorsal-Ventral dan Anterior– Posterior P. maxima tertinggi mulai dari veliger sampai spat umur 30 hari yang diberi pakan alami kombinasi I. galbana 25% dan C. amami 75% dengan mencapai ukuran masing-masing yaitu 1623,72µm dan 2217,11µm (Taufiq dkk., 2010).

Pertumbuhan terendah terjadi pada perlakuan A (suhu 26oC±0,5) yaitu

1031,31µm±158,49 dan menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan D (suhu 32oC±0,5) yaitu 1072,40µm±51,13. Pertumbuhan yang rendah pada perlakuan tersebut diduga bahwa suhu 26oC±0,5 terlalu rendah dan suhu 32oC±0,5 terlalu tinggi dalam mendukung pertumbuhan larva kerang mutiara (P. maxima) hingga mencapai spat (juvenil). Yukihira et al. (2000) dan Yukihira et al.

(69)

41

lambat. Pada bivalvia umumnya pertumbuhan terjadi melalui deposisi kalsit jaringan mantel dan aragonit pada garis cangkang sehingga pada kerang mutiara, dimensi cangkang merupakan ciri-ciri yang paling sering diukur untuk mengetahui tingkat pertumbuhan (Rose dan Baker, 1994 dalam Kvingedal et al., 2010).

2.2.Laju Pertumbuhan Spesifik

Larva bivalvia memiliki pertumbuhan eksponensial (Gosling, 2007) dan tingkat pertumbuhan kemungkinan akan dipengaruhi oleh faktor genetik, nutrisi endogen dan eksogen, dan kondisi lingkungan budaya (Doroudi dan Southgate, 2003). Laju pertumbuhan spesifik larva kerang mutiara (P. maxima) yang diukur pada awal pengamatan hingga hari ke 20 setelah pemijahan ternyata sangat dipengaruhi oleh suhu. Hal ini dapat dilihat bahwa laju pertumbuhan spesifik anterior-posterior maupun dorsal-ventral ternyata sangat dipengaruhi oleh suhu dengan nilai Sig.<0,01 yang menunjukan bahwa suhu memberikan pengaruh yang sangat nyata pada taraf kepercayaan 99% terhadap pertumbuhan DV maupun AP. Hal ini didukung oleh pernyataan Southgate dan Lucas (2008) yang mengemukakan bahwa pertumbuhan kerang mutiara dipengaruhi oleh ukuran, usia, serta variasi musiman dalam ketersediaan makanan, suhu air dan lokasi budidaya. Lebih lanjut Yukihira et al. (2006) juga menambahkan bahwa suhu memberikan pengaruh signifikan pada pertumbuhan dan pada suhu rendah juvenil kerang mutiara (P. maxima) akan mengalami kematian.

(70)

42

perlakuan. Hal ini berkaitan dengan pernyataan Winanto dkk. (2009) bahwa laju metabolisme meningkat dengan meningkatnya suhu sehingga mencapai batas optimum (28oC), selanjutnya akan menurun seiring dengan meningkatnya suhu. Perlakuan yang memberikan hasil terendah yaitu perlakuan D (suhu 32oC±0,5) dengan nilai 4,91%±0,12. Pertumbuhan yang rendah pada perlakuan D (suhu 32oC±0,5) diduga bahwa suhu media tersebut terlalu tinggi sehingga menyebabkan aktifitas fisiologis larva terganggu sehingga berdampak pada pertumbuhan cangkang yang lambat. Hal ini didukung oleh Hamzah (2016) yang mengemukakan bahwa kondisi lingkungan merupakan faktor penting dalam proses aktivitas enzim dalam pencerna protein. Lebih lanjut dijelaskan bahwa semakin tinggi kadar kalsium karbonat yang terkandung dalam cangkang adalah berbanding lurus dengan tingginya daya metabolisme reaksi enzim dalam mencerna protein untuk pertumbuhan.

(71)

43

pertumbuhan yang cepat namun kelangsungan hidup lebih rendah dan hal ini juga ditemukan pada spesies invertebrata lainnya. Perlakuan yang memberikan hasil pertumbuhan terendah yaitu perlakuan A (suhu 26oC±0,5) yaitu 5,14µm±0,05 dan menunjukan nilai yang tidak signifikan dengan perlakuan Kontrol (suhu 26,5-28oC) dan perlakuan D (suhu 32oC±0,5) yaitu 5,15µm±0,08 dan 5,21µm±0,11. Hal ini diduga bahwa suhu 26oC±0,5 terlalu rendah dan suhu 32oC±0,5 terlalu tinggi dalam mendukung pertumbuhan larva kerang mutiara. Hal serupa juga dilaporkan oleh Winanto (2009) bahwa suhu 26oC relatif rendah untuk perkembangan larva dan sebaliknya suhu 30oC relatif tinggi untuk perkembangan larva. Lebih lanjut Hamzah (2016) menjelelaskan bahwa kisaran kondisi suhu dan salinitas yang rendah, mengakibatkan pertumbuhan larva menjadi lambat dan lebih lama menempel pada kolektor.

3. Perkembangan

(72)

44

pada bulan September-November dengan suhu 27°C dan 29°C. Musim kawin terjadi pada September hingga April, dengan puncak pada bulan Oktober dan hanya sedikit pada bulan April (Southgate dan Lucas, 2008).

(73)

45

Gambar 11. Larva Kerang Mutiara (P. maxima) Stadia D-Veliger dan Umbo (Keterangan: A. D-Veliger; dan B. Umbo)

Stadia D-veliger dicapai pada 24 jam setelah pemijahan dengan larva yang berbentuk huruf D dengan ukuran sekitar 80 x 75µm (AP x DV). Hal ini hampir sama dengan Doroudi dan Southgate (2003) bahwa larva D-Veliger P. margaritifera dicapai sekitar 24 jam setelah pembuahan dengan ukuran panjang

cangkang 79,7±2,3 (n = 40). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Larva D menunjukkan lingkaran pertumbuhan awal setelah 2 hari dan cangkang menunjukkan sedikit pertumbuhan umbonal setelah berkembang selama 6 hari serta prodissoconch I dan II bisa diidentifikasi secara jelas. Tahap veliger ditandai dengan bentuk engsel yang lurus dan cangkang berbentuk huruf “D”. Pada tahap ini, larva semi-transparan dan menunjukan bagian velum yang menonjol, larva veliger berenang di permukaan air serta menciptakan arus yang kuat dengan menggunakan sillia (Acarli dan Lok, 2009).

Stadia umbo dicapai pada umur 12-18 hari dengan bagian umbo yang kelihatan jelas pada bagian dorsal. Acarli dan Lok (2009) menjelaskan bahwa pada kerang Ostrea edulis, larva berenang lebih lambat daripada tahap-tahap awal. Pada bagian velum silia juga kurang aktif dan hanya sebagian larva yang mencapai tahap

(74)

46

umbo pada hari ke 14. Rata-rata ukuran panjang x tinggi cangkang (AP±SD x DV±SD) tertinggi pada stadia umbo yaitu pada perlakuan B (suhu 28oC±0,5) yaitu

170,67µm±30,11 x 153,67µm±26,76 dan terendah pada perlakuan D (suhu 32oC±0,5) yaitu 157,50µm±10,35 x 143,75µm±10,61. Hal ini sedikit berbeda dengan Doroudi dan Southgate (2003) yang menjelaskan bahwa larva P. margaritifera membutuhkan waktu 8 hari untuk mencapai tahap umbo awal dengan

panjang cangkang 110µm dan menunjukkan tingkat pertumbuhan harian rata-rata 3,7µm. Pada larva P. margaritifera, suhu 20oC memberikan perkembangan stadia umbo yang lambat, bahkan setelah mencapai 15 hari (Doroudi et al., 1999).

Gambar 12. Larva Kerang Mutiara (P. maxima) Stadia Eyespot Tampak Atas dan Samping

Stadia Eyespot dicapai sekitar 18-22 hari dengan ditandai bintik hitam (spot) yang tampak jelas. Bintik hitam kecil pada kedua sisi cangkang tampak setelah berumur 16-17 hari. Bintik hitam ini menggambarkan larva mulai menempel dan kolektor segera ditebarkan dalam bak pemeliharaan (Hamzah, 2015). Berdasarkan hasil pengamatan, rata-rata ukuran larva tertinggi pada perlakuan B (suhu 28oC±0,5) yaitu 209,00µm±9,94 x 196,00µm±9,66 dan terendah pada perlakuan A (suhu 26oC±0,5) yaitu 194,00µm±16.73 x 178,00µm±14,83. Pada suhu 26oC laju

(75)

47

26oC relatif rendah dan kurang efektif untuk proses metabolisme, sehingga berimplikasi pada perkembangan dan pertumbuhan larva (Winanto, 2009). Lebih lanjut Kheder and Robert (2010) menyatakan bahwa suhu ≥27°C memiliki efek

positif pada laju metamorfosis dan sebaliknya suhu ≤22°C memberikan efek yang

rendah, sehingga menyebabkan lambatnya pencapaian stadia berikutnya. Sedikitnya pertumbuhan yang dialami dari tahap perkembangan awal kemungkinan disebabkan oleh penurunan dari proses kalsifikasi (Parker et al., 2010).

Gambar 13. Kerang Mutiara (P. maxima) Stadia Pediveliger dan Spat (Keterangan: A. Pediveliger; dan B. Spat)

Berdasarkan hasil penelitian, stadia Pediveliger dicapai sekitar 22-24 hari setelah fertilisasi dengan ditandai munculnya kaki yang keluar pada bagian dorsal cangkang serta bintik hitam pada stadia Eyespot telah menghilang. Gerakan larva mulai melambat dan nampak adanya pertumbuhan organ penempel seperti lidah yang keluar dari dalam tubuh larva (Wardana dkk., 2009). Lebih lanjut Acarli dan Lok (2009) menjelaskan bahwa pada stadia Pediveliger, larva berkumpul pada kolom air yang lebih dalam dan mulai mendekati substrat serta bergerak sepanjang permukaan dengan didorong oleh kaki yang menonjol dan mulai mencari substrat yang sesuai untuk menempel. Rata-rata ukuran larva tertinggi yaitu pada perlakuan

(76)

48

B (suhu 28oC±0,5) yaitu 237,22µm±29,86 x 207,50µm±31,17 dan terendah pada perlakuan D (suhu 32oC±0,5) yaitu 227,14µm±19,76 x 199,29µm±18,35. Hal ini

hampir sama dengan pernyataan Rose dan Baker (1994) dalam Doroudi dan Southgate (2003) bahwa pada usia sekitar 20-23 hari setelah fertilisasi larva P. margaritifera, P. fucata dan P. maxima menempel pada ukuran panjang cangkang yang hampir sama yaitu sekitar 230-266µm. Lebih lanjut Taufiq dkk. (2010) menambahkan bahwa larva akan menempatkan diri untuk menetap dan melekat pada substrat setelah berumur 24 hari pada suhu 28,2-29,8oC. Selanjutnya pada rentang suhu 24,3-27,2oC larva baru akan melekat setelah berumur 32 hari.

(77)

49

energi dialokasikan untuk bertahan hidup daripada untuk pertumbuhan. Hal serupa juga disampaikan oleh Hamzah (2016) bahwa daya reaksi enzim protease dan kandungan kadar kalsium karbonat turut dipengaruhi oleh interkasi suhu-salinitas sebesar 71,7%, sementara siasanya sebesar 28,7% adalah dipengaruh oleh faktor lain. Hal berbeda disampaikan oleh Cataldo et al. (2005) bahwa suhu mungkin tidak bertanggung jawab atas perbedaan-perbedaan dalam ukuran. Lebih lanjut

O’Connor dan Lawler (2004) mengemukakan bahwa berkaitan dengan ontogeni

atau perkembangan organisme dari sigot sampai dewasa, ternyata pada suhu dan salinitas optimum tidak tampak adanya pengaruh perbedaan yang besar.

4. Parameter Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diukur dalam penelitian ini meliputi salinitas dan pH serta menunjukan kisaran yang masih mendukung pertumbuhan, perkembangan maupun kelangsungan hidup larva kerang mutiara (P. maxima) hingga mencapai fase spat. Menurut Southgate dan Lucas (2008) bahwa pengaruh kondisi lingkungan memberikan dampak yang berbeda sesuai dengan tahap perkembangan maupun kondisi fisiologis kerang mutiara. Berdasarkan hasil pengamatan, kisaran salinitas yang diperoleh dari awal hingga akhir penelitian yaitu berkisar antara 32-34 ppt. Salinitas yang diperoleh masih dalam kisaran salinitas optimum dalam mendukung pemeliharaan larva kerang mutiara (P. maxima) hingga mencapai spat (Taylor et al., 2004; Southgate dan Lucas, 2008; Winanto dkk., 2009). Hal serupa juga

(78)

50

hidup maupun metabolisme larva kerang mutiara. Lebih lanjut O’Connor dan Lawler (2004) menambahkan bahwa pada salinitas 17ppt beberapa juvenil P. imbricata terlihat memproduksi byssus meskipun tidak bertahan pada salinitas ini

selama lebih dari 1 minggu.

(79)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa suhu optimum bagi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan larva kerang mutiara (Pinctada maxima) adalah 28oC±0,5.

B. Saran

Saran yang dapat penulis berikan yaitu sebaiknya suhu yang digunakan pada pemeliharaan larva kerang mutiara (Pinctada maxima) yaitu suhu 28oC±0,5. Selain

(80)

Gambar

Gambar 1. Morfologi dan Anatomi Kerang Mutiara ( Pinctada sp.) (Sumber: Southgate dan Lucas, 2008)
Gambar 2. Siklus Hidup Kerang Mutiara ( P. maxima) (Keterangan: a. telur dan sperma; b
Gambar 3. Morfologi Tahapan Perkembangan Larva ( P. maxima) (Keterangan: a. D-veliger; b
Tabel 1. Alat dan Bahan Beserta Kegunaan No. Alat dan Bahan Satuan
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Hal ini membuktikan bahwa pengguna sistem pakar lebih utama melihat pada kesederhanaan, kemudahan, penggunaan serta pemahaman terhadap aplikasi Expert System Builder (ESB) dan

Jamaluddin. Kontribusi Keluarga Sakinah terhadap Kehidupan Keagamaan Masyarakat di Kelurahan Lepo-Lepo Kec.. Keempat, Karsum Suleman meneliti tentang Urgensi keluarga

 Kemudian di tahun 2022, ditargetkan satu proyek rampung dikerjakan yaitu landed house di wilayah Ouargia, proyek milik Ministre De LHabitat, De LUrbanisme Et De La Ville dengan

Untuk melihat potensi air hujan yang dapat dipanen dan ditampung oleh bendungan pada lebung maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk (i) menentukan lokasi

Dalam penelitian ini kami menganalisis tata ruang Kawasan Pendidikan Pesantren Madani Alauddin Pao-Pao baik secara tata massa bangunan maupun dari segi kondisi suasana

Hal ini disebabkan karena pendapatan yang rendah dari orang tua tentunya kurang mendukung dalam pemenuhan kebutuhan keluarga, seperti dengan pendapatan yang rendah

Hubungan antara produktivitas primer dengan intensitas cahaya pada tiap kedalaman, dapat dikatakan pada lapisan permukaan 0 – 50 cm produktivitas primer adalah kecil 124,33 –