Pendidikan
Kewarganegaraan
PEMERINTAH YANG BERSIH
DAN DEMOKRATIS
Ilmu Komunikasi – Universitas Muhammadyah Yogyakarta
Oleh: Trisna Risani Karya (096)I. PEMERINTAHAN YANG BERSIH
Secara sederhana, pemerintahan yang bersih dapat dijelaskan sebagai kondisi pemerintahan yang para pelaku yang terlibat di dalamnya menjaga diri dari perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).Korupsi adalah perbuatan pejabat pemerintah yang menggunakan uang pemerintah dengan cara-cara yang tidak legal. Kolusi adalah bentuk kerjasama antara pejabat pemerintah dengan oknum lain secara illegal pula (melanggar hukum) untuk mendapatkan keuntungan material bagi mereka. Nepotisme adalah pemanfaatan jabatan untuk memberi pekerjaan, kesempatan, atau penghasilan, bagi keluarga atau kerabat dekat pejabat, sehingga menutup kesempatan bagi orang lain.
Sejak Indonesia memasuki era transisi menuju demokrasi di tahun 1999, citra negeri ini di dunia internasional terus terpuruk.Antara tahun 1999 hingga 2003, Indonesia dikenal sebagai negara dengan tingkat korupsi yang sangat buruk, bahkan paling buruk di seluruh Asia.Agar pemerintahan bebas dari rongrongan KKN, maka para pejabat pemerintah dan politisi, baik di eksekutif, birokrasi, maupun, badan legilatif, pusat maupun daerah, hendaknya mengindahkan nilai-nilai moralitas.
Sudah barang tentu, moralitas politik saja tidak akan cukup untuk menegakkan pemerintahan yang bersih dari pelanggaran moralitas atau etika politik; tetapi diperlukan sebuah sistem politik dan hukum yang egaliter dan adil untuk menopang kerangka sistematik masyarakat madani.
Untuk menegakkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa diperlukan berbagai kondisi dan mekanisme hubungan yang berpotensi menopang pertumbuhan moralitas politik. Tentunya, budaya demokrasi pun perlu dikembangkan dalam proses pemerintahan di negeri ini, sehingga terwujud pula pemerintahan yang demokratis.
II. SISTEM DEMOKRASI DALAM PEMERINTAHAN
Untuk mengembangkan budaya demokrasi dalam pemerintahan diperlukan sistem yang demokratis pula untuk mengelola proses pemerintahan melalui mekanisme yang demokratis.
1. Sistem Pemerintahan Parlementer
Salah satu sistem pemerintahan yang dikenal dan dipratekkan di banyak negara adalah sistem parlementer.Sistem ini tumbuh dalam tradisi politik Inggris yang kemudian menyebar ke berbagai pelosok dunia, seiring dengan meluasnya kolonialisasi Inggris di masa lalu.
tangan ratu sebagai symbol kepemimpinan negara.Kepala negaralah yang mengangkat kepala pemerintahan yang merupakan ketua partai mayoritas di parlemen.
Peran utama parlemen sebagai pemasok anggota kabinet Inggris membuat hubungan antara eksekutif dan legislative menjadi terfusikan.Dalam praktik, fusi kedua cabang pemerintahan ini membuat kekuasaan eksekutif relative mendominasi lembaga legislatif (parlemen).Oleh karena itu, dalam sistem parlementer Inggris, perdana menteri setiap saat dapat membubarkan parlemen, jika dianggap perlu, dengan meminta kepala negara (ratu) untuk melakukannya.
Di Inggris dan Jepang, misalnya, politisi yang melakukan perbuatan memalukan akan segera mengundurkan diri, sehingga wibawa pemerintahan tetap terjaga.
2.Sistem Presidensial
Sistem pemerintahan yang kedua adalah sistem presidensial.Sistem ini menekankan pentingnya pemilihan presiden secara langsung, sehingga presiden terpilih mendapatkan mandat langsung dari rakyat.
Dalam sistem presindensial, kekuasaan eksekutif (kekuasaan untuk menjalan pemerintahan) sepenuhnya berada di tangan presiden.Oleh karena itu, presiden adalah kepala eksekutif (head of government) sekaligus menjadi kepala negara (head of state).Presiden adalah penguasa sekaligus simbol kepemimpinan negara.
Dalam sistem presidensial, seorang presiden dapat menjalankan kekuasaan hingga masa jabatannya berakhir tanpa khawatir akan diganggu oleh kongres. Selama kebijakan presiden tidak melanggar konstitusi, ia dapat bertahan hingga akhir masa jabatannya, walaupun ia gagal dalam berbagai sektor kegiatan pemerintahan.
Apa pun sistem politik yang diterapkan, jika masyarakat masih menoleransi kekuasaan eksekutif yang tidak tebatas, eksekutif yang tidak terbatas, eksekutif cenderung melakukan sentralisasi kekuasaan. Proses sentralisasi kekuasaan yang tidak terbendung akan menghasilkan sebuah pemerintahan otoriter.
3. Kekuasaan Eksekutif Terbatas
Persoalan mendasar baik dalam sistem parlementer maupun presidensial adalah sejauh mana masyarakat memberi batasan bagi kekuasaan eksekutif. Apapun sistem politik yang di terapkan, jika masyarakat masih menoleransi kekuasaaan eksekutif cenderung melakukan sentralisasi kekuasaan. Bentuk pemerintahan inilah yang kondusif bagi terjadinya berbagai tindakan penindasan terhadap hak-hak rakyat, termasuk di dalamnya penculikan, penyiksaan, dan bahkan pembunuhan yang di lakukan dengan cara-cara yang melanggar hukum. Oleh karna itu konstitusi harus dengan jelas membatasi kekuasaan eksekutif.
perubahan sosial politik, presiden yang otoriter akan dengan mudah terguling karena lemahnya infrastruktur yang menopang sistem pemerintahan otoriter.
Kekuasaan presiden yang tidak terbatas juga mengundang kelemahan lain, yakni lemahnya sistem pengawasan terhadap tindakan dan prilaku politisi di pusat maupun daerah. Karena ketakutan publik melakikan pengawasan secara terbuka. Rezim otoriter dengan kekuasaan eksekutif yang nyaris tak terbatas adalah barang tentu kondusif bagi pertumbuhan budaya korupsi.
Disamping itu, presiden yang tak terbatas kekuasaan yang berpeluang besar melahirkan kekuasaan juga berpeluang besar melahirkan bentuk pelanggaran hukum lain, seperti kolusi dan nepotisme. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa pemerintahan orde baru di masa lalu mengembangkan hubungan hubungan kolusif antara pejabat pemerintah menyediakan perangkat hukum untuk menjalankan proyek-proyek pemerintah.
Namun dengan demikian dalam konteks indonesia di masa transisi, berbagai pelanggaran hukum yang dilakukan para pejabat eksekutif masa lalu menjadi tumpukan persoalan bagi pemerintah baru. Budaya korupsi yang sulit di hilangkan kini menjadi penghalang besar bagi pemerintah baru untuk menjalankan kebijakan mereka sendiri.
Ketentuan konstitusional tentang kekuasaan eksekutif yang berbatas diperlukan untuk menutup kemungkinan represif. Oleh karena itu, badan legislatif dan yudikatif, media massa, kampus, dll. Harus mengkondisikan diri untuk tetap pada umumnya, harus mengkondisikan diri untuk tetap memantau ekspansi kekuasaan eksekutif (presiden)
4. pemberdayaan badan legislatif
Badan legislatif pada rezim otoriter pada umumnya lebih banyak memainkan peran sebagai tukang stempel saja(rubber-stamp parliament). Pada umumnya mereka menerima dan mengesahkan hampir semua usulan kebijakan dari pemerintah tanpa reserve. Pemberdayaan badan legislatif pada dasarnya merupakan salah satu pilar utama dari upaya untuk membatasi kekurangan eksekutif. Badan legislatif menduduki posisi sentral, dengan demikian hanya badan legislatif yang secara sah dapat melaukan fungsi pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah.
Pemberdayaan badan legislatif memerlukan sebuah upaya untuk melembagakan pola hubungan kerjasama yang disetujui bersama antara dua belah pihak dan diterima secara luas oleh masyarakat politik. Dengan kata lain, diperlukan kesediaan untuk berdialog,berunding,dan mencapai kesepatan luas, sehingga mekanisme kerja kedua lembaga dapat berjalan lebih lancar. Dalam jangka pendek, recrutment anggota legislatif sering tida memperhatikan latar belakang pendidian dan pengalaman profesional anggota, sehingga siapapun yang diusulan partai dapat menjadi anggota DPR tanpa melalui tahapan evaluasi terhadap calon secara maksimal.
belakang profesional, serta usia calon anggota legislatif dalam proses pencalonan (recruitment) anggota legislatif.
III. SISTEM PEMILIHAN
Pemilihan menghindari penggunaan kekerasan berdarah dalam menggantikan pemerintah berkuasa yang sudah tidak lagi diehendaki rakyat. Ada beberpa jenis pemilihan yang dikembangkan di negara demokrasi.
1. Sistem Proposional
Dalam sistem proposional ini, setiap partai bersaing untuk mendapatkan sebanyak mungkin suara pemilih dalam setiap daerah pemilihan. Perolehan kursi masing-masing partai dihitung sesuai dengan proporsi perolehan suaranya. Dengan ata lain, sistem proposional merupakan sistem untuk memelihara sistem multi-partai.
2. Sistem Distrik
Sistem pemilihan distrik merupakan sistem oemilihan di mana setiap daerah pemilihan disebut sebagai distrik. Dalam distrik hanya terdapat satu kursi yang diperebutkan. Dengan sistem distrik, setiap calon harus mendapatan suara paling banyak untuk merebut kursi di distrik tersebut.
3. Sistem Multiple-Distrik
Dalam sistem ini, setiap distrik terdiri dari lebih satu kursi yang diperebutkan. Sistem multiple-distrik berfungsi untuk mempertahankan persaingan antarcalon dengan memberi kesempatan lebih banyak kepada partai politik.
SISTEM KEPARTAIAN
Sistem kepartaian memainkan peran dalam pengembangan sistem politik yang demokratis. Walaupun demikian, hal ini tidak berarti bahwa sistem partai tertentu lebih demokratis daripada sistem partai yang lain. Sistem partai ditentukan oleh sejarah politik Negara yang bersangkutan.
1. Sistem Dua-Partai
menerima hukuman dan partai mana yang tidak. Dengan kata lain, akuntabilitas dua-partai lebih mudah diukur karena hanya ada satu dua-partai yang berkuasa.
2. Sistem Multi-partai
Dalam sistem multi-partai, yang berkuas bisa lebih dari satu partai, dua partai, atau bisa pula lebih dari dua partai politik.Sistem multi-partai sering dianggap sebagai sumber instabilitas politik karena kabinet sulit menjalankan agenda pemerintahan yang terdiri dari banyak partai politik.Namun demikian, penelitian mutakhir menunjukkan bahkan pengalaman beberapa sistem multi-partai di Eropa membuktikan tiada kesulitan bagi sistem multi-partai untuk mengembangkan sebuah sistem demokrasi yang stabil dan produktif.Bahkan, negara-negara demokrasi baru di Amerika Latin selama dua decade terakhir abad ke-20 yang lalu menunjukkan kecenderungan kuat pada sistem multi-partai sebagai penopang demokrasi mareka.Namun bagi Indonesia dengan tingkat heterogenitas masyarakat yang sedemikian tinggi, mustahil menghapus gejala multi-partaisme yang sedang tumbuh pesat say ini. Hal ini disebabkan oleh beberapa hal :
Pertama, gerakan reformasi telah menjadikan Indonesia lading subur bagi pertumbuhan partai-partai baru karena dihilangkannya berbagai hambatan untuk mendirikan partai baru. Dewasa ini partai poliyik di Indonesia dapat mengembangkan kegiatan mereka hingga ke seluruh pelosok pedesaan. Bandingkan dengan masa Orde Baru.
Kedua, gerakan reformasi juga kondusif bagi tokoh dan kamunitas yang tidak puas dengan partai-partai yang ada untuk membentuk partai baru. Di samping ketidakpuasan mereka terhadap format partai-partai yang ada (di DPR), para politisi yang mendirikan partai sebenarnya juga melihat bahwa partai politik dapat dijadikan kendaraan untuk menuju kekuasaan pemerintah.
Ketiga, prospek pemilihan presiden langsung merupakan dorongan yang sangat kuat bagu parta-partai beru untuk tumbuh. Para politisi berpendapat bahwa tokoh-tokoh utama pertain yang ada saat ini, secara umum, tidak dipandang sebagai tokoh ideal bagi masyarakat. Bisa dikatan bahwa masyarakat seperti kehilangan tokoh idaman. Asumsi ini kemudian dijadikan bahan spekulasi bagi aktivis poliyik yang memiliki dana besar, atau yang berharap untuk mengakses dana besar untuk segera membentuk partai politik.
Beberapa gejala di atas kemungkinan besar akan turut mempengaruhi proses pembentukan karakteristik sistem partai di Indonesia. Sangat sulit bagi Indonesia untuk melepaskan diri dari kemunculan partai-partai baru, karena partai telah dipandah oleh sebagian masyarakat sebagai jalan tol menuju kemakmuran ekonomi. Mereka yang semula miskin dengan cepat berubah jadi kaya raya karena aktif di DPR atau DPRD . Kondisi ini membuat partai baru akan terus tumbuh sebagai penyalur hasrat mendapatkan keuntungan material yang cepat dan terjamin.
Dalam jangka menengah (sekitar 10 tahun), pertumbuhan system multi-partai yang tidak terkendali akan menimbulkan permasalahan serius, yaitu fragmentasi system partai. Krisis politik yang tumbuh akibat konflik antar-partai di eksekutif menumbuhkan gejala baru berupa ketidakmampuan memerintah (ungovernability).
4. Budaya Politik
Koalisi-koalisi yang dibentuk pada awal pemerintahan demokrasi pada umumnya didasari oleh pertimbangan pragmatis yang sangat kuat. Pragtisme membuat partai-partai bersedia bergabung dengan partai manapun, asalkan mereka dapat membentuk pemerintahan yang menguntungkan mereka. Landasan berpijak untuk membentuk koalisi ini membuat partai-partai politik anggota koalisi mengabaikan prinsip demokrasi.
5. Budaya Oposisi
Keenganan membangun budaya oposisi dengan penuh kesadaran akan makna strategis oposisi menjadikan partai itu sendiri sebagai penghalang bagi proses demokratisasi. Peran partai oposisi sesungguhnya sangat besar. Bila seluruh partai terlibat ke dalam pemerintahan dan tidak ada partai oposisi di DPR- bila partai berkuasa terlibat dalam tindakan KKN-bisa dipastikan mereka akan saling membela dan melindungi begitu juga dengan sebaliknya.
IV. PERANAN ORGANISASI NON-PARTAI
Organisasi non-partai adalah organisasi yang tidak menjadikan perebutan jabatan publik sebagai tujuan utama mereka. Antara lain adalah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perguruan tinggi, lembaga riser, organisasi kemasyarakatan (ormas), dan kelompok kepentingan lain.
Lembaga di luar partai relative memiliki kecenderungan untuk bersikap kritis tanpa didbebani oleh pertimbangan jangka pendek sebagaimana dialami kalangan partai politik.
Organisasi non-partai inilah yang menjadi salah satu ujung tombak perjuangan membangun pemerintahan yang bersih dan demokratis di masa depan.
Aktivitas organisasi non-partai, dengan demikian, berfungsi sebagai penyeimbang terhadap kecenderungan konservatisme partai yang berpotensi memperlambat proses reformasi politik.
V. MEDIA MASSA
Pilihan berita penting dari proses pendidikan politik yang membantu masyarakat belajar menemukan alternatif lain. Selama tiga puluh tahun Orde Baru sistem pengawasan media sangat ketat menciptakan rasa takut masyarakat untuk menciptakan pemikiran. Akibat dominasi berita oleh pemerintah memperkuat represi rezim Orde Baru. Lemahnya daya kritis publik akhirnya berakibat melemahnya kemampuan pemerintah, semua ini berakhir dengan krisis ekonomi-politik Orde Baru.
Dalam era transisi media massa menentukan proses pendidikan politik publik. Disamping itu, peran mengkomunikasikan dukungan tuntutann publik terhadap pemerintah, media massa diharapkan memperkuat masyarakat sekaligus menciptakan lembaga-lembaga pemerintahan yang kuat, terbuka, dan bertanggung jawab. Antara masyarakat dan pemerintah, media sangat diperlukan kedua pihak ketika saluran resmi DPR seringkali tidak berfungsi dalam menyalurkan kepentingan masyarakat luas.
Media massa juga merumuskan agenda publik yang tidak selalu menjadi perhatian para politisi. Sebagian besar komunikasi masyarakat ditopang oleh media massa, para politisi dan tokoh masyarakat lain bergantung juga pada media massa dalam menyebarkan pesan ke khalayak luas.
VI. ANTI KORUPSI
Pemerintahan yang bersih, demokratis, gagasan anti-korupsi merupakan tema penting dalam era menuju demorasi di Indonesia. Istilah korupsi meliputi dua konsep yaitu kolusi dan nepotisme. Secara umum, korupsi adalah pengabaian atau penyisihan suatu standar yang seharusnya ditegakkan. Korupsi bisa terjadi dimana saja , baik dunia swasta maupun negara.
Di Indonesia, korupsi muncul dalam dua bentuk yaitu state capture dan korupsi administratif. State capture aksi-aksi illegal perusahaan atau individu untuk mempengaruhi penyusunan hukum, kebijakan, peraturan demi keuntungan mereka sendiri. Korupsi administratif pemberlakuan secara sengaja (baik oleh negara maupun perilaku non-negara untuk mendistorsi hukum, kebijakan, peraturan demi keuntungan pribadi.
Hasil survey iternasional maupun regional menunjukkan Indonesia dengan angka korupsi yang parah. Political and Economic Risk Consultancy (PERC) menempatkan Indonesia pada urutan 12 dari 12 negara Asia yang disurvei. Korupsi di Indonesia telah menyatu dengan sistem kehidupan dimasyarakat. Penyimpangan ini meliputi:
1. Wilayah penegakan hukum: keadilan yang diperdagangkan; rendahnya anggaran oengadilan campur tangan politik; dan lemahnya yurisdiksi.
2. Wilayah bisnis: campur tangan politik; manajemen yang buruk; dan kekebalan hukum pada perusahaan-perusahaan besar.
4. Wilayah kepegawaian: patronase dan nepotisme; skala gaji yang kacau; kelebihan pegawai; dan jual beli posisi.
5. Wilayah lembaga legislatif: Anggota DPR menerima suap; anggota DPR tidak punya kode etik; anggota DPR tidak mewakili pemilih; dan tidak adanya pengawasan terhadap anggota DPR.
6. Wilayah kelompok masyarakat sipil: campur tangan politik; modalitas yayasan digunakan dengan curang; dan LSM “plat merah” atau LSM non-sipil.
7. Wilayah pemerintah daerah: warisan korupsi dari pemerintah pusat; eksekutif menyuap legislatif; DPRD yang tidak dapat melakukan supervise kepada eksekutif.
8. Wilayah sikap dan perilaku: kelemahan dalam pelaksanaan standar-standar etika; toleransi terhadap perilaku illegal; penerimaan terhadap orang atau institusi yang kebal hukum; kelemahan dalam menjalankan kekuasaan.
9. Wilayah lain yang juga menjadi lahan korupsi: manajemen SDM, publik, tata peraturan, dan wilayah audit publik seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atau lembaga lain.
Istilah yang lebih tepat untuk gerakan anti korupsi adalah menghancurkan sistem yang mendukung praktek korupsi, bukan yang mengontrol praktek korupsi. Usaha yang dilakukan, antara lain, sosialisasi terus menerus ke masyarakat tentang praktik korupsi dampak dan akibatnya. Perlu dibentuk organisasi masyarakat untuk menjadi pengawas (watch). Masyarakat ikut serta menjamin transparansi keputusan-keputusan yang berdampak luas, misalnya APBD, Renstra, Perda, pemilihan kepala daerah , dan sebagainya. Perlu juga membangun instansi-instansi multi mitra (multi stakeholders) untuk melawan korupsi, misalnya kerja sama sinergis antara legislatif, eksekutif, judikatif, universitas, organisasi sosial, organisasi adat, organisasi agama, serikat pekerja, serta sector swasta.
Upaya yang juga penting ialah gerakan kultural anti korupsi. Gerakan budaya untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat luas tentang upaya antikorupsi dengan mengekspos praktik dan pelaku korupsi dimedia massa. Pemberian sanksi juga harus dilakukan. Yanng tidak kalah penting untuk diprogramkan pendidikan penanaman nilai dan etika kepada masyarakat dan generasi muda agar mereka menjauhi perilku korupsi. Beberapa usaha inilah yang dapat dilakukan untuk memutus rantai korupsi sistemik di Indonesia
VII. KEPASTIAN HUKUM
Adanya sistem pemerintahan yang baik tak akan menghasilkan sebuah pemerintahan yang bersih dan demokratis bila tidak ada jaminan hokum yang tegas dan tidak memihak. Kasus-kasus KKN pada masa transisi menuju demokrasi sering terhalang oleh lembaga-lembaga penegak hokum yang tercemar oleh gejala KKN itu sendiri.
berat bagi mereka yang telah melanggar hukum. Sedangkan orang-orang yang memiliki kekuasaan dan rata-rata berstatus sosial-ekonomi menengah keatas justru sanksi yang diberikan terbilang ringan. Warga miskin tidak mendapatkan perlindungan hukum sehingga mereka rentan terhadap tekanan dan rekayasa hukum.
Ketidakpastian hukum di negara transisi merupakan faktor penghambat utama dari upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dan demokratis. Banyak sekali para penegak hukum yang memperlakukan ketentuan hukum-ketentuan hukum sesuai dengan kepentingan mereka sendiri maupun kelompoknya.
Negara hukum dalam konteks demokrasi adalah terwujudnya pemerintahan dan aparat negara yang tunduk pada hukum. Rule of law menjadi sangat fundamental bagi proses perkembangan pemerintahan yang bersih dan demokratis, karena hanya dalam kondisi kepastian hukumlah yang dimungkinkan terbentuk sistem yang terbuka.
VIII. OTONOMI DAERAH
Sedikitnya pengalaman masyarakat dan pemerintahan dalam menjalankan ketentuan undang-undang tentang otonomi daerah menjadi kendala utama implementasi kebijakan tersebut. Di berbagai daerah timbul keraguan tentang apa sesungguhnya otonomi daerah.
Sebagai contoh, konflik politik di daerah sebagai akibat dari pemilihan kepala daerah seringkali menyeret kepentingan pusat dan daerah ke dalam situasi konflik yang merugikan semangat pengembangan otonomi di daerah yang bersangkutan.
Visi kebijakan otonomi derah dirumuskan dalam tida ruang lingkup utama, yakni politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Dalam bidang politik, otonomi daerah dimaksudkan sebagai proses lahirnya kader-kader pemimpin daerah yang dipilih secara demokratis; dapat berlangsungnya penyelenggaraan pemerintahan yang responsif terhadap aspirasi masyarakat banyak; dan adanya transparansi kebijakan dan adanya kemampuan memelihara mekanisme pengambilan keputusan yang taat pada asas pertanggungjawaban publik.
Dalam bidang ekonomi otonomi daerah diharapkan mampu menjamin pelaksanaan kebijakan ekonomi nasional di daerah, dan terbukanya peluang bagi pemerintah daerah untuk mengembangkan kebijakan regional dan lokal dalam mendayagunakan potensi ekonomi di daerahnya.
Dalam bidang sosial-budaya melalui otonomi daerah diharapkan terjadinya simbiosi mutualisme antara khazanah lokal dan nilai-nilai universal yang mampu menjadi penyangga dab pendorong dinamika lokal maupun harmoni sosial dalam merespons setiap perkembangan zaman.
1. Otonomi daerah merupakan desentralisasi kewenangan dari pemerintah ke pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga pemerintah daerah memiliki urusan-urusan yang telah diserahkan oleh pemerintah pusat kecuali bidang luar negeri, moneter, peradilan, keamanan dan agama. Dan urusan-urusan yang telah diserahkan tersebut menjadi tanggung jawab daerah sepenuhnya.
2. Penguatan peran DPRD dalam proses pemilihan dan penetapan kepala daerah. 3. Pembangunan tradisi politik yang sejalan dengan kultural lokal demi menjamin
tampilnya kepemimpinan dan pemerintahan yang berkualifikasi tinggi dengan tingkat akseptabilitas mesyarakat yang tinggi pula.
4. Peningkatan efektifitas fungsi-fungsi pelayanan eksekutif melalui pembenahan organisasi dan institusi yang dimiliki sesuai dengan ruang lingkup kewenangan yang telah didesentralisasikan, setara kondisi daerah, serta lebih responsive terhadap kebutuhan daerah.
5. Peningkatan efisiensi administrasi keuangan daerah; pengaturan yang lebih jelas terhadap sumber-sumber pendapatan negara dan daerah; pembagian pendapatan dari sumber penerimaan yang berkaitan dengan kekayaan alam; pajak dan retribusi; dan tata cara dan syarat untuk pinjaman dan obligasi daerah.
6. Perwujudan desentralisasi fisikal melalui pembesaran alokasi subsidi dari pemerintah pusat yang bersifat block-grant; pengaturan pembagian sumber-sumber pendapatan daerah; pemberian keleluasaan kepada daerah untuk menetapkan prioritas pembangunan serta optimalisasi pemberdayaan masyarakat melalui lembaga-lembaga swadya pembangunan yang ada.