• Tidak ada hasil yang ditemukan

STUDI KONDISI HUTAN MANGROVE PRIMER DI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "STUDI KONDISI HUTAN MANGROVE PRIMER DI "

Copied!
64
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KONDISI HUTAN MANGROVE PRIMER

DI KAWASAN KONSERVASI MANGROVE MAMBURUNGAN

Oleh:

BURHANUDDIN. IHSAN 04.101020.002

SKRIPSI

PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS BORNEO TARAKAN

(2)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Hutan mangrove selalu identik dengan perairan yang membentuk sebuah komunitas ekosistem, yang mempunyai multi fungsi dan tidak bisa tergantikan oleh ekosistem lain. Secara fisik berfungsi sebagai penstabil lahan (land stabilizer), yakni berperan dalam mengakumulasi substrat lumpur oleh perakaran mangrove sehingga sering kali memunculkan tanah timbul yang mampu menahan abrasi air laut dan menghadang intrusi air laut ke daratan. Fungsi biologisnya sebagai tempat berlindung, bertelur dan berkembang biak bagi ikan. Sedangkan, secara ekonomi hutan mangrove menghasilkan kayu yang nilai kalornya tinggi sehingga sangat baik untuk bahan baku arang. Fungsi yang terakhir adalah fungsi kimia yakni sebagai penetralisir limbah kimia beracun berbahaya.

Selain fungsi-fungsi tersebut di atas ekosistem mangrove sekarang ini juga mulai difungsikan sebagai tempat rekreasi, ekosistem mangrove di Kota Tarakan, telah difungsikan sebagai tempat rekreasi sejak tahun 2002 sampai dengan sekarang. Selain itu juga, ekosistem mangrove dijadikan tempat pengembangan ilmu pengetahuan melalui penelitian. Oleh karena itu, ekosistem mangrove perlu kita jaga dan lestarikan sehingga semua fungsi dari ekosistem mangrove dapat berjalan dengan baik.

Pembangunan tambak dan pemukiman serta penebangan hutan secara liar (ilegal loging) menyebabkan terjadinya degradasi hutan mangrove dan membawah dampak pada organisme-organisme disekitar, maka pemerintah menjadikan hutan mangrove yang ada di Kelurahan Mamburungan menjadi kawasan konservasi.

B. Permasalahan

(3)

hutan mangrove di kawasan ini terancam degradasi dengan adanya kegiatan masyarakat diantaranya limba rumah tangga, pembangunan pemukiman penduduk, tambak, jembatan dan lain sebagainya. Sebagai langkah awal dalam upaya pengelolaan terhadap kawasan ini maka diperlukan ketersediaan informasi yang akurat tentang kondisi mangrove Mamburungan saat ini.

Informasi aktual tentang kondisi hutan mangrove di Kawasan Konservasi Mangrove Mamburungan belum begitu jelas apakah dalam kondisi baik, sangat baik, atau kurang baik. Maka atas dasar pemikiran tersebut perlu adanya penelitian tentang kondisi hutan mangrove yang ada di Kelurrahan Mamburungan.

C. Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui kondisi mangrove berdasarkan jenis dan komposisi hutan mangrove yang terdapat di Mamburungan.

2. Mengetahui Indeks Nilai Penting (INP) mangrove Mamburungan

D. Manfaat

(4)

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi dan Zonasi Hutan Mangrove

Menurut Bengen (2003), hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa spesies pohon mangerove yang mampu tumbuhdan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Komunitas vegetasi ini umumnya tumbuh pada daerah intertidal dan supratidal yang cukup mendapat aliran air, dan terlindung dari gelombang besar dan arus pasang-surut yang kuat. Karena itu hutan mangrove banyak terdapat di pantai-pantai teluk yang dangkal, estuaria, delta dan daerah pantai-pantai yang terlindung. Hutan mangrove umumnya tumbuh pada:

1. Daerah intertidal yang jenis tanahnya berlumpur, berlempang atau berpasir. 2. Daerahnya tergenang air laut secara berkala, baik setiap hari maupun yang

hanya tergenang pada saat pasang purnama. Frekuensi genangan menentukan komposisi vegetasi hutan mangrove.

3. Daerah yang menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat.

4. Daerah yang terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut yang kuat. Air bersalinitas payau 2 – 22 permil hingga asin mencapai 38 permil.

Penyebaran vegetasi mangrove ditentukan oleh berbagai faktor lingkungan, salah satu diantaranya adalah salinitas. Berdasarkan salinitas kita mengenal zona-zona hutan mangrove adalah sebagai berikut (De Haan dalam Russell & Yonge, 1968):

a. Zona air payau hingga air laut salinitas berkisar 10 – 30 o/oo

 Area yang terendan sekali atau dua kali sehari selama 20 hari selama sebulan, hanya Rhizophora mucronata yang masih tumbuh.

 Area yang terendam 10 – 19 kali perbulan, ditemukan Avicennia (A. alba, A. marina), Sonneratia sp dan dominan Rhizophora sp.

 Area yang terendam kurang dari 9 kali setiap bulan, ditemukan Rhizophora sp, Brugueira sp.

(5)

b. Zona air tawar hingga air payau salinitas berkisar 0 – 10 o/oo

 Area yang kurang lebih masih dipengaruhi pasang surut, asosiasi Nypa.

 Area yang terendam secara musiman, Hibiscus dominan.

Salah satu tipe zonasi hutan mangrove di Indonesia adalah sebagai berikut:

 Daerah yang paling dekat dengan laut sering ditumbuhi Avicennia dan Sonneratia. Sonneratia bisa tumbuh pada lumpur alam yang kaya bahan organik.

 Lebih ke arah darat, hutan mangrove umumnya didominasi oleh Rhizophora spp. Di zona ini dijumpai Brugueira dan Xylocarpus.

 Zona berikutnya didominasi oleh Brugueira spp.

 Zona transisi antara hutan mangrove dan hutan daratan rendah yang biasanya ditumbuhi olh Nypa (Nypa fruticans), dan pandan laut (Pandanus spp).

Avicennia/Sonnerati Rhizophora Brugueira Nypa fruticans

Gambar 1. Salah Satu Tipe Zonasi Hutan Mangrove Di Indonesia (Nyoto, 2006)

B. Struktur vegetasi dan Daur Hidup mangrove

 Hutan mangrove meliputi pohon- pohon dan semak yang terdiri atas 12 general tumbuhan berbunga (Avicennia, Sonneratia, Rhizophora, Brugueira, Ceriops, Xylocarpus, Lumnitzera, Laguncularia, Aegiatillis, Snaeda, dan conocarpus) yang termaksud kedalam 8 famili.

(6)

sikas. Namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Paling tidak di dalam hutan mangrove terdapat salah satu jenis tumbuhan sejati penting/dominan yang termaksud dalam 4 (empat) famili rhizophoraceae (Rhizophora, Brugueira dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia) dan Meliaceae (Xylocarpus).

Jenis mangrove tertentu, seperti bakau (Rhizophora sp) dan Tancang (Bruguera sp) memiliki daur hidup yang khusus, diawali dari beni yang ketika masih pada tumbuhan induk berkecamba dan mulai tumbuh di dalam semaian tanpa istirahat. Selama waktu tersebut, semaian memanjang dan distribusi beratnya berubah sehingga menjadi lebih berat pada bagian terluar dan akhirnya lepas. Selnjutnya smaian ini jatuh dari pohon induk, masuk keperairan dan mengapung di permukaan air. Semaian ini kemudian terbawah oleh aliran air ke perairan pantai yang cukup dangkal, dimana ujung akarnya dapat mencapai dasar perairan, untuk selanjutnya akar dipancangkan dan secara bertahap tumbuh menjadi pohon.

Biji berkecamba Pada pohon

Masuk ke perairan

(7)

C. Adaptasi Pohon Mangrove

a. Adaptasi terhadap kadar oksigen rendah

Pohon mangrove memiliki bentuk perakaran yang khas (Gambar 3.): 1. Bertipe cakar ayam yang mempunyai pneumatofora untuk mengambil

oksigen dari udara, (misalnya, Avicennia spp, Sonneratia spp, Xylocarpus sp.).

2. Bertipe penyangga/tongkat yang mempunyai inti sel (misalnya, Rhizophora spp).

Gambar 3. Bentuk Akar Pohon Mangrove b. Adaptasi terhadap Konsentrasi Garam Tinggi

Dalam kaitannya dengan adaptasi terhadap kandungan garam, mangrove dikelompokkan menjadi: (1). Salt-excreting mangrove (Avicennia, Aegiceras, Aegialitis) dan (2). Non-salt excreting mangrove (Rhizophora, bruguera, Sonneratia, dan lain-lain). Sehubungan dengan ini Huching dan Saenger (1987) mengemukakan tiga cara mangrove beradaptasi terhadap garam sebagai berikut:

1. Sekresi Garam (Salt extrusion/Salt Secretion)

Flora mangrove menyerap air dengan salinitas tinggi kemudian mengekskresikan garam dengan kelenjar garam yang terdapat pada daun. Mekanisme ini dilakukan oleh Avicennia, Sonneratia, Aegiceras, Aegialitis,

(8)

Achanthus, Laguncularia dan Rhizophora (melalui unsur-unsur gabus pada daun).

2. Mencegah Masuknya Garam (Salt exclusion)

Flora mangrove menyerap air tetapi mencegah masuknya garam melalui saringan (ultra filter) yang terdapat pada akar. Mekanisme ini dilakukan oleh Rhizophora, Ceriops, Sonneratia, Avicennia, Osbornia, Bruguera, Excoecaria, Aegiceras, Aegalitis dan Acrostichum.

3. Akumulasi Garam (Salt accumulation)

Flora mangrove seringkali menyimpan Na dan Cl pada bagian kulit kayu, akar dan daun yang lebih tua. Daun penyimpan garam umumnya sukulen dan pengguguran daun sukulen ini diperkirakan merupakan mekanisme mengeluarkan kelebihan garam yang dapat menghambat pertumbuhan buah. Mekanisme adaptasi garam ini terdapat pada, Excoecaria, Lumnitzera, Avicennia, Osbornia, Rhizophora, Sonneratia dan Xylocarpus.

c. Adaptasi Tanah Yang Kurang Stabil dan Adanya Pasang Surut

Mengembangkan struktur akar yang sangat ekstensif dan membentuk jaringan horizontal yang lebar. Di samping untuk memperkokoh pohon, akar juga berfungsi untuk mengambil unsur hara dan menahan sedimen.

D. Fauna Hutan Mangrove

(9)

Komunitas fauna hutan mangrove membentuk percampuran antara dua kelompok:

a. Kelompok fauna daratan/trestrial (arboreal) yang umumnya menempati bagian atas pohon mangrove, terdiri atas; insekta, ular, primata dan burung. Kelompok ini tidak mempunyai adaptasi khusus untuk hidup di dalam hutan mangrove, karena mereka melewatkan sebagian besar hidupnya di luar jangkauan air laut pada bagian pohon yang tinggi, meskipun mereka dapat mengumpulkan makanannya berupa hewan lautan pada saat air surut.

b. Kelompok fauna perairan/akuatik terdiri atas dua tipe, yaitu:

 Yang hidup di kolam air, terutama berbagai ikan, dan udang;

 Yang menempati substrakbaik keras (akar dan batang mangrove) maupun lunak (lumpur), terutama kepiting, kerang dan berbagai jenis avertebrata lainnya.

E. Rantai dan Jala Makanan di Ekosistem Mangrove

Tumbuhan mangrove sebagaimana tumbuhan lainnya mengkonversi cahaya matahari dan zat hara (nutrien) menjadi jaringan tumbuhan (bahan organik) melalui proses fotosintesis. Tumbuhan mangrove merupakan sumber makanan potensial, dalam berbagai bentuk, bagi semua biota yang hidup di ekosistem hutan mangrove. Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya, komponen rantai dasar dari rantai makanan di ekosistem hutan mangrove bukanlah tumbuhan mangrove itu sendiri, tapi serasa yang berasal dari tumbuhan mangrove (daun, ranting, buah dan batang).

(10)

F. Fungsi Ekologis Mangrove

Sebagai suatu ekosistem khas wilayah pesisir, hutan mangrove memiliki beberapa fungsi ekologis penting :

1. Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air permukaan.

2. Sebagai penghasil sejumlah besar detritus, terutama yang berasal dari daun dan dahan pohon mangrove yang rontok. Sebagian dari detritus ini dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi para pemakan deetritus, dan sebagian lagi diuraikan secara bakterial menjadi mineral-mineral hara yang berperan dalam penyuburan perairan.

3. Sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan (ikan, udang, kepiting dan kerang-kerangan) baik yang hidup di perairan pantai maupun lepas pantai (Gambar. 4).

Gambar 4. Fungsi Ekosistem Mangrove

G. Dampak Kegiatan Manusia

(11)

permukaan air, dan tumpahan minyak. Keadaan ini mengakibatkan penurunan kadar oksigen dengan cepat untuk kebutuhan respirasi, dan menyebabkan kematian mangrove. Perubahan faktor-faktor tersebut yang mengontrol pola salinitas substrak dapat menyebabkan perubahan komposisi spesies, salinitas yang lebih dari 90 ppt dapat mengakibatkan kematian biota dalam jumlah besar. Perubahan salinitas dapat diakibatkan oleh perubahan siklus hidrologi, aliran air tawar dan pencucian terus menerus seperti kegiatan pengerukan, bendungan dan penyekatan.

Permasalahan utama tentang pengaruh atau tekanan terhadap habitat mangrove bersumber dari keinginan manusia untuk mengkonversi area hutan mangrove menjadii areal pengembangan perumahan, kegiatan-kegiatan komersial, industri dan pertanian. Selain itu, juga meningkatnya permintaan terhadap produksi kayu menyebabkan kerusakan hutan mangrove cukup besar adalah pembukaan tambak-tambak untuk budidaya perairan. Kegiatan terakhir ini memberikan kontribusi terbesar dalam perusakan ekosistem mangrove. Dalam situasi seperti ini, habitat dasar dan fungsinya menjadi hilang dan kehilangan ini jauh lebih besar dari nilai penggantinya. Secara umum, ada beberapa permasalahan yang timbul karena ketidaktahuan akan nilai alamiah yang dapat diberikan oleh ekosistem mangrove dan ketiadaan perencana untuk mengembangkan secara integral. Dampak utama yang ditimbulkan akibat berbagai kegiatan manusia terhadap ekosistem mangrove (Tabel 1).

Tabel 1. Dampak Kegiatan Manusia Terhadap Ekosistem Mangrove

Kegiatan Dampak Potensial

 Berubahnya komposisi ekosistem hutan mangrove

 Hutan mangrove tidak berfungsin lagi sebagai daerah mencari makan, asuhan dan pemijahan.

 Peningkatan salinitas hutan mangrove, sehingga ikan dan udang dalam stadium larva tidak dapat mentoleransi peningkatan salinitas.

 Menurunnya tingkat kesuburan hutan mangrove

(12)

dan lain-lain.

 Terjadinya pencemaran laut oleh bahan pencemar yang sebelumnya diikat oleh substrak hutan mangrove.

 Pendangkalan perairan pantai.

 Erosi garis pantai.

 Penurunan kandungan oksigen, karena mengalami dekomposisi anaerobik dan menghasilkan hidrogen sulfat (H2S) dan amonia (NH3).

 Kemungkinan terlapisnya pneumatofora yang mengakibatkan matinya pohon mangrove

 Perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat

 Kematian pohon-pohon mangroveakibat terlapisnya pneumatofora oleh lapisan minyak.

 Kerusakan total ekosistem mangrove, sehingga memusnahkan fungsi ekologis hutan mangrove (daerah mencari makan, asuhan dan pemijahan).

 Pengendapan sedimen yang dapat mematikan pohon mangrove

H. Pedoman Pengelolaan

Konservasi dan pemanfaatan mangrove bergantung sepenuhnya pada perencanaan yang terintegrasi dengan mempertimbangkan kebutuhan ekosistem mangrove. Usulan pengembangan dan kegiatan insidental yang mempengaruhi ekosistem mangrove hendaknya mencerminkan perencanaan dan pengelolaan sebagai berikut:

1. Peliharalah dasar dan karakter substrak hutan dan saluran-saluran air, Sebab substrak memegang peranan sangat penting bagi kelangsungan hidup hutan mangrove, seperti proses sedimentasi yang berlebihan, erosi dan pengendapan harus dapat dihindari.

(13)

3. Peliharalah pola temporal dan spasial alami dari salinitas air permukaan dan air tanah karena dapat mengganggu keseimbangan salinitas pesisir.

4. Peliharalah keseimbangan alamiah antara pertambahan tanah, erosi dan sedimentasi. Kegiatan di wilayah pesisir termaksud konstruksi sangat potensial untuk mengubah keseimbangan antara pertumbuhan dan erosi. 5. Tetapkan batas maksimum untuk seluruh hasil panen yang dapat diproduksi,

plotkan rencana kerja berdasarkan perencanaan yang mantap untuk menjamin keberlanjutan (keseimbangan) ekosistem.

6. Pada daerah-daerah yang mungkin terkena tumpahan minyak dan bahan beracun lainnya, harus memiliki rencana-rencana penanggulangan.

7. Hindarkan semua kegiatan yang mengakibatkan pengurangan (impound) areal mangrove. Penghentian sirkulasi air permukaan mengakibatkan kematian hutan mangrove.

I. Pengklasifikasian Tingkat Kerusakan Hutan Mangrove

Untuk menentukan tingkat kerusakan hutan mangrove digunakan beberapa parameter yang dapat diamati secara praktis, Universitas Borneo dan Dinas Kehutanan dan perkebunan (2006) yaitu;

(14)

2. Jumlah permudaan per Ha/Np, permudaan mempunyai peranan sangat penting untuk menjamin kelestarian suatu hutan. Khusus di hutan mangrove, umumnya permudaan ini cukup melimpah( 5.000 anakan/ha). Banyaknya permudaan sekitar 5.000 semai/ha dan 2.500 pancang/ha yang merata dapat dianggap sebagai stock permudaan yang dikategorikan baik. Untuk variabel jumlah permudaan per Ha diklasifikasikan dalam lima kategori dengan skoring sebagai berikut;

5 = N  5.000 semai/ha (F  40%) N  2.500 pancang/ha (F  60%)

4 = N = 5.000 – 4.000 semai/ha (F  40%) N = 2.500 – 2.000 pancang/ha (F  60%) 3 = N = 4.000 – 3.000 semai/ha (F  40%) N = 2.000 – 1.500 pancang/ha (F  60%) 2 = N = 3.000 – 2.000 semai/ha (F  40%) N = 1.500 – 1.000 pancang/ha (F  60%) 1 = N < 2.000 semai/ha (F  40%)

N < 1.000 pancang/ha (F  60%)

Yang dimaksud dengan permudaan dan pohon adalah sebagai berikut; - semai ; anakan pohon mulai kecambah sampai dengan setinggi  1,5 m - pancang ; anakan pohon dengan tinggi > 1,5 m sampai berdiameter < 10 cm - pohon ; tumbuhan yang berkayu dengan diameter  10 cm.

(15)

III. METODOLOGI A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Pebruari 2009, di Kawasan Konservasi Mangrove Mamburungan kota Tarakan.

Gambar 5. Lokasi Penelitian

B. Alat dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan adalah sebagai berikut: Tabel 2. Alat dan Bahan

No Nama Alat dan Bahan Fungsi

1.

2.

3.

4.

5.

6.

Tali Rapia

Bambu/kayu

Meteran

Kamera

Pohon mangrove

Buku Identifikasi

Untuk membuat plot

Tiang penyangga plot

Untuk mengukur

Dokumentasi

Bahan yang akan diteliti

(16)

1

C. Teknik Pengumpulan Data

Adapun tehnik pengumpulan data yang digunakan dalam Penelitian adalah sebagai berikut:

1. Pertama-tama menentukan lokasi pengambilan plot tegak lurus dengan garis pantai, mulai dari bibir pantai sampai pada ke daratan.

2. setiap plot berukuran 10x10 meter dan pengambilan plot dengan cara selang seling dengan jarak setiap plot 10 meter.

3. Tiap-tiap plot yang berukuran 10x10 meter untuk menghitung jumlah pohon mangrove kemudian di dalamnya diplot lagi dengan ukuran 5x5 meter untuk menghitung jumlah anakan mangrove dan selanjutnya diplot lagi dengan ukuran 1x1 meter untuk menghitung bibit/semai mangrove.

4. selanjutnya mengidentifikasi jenis-jenis dan komposisi mangrove sesuai dengan zonasinya.

Desain contoh unit vegetasi di lapangan dapat dilihat pada gambar berikut: 10 m

Gambar 6. Desain Unit Contoh Vegetasi

Keterangan: Elemen kluster berbentuk jalur; 1=petak semai, 2=petak pancang, 3 = petak pohon.

5. Pada setiap petak contoh (plot) yang telah ditentukan, determinasi setiap jenis tumbuhan mangrove yang ada, hitung jumlah individu setiap jenis, dan ukur lingkaran batang setiap pohon mangrove setinggi dada, sekitar 1,3 meter. (Gambar 7).

2 3

10 m

(17)

Gambar 7. Penentuan Lingkaran Batang Mangrove Setinggi Dada (Mentri Negara Lingkungan Hidup, 2004)

D. Metode Analisis Data

1. Potensi Ekosistem Mangrove

Data komposisi potensi ekosistem mangrove akan dianalisis dengan formula Universitas Borneo dan Dinas Kehutanan dan Perkebunan, (2006) sebagai berikut;

a. Kerapatan (K) = jumlah individu luas contoh

b. Kerapatan Relatif (KR) = kerapatan suatu jenis x 100% kerapatan seluruh jenis

c. Frekuensi (F) = jumlah plot ditemukannya suatu jenis jumlah seluruh plot

d. Frekuensi Relatif (FR) = frekuensi suatu jenis x 100% frekuensi seluruh jenis e. Penutupan = luas bidang dasar

luas unit contoh

(18)

g. Indeks Nilai Penting (INP)= KR + FR + PR

Nilai Penting suatu jenis berkisar antara 0 dan 300. Nilai penting ini memberikan suatu gambaran mengenai pengaruh atau peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove

Tabel 3. Kriteria Kondisi Hutan Mangrove

Sumber : Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 201 tahun 2004.

2. Analisis Deskriptif

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, yaitu penelitian yang memberikan gambaran atau uraian atas suatu keadaan atau kondisi tersebut tanpa ada perlakuan terhadap objek yang diteliti, (Kountur, 2002 dalam Wishnu Hardi. 2006). Metode deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara tepat suatu keadaan, gejala atau topik tertentu, atau untuk menentukan frekuensi adanya hubungan tertentu antara suatu gejala dengan gejala lainnya. Pada penelitian tipe ini kemungkinan sudah ada hipotesa-hipotesa, bergantung dari sedikit banyaknya pengetahuan tentang masalah yang bersangkutan.

Menurut (Dinas Kehutanan. 2006). Dalam menentukan kondisi ekosistem hutan mangrove dapat dipengaruhi oleh proporsi penutupan vegetasi di lahan yang bersangkutan. Semakin rendah proporsi penutupan vegetasi di suatu lahan, maka secara alami lahan tersebut tergolong kurang baik. Untuk variabel kerapatan tajuk diklasifikasikan dalam tiga kategori dengan skoring sebagai berikut;

(19)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Secara geografis lokasi penelitian berada di Pantai Selatan Pulau Tarakan. Bentuk topografinya merupakan kelurahan pesisir yang membentang dari Tanjung Batu sampai Kelurahan Kampung Empat. Secara admistrasi termasuk ke dalam Kelurahan Mamburungan, Kecamatan Tarakan Timur. Kelurahan Mamburungan berbatasan dengan: Sebelah Timur dengan Kelurahan Pantai Amal dan Kelurahan Mamburungan Timur, sebelah Selatan dengan Laut Sulawesi, sebelah Barat dengan Kelurahan Lingkas Ujung serta sebelah Utara dengan Kelurahan Kampung Empat.

Luas Mangrove Mamburungan yaitu 32 Ha (Dinas Kehutanan, 2005). Berbagai jenis biota yang hidup di kawasan ini, ada yang hidup di darat, substrat lumpur, pasir dan air. Burung raja sering terlihat dan membuat sarang pada pohon mangrove dan berbagai jenis burung lainnya, sedang jenis biota air yang ada adalah beberapa jenis udang, ikan yang ada pada saat pasang naik maupun pada genangan air pada saat pasang surut. Selain itu terdapat jenis ikan yang spesifik yang membuat lubang di substrat lumpur dan berjalan seperti katak yakni ikan glodok atau tempakul (Periothalmus sobrinus). Jenis biota lain yang menempati substrat lumpur maupun pasir adalah beberapa jenis kepiting, siput-siput, serta berbagai jenis kerang-kerangan.

(20)

B. Kondisi Hutan Mangrove di Mamburungan

Berdasarkan pada hasil pengambilan data Hutan Mangrove di Mamburungan, di ketahui bahwa paling tidak terdapat tiga jenis vegetasi mangrove primer. Mangrove tersebut terdiri dari beberapa jenis yaitu Rhizopora sp, Sonneratia sp, dan Avicennia sp. Secara lengkap keanekaragaman hayati Hutan Mangrove dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 8. Diagram pohon, Kerapatan Relatif, Frekuensi Relatif dan Penutupan Relatif

1. Kerapatan Relatif

(21)

berhutan bakau minimal 130 meter kali nilai rata-rata perbedaan air pasang tertinggi air pasang tertinggi dan terendah tahunan diukur dari garis air surut terendah kearah darat. Selain itu juga nilai INP yang tinggi, menunjukkan jenis mangrove Avicennia sp memiliki peranan yang besar bagi wilayahnya, dibandingkan kedua jenis lain di wilayahnya masing-masing.

Kerapatan relatif pada lokasi Mamburungan untuk jenis Avicennia sp relatif tinggi terlihat dari hasil penelitian dengan nilai kerapatan yaitu, 80,392% sedangkan jenis mangrove Sonneratia sp dan Rhizophora sp relatif sangat rendah dengan nilai 9,803% dan 7,843%, ini disebabkan karena letak zonasi Avicennia sp Berada paling depan sehingga sedikit sekali terjadinya penebangan, sedangkan sonneratia sp dan Rhizophora sp berada di belakang Avicennia sp dalam zonasi hutan mangrove karena itu yang rawan sekali terjadinya degradasi untuk kedua jenis tersebut.

Jumlah pohon mangrove yang ada di Mamburungan terdapat sekitar 519 pohon/Ha, Menurut Keputusan Mentri Negara Lingkungan Hidup No. 201, (2004). Kondisi hutan mangrove yang sangat baik adalah ≥1500 pohon/Ha lihat tabel 3. Dengan hasil tersebut bisa di pastikan bahwa kondisi kawasan mamburungan tergolong kurang baik, ini menunjukan karena kawasan konservasi mangrove Mamburungan sebelumnya dijadikan tempat pembangunan tambak dan pemukiman sehingga terjadinya degradasi hutan mangrove.

2. Frekuensi Relatif

(22)

frekuensi relatif rendah, sedangkan pada jenis Avicennia sp nilai frekuensi relatif pada tajuk sangat tinggi yaitu 92,856%.

3. Penutupan Relatif

Penutupan relatif di kawasan konservasi mangrove Mamburungan sangat di pengaruhi oleh ekosistem mangrove jenis Avicennia sp karena dari hasil penelitian, jenis ini mempunyai nilai yang paling tinggi di antara jenis-jenis yang lain seperti Sonneratia sp dan Rhizophora sp. Jenis Avicennia sp mempunyai nilai penutupan relatif adalah 81,551% sedangkan nilai pada Sonneratia sp dan Rhizophora sp adalah 8,643% dan 7,477%.

Proporsi penutupan lahan oleh tajuk mangrove di Kawasan Konservasi Mangrove Mamburungan untuk jenis Avicennia sp adalah 68,376 %. Kisaran ini dikategorikan dalam ukuran sedang (50 – 70 %) sesuia dengan pendapat Dinas Kehutanan dan Perkebunan (2006). Penutupan tajuk ini tidak merata di semua pantai, sedangkan jenis Sonneratia sp dan Rhizophora sp mempunyai nilai 12,665 % dan 18,275%, Rendahnya kerapatan diakibatkan oleh kurangnya jumlah pohon dan jarak antara pohon yang satu dengan lain relatif renggang. Areal mangrove yang ada sebagian besar telah dikonfersi menjadi pemukiman. Dari data di atas didapatkan bahwa kerapatan tajuk terbesar adalah Avicenna sp. Hal ini disebabkan oleh jumlah pohon memang terbanyak dari jenis yang lain. Disamping itu jenis ini merupakan tumbuhan pionir mangrove di suatu kawasan maka kemungkinan yang tumbuh duluan adalah dari jenis Avicennia sp.

4. Indeks Nilai Penting

(23)

Gambar 9. Indeks Nilai Penting

Diagram di atas menunjukkan bahwa terjadinya perbedaan yang sangat jauh antara ketiga jenis tersebut, ini disebabkan karena Avicennia sp merupakan jenis mangrove yang sangat tahan/rentah terhadap gangguan dari luar sehingga kurang terjadinya degradasi untuk jenis ini sedangkan jenis yang lain seperti Sonneratia sp dan Rhizophora sp rentan terjadinya degradasi karena zonasinya yang berada di belakang sehingga rentang terjadinya penebangan pada jenis ini, dengan demikian kedua jenis mangrove ini mempunyai Indeks Nilai Penting (INP) yang sangat rendah.

(24)

Gambar 10. Degradasi Hutan Mangrove

Ekosistem hutan mangrove yang terletak di Kawasan Konserpasi Mangrove Mamburungan telah terdegradasi terlihat dari gambar 10, di mana masyarakat telah membangun jembatan, tambak, pemukiman serta di jadikan sebagai tempat persinggahan kapal-kapal nelayan, sehingga banyak terjadinya penebangan-penebangan hutan di kawasan tersebut. Dengan melihat perkembangan jumlah penduduk yang meningkat dan faktor ekonomi yang harus dipenuhi maka banyak masyarakat yang memanfaatkan hutan mangrove baik sebagai lahan pemukiman maupun sebagai bahan kontruksi. Untuk mencegah terjadinya degradasi mangrove yang berkepanjangan maka pemerintah menetapkan kawasan tersebut menjadi kawasan konserpasi.

Selain itu faktor lain adalah kurangnya pengetahuan masyarakat tentang manfaat hutan mangrove, oleh karna itu perlu adanya pelatihan-pelatihan tentang manfaat dan peranan ekosistem hutan mangrove.

a. Tajuk

(25)

Tabel 4. Tajuk, Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), Penutupan Relatif (PR) dan Indeks Nilai Penting (NP) Hutan Mangrove Mamburungan

No JENIS KR (%) RF (%) PR (%) INP (%)

1 Avicennia sp 66,145 92,856 68,376 234,652

2 Sonneratia sp 14,062 21,427 12,665 49,031

3 Rhizophora sp 19,270 35,714 18,725 75,793

Dalam pelaksanaan penelitian didapatkan nilai INP untuk tajuk 234,652%, ini membuktikan bahwa kawasan konservasi mamburungan memiliki gambaran dan peranan suatu jenis tumbuhan mangrove dalam komunitas mangrove itu sangat mempengaruhi dan kerapatan ini berbeda antara satu jenis dengan jenis yang lainnya. Kerapatan ini dipengaruhi oleh jumlah tajuk dan diameter cakupan daun, (Universitas Borneo dan Dinas Kehutanan & Perkebunan, 2006). Dari data dilapangan didapatkan bahwa kerapatan tajuk terbesar adalah Avicenna.

Dengan melihat data diatas menunjukan bahwa kawasan ini bisa di prediksikan untuk beberapa tahun kedepan dapat pulih kembali dengan melihat kondisi yang sekarang ini menunjukan jumlah pancang yang cukup banyak di Kawasan Konservasi Mangrove Mamburungan.

b. Semai

(26)

Tabel 5. Semai, Kerapatan Relatif (KR), Frekuensi Relatif (FR), Penutupan Relatif (PR) dan Indeks Nilai Penting (NP) Hutan Mangrove Mamburungan

No JENIS KR (%) FR (%) PR (%) INP (%)

1 Avicennia sp 93,104 93,548 84,000 270,457

2 Sonneratia sp 3,439 9,677 4,667 17,783

3 Rhizophora sp 3,439 6,541 9,667 19,557

Peluang untuk mengembalikan/memulihkan kawasan hutan mangrove Mamburungan secara alami bisa terjadi. Ini dapat diketahui dengan melihat kelimpahan jumlah permudaan (semai dan pancang) pada beberapa areal hutan mangrove Mamburungan. Dari hasil penelitian diketahui bahwa terdapat sekitar 56.129 semai dan 1935 pancang per hektar liat lampiran 4.

(27)

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian yang dilaksanakan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Kawasan konservasi hutan mangrove Mamburungan memiliki jumlah pohon sekitar 519 pohon/Ha, artinya kondisi kawasan tersebut tergolong rusak. Dan jenis-jenis mangrove yang terdapat di Kawasan Konservasi Mangrove Mamburungan yaitu Avicennia, Sonneratia, Rhizophora Bruguera Xylocarpus dan Nypa. dan lebih didominasi oleh jenis Avicennia.

2. Jenis Mangrove Avicennia mempunyai peranan yang sangat penting di wilayah kawasan konservasi hutan mangrove Mamburungan karena memiliki nilai INP yang tinggi yaitu 255,506%.

B. Saran

Dengan hasil penelitian dan pelaporan yang telah dilaksanakan, maka saran yang bisa disampaikan penulis adalah sebagai berikut;

1. Perlu adanya penelitian lanjutan untuk membuktikan apakah peningkatan jumlah penduduk, status kepemilikan tanah, pengetahuan dan pencemaran memberikan kontribusi terhadap kerusakan mangrove.

(28)

DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik (BPS). 2007. Tarakan Dalam Angka. BPS. Tarakan.

Bengen. D. G. 2003. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan lautan (PKSPL) Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Begen, D.G. 2002. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor PKSPL-IPB, Bogor. 66 Halaman

Dahuri, R. Dkk. 2001. Sumberdaya Wilaya Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradnya Paramita, Jakarta. 328 Halaman.

Dinas Kehutanan & Universitas Borneo. 2006. Laporan Penelitian Degradasi Hutan Mangrove Kota Tarakan Dinas Kehutanan, Tarakan

Dinas Kehutanan. 2005. Luas Mangrove Mamburungan

Hardi. W. 2006 Conspectus Model in Library Science. http://.www.conspectus reload.tripod.com

Hutching, P. And P. Saenger, 1987. Ecology of Mangrove. University of Queensland Press, Queensland Australia.

Mentri Negara Lingkungan Hidup. 2004. Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove

Nybakken, JM. 1988. Biologi Laut “Suatu Pendekatan Ekologis”. Gramedia. Jakarta.

(29)
(30)
(31)
(32)

Lampiran 4. Perhitungan Kerapatan dan Kerapatan Relatif

Kerapatan Keseluruhan = Jumlah Keseluruhan Luas Contoh

= 161 = 161 10x10 (31) 3100

= 0,051%

Kerapatan Keseluruhan = Jumlah Keseluruhan Luas Contoh

= 149 = 149 5 x 5 (31) 775

(33)

Kerapatan (1 x 1)

b. Rhizophora

Kerapatan (10 x 10)

Kerapatan (K) = Jumlah Individu Luas Contoh

= 15 = 15 10x10 (31) 3100

= 0,004%

Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan Suatu Jenis X 100 % Kerapatan Seluruh Jenis

= 0,127 X 100 %

0,192

= 66,145%

Kerapatan (K) = Jumlah Individu Luas Contoh

= 162 = 162 1 x 1 (31) 31

= 5,225%

Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan Suatu Jenis X 100 % Kerapatan Seluruh Jenis

= 5,225 X 100 %

5,612

= 93,104%

Kerapatan Keseluruhan = Jumlah Keseluruhan Luas Contoh

= 174 = 174 1 x 1 (31) 31

(34)

Kerapatan (5 x 5)

Kerapatan (1 x 1)

Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan Suatu Jenis X 100 % Kerapatan Seluruh Jenis

= 0,004 X 100 %

0,051

= 7,843%

Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan Suatu Jenis X 100 % Kerapatan Seluruh Jenis

= 0,037 X 100 %

0,192

= 19,270% Kerapatan (K) = Jumlah Individu Luas Contoh

= 29 = 29 5 x 5 (31) 775

= 0,037%

Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan Suatu Jenis X 100 % Kerapatan Seluruh Jenis

= 0,193 X 100 %

5,612

= 3,439% Kerapatan (K) = Jumlah Individu Luas Contoh

= 6 = 6 1 x 1 (31) 31

(35)

c. Sonneratia

Kerapatan (10 x 10)

Kerapatan (5 x 5)

Kerapatan (1 x 1)

Kerapatan (K) = Jumlah Individu Luas Contoh

= 18 = 18 10x10 (31) 3100

= 0,005%

Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan Suatu Jenis X 100 % Kerapatan Seluruh Jenis

= 0,005 X 100 %

0,051

= 9,803%

Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan Suatu Jenis X 100 % Kerapatan Seluruh Jenis

= 0,027 X 100 %

0,192

= 14,062% Kerapatan (K) = Jumlah Individu Luas Contoh

= 21 = 21 5 x 5 (31) 775

= 0,027%

Kerapatan (K) = Jumlah Individu Luas Contoh

= 6 = 6 1 x 1 (31) 31

(36)

Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan Suatu Jenis X 100 % Kerapatan Seluruh Jenis

= 0,193 X 100 %

5,612

(37)

Lampiran 5. Perhitungan Frekwensi dan Frekwensi Relatif 2. Frekuensi

a. Avisennia

Frekuensi (10 x 10)

Frekuensi (5 x 5)

Frekuensi Keseluruhan = Jumlah plot ditemukan seluruh jenis Jumlah seluruh plot

Frekuensi Keseluruhan = Jumlah plot ditemukan seluruh jenis Jumlah seluruh plot

= 28

31 = 90,322%

Frekuensi (K) = Jumlah plot ditemukan seluruh jenis Jumlah seluruh plot

= 27

31 = 87,096%

Frekuensi (K) = Jumlah plot ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot

= 26

(38)

Frekuensi (1 x 1)

b. Rhizophora

Frekuensi (10 x 10)

Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi Suatu Jenis X 100 % Frekuensi Seluruh Jenis

= 83,870 X 100 %

90,322

= 92,856%

Frekuensi Keseluruhan = Jumlah plot ditemukan seluruh jenis Jumlah seluruh plot

= 31

31 = 100%

Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi Suatu Jenis X 100 % Frekuensi Seluruh Jenis

= 93,548 X 100 %

100

= 93,548%

Frekuensi (F) = Jumlah plot ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot

= 7

31 = 22,580%

Frekuensi (F) = Jumlah plot ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot

= 29

(39)

Frekuensi (5 x 5)

Frekuensi (1 x 1)

Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi Suatu Jenis X 100 % Frekuensi Seluruh Jenis

= 22,580 X 100 % 93,548

= 24,137%

Frekuensi (F) = Jumlah plot ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot

= 10

31 = 32,258%

Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi Suatu Jenis X 100 % Frekuensi Seluruh Jenis

= 32,258 X 100 % 90,322

= 35,714%

Frekuensi (F) = Jumlah plot ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot

= 2

31 = 6,451%

Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi Suatu Jenis X 100 % Frekuensi Seluruh Jenis

= 6,451 X 100 % 100

(40)

c. Sonneratia

Frekuensi (10 x 10)

Frekuensi (5 x 5)

Frekuensi (1 x 1)

Frekuensi (F) = Jumlah plot ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot

= 8

31 = 25,806%

Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi Suatu Jenis X 100 % Frekuensi Seluruh Jenis

= 25,806 X 100 % 93,548

= 27,585%

Frekuensi (F) = Jumlah plot ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot

= 6

31 = 19,354%

Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi Suatu Jenis X 100 % Frekuensi Seluruh Jenis

= 19,354 X 100 % 90,322

= 21,427%

Frekuensi (F) = Jumlah plot ditemukan suatu jenis Jumlah seluruh plot

= 3

(41)

Frekuensi Relatif (FR) = Frekuensi Suatu Jenis X 100 % Frekuensi Seluruh Jenis

= 9,677 X 100 %

100

(42)

Lampiran 6. Perhitungan Penutupan dan Penutupan Relatif 3. Penutupan

a. Avicennia

Penutupan (10 X 10)

Penutupan = Luas bidang dasar Plot III Luas unit contah

= 1,009 X 4 = 0,043% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot IV Luas unit contah

= 0,816 X 7 = 0,057% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot II Luas unit contah

= 1,004 X 7 = 0,070% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot V Luas unit contah

= 0,785 X 11 = 0,086% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot VI Luas unit contah

= 1,004 X 8 = 0,080% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot I Luas unit contah

= 0,628 X 12 = 0,075%

(43)

Penutupan = Luas bidang dasar Plot VII Luas unit contah

= 0,960 X 7 = 0,048% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar

Plot VIII Luas unit contah

= 0,628 X 10 = 0,062% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot IX Luas unit contah

= 0,753 X 6 = 0,045% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot X Luas unit contah

= 0,942 X 5 = 0,047% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XIII Luas unit contah

= 0,753 X 3 = 0,020% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XI Luas unit contah

= 1,004 X 1 = 0,010% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XII Luas unit contah

(44)

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XIV Luas unit contah

= 0,816 X 1 = 0,008% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XV Luas unit contah

= 0,753 X 3 = 0,022% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XVI Luas unit contah

= 0,816 X 6 = 0,048%

10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XVIII Luas unit contah

= 0,879 X 1 = 0,008% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XIX Luas unit contah

= 0,973 X 3 = 0,039% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XVII Luas unit contah

= 0,69 X 1 = 0,006%

10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XX Luas unit contah

(45)

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XXIII Luas unit contah

= 0,471 X 3 = 0,014% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XXII Luas unit contah

= 0,533 X 4 = 0,021% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XXIV Luas unit contah

= 0,659 X 6 = 0,039% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XXV Luas unit contah

= 0,628 X 1 = 0,006% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XXVI Luas unit contah

= 0,722 X 6 = 0,043% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XXVII Luas unit contah

= 0,816 X 9 = 0,073% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XXI Luas unit contah

(46)

 Penutupan (5 x 5)

Penutupan = Luas bidang dasar Plot I Luas unit contah

= 0,219 X 1 = 0,008% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot II Luas unit contah

= 0,188 X 4 = 0,030% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot III Luas unit contah

= 0,219 X 2 = 0,017% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot IV Luas unit contah

(47)

Penutupan = Luas bidang dasar Plot VII Luas unit contah

= 0,188 X 3 = 0,022% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot VIII Luas unit contah

= 0,251 X 3 = 0,030% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot IX Luas unit contah

= 0,219 X 5 = 0,043% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot X Luas unit contah

= 0,251 X 3 = 0,030% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XI Luas unit contah

= 0,251 X 1 = 0,010% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XII Luas unit contah

= 0,251 X 3 = 0,030% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XIII Luas unit contah

(48)

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XIV Luas unit contah

= 0,188 X 1 = 0,007% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XV Luas unit contah

= 0,219 X I = 0,008% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XVI Luas unit contah

= 0,21 9X 1 = 0,008% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XVII Luas unit contah

= 0,251 X 5 = 0,050% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XVIII Luas unit contah

= 0,251 X 5 = 0,050% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XIX Luas unit contah

= 0,251 X 5 = 0,050% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XX Luas unit contah

(49)

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XXI Luas unit contah

= 0,219 X 3 = 0,026% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XXII Luas unit contah

= 0,188 X 10 = 0,075% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XXIII Luas unit contah

= 0,219 X 15 = 0,131% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XXIV Luas unit contah

= 0,251 X 4 = 0,040% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XXV Luas unit contah

= 0,251 X I = 0,010% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XXVI Luas unit contah

= 0,188 X 4 = 0,030% 5 X 5

Penutupan Relatif (DR) = Penutupan suatu jenis X 100% Penutupan seluruh jenis = 0,880 X 100%

(50)

 Penutupan (1 x 1)

Penutupan = Luas bidang dasar Plot I Luas unit contah

= 0,006 X 16 = 0,096% 1 X 1

Penutupan = Luas bidang dasar Plot II Luas unit contah

= 0,006 X 8 = 0,048% 1 X 1

Penutupan = Luas bidang dasar Plot III Luas unit contah

= 0,006 X 4 = 0,024% 1 X 1

Penutupan = Luas bidang dasar Plot IV Luas unit contah

= 0,006 X 4 = 0,024% 1 X 1

Penutupan = Luas bidang dasar Plot V Luas unit contah

= 0,006 X 1 = 0,006% 1 X 1

Penutupan = Luas bidang dasar Plot VI Luas unit contah

= 0,003 X 4 = 0,012% 1 X 1

Penutupan = Luas bidang dasar Plot VII Luas unit contah

(51)

Penutupan = Luas bidang dasar Plot VIII Luas unit contah

= 0,006 X 11 = 0,066%

1 X 1

Penutupan = Luas bidang dasar Plot IX Luas unit contah

= 0,009 X 3 = 0,027% 1 X 1

Penutupan = Luas bidang dasar Plot X Luas unit contah

= 0,003 X 3 = 0,009% 1 X 1

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XII Luas unit contah

= 0,009 X 4 = 0,036% 1 X 1

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XIII Luas unit contah

= 0,006 X 4 = 0,024% 1 X 1

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XIV Luas unit contah

= 0,003 X 1 = 0,003% 1 X 1

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XI Luas unit contah

(52)

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XV Luas unit contah

= 0,003 X 1 = 0,003% 1 X 1

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XVI Luas unit contah

= 0,003 X 11 = 0,033% 1 X 1

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XVII Luas unit contah

= 0,006 X 14 = 0,084% 1 X 1

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XVIII Luas unit contah

= 0,003 X 19 = 0,057% 1 X 1

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XIX Luas unit contah

= 0,003 X 9 = 0,027% 1 X 1

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XX Luas unit contah

= 0,003 X 8 = 0,024% 1 X 1

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XXI Luas unit contah

(53)

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XXII Luas unit contah

= 0,006 X 2 = 0,018% 1 X 1

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XXIII Luas unit contah

= 0,003 X 6 = 0,018% 1 X 1

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XXIV Luas unit contah

= 0,003 X 2 = 0,006% 1 X 1

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XXV Luas unit contah

= 0,003 X 5 = 0,015%

1 X 1

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XXVI Luas unit contah

= 0,006 X 2 = 0,012% 1 X 1

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XXVII Luas unit contah

= 0,009 X 3 = 0,027% 1 X 1

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XXVIII Luas unit contah

= 0,003 X 4 = 0,012%

(54)

b. Rhizophora

 Penutupan (10 x 10)

Penutupan = Luas bidang dasar Plot XXIX Luas unit contah

Penutupan = Luas bidang dasar Plot II Luas unit contah

= 0.471 X 1 = 0,004% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot III Luas unit contah

= 0,596 X 2 = 0,011% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot IV Luas unit contah

= 0,785 X 5 = 0,039% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot V Luas unit contah

= 0,565 X38 = 0,016%

10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot I Luas unit contah

(55)

Penutupan (5 x 5)

Penutupan = Luas bidang dasar Plot VI Luas unit contah

= 0,596 X 2 = 0,011% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot VII Luas unit contah

Penutupan = Luas bidang dasar Plot I Luas unit contah

= 0,282 X 1 = 0,011% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot II Luas unit contah

= 0,251 X 1 = 0,010% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot III Luas unit contah

= 0,251 X 2 = 0,020% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot IV Luas unit contah

(56)

Penutupan = Luas bidang dasar Plot V Luas unit contah

= 0,188 X 8 = 0,06%

5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot VI Luas unit contah

= 0,251 X 7 = 0,070% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot VII Luas unit contah

= 0,251 X 2 = 0,020% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot VIII Luas unit contah

= 0,219 X 3 = 0,056% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot IX Luas unit contah

= 0,219 X 2 = 0,017% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot X Luas unit contah

= 0,188 X 2 = 0,015% 5 X 5

Penutupan Relatif (DR) = Penutupan suatu jenis X 100% Dominansi seluruh jenis = 0,241 X 100%

(57)

 Penutupan (1 x 1)

c. Sonneratia

Dominansi (10 x 10)

Penutupan = Luas bidang dasar Plot I Luas unit contah

= 0,502 X 2 = 0,010% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot II Luas unit contah

= 0,628 X 2 = 0,012% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot IV Luas unit contah

= 0,502 X 1 = 0,005% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot III Luas unit contah

= 0,471 X 6 = 0,028% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot I Luas unit contah

= 0,015 X 5 = 0,075% 1 X 1

(58)

 Penutupan (5 x 5)

Penutupan = Luas bidang dasar Plot V Luas unit contah

= 0,879 X 2 = 0,017% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot VI Luas unit contah

= 1,004 X 1 = 0,010% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot VII Luas unit contah

= 0,628 X 2 = 0,012% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot VIII Luas unit contah

= 0,471 X 2 = 0,009% 10 X 10

Penutupan = Luas bidang dasar Plot I Luas unit contah

= 0,157X 1 = 0,006%

5 X 5

(59)

 Penutupan (1 x 1)

Penutupan = Luas bidang dasar Plot III Luas unit contah

= 0,188 X 2 = 0,015% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot IV Luas unit contah

= 0,251 X 1 = 0,010% 5 X 5

Penutupan = Luas bidang dasar Plot V Luas unit contah

= 0,266 X 15 = 0,016% 5 X 5

Dominanasi = Luas bidang dasar Plot V Luas unit contah

Penutupan = Luas bidang dasar Plot II Luas unit contah

= 0,003 X 1 = 0,003% 1 X 1

Penutupan = Luas bidang dasar Plot I Luas unit contah

(60)

Penutupan = Luas bidang dasar Plot III Luas unit contah

= 0,009 X 3 = 0,027% 1 X 1

Penutupan Relatif (DR) = Penutupan suatu jenis X 100% Penutupan seluruh jenis = 0,042 X 100%

(61)

Lampiran 7. Perhitungan Indeks Nilai Pentin 4. Indeks Nilai Penting

a. Avicennia

b. Rhizophora Avicennia (10 x 10)

Indeks Nilai Penting = KR + FR + PR

= 80,392 + 93,603 + 81,511

= 255,506% Avicennia (5 x 5)

Indeks Nilai Penting = KR + FR +PR

= 73,437 + 92,856 + 68,376

= 234,669% Avicennia (1 x 1)

Indeks Nilai Penting = KR + FR + PR = 93,104 + 93,548 + 84

= 270,652%

Rhizophora (10 x 10)

Indeks Nilai Penting = KR + FR + PR

= 7,843 + 24,137 + 7,477

= 39,457% Rhizophora (5 x 5)

Indeks Nilai Penting = KR + FR + PR

= 21,354 + 35,714 + 18,725

= 75,793% Rhizophora (1 x 1)

Indeks Nilai Penting = KR + FR + PR = 3,439 + 6,541 + 9,667

(62)

c. Sonneratia

Sonneratia (10 x 10)

Indeks Nilai Penting = KR + FR + PR

= 9,803 + 25,585 + 8,643

= 44,031% Sonneratia (5 x 5)

Indeks Nilai Penting = KR + FR + PR

= 15,265 + 21,427 + 12,665

= 49,357% Sonneratia (1 x 1)

Indeks Nilai Penting = KR + FR + PR = 3,439 + 9,677 + 4,667

(63)

Lampiran 8. Perhitungan Jumlah Pohon, Tajuk dan Semai. a. Pohon

b. Tajuk

c. Semai

Jumlah Pohon = Jumlah Pohon Keseluruhan Luas Plot Keseluruhan

= 161 = 161 10x10 (31) 3100

= 0,051 individu/M2 = 510 individu/Ha

Jumlah Pohon = Jumlah Pohon Keseluruhan Luas Plot Keseluruhan

= 149 = 149 5 x 5 (31) 775

= 0,192 individu/M2 = 1920 individu/Ha

Jumlah Pohon = Jumlah Pohon Keseluruhan Luas Plot Keseluruhan

= 174 = 174 1 x 1 (31) 31

(64)

Gambar

Gambar 1.  Salah Satu Tipe Zonasi Hutan Mangrove Di Indonesia
Gambar 2.  Daur Hidup Pohon Mangrove (Nybakken, 1993)
Gambar 3. Bentuk Akar Pohon Mangrove
Gambar 4. Fungsi Ekosistem Mangrove
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian Karakteristik Jenis Vegetasi Hutan Mangrove dari nilai, Kerapatan Relatif, Frekuensi Relatif, Dominasi Relatif dan Indek Nilai Penting beberapa jenis

Hasil analisis Kerapatan jenis, Kerapatan relatif, Frekuensi jenis, Frekuensi relatif, Penutupan jenis, Penutupan relatif dan Indeks Nilai Penting mangrove di kawasan

Hasil analisis Kerapatan jenis, Kerapatan relatif, Frekuensi jenis, Frekuensi relatif, Penutupan jenis, Penutupan relatif dan Indeks Nilai Penting mangrove tingkat semai

Sedangkan, spesies lamun Halophila ovalis merupakan spesies yang paling sedikit ditemukan serta memiliki nilai kerapatan jenis, kerapatan relatif, frekuensi jenis, frekuensi

Dari hasil analisis seperti terlihat pada Tabel.4 Frekuensi relatif tertinggi untuk tingkat pohon dari jenis Avicennia marina dengan nilai 41, 18%, frekuensi relatif

esculenta merupakan jenis Araceae memiliki nilai frekuensi relatif, kerapatan relatif, dan penutupan relatif yang lebih tinggi dibandingkan ketiga jenis Araceae lainnya..

Hasil analisis Kerapatan jenis, Kerapatan relatif, Frekuensi jenis, Frekuensi relatif, Penutupan jenis, Penutupan relatif dan Indeks Nilai Penting mangrove tingkat semai

Kerapatan tegakan tertinggi terdapat pada petak pengamatan Rhizophora 4 tahun yaitu 8.133 pohon/Ha, sedangkan kerapatan tegakan terendah pada petak komunitas alam Avicennia yaitu