Penanggung Jawab
C
OMMONC
HALLENGESTOR
ELIGIONS INI
NDONESIAencermati perkembangan serta dinamika keberagaman
M
di I n do n esia h ari in i, memunculkan pertanyaan bagaimana masa depan kemajemukan di tengah pusaran pertarungan berbagai ideologi.Kepada si apa ak an ki t a alamatkan semua pertanyaan tentang harapan dan tantangan kemajemukan di Bumi Pertiwi ini? Jawabannya ada pada diri kita yang merasa dan melihat bahwa sesungguhnya persoalan itu adalah tanggung jawab bersama elemen-elemen bangsa. Juga bagaimana hal ini menjadi tantangan bersama bagi agama-agama di Indonesia. Polemik teologis yang di bawa oleh beberapa orang ini menjadi semacam titik balik dari berbagai masalah yang timbul tersebut.
Tantangan bagi institusi agama a d a l a h b a g a i m a n a m e r a wa t keberagaman ini, untuk menciptakan kedamaian dan keadilan bagi semua. Pada Newsletter ini kami mencoba untuk berbagi dari pengalaman tentang pentingnya menjaga keharmonisan dalam bingkai semangat kasih dan saling menghormati serta adanya sikap penghargaan terhadap perbedaan.
Selamat membaca.
uestions arise of the future of p l u r a l i s m a m i d s t
Q
tremen do us th eo lo gical struggles referring to the development of religious diversity in Indonesia these days.T o wh o m sh o u l d t h e questions on the future and the challenges of religious diversity in Indonesia be addressed? All of us, as a nation, are responsible for this matter. Such problems are challenges for every single Indonesian. Any religious polemics posted by several people recently seem to be turning point to the many problems within the society.
Religious institutions are challenged to nurture this diversity to create justice and peace for all. The edition of the newsletter that is now in your hand wants to share various experience on the importance of fostering harmony with compassion and respect for differences.
Interfidei newsletter
Fokus
Esthi Susanti
T
ANTANGANB
ERSAMAA
GAMA-
AGAMA DALAMM
ENJAWABP
ERSOALANK
EMANUSIAANWAWANCARADENGAN ESTHI SUSANTI
am i b erkesempat an un t uk mewawancarai Esthi Susanti, seorang aktivis yang bekerja untuk
K
korban HIV/AIDS selama 15 tahun, ketika menghadiri pertemuan jaringan antariman nasional, 8-10 Agustus di Yogyakarta. Berikut ini adalah komentarnya tentang peran agama-agama dalam merespon berbagai masalah kemanusiaan.
Bagaimana menurut anda peran DIAN/ Interfidei dalam mengangkat masalah-masalah sosial sebagai tantangan bersama untuk agama-agama dalam proses membangun dialog antar iman?
Saya melihat Interfidei berperan penting menyangkut tantangan bersama yang dihadapi agama-agama. Menurut saya, Interfidei memusatkan perhatian pada dialog antar iman dan juga mengupayakan berbagai kegiatan untuk mendukung toleransi, perdamaian, integritas kemanusiaan, dan demokrasi. Interfidei, menurut saya, memupuk dialog antar penganut agama dan juga antar aktivis kemanusiaan yang sehari-hari bergumul dengan masalah sosial, politik dan ekonomi, dan juga pendidikan serta lapangan pekerjaan yang berdampak pada kemanusiaan. Dialog bukan semata-mata berbicara tentang Tuhan dan ajaran agama yang abstrak, tetapi juga tentang realita kemanusiaan. Hal inilah yang dikerjakan oleh teman-teman yang bergerak dalam isu kemanusiaan. Ada titik temu antara agama dan para aktivis kemanusiaan, yaitu keutuhan ciptaan. Bahwa manusia bergumul untuk mengatasi kemiskinan, masalah ekonomi, pendidikan, dan lapangan pekerjaan yang berakibat pada berkurangnya
nilai-T
HEC
HALLENGEST
OR
ELIGIONSI
NR
ESPONDINGT
OH
UMANITARIANP
ROBLEMSAN INTERVIEW WITH ESTHI SUSANTI
e had a chance to interview Esti Susanti, an activist who has been working for HIV/AIDS
W
patients for 15 years, when she attended the national interfaith-network meeting on 8-10 August 2008 in Yogyakarta. The following is her comments on the role of religions in responding to humanitarian concerns.
How do you see DIAN/ Interfidei in promoting social needs as common challenges to religions to cultivate dialogue among religions?
I can see the role of Interfidei in regard to the challenges for religions. According to me, Interfidei centres on interfaith dialogue and has been fostering programs to nurture tolerance, peace, the integrity of humanity, and democracy. Interfidei has been nurturing not only inter-faith dialogue but also dialogue between humanitarian groups who daily deal with social, political, and economical issues, education, and employments. Dialogue is not merely about God and abstract religious teachings, but also about reality. This sort of dialogue on the real life has been being dealt with by humanitarian groups. There is a meeting point between religions and humanitarian activists, the wholeness of beings. That people struggle for poverty, economy, education, employment, which results in the vanishing human values, is another issue.
Do you think religious institutions have been well engaged in answering social needs?
Edisi Desember 2008 - Maret 2009
Focus
Peserta mempertanyakan peran agama bagi kemanusiaan dalam studi bersama tentang Agama-agama dan Persoalan HIV/AIDS Menurut Anda apakah yang dilakukan institusi
keagamaan untuk menanggapi persoalan kemanusiaan sudah memadai?
Proses menj adi manusia merupakan problem yang harus dihadapi oleh agama, kalau tidak agama akan ditinggal oleh penganutnya. Menurut karel Steenbrink, sekarang ini orang mencari agama untuk happiness dan feeing good. Seharusnya ada perubahan, karena itu agama tidak bisa berdiri di menara gadingnya. Agama harus bekerja dan b ersen t uh an lan gsun g den gan pen gan ut -penganutnya dan berupaya mendatangkan feeling good, happiness dan wellness.
Yang dilakukan oleh interfidei adalah bagian penting. Saya tertarik karena saya kira interfidei mulai bergerak dan berdialog dengan kelompok yang bergerak dan berhadapan dengan masyarakat, di bidang kemanusiaan. Pada waktu lalu apa yang dilakukan Interfidei terbatas
pada wacana karena tidak m e l a k u k a n p e l a ya n a n t e r h a d a p k e b u t u h a n masyarakat. Memburuknya persoalan kemanusiaan ini berkaitan erat dengan wacana k e a ga m a a n , c o n t o h n ya pelacuran dan kematian yang tak bermartabat dari ODHA. Permasalahan ini merupakan p e l a n g g a r a n n i l a i kemanusiaan. Oleh karena itu, perlu kerjasama antara aktivis agama-agama dan aktivis kemanusiaan. Inilah cita-cita
peerubahan yang diharapkan dari agama-agama.
Menurut penilaian anda bagaimna pendekatan yang telah dilakukan oleh institusi agama-agama?
Pendekatan institusi agama masih bersifat formal, seperti pengalaman saya berdialog dengan kelompok agama. Agama perlu menyuarakan suara kemanusiaan khususnya yang berkaitan dengan meninggalnya ODHA. Saya sangat terkejut dengan respons kelompok agama yang melakukan pendekatan secara formal. Mereka Mengatakan, ”kami (Institusi agama) akan melayani ODHA jika
on to religions nowadays. For this reason, religions can no longer dwell in their ivory tower. They must work and touch their adherents to create happiness, feeling good, and wellness.
Interfidei has an important role in initiating such a dialogue. I see that Interfidei has started to foster networks with many groups that deal with humanitarian affairs. It is different to what it did previously when dealing solely with discourse and not even a single concrete action to answer the needs of the people. The worsening of the problems of humanity has relation to religious discourse. Taking the example on prostitution and 'undignified' death because of HIV virus, both is humiliation of human values. However, the two can also be seen under the light of religions. For this reason, it is important for activists of religions to work hand in hand with humanitarian ones. Reality emerges from ideas as people witness incidents in everyday life. These incidents, which haven't been put into words by r e l i gi o n s , a r e t h e potentials for changes.
How do you understand the way religious institutions approach the issues?
Fokus
Permainan untuk mendalami materi m e r e k a t e l a h
men gaku berdosa d a n m e l a k u k a n pertobatan”. Dalam kondisi seperti ini, oran g bermasalah tidak akan mengikuti peraturan yang ada di struktur, saya kira p e n d e k a t a n i n i sangat formal. Untuk situasi seperti ini, d i a l o g m e n j a d i penting. Satu ketika saat saya berdialog juga dengan institusi agama lain , saya
menyuarakan tentang hidup dan mati secara bermartabat, mereka mengatakan bahwa ada konsep husnul khatimah (akhir yang baik) tentang orang mati, dan mereka mengakui itu diterima dan konsep ini lebih diterima oleh orang yang mempunyai masalah. Dan mereka juga menindaklanjuti dengan membuat lembaga penampung (shelter) ODHA. Ini tidak bejalan dengan mudah, orang yang ada di shelter juga ketakutan dengan mengatakan bahwa ODHA adalah orang yang berdosa. Seharusnya para ODHA dalam kondisi ini perlu merasa comfortable. Dan ini perlu dialog yang sangat panjang. Dalam kasus ODHA, perilaku yang diciptakan oleh manusia bisa ditanggulangi. Tetapi ternyata tidak ditanggulangi karena tidak ada perubahan cara berfikir. Masalahnya adalah praktik cara penularan ditanggapi dengan jalan keluar melalui pendekatan agama. Misal dalam konteks public health, kita ingin memutus mata rantai HIV dengan cara memakai kondom. karena hal ini adalah hal yang riil yang tidak bisa dengan bahasa agama, seperti berzinah itu dosa. Seharusnya orang berbicara dengan apa yang dia ketahui dan tidak berada di luar jalurnya. Ayat alkitab tidak bisa diubah, oleh sebab itu kita mengajak orang untuk berbuat baik, jangan dengan dialog yang berlawanan yang akan membuat masyarakat bingung dan tidak percaya karena pemimpin agama tidak kompak.
people in the shelter were frightened and c o n d e m n e d HIV/AIDS patients as sinners, while on the contrary these people needed comfort. A long and extensive dialogue is needed to deal with such an i s s u e . F o r m e HIV/AIDS is because of human's conduct. It can be cured but is now left behind since p e o p l e r e f u se t o change their attitudes to the matter. I see how religion effects the way people treat HIV/AID as well as the patients. If we intend to cut the vicious cycle of HIV for instance, it would be better if we introduce condom to the people instead of declaring religious justification of the matter that it relates to adultery and so is against with religion. For this reason, we need to approach an issue under the light of its context; to understand a health problem from health perspective instead of religion and vice versa. It is impossible to change the Scripture, thus better to cite encouraging verses from it to promote dialogue. It is also important for religious leading figures to have one voice supporting dialogue to avoid misunderstanding among the adherents.
How do you think religious institution should respond to HIV/ AIDS patients?
Religious institutions are seen as tackling the attempts to prevent HIV. They must not agree on condom in terms of religious justifications, but they can at least address condom as a health instrument. In addition, religious institution can also inform the people of the way using it and that it is meant to save. There has been progress on the way religions viewing condom and HIV/AIDS. I think dialogue has been going on to bridge the two approaches, yet virus spreads faster than any of the approaches.
We need to initiate the understanding on the importance to heed ourselves as well as our
Focus
Berkaitan dengan ODHA, bagaimana seharusnya sikap institusi agama?
I n stitusi agama dian ggap sebagai penghambat untuk penanggulangan HIV. Kita tidak meminta mereka untuk menyetujui kondom dan/atau juga tidak ada justifikasi agama dalam hal itu. Tapi bisa saja dia bicara tentang kondom sebagai alat kesehatan, dan penggunaanya tergantung pada yang menggunakan. Dan niat ini adalah untuk menyelamatkan. Dari pihak agama sudah ada kemajuan besar dalam melihat kondom dan HIV, memilih dari yang terbaik dan yang buruk dan dipakai sebagai dasar. Saya kira dialog sudah mulai berjalan akan tetapi virus lebih cepat dari pendekatan ini.
Perlu ada bahasa dan konsep bahwa menjaga diri dan lingkungan sangat penting. Untuk menjaga amanah Tuhan, perlu dialog antara kaum teolog dan pekerja kemanusiaan dan korban. Orang yang powerfull adalah yang tidak konflik dalam integrasi antara fisik psikis dan spritiual. Jika hal ini sinkron akan menjadi lebih bagus.
Kita hidup beberapa persen dikendalikan oleh kebiasaan, dialog antar agama saja belum selesai. Perlu dialog dengan realitas dan ini perlu dibangun. Perlu proses, tidak hanya bicara sistem tapi juga proses. Dan memulai proses ini penting. Saya sedang menyusun sebuah buku tentang kematian bermartabat dan kaitannya dengan ODHA, dan saya berharap ini bisa menjadi bahan dialog dengan kaum agamawan.[KHA]
environment. To preserve God's command can be also by promoting dialogue between theologians, humanitarian workers, and the victims. A powerful person is the one who can control the physical, psychological, and spiritual state. Therefore, synchronization among the three thus very important.
Mere interfaith dialogue is not enough since life is also shaped by the habits of the people. We need a dialogue which is in accordance with factual situations. We need to pay more attention to the process. It is important to start doing the process. I am now writing a book on dignified death and its concern to the HIV/AIDS patients. I hope this book will give contribution to develop dialogue with religious leading figures.[]
Opini
*The writer is the director of Gendong Gandhi Ashram Candi *Penulis adalah Pimpinan Gendong Gandhi Ashram Candi
I Wayan Sadra
T
ANTANGANB
ERSAMAA
GAMA-
AGAMAI Wayan Sadra*
eperti kita ketahui, Indonesia adalah negara yang terdiri dari lebih-kurang
S
17. 0 0 0 b uah pulau seh in gga membentuk kepulauan terbesar di dunia. Dengan demikian kitapun paham bahwa hal inilah yang menimbulkan keberagaman dalam banyak hal seperti kondisi alam, suku, bahasa, tradisi, budaya, agama, dll. Dalam konteks kehidupan beragama, semua orang juga tahu bahwa penduduk negeri inimenganut beragam agama yang dalam kurun waktu cukup lama kita tidak pernah mendengar adanya singgungan antar agama yang berarti apalagi intern agama.
Belakangan ini media masa sangat sering menayangkan berita berita tentang pertentangan dan bahkan benturan fisik yang memakan banyak korban harta dan jiwa yang dilatarbelakangi oleh keagamaan. Kenapa ini bisa terjadi? Ada beberapa alasan. Pertama, adanya pihak yang karena kepentingan tertentu mempolitisir permasalahan, sehingga berkembang menjadi persoalan antar agama. Kedua, memang persoalannya adalah persoalan agama. Terjadinya hal ini tentu saja disebabkan oleh pemahaman kita tentang agama masih beragam sehingga perlakuan terhadap agamapun menjadi berbeda beda juga.
Fakta menunjukkan bahwa ada pihak yang memperlakukan agama seperti partai politik yaitu mencari masa sebanyak-banyaknya. Karena itu upaya untuk mengkonversi orang lain masuk ke agama tertentu terjadi begitu saja di tengah kehidupan masyarakat . S elan j ut nya ada pih ak yan g berkeyakinan bahwa pemahamannya terhadap
C
OMMONC
HALLENGES TOR
ELIGIONS INI
NDONESIAI Wayan Sadra*
s it has been widely known, Indonesia is the largest archipelago
A
in the world that consists of more or less 17,000 islands. This condition results in diversity in many of its aspects, such as physical geography, ethnic, language, tradition, culture, religion, etc. In religious context, there had never been any significant conflicts within and among religions historically even though the people were from various different backgrounds of beliefs.In recent times, mass media is frequently broadcasting news on religious violence and conflicts that cost countless deaths of the people as well as properties. There are several reasons for such conflicts. Group interest is one of the possible causes. It manipulates problems which basically don't relate to religions to religious conflicts. The second cause is related to religion in itself. People understand religion differently. This is even more complicated as there is more than one religion; different understandings results in different approaches.
There are religious groups who treat religion as a political party. They aim to gain more participants by inviting people to convert to particular religion; this action is apparently observable in our society. There are also groups that believe that certain religion is the most righteous one. They condemn other religions as false teachings thus demand to banish them. These groups try to impel their teachings to others with every possible way, including a violent one which later creates conflict. An endless debate on religion, especially which religion is true and right, has
Opinion
agama paling benar sehingga semua paham yang berbeda adalah paham yang salah dan tidak boleh ada. Jika pihak yang disalahkan tidak mau mengikuti pahamnya, pemaksaan kehendak dengan beragam cara sering dilakukan sehingga tidak jarang berakhir pada benturan fisik. Disamping itu, ada pihak yang berkeyakinan bahwa agamanyalah yang benar dan agama yang lain salah. Dalam kehidupan sehari hari kita sering mendengar debat kusir tentang agama dimana masing masing pihak ngotot menyatakan bahwa keyakinannya paling benar. Inipun akan sangat mungkin menimbulkan benturan fisik yang sesungguhnya tidak perlu terjadi. Hal ini jelas menunjukkan bahwa kita tidak mampu menerima perbedaan padahal kalau kita mau jujur, perbedaan itu adalah takdir sehingga kita harus paham bahwa tidak mungkin bagi kita untuk menolaknya dan penolakan berarti pengingkaran terhadap kekuasaan Yang Maha Kuasa. Kenyataan di atas sebenarnya dapat dijadikan sebagai sebuah indikator dari pemahaman kita yang sempit terhadap agama. Jika persoalan semacam ini kita biarkan begitu saja maka selamanya kita akan terjebak dalam pertentangan yang tidak kita inginkan. Untuk itu ada beberapa hal yang kiranya patut kita cermati.
Bercermin pada catatan sejarah tentang kerukunan hidup antar umat beragama di masa lampau, dimana kita hampir tidak pernah mendengar adanya konflik antar agama seperti sekarang ini, maka catatan sejarah tersebut semestinya dapat kita jadikan acuan untuk mengarungi kehidupan bersama dalam masyarakat yang serba majemuk. Sebagai landasan untuk mengulangi catatan sejarah tersebut, mutlak harus kita sadari bahwa tidak ada agama yang mengajarkan manusia untuk saling membenci, apalagi saling membunuh. Semuanya mengajarkan kepada kita untuk saling membantu, saling menyayangi, dan saling menghormati. Sangat perlu pula disadari bahwa tidak ada agama yang dapat disalahkan karena tidak ada hakim di seluruh dunia yang dapat menjatuhkan vonis bersalah terhadap satu agama karena memang tidak ada alat ukur universal yang dapat dipergunakan untuk mengukur kesalahan agama tertentu. Permasalahannya sekarang adalah seringnya kita memvonis orang lain bersalah dengan menggunakan alat ukur sendiri tanpa mengetahui apa dan bagaimana sebenarnya agama orang lain. Sikap seperti inilah yang membuat kehidupan kita
also triggered violence and religious conflict. These violence and conflict reveal the difficulties to acknowledge diversity while diversity itself is undeniable, it is fate. Therefore, neglecting diversity means traversing the power of God. The facts mentioned above also indicate the narrow perception towards religion. Therefore, to some extent, there are some points to reckon in order to avoid similar conflicts to reoccur.
Reflecting on the history of religious harmonious life in the past where no inter-religious conflict occurred, is indispensable. History teaches us to live harmoniously. In order to establish the ideal life as is figured out throughout the history, people must understand that there isn't even a single religion prescribes hatred and murder. Every religion teaches its adherents to serve, love, and respect others. There is also no point to blame certain religion for conflicts because of the absence of universal value to judge faults. People tend to apply their own beliefs to judge without attempting to understand others. This is potential to create jarring life.
Opini
menjadi tidak nyaman.
Disamping itu, jika kita sadar bahwa setiap manusia memiliki hak dasar termasuk memeluk agama sesuai dengan kepercayaan masing masing seperti yang tertuang dalam UUD'45, semestinya prilaku untuk saling menghormati pasti bisa terwujud. Tapi sayang sekali bahwa kita sepertinya tidak mau paham dan bahkan cenderung menolak apa yang sudah menjadi kesepakatan hidup bernegara hanya karena ego kita yang berlebihan sehingga kita ingin menegasikan hak orang lain. Patut kita sayangkan juga bahwa sifat egois yang termanifestasikan dalam bentuk ingin menguasai orang lain itu kita bungkus dengan kata “agama” yang jelas jelas kontraproduktif dengan ajaran agama itu sendiri. Paling tidak, dari sekian agama yang saya ketahui seperti: Islam mengatakan: “Lakum di-nukum wali yadi-n” yang artinya : “Bagimu agamamu, bagiku agamaku” ; Hindu menegaskan: “Sarva Dharma samaanatwa” yang artinya: “Hormat terhadap semua agama”. Bagi Hindu, sekedar toleransi terhadap agama lain tidaklah cukup sehingga sikap hormat adalah sebuah kewajiban. Raja Asoka, seorang penganut Buddha, mengatakan: “Ia yang menghina agama orang lain berarti sedang mencaci agamanya sendiri. Ia yang menghormati agama orang lain sedang mencintai agamanya sendiri”. Dari tiga ungkapan di atas sangat jelas bahwa masing masing agama mengekspresikan toleransi dan rasa hormatnya terhadap agama lain. Ungkapan luhur seperti inilah yang seharusnya disosialisasikan dengan baik dan benar, baik itu oleh tokoh tokoh agama maupun oleh institusi agama dan institusi pemerintah sehingga penghakiman terhadap agama lain dapat dihindarkan. Namun harapan seperti itu belum mampu diwujudkan secara maksimal, baik itu oleh institusi agama ataupun pemerintah dan bahkan keputusan keputusan yang mereka buat justru memicu terjadinya peningkatan ketegangan yang tidak jarang melahirkan tindakan tindakan anarkis yang berakhir pada pembunuhan.
Dalam beberapa kasus yan g sempat ditayangkan oleh media elektronik, aparat kepolisian nampak sangat canggung dalam mengambil tindakan preventif terhadap tindak kekerasan yang berbau agama sehingga terkesan tidak mampu melindungi keamanan masyarakat yang menjadi sasaran. Kasus terbaru adalah PAKEM yang dikeluarkan Kejaksaan Agung. Di samping terkesan konyol karena menyatakan:
In addition, if people eagerly admit the concept that every human is naturally born with basic rights, including religious right based on individual belief as stated in U U D 1945 (Indonesian Constitution 1945), harmonious life with respect to each other might be achieved. Unfortunately, the tendency to disregard the communal live as nation state, which is developed from ego, disrespects the rights. This ego is also manifested in contradictory action namely intimidation in the name of religion - even though religion never teaches its followers to intimidate other believers. Some religions view the harmonious religious live differently, for example, Islam states that Lakum di-nukum wali yadi-n that means “My religion is mine, your religion is yours”; while Hindu is emphasising on Sarva Dharma samaanatwa or “Respect to all religions.” Tolerating other religions is not enough hence respect is a must. King Asoka, a Buddhist, once proclaimed that “Those who disrespect other's religion are insulting their religion. Yet, those who respect other's religion are honouring their own religion”. These three quotations express tolerance and respect to other religion, and needed the support of religious figures, institutions, also the government. Contradictorily, the policies established so far direct people to conflicts of which mostly lead to persecution.
In some cases publicized by electronic media, the police seem reluctant to prevent religious conflict, and this implies their failure to protect the people. The newest case is the rule decreed by the Attorney
“I a yang menghina agama
orang lain berarti sedang
mencaci agamanya sendiri.
I a yang menghormati
agama orang lain sedang
mencintai agamanya
sendiri”
Opinion
“Ahmadiyah tidak dilarang tetapi kegiatannya yang dilarang”. Keputusan ini jelas jelas bertentangan dengan UUD'45 sehingga akan terkesan lebih konyol karena yang melanggar Undang Undang Dasar tersebut adalah lembaga negara yang seharusnya menegakkannya. Disamping itu PAKE M yan g dikeluarkan memun culkan perbedaan pendapat di kalangan umat Islam sendiri yang bukan tidak mungkin dapat memicu konflik internal. Jika ini sampai terjadi, bukankah pemerintah itu sendiri yang menjadi penyebabnya. Oleh karenanya ,secara pribadi saya setuju dengan pendapat beberapa teman yang mengatakan bahwa sebaiknya negara tidak perlu ikut campur dalam urusan agama lebih lebih kalau campur tangannya terkesan memihak kelompok terten tu at au mempolitisirnya. Jika campur tangan semacam itu terjadi dan kemudian melahirkan konflik, bukankah itu artinya negara sendiri yang dengan sengaja membuat konflik. Hal ini tentu saja tidak boleh terjadi karena sebenarnya persoalan yang terjadi di kalangan masyarakat bukanlah persoalan yang berakar pada agama.
Jika pemahaman kita terhadap agama memang benar, saya yakin tidak akan ada masalah yang patut kita beri label “konflik antar agama”. Dengan demikian sangat patut dipertanyakan apakah pemahaman kita tentang esensi atau definisi agama itu jelas atau tidak. Dengan kata lain, pertanyaan: “Apa itu agama?” sangat patut kita lontarkan dan perlu pula dicari jawabannya secara bersama. Jika pemahaman kita selalu berbeda beda, tentu saja kita paham bahwa konflik konflik yang muncul pantas terjadi.
Sebenarnya akar penyebab dari persoalan konflik yang terjadi belakangan ini tidak lain dan tidak bukan adalah keserakahan umat manusia yang tentu saja berakibat pada terjadinya ketidakadilan. Ketika ketidak-adilan itu terjadi maka kemiskinan tidak dapat kita hindarkan; dan ketika kemiskinan itu terjadi orang akan sangat mudah menjadi putus asa. Keputus-asaan inilah yang sering menjadi pemicu tindakan kekerasan karena orang yang putus asa akan berpendapat bahwa mati sekarang atau besok sama saja. Kita patut bersedih jika ada pihak tertentu yang tega teganya menggunakan agama sebagai label dari sebuah konflik karena prilaku tersebut justru merupakan sebuah penghinaan terhadap agama itu sendiri. O leh karenanya
General's Office which states “Ahmadiah is not banned but its teaching is”. This decree sounds absurd because it contradicts to the national Constitution. The government as a policy maker fails to protect the people. Besides, the rule itself is assumed to accommodate another conflict within Islam, thus is also indicated the government as its initiator. Thus, that nation-state should not involve in the people's religious lives. She also should not incline to privilege particular group and politicize it for certain aim. The nation-state induces conflict, in other words, it is on purpose creating the conflict if it intervenes religiosity of the people.
If the concept of religion and religiosity is decently conceptualized, it will reduce inter-religious conflict. The question is on how religion is defined and conceptualized or on what religion is. It is valuable to answer them with open mind because different conceptions on religion consequently will develop conflict.
Opini
merupakan tugas bersama bagi kita semua, khususnya tokoh masyarakat, tokoh agama, institusi agama dan non-agama, institusi pemerintah dan non-pemerintah untuk bergandengan tangan guna membangun komunikasi dan silaturahmi lintas agama dalam rangka membangun kerukunan melalui upaya peningkatan pemahaman terhadap agama sendiri dan agama orang lain secara benar sehingga apa yang menjadi kerinduan umat manusia yaitu hidup rukun dan damai dapat diwujudkan.
Semestinya kita mampu bercermin pada alam. Jika kita melihat sebuah pemandangan yang indah, bukankah ia terdiri dari berbagai komponen yang berbeda beda namun mendapat ruang dan peran masing masing secara proporsional sehingga menjadi sebuah lukisan yang begitu indah sehingga menyejukkan dan menyenangkan yang melihatnya. Dengan demikian, perlukah kita mempertentangkan perbedaan ini? Jawabnya tentu saja “tidak” karena yang menentang perbedaan justru menentang kodrat. Perlu juga disadari bahwa penyeragaman tidak pernah melahirkan keindahan. Disamping bercermin pada pemandangan alam, kita juga dapat berguru pada sungai. Didunia ini ada ribuah sungai yang aliran airnya semua menuju ke satu tujuan yaitu laut. Ketika air dari sekian banyak sungai itu sampai di laut maka tidak lagi ada perbedaannya; semuanya jadi asin.
Dengan kata lain tujuan semua agama itu sama namun jalan untuk mencapai tujuan boleh berbeda beda. Bukankah ada pribahasa yang mengatakan: “seribu jalan menuju Roma”. Hal lain yang patut kita renungkan adalah bahwa secara budaya masyarakat Indonesia terkenal memiliki rasa toleransi dan rasa hormat yang sangat tinggi. Di Bali, seperti juga ditempat tempat lain, hubungan antar umat beragama telah berjalan harmonis dalam kurun waktu yang begitu lama seperti tercermin dalam kegiatan saling bantu, termasuk kegiatan keagamaan. Bahkan di satu desa yang bernama desa Pegayaman di kabupaten Buleleng, Bali Utara, masyarakat muslim mengadopsi nama khas nama Bali seperti I Nyoman, I Ketut, I Wayan, dan I Made yang kemudian disambung dengan nama muslim seperti Muhammad, Karim dsb.
Jika memang betul kita merasa membutuhkan kerukunan, keadilan, keharmonisan, kesejahteraan bersama, keindahan dll., hal-hal positif seperti terurai di atas dapat dijadikan modal dasar untuk membangun sebuah komunikasi dalam rangka membangun
governmental institutions, to work together to build bridge for inter religious communication in order to arrive at religious harmonious life through explication and re-conceptualization of individual religion and other's religion correctly.
Nature is the best teacher. Beautiful scenery consists of some components that each component possesses its own propositional space and role to form beautiful scenery. This analogy is in line with the present situation that requires us to rethink the endless debate over the diversity among us. Uniformity never leads to beauty. Apart from nature, river is also best teacher to admit the diversity. As every river ends up in sea, the water from each river amalgamate in the sea so there will be no more diversity but salty water, the water of the sea.
In other words, every religion undergoes different path to achieve the same purpose. One thing to consider is that Indonesia, culturally, well known for her social tolerance and high respect. In Bali, as in other places, inter-religion relation has been established for long time that is observable from its mutual cooperation even in religious event. Moreover, in Pegayaman village district Bulleleng, North Bali, the Moslem society adopt Balinese name such as I Nyomana, I Ketut, I Wayan, and I Made which then combined with Islamic name like Muhammad, Karim etc.
If it is true that people need harmony, justice, welfare, beauty, etc the positive points mentioned above are the foundations to build beneficial communication to establish power to form communal welfare. In other words, instead of
K etika ketidak-adilan itu terjadi maka
kemiskinan tidak dapat kita
hindarkan; dan ketika kemiskinan itu
terjadi orang akan sangat mudah
menjadi putus asa. K eputus-asaan
inilah yang sering menjadi pemicu
tindakan kekerasan karena orang yang
putus asa akan berpendapat bahwa
mati sekarang atau besok sama saja
Opinion
kekuatan bersama demi kesejahteraan bersama. Dengan kata lain, disamping kita harus paham bahwa setiap yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa memiliki hak dan kewajiban sesuai dengan kodratnya, kita harus lebih meningkatkan pemahaman kita terhadap agama sendiri untuk dapat memahami agama lain. Budaya dan tradisi-tradisi positif yang telah hidup bertahun tahun di tengah-tengah masyarakat hendaknya dijadikan cermin untuk hidup rukun dan damai serta mampu meneladani alam dalam mewujudkan hidup yang indah. Dengan kesadaran seperti ini saya sangat yakin bahwa kerukunan hidup antar umat beragama pasti dapat diwujudkan. Agama-agama akan mampu menj alankan fungsi sosial-kemanusiaannya. Tidak saja sibuk dengan urusan institusi, perbedaan teologi dan berkonflik, tetapi menjadi agama-agama yang “rahmatan lil a'lamin” yang membebaskan, mensejahterakan, yang membawa keadilan bagi manusia dan alam seluruhnya.
Candidasa, 30 April 2008
perceiving human rights and responsibility as fate, perception on religion and religiosity are crucial to admit diversity in religion. The attitudes and traditions which have survived for generations might become good model to attain harmonious life by valuing nature to achieve beautiful harmony. This perspective will strongly lead to religious harmonious live accomplishment.
Candidasa, April 30, 2008
menjadi agama-agama yang
“rahmatan lil a'lamin” yang
membebaskan,
mensejahterakan, yang
membawa keadilan bagi
manusia dan alam
seluruhnya.
Aktivitas
Pembicara bedah buku Jurang Diantara Kita
1. B
EDAHB
UKU“J
URANG DIANTARAKITA
: P
ROBLEMATIKAD
IALOGM
ASYARAKATM
ULTIKULTUR”
idak terasa kehadiran InstitutDIAN/ Interfidei telah menapaki 17 tahun. Rentang waktu yang cukup panjang dalam berjuang
T
untuk kemanusiaan. Salah satu dari rangkaian kegiatan 17 tahun adalah diskusi buku dengan tema “Jurang di antara kita: Problematika Dialog Masyarakat Multikultur”. Diskusi ini berlangsung pada tanggal 2 Agustus 2008.
Kegiatan tersebut direalisasikan dalam bentuk diskusi bedah buku bekerjasama dengan IMPULSE Yogyakarta. Hal yang diharapkan dari diskusi ini adalan membuka ruang dialog secara terus menerus untuk menjawab berbagai persoalan kemanusiaan terutama berkaitan dengan hubungan antar iman di Indonesia.
Kegiatan ini menghadirkan pembicara : PROF. EG. Singgih, Ph.D, (Guru Besar Fakultas Teologi UKDW Yogyakarta) Jaspert Slob (Aktivis Percik, Salatiga) serta Mega Hidayati (Mahasiswa Doktoral ICRS, penulis Buku “Jurang Di antara Kita”).
Diskusi ini mengupas tentang dialog dalam perspektif Gadamer dan Paul Knitter. Dalam realitas sehari-hari kita hidup dengan prasangka, dan karena itu diperlukan usaha yang bersungguh-sungguh untuk mendorong terciptanya dialog yang komunikatif.
Disamping membahas buku Mega Hidayati di atas, juga dibahas pemikiran-pemikiran TH Sumartana tentang Pluralisme dan Dialog antar iman.[Anwr]
2. Pertemuan Jaringan antariman se Indonesia ke-4 di Jogjakarta
Sikap masyarakat Indonesia terhadap pluralitas agama, dan adat istiadat semakin dipertanyakan. Belakangan ini banyak sekali konflik berkepanjangan yang terjadi hanya karena perbedaan pandangan, ideologi dan keyakinan. Bahkan kekerasan fisik pun tak jarang dilakukan. Hingga nilai-nilai kemanusiaan dan kearifan budaya
1.B
OOK DISCUSSION“J
URANGD
IANTARAK
ITA: P
ROBLEMATIKAD
IALOGM
ASYARAKATM
ULTIKULTUR”
nstitute DIAN/Interfidei is now 17 years old. 17 years is long standing period to struggle for
th
I
humanity. In its 17 anniversary on August 2, 2008, a book discussion entitled “Jurang Diantara Kita: Problematika Dialog Masyarakat Multikultur” was held.The book discussion was in cooperation with IMPULSE Yogyakarta. The concern was starting from the goal and hopes to accommodate a continuous dialogue to respond to humanity issues especially interfaith dialogue in Indonesia.
Considering DIAN/Interfidei's experience to develop awareness on the importance to perceive diversity for more or less 17 years, it carried messages that diversity was splendid. The speakers of the discussion were Prof. E.G. Singgih, Ph.D., (Professor of Theology of UKDW Yogyakarta), Jaspert Slob (Activist of Percik Salatiga), and Mega Hidayati (Student of Doctoral Program of ICRS of UGM, the writer of “Jurang Diantara Kita”).
Passion to teach and learn the phenomena appear in society was another consideration. The discussion tried to dismantle dialogue through Gadamer's and Paul Knitter's perspective. In daily
Aktivity
Karel Steenbrink dalam obrolan informal Indonesia menjadi tergerus oleh konflik perbedaan
kepentingan, lingkungan hidup terabaikan, masalah-masalah kebangsaan dan kemanusiaan tidak diperhatikan dengan serius.
Menyikapi kondisi ini, Institut DIAN (Dialog Antariman di Indonesia)/INTERFIDEI, sebagai lembaga yang menginisiasi pertemuan Jaringan Antariman se-Indonesia menyelenggarakan pertemuan ke IV di Puskat, Sinduharjo, Yogyakarta, tanggal 8-10 Agustus 2008 dengan tema ”Masa Depan Pluralisme Agama di Indonesia: Harapan untuk Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan”. Kegiatan ini dihadiri oleh berbagai lembaga dan individu yang memiliki concern yang sama di daerah masing-masing
Ada beberapa rangkaian acara yang dilaksanakan. Pertama, konferensi berupa seminar nasional dengan menghadirkan dua pembicara, Karel Steenbrink (Profesor Emeritus Universitas Utrecht, Belanda) dan Jalaluddin Rahmat. Dalam seminar ini, Prof. Karel Steenbrink mencoba memaparkan perkembangan keberagaman di Belanda. Ia melihat Belanda mengalami perubahan yang cukup signifikan dari negara yang monokultur menjadi negara yang pluralis. Dalam 40 tahun saja, sejak tahun 1970, umat Islam dari hampir nol persen menjadi 6 % dan penduduk migran lainnya (Ghana, China, Curacao, Polandia, Romania, Bulgaria) mencapai 4 %. Kelompok-kelompok lebih banyak berada di kota-kota, seperti Amsterdam, Den Haag, Rotterdam dan Utrecht, sehingga keberadaan mereka lebih jelas kelihatan. Perubahan ini b u k a n n y a t a n p a
masalah , melain kan j u s t r u s e b a l i k n ya . Contohnya, Islam selalu di po j o kk an se b agai a ga m a ya n g f a s i s , intoleran dan penuh kekerasan.
S e d a n g k a n J al al u ddi n R ah m at men c o b a men gupas pluralisme di Indonesia. D a l a m t a t a r a n ke n e gar aan , b e l i au
reality, prejudices against individual or institution belong to the community might exist, and therefore efforts to stimulate communicative dialogue is crucial. Besides Hidayati's book, the discussion was also $on T.H. Sumartana's book about Pluralism and Interfaith Dialogue (Anwar)
2. Indonesian Fourth Interfaith-Network Meeting-Yogyakarta
The way people behave toward religious pluralism and tradition these days is questionable. There have been many conflicts occur because of the different perspective, ideology, and faith among the people. Physical violence also arises as the effect of these differences. Values on humanity and local wisdom are discarded by the many different interests. Responding to such situation, Institute of DIAN/Interfidei (Interfaith Dialogue Institute), as an institution whose concern is religious pluralism, attempts to respond to such situation by organizing conference and workshop on 8-10 August 2008 at the center of Puskat Audiovisual, Sinduharjo, Yogyakarta. The conference and workshop was themed on” The Future of Religious Pluralism in Indonesia: Hope for Justice, Peace, and the Wholeness of Beings”. There were many participants from various organizations as well as individual ones all over Indonesia who shared the same concern attended the meeting.
Aktifitas
menyebutkan dua orang presiden yang menghargai pluralisme, yaitu Soekarno dan Gus Dur. Sedangkan di kalangan internal agama, Islam misalnya, ada kelompok fundamentalis yang mengklaim kebenaran tunggal hanya milik mereka. Bahkan simbol-simbol agama sering dipahami secara formalistik. Munculnya kelompok ini dianggap karena pengaruh politik Islam dan secara umum, didukung oleh anak-anak muda yang tidak punya kerja dan mengalami kesulitan ekonomi.
Kedua, lokakarya yang dihadiri oleh 51 peserta baik dari utusan lembaga maupun perorangan dari seluruh Indonesia. Kegiatan ini diawali oleh diskusi pengantar dalam dua paralel. Paralel pertama dengan pembicara Ahmad Syafi'i Mufid, Mohtar Mas'oed dan Abdul Munir Mulkhan dengan penanggap utamanya Noorhalis Madjid. Temanya adalah ”Demokrasi, Pluralisme Agama, dan Keyakinan dalam Negara Indonesia”. Sedangkan paralel kedua dengan pembicara Kapolda DIY, MM. Billah, dan Yong O hoitimur, MSC . Adapun penanggap utamanya Esthi Susanti, Farid Wajidi dan I Nyoman Sadra. Temanya adalah ”Budaya Kekerasan dan Nilai-Nilai Keagamaan dan Keyakinan dalam Negara Indonesia”.
Pada dasarnya lokakarya ini merupakan pertemuan jaringan antariman se-Indonesia yang keempat kali setelah sebelumnya dilaksanakan di Malino (2002), Candi Dasa (2004) dan Banjar Baru (2006). Jaringan itu sendiri terbentuk karena adanya keresahan bersama bahwa pluralitas agama dan budaya di Indonesia justru menimbulkan konflik yang berkepanjangan.
D a l a m p e r t e m u a n i n i , terungkap ada beberapa hal yang menjadi penyebab. Pertama, terkait dengan internal agama itu sendiri, seperti persoalan teks, penafsiran dan tradisi yang berkembang. Kita melihat adanya teks-teks yan g secara tekstualnya membangun eksklusivitas agama, seperti menganggap bahwa agama itu yang paling benar dan yang lain salah. Penafsiran pun justru semakin memperuncing hal tersebut. Kedua, memudarnya rasa kebangsaan
of Muslims has increased from 0% to 6% since 1970, and so has the number of immigrants (from Ghana, China, Curacao, Polandia, Romania, and Bulgaria) to 4%. These groups appear mostly around urban areas such as Amsterdam, Den Haag, Rotterdam, and Utrecht. This transformation has brought challenges, for instance that Islam has been considered as a fascist, intolerant, and violent religion.
Jalaluddin Rahmat, on the other side, emphasized more on pluralism in Indonesia. He even pointed two Indonesian former presidents who valued pluralism: Soekarno and Gus Dur. However, he was aware of religious fundamentalism within certain religion, Islam for instance, which claims absolute truth to be solely theirs. Religious symbols are even taken for granted by such fundamentalist groups. Taking the example within Islam, he explained that fundamentalist groups appear as the effect of the politic of Islam. He added that it was also because of the amount of unemployed youngsters with financial struggles who were potentially persuaded to join the groups.
There was also a workshop with 51 attendants who were present as individuals as well as representatives of various institutions all over Indonesia. An introduction discussion separated in two groups opened the workshop. The first group presented Ahmad Syafi'i Mufid, Mohtar Mas'oed and Abdul Munir Mulkhan as the speakers. This group took 'Democracy and Religous Pluralism in Indonesia' as its theme and provided Noorhalis Madjid as the respondent. Meanwhile, the second group was themed on Violent Behaviour and Religious Pluralism in Indonesia. This group presented the Chief of Yogyakarta Regional Police, MM. Billah, and Yong MSC as the speakers. There were also Esthi Susanti, Farid Wajidi, and I Nyoman Sadra in this group to respond to the speakers.
This workshop
Activity
dan rasa memiliki sebagai bangsa yang besar dengan pluralitas agama dan budaya. Ketiga, terjadinya konflik sering didasarkan pada ketidakadilan ekonomi, sosial dan politik. Keempat, lemahnya penegakan hukum. Kelima, tergerusnya nilai-nilai moral dan budaya Indonesia. Keenam, minimnya ruang publik (media) bagi wacana pluralisme. Dalam hal ini, negara seharusnya mengambil peran. Namun yang terjadi adalah kebijakan-kebijakan yang dihasilkan oleh negara justru tidak memberi ruang yang cukup besar bagi keberagaman ini.
Melihat realita tersebut, jaringan antariman yang telah terbentuk selama enam tahun, mencoba untuk merapatkan barisan kembali dengan menetapkan visi dan misi yang sama, yaitu berupaya mencerahkan kesadaran individu, keluarga, internal dan antariman tentang wacana pluralisme dan melakukan aksi bersama untuk menebarkan keadilan dan perdamaian. Terbentuknya jaringan ini sangat dibutuhkan untuk saling berbagi informasi, mempercepat respon dan dukungan terhadap kasus-kasus yang terjadi dan memonitoring implementasi etika jaringan.
Dalam lokakarya ini ada beberapa hal yang disepakati. Pertama, pembentukan pokja yang bertugas membuat mekanisme kerja, etika dan prinsip berjejaring, membangun database jaringan dan kegiatan yang terkait dengan agenda pluralisme, melakukan mapping untuk kepentingan sinergitas a ge n d a b e s a r p l u r a l i s m e I n d o n e s i a , men gko o rdi n asi kan kegi at an yan g sudah diamanatkan oleh anggota dan minimal sekali setahun mengadakan pertemuan jaringan. Kedua, perlu adanya sosialisasi wacana pluralisme, baik dalam berbagai forum dialog maupun dalam promosi ke sekolah-sekolah. Ketiga, perlu mengadakan pertemuan -pertemuan an t ar aktivis un tuk memperkuat jaringan. Keempat, membangun sumber-sumber keuangan. Kelima, advokasi kebijakan.
Seluruh kegiatan pertemuan jaringan antariman ke-4 ditutup dengan refleksi 17 tahun Interfidei. Acara ini menjadi ruang bersama untuk refleksi pengalaman perjalanan Interfidei sebagai lembaga yang memperjuangkan terciptanya masyarakat sipil yang berakar pada nilai-nilai kemanusiaan dan demokrasi. Ikut hadir dalam
was basically the fourth meeting of Indonesian interfaith network as the previous ones took place in Malino (2002), Candi Dasa (2004) and Banjar Baru (2006). This network was established as an anxiety over religious and cultural plurality that potentially produces conflicts.
There were several issues raised as the causes of conflicts among religions as well as culture. To begin with is referring to the scripture and its interpretation, and also the developing tradition. There are verses from the scripture which undeniably support religious exclusivist, for example the verses that textually declare certain religion as the right one thus the others are false. An interpretation of the verses, additionally, worsens the problem. It is also on the weakening of nationalism and sense of belonging as a nation with its religious and cultural plurality. The next is that conflicts are mostly because of injustice economically, socially, and politically. The weakening of law enforcement, the lessening of moral and cultural values, the limited public space for pluralism (the media for instance) also appear as the causes of conflicts among religions.. The government should participate in encouraging religious pluralism. The government, in contradictory, established policies that restrict it.
The interfaith network, which has been for six years, attempts to respond to the condition by establishing its vision and mission to educate individuals, families, religious groups internally, and inter-faith groups on pluralism and to struggle for justice and peace. This network is necessary to share information and to embrace responses to religious conflicts, and also to monitor the implementation of its ethics.
Aktifitas
kesempatan ini dan sekaligus memberikan refleksinya adalah GKR Hemas. Beliau menyatakan bahwa saat ini, kita tengah dicoba dengan berbagai upaya penyeragaman budaya yang gerakannya sudah memasuki parlemen. Ini terbukti dengan lahirnya kebijakan inkonstitusional, termasuk ratusan perda bernuansa agama mayoritas yang direspon dengan raperda kota Injil di Kabupaten Monokwari, Papua.
Selain itu, Syafi'i Maa'rif dan Bikhu Sri Pannavaro juga ikut memberikan refleksi. Tak lupa juga dalam acara ini ditampilkan pementasan kesenian daerah, seperti gejuk lesung dan tarian dari Papua, serta disemarakkan oleh kelompok Serikat Pengamen Indonesia dan Komunitas Tikar Pandan (IS).
3. Kearifan Lokal dan Pluralisme
Dalam rangka peringatan sumpah pemuda yang ke 80, di tengah berbagai pertanyaan tentang identitas kebangsaan dalam kemajemukan, Institut DIAN/Interfidei mengadakan sebuah diskusi terbatas dengan tema “Pluralisme dan Kearifan Lokal di Indonesia” pada tanggal 28 Oktober 2008. Acara ini menghadirkan narasumber DR. PM Laksono (Dosen Antropologi UGM).
Belajar dari kearifan lokal yang menjadi identitas elemen bangsa, dapat kita lacak bagaimana sebetulnya kemajemukan mengajarkan kita untuk senantiasa hidup dalam suasana yang mampu membangun rasa persaudaraan. Dalam uraian makalah dari PM Laksono, beliau memberi ilustrasi kearifan lokal dalam mempertahankan identitas dan mampu merekatkan hubungan sosial masyarakat. Dalam kisah Sujud seorang tukang kendang keliling yang secara konsisten menjalankan kegiatan dalam bidang seni hingga masa tuanya. Sujud dengan kendangnya mampu “menyihir” orang yang mengikutinya untuk menghargai hal kecil dari seni d a n t r a d i s i m a s ya r a k a t d a n m a m p u mempertahankan ingatan bersama tentang kebersamaan.
Dengan kekayaan kultural yang masih ada, mampukah masyarakat memelihara dan menjaga kemajemukan dengan belajar dari kearifan lokal masyarakat kita?. (Anwr)
4. Pertemuan Forum Komunikasi Guru-Guru
strengthen the network. Fourthly is to raise financial resources. And finally is to participate in advocating policies.
As the meeting ended, a celebration of Interfidei's 17th birthday took place. This celebration was more on a reflection of the process Interfidei have underwent as an institution that endeavors to uphold civil society rooted in humanity and democracy. Gusti Kanjeng Ratu (Her Majesty) Hemas was present to give her thoughts on what Interfidei has done for 17 years. She explained that there have been many efforts to standardize the cultures in Indonesia, which are reaching the parliaments. She referred to the unconstitutional policies, including hundreds of provincial regulations centered on the requirement of certain major religion. She furthermore provided the provincial regulation bill on kota Injil (the city of the Gospel) of the Monokwari regency, Papua.
In addition, Syafi'i Maa'rif and Bikhu Sri Pannjavaro also contributed their reflections on the Interfidei's contribution to foster pluralism. Finally, art performances as well as cultural ones livened up the whole birthday celebration.
3. Local Wisdom and Pluralism
Being intrigued by incidents violating diversity by imposing certain politic, religion(s), c ult ural i den t i t y(i es), an d gro up-i n t erest masquerading under the names of religious institutions and cultures, DIAN/Interfidei organized a discussion on “Pluralism and local wisdom in Indonesia” on October 28, 2008. The discussion, which was also to commemorate the 80th sumpah pemuda (Youth Oath), presented DR. PM Laksono, a lecturer in anthropology at Gadjah Mada University, as the keynote speaker.
Local wisdom as an element of identity of the nation helps us to trace how diversity does teach people to live a harmonious life. PM Laksono voiced the same concern as well in his paper as he presented illustration of the way local wisdom defends and also bonds social relation among people through Sujud, a kendang player (sort of small drum) who faithfully played his kendang around the neighbourhoods to his old age. He 'chanted' people with his kendang to appreciate simple things of art and tradition to preserve diversity.
Activity
PM.Laksono
Agama
Forum Komunikasi Guru-Guru agama yang diselenggarakan secara rutin tiap bulan, pada 30 Agustus 2008 dilaksanakan di Multicultural Campus Universitas Sanata Dharma Jogjakarta dengan narasumber DR Susetyawan. Tema yang dibicarakan adalah “Agama dan nilai-nilai kemanusiaan”. Dalam diskusi dibahas hal yang memungkinkan agama-agama bisa bicara tentang moralitas, yaitu ketika nilai-nilai kemanusiaan universal diangkat dan diwujudkan.
Pertemuan 27 Oktober diselenggarakan di Pusat Studi Pedesaan dan Kawasan. Forum dengan narasumber Nurkholik Ridwan mengetengahkan tema 'Politisasi Agama di Indonesia'. Tema ini menyoroti sejarah agama-agama yang senantiasa diwarnai kolaborasi antara elit agama dan elit kekuasaan.
Pada b ul an No ve m b e r pe r t e m uan dilaksanakan pada tanggal 27 di dua tempat SMP Stella Duce 2 dan di Interfidei. Tema pertemuan yang dibahas di kedua tempat ini adalah tentang situasi hubungan antar-agama terkini dalam pengamatan guru-guru. Di Interfidei, pertemuan dilanjutkan dengan membahas hasil survey lembaga Penelitian dan Pengabdian masyarakat UIN Syarif Hidayatullah tentang penolakkan guru-guru agama Islam terhadap Pluralisme.
5. Diskusi Buku “A Renewal Without Breaking
Is there still hope for the people to defend and uphold diversity by learning from our local wisdom(s) with the many cultural inheritances we own? (Anwr)
4. The Forum of Communication among teachers of Religion
This forum routinely takes place every month. On August 30, 2008 the meeting was held at Multicultural Campus of Sanata Dharma University Yogyakarta. The speaker, DR. Susetyawan, led the discussion on the values of religion and humanity. The discussion emphasized on the possibility of religion to address morality as it fulfilled its universal values of humanity.
The meeting on October 27, 2008 at Pusat S t u d i P e d e s a a n d a n K a w a s a n o f Gadjah Mada University was themed on politicizing religions in Indonesia with Nurkholik Ridwan as the speaker. The discussion focused on the overlapping between religion and power during the history.
On November 27, 2008 a discussion took place at two places: the SMP Stella Duce 2 and the office of Interfidei. The discussions, even though separated at two different places, examine the present situation of inter-religious relationship from the teachers' perspective. The group at the office of Interfidei furthermore examined the result of the survey done by the research centre for public Service, Yogyakarta Islamic State University, which showed Islamic teachers' objection to promote pluralism.
5. Book Discussion Djohan Effendi's A Renewal Without Breaking Tradition: The Emergence of A New Discourse in Indonesia's Nahdatul Ulama During the Abdurrahman Wahid Era
Aktifitas
Para peserta Forum Guru Agama Tradition: The Emergence of A
New Discourse in Indonesia's Nahdatul Ulama During The Abdurrahman Wahid Era”
Buku yang ditulis oleh Djohan Effendi ini adalah tentang perkembangan pemikiran agama yang secara khusus terjadi selama m a s a k e p e m i m p i n a n Abdurrahman Wahid. Perannya sebagai pimpinan Nahdatul ulama (NU ) menginspirasi banyak
generasi muda NU, khususnya kiai-kiai muda dan kaum intelektual untuk terlibat mengkritisi diskursus keagamaan yang ada. Mereka telah berhasil menghidupkan kembali tradisi intelektual di kalangan NU dan membuka diri untuk pemikiran-pemikiran baru untuk dapat merespon tantangan masa kini. Satu hal yang menarik adalah jika dibandingkan dengan umat Muslim lainnya, baik itu yang tradisionalis maupun yang modernis, kaum muda kalangan NU ini berusaha untuk mengembangkan tradisi intelektual dan pola beragama mereka sehingga mereka mampu untuk mengkontekstualisasikan tradisi Islam yang masih tradisional sesuai dengan kondisi masyarakat kontemporer masa kini. Pada saat yang bersamaan, ada banyak pemimpin muda perempuan NU yang terlibat dalam proses yang sama yang berusaha untuk menerapkan inti ajaran Islam sesuai dengan tantangan masyarakat modern masa kini. Mereka tidak hanya terlibat dalam kegiatan-kegiatan sosial bersama dengan perempuan-perempuan NU lainnya, tapi juga terlibat aktif dalam aktifitas intelektual dan diskursus keagamaan. Dengan keinginan dan ketekunan yang kuat, mereka tetap berupaya untuk mengembangkan prinsip-prinsip feminisme dari perspektif Indonesia dan Islam. Mereka tidak hanya mengkritisi kecenderungan bias patriarki yang berhubungan dengan interpretasi ayat-ayat kitab suci yang sudah dilakukan selam bertahun-tahun oleh para ulama laki-laki, tapi lebih dari itu mereka berusaha untuk menghasilkan interpretasi mereka sendiri atas teks-teks utama tersebut. Dengan terlibat dalam perkembangan diskursus intelektual maka kaum muda NU, baik perempuan maupun laki-laki, berupaya untuk menterjemahkan kembali pola pikir keberagamaan untuk dapat menjawab tuntutan hidup masa
Muslim umat (community), whether traditionalists or Modernists, they endeavour to develop their intellectual tradition s and religious paradigms so that they are able to make traditional Islamic l e a r n i n g c o n t e x t u a l t o contemporary society. At the same time many of the leading younger women thinkers in NU have engaged in a similar process of applying the core teachings of Islam to the challenges of modern society. Not only are they involved in social activities along with the other women in NU, they are also actively involved in intellectual and religious discourse. With a great passion and application they seek to develop the principles of feminism from an Indonesian and Islamic perspectives. Not only do they criticize the tendency towards patriarchal bias in the interpretation of religious texts undertaken over the centuries by male ulama but more than that, they also try to undertake their own interpretation over primary texts. By engaging in the development of new intellectual discourses NU's younger generation, both men and women, seek to reinterpret existing religious paradigms, to respond to universal and contemporary demands with a view to establishing a democratic system, respecting human rights and encouraging the emancipation of women in order to establish a civil society. Unlike the traditionalist in the past that was essentially limited to engaging in the intellectual heritage of medieval ulama, the young kiai are able to enrich their knowledge tradition by opening themselves to accept new ideas that bridge the past and the present, better known as neo-traditionalism. The emergence of neo-traditionalism in the perspective of Muslim umat has been a significant factor to stem the threat of religious fundamentalism on one hand and, on the other hand, to facilitate the growth of a moderate religious attitude amongst members of the Indonesian Muslim umat that is more conducive towards modernization and pluralism in the framework of establishing a progressive, civilized society.[]
Activity
Para pembicara pada acara bedah buku Renewal sekarang dengan system demokrasi yang baru yang
menghormati hak-hak asasi manusia dan yang mendukung emansipasi perempuan agar dapat menegakkan masyarakat madani. Berbeda dengan kaum tradisionalis di masa yang lampau yang keterlibatannya sebatas intelektualitas warisan ulama abad pertengahan, kiai-kiai muda NU mampu untuk memperkaya pengetahuannya akan tradisi dengan membuka diri untuk menerima pemikiran-pemikiran baru yang menjembatani masa lampau dan masa kini, dikenal dengan gerakan neo-traditionalism. Kemunculan neo-traditionalism di kalangan umat Muslim merupakan faktor yang sangat penting untuk membendung ancaman fundamentalisme agama di satu pihak, dan di pihak lain untuk memfasilitasi pertumbuhan sikap keagamaan yang moderat di kalangan umat Muslim Indonesia untuk lebih mendukung modernisasi dan pluralisme dalam kerangka menciptakan masyarakat berbudaya yang maju.
(Tulisan ini dikutip dari bab Abstrak buku)
Potret
M
EREGUKC
INTA-
KASIH DIP
ANTIA
SUHAND
AMIANila kita melihat kehidupan sekitar, tak bisa disangkal betapa dunia ini terasa tidak sempurna. Ada banyak kemajuan dicapai oleh
B
umat manusia. Banyak orang merasakan kehidupan yang serba mudah dan serba kecukupan. Tetapi di seluruh pelosok dunia di tengah berbagai kemakmuran tersebut, senantiasa tercecer kelompok masyarakat yang tidak bisa merasakan kesejahteraan yang layak untuk martabat kemanusiaan. Pada situasi seperti ini umumnya manusia terlalu sibuk dengan keinginan dan hidupnya sendiri. Hanya sedikit, bahkan sangat sedikit orang yang menyediakan hidupnya sendiri untuk mencarikan jalan bagi kelompok orang yang dipinggirkan untuk bisa hidup secara lebih layak dan bermartabat.
Tidak kurang, setiap ajaran agama dengan lemb aga-lemb aga keagamaan yan g makmur menyerukan 'keberpihakan pada yang lemah' atau pembelaan untuk si miskin, namun jumlah orang yang lemah dan miskin di dunia makin membengkak. Sulit disangkal struktur sosial-ekonomi yang tidak adil menggerus kekuatan masyarakat untuk membuat keseimbangan, apalagi sumber daya alam makin tidak mendukung kebutuhan penghuni bumi yang makin membengkak. Masih mungkinkah kekuatan agama memperbaiki struktur yang tidak adil ini? Dalam kegetiran mengusung harapan, masih ada manusia-manusia tangguh yang berhasil mengalahkan segala kungkungan ego dan membebeaskan diri dari jerat kei n gi n an dan kepen t i n gan pri b adi demi menyumbangkan waktu hidupnya bagi kelompok orang yang tidak beruntung untuk mengupayakan hidup yang bermartabat.
Sebutlah di sini Ibu Gisela Borowska, sejak tahun 1963 menghabiskan hidup pribadinya untuk membantu anak-anak yang tidak beruntung, orang sakit, orang jompo maupun penyandang cacat. Lebih dari 25 tahun dia mengabdikan diri untuk membantu orang-orang yang menderita lepra di pusat bantuan kesehatan di wilayah Flores dan Alor hingga tidak
E
NCOUNTERINGL
OVE IN ANO
RPHANAGE,
D
AMIANhe world is indeed imperfect. The people develop and experience easer and more
T
comfortable life. Yet, there are people everywhere who are excluded from any sorts of comforts in life and even life a less dignified life. This is because one seems to focus on one's sole life and pays no attention to others. There are only a few individuals who concern about the others and struggle for better life for them.Every religion and also religious institution calls the people to taking side on those who are weak and poor, but their number are swelling up. This is because of the unjust social-economical structure that people lose their capability to endorse social balance, and also because of the natural resources are no longer enough to provide the needs of the people that are continually growing. Can religion assist in restoring the injustice? Are there people who willingly share their life to help their unfortunate neighbors?
Gisela Borowka, a woman who has been willingly offering her life for unfortunate children,
Potret
Kompleks Panti Asuhan Damian, NTT
ditemukan pengidap lepra di wilayah ini. Aktifitas ini terinspirasi dari apa yang dilakukan oleh Pater Damian, seorang Rohaniawan Katolik yang bekerja untuk orang-orang yang menderita sakit lepra di 2 desa kecil : Kalawao dan Kalaupapa di pulau Molokai, Hawaii. Untuk mengenang Pater Damian, Gisela yang dikenal akrab disapa dengan panggilan 'Mama Putih' (nama ini diberikan, untuk lebih akrab dengan warga masyarakat. Sapaan ”Mama” bagi masyarakat Flores pertanda kedekatan dengan seorang perempuan yang lebih tua. ”Putih”, karena warna kulit ”Mama”) menyematkan nama 'Damian' untuk panti asuhan yang dia dirikan dan kelola di Kalabahi, kepulauan Alor, Nusa Tenggara Timur.
Totalitas memberikan diri untuk membantu kalangan yang tidak beruntung ini tidak dibatasi oleh perbedaan apa pun yang disandang oleh anak-anak di Panti Asuhan ini. Perbedaan latar belakang agama serta etnis diyakini sebagai kekayaan yang patut disyukuri sebagai khasanah untuk pembelajaran. Panti asuhan ini tidak hanya mengasuh anak-anak dari berbagai latar belakang agama, tetapi mendorong mereka untuk aktif sebagai umat beragama menurut agama mereka masing-masing. Dengan gembira para pengurus panti mengantar anak-anak ke tempat-tempat ibadah, khususnya pada perayaan hari-hari besar, baik untuk penganut agama Katolik, Islam maupun Protestan. Kerja bakti di tempat-tempat ibadah, mengantar kue dan merayakan bersama menjadi kegembiraan yang dinikmati bersama. Perbedaan dan latarbelakang anak-anak asuh ini justru menjadi sesuatu yang membanggakan bagi para pengurus dan pengelola panti asuhan.
Maka perbedaan tersebut sama sekali tidak terasa sebagai sesuatu yang menghambat tumbuhnya rasa saling menyayangi di antara anak-anak maupun antara anak-anak dan para pengasuhnya. Perasaan senasib sebagai anak-anak yang tidak mempunyai salah satu orang tua atau bahkan tidak mempunyai kedua orang tua, yang menumbuhkan rasa persaudaraan seolah mereka kakak-beradik dalam keluarga. Para pengurus Panti bangga dengan kenyataan keragamaan di antara anak asuh.
Dengan segenap kekuatan yang ada para pen gasuh memb erikan tempat b erlin dun g, mencarikan dana untuk biaya sekolah dan kebutuhan sehari-hari. Saat ini panti asuhan Damian mengasuh,
,
sick people, old people, and also people with physical defects, served the lepers for more than 25 years at a health center in Flores and Alor until there was not even a single leper around the area. She was inspired by Pater Damian, a Catholic priest, who dedicated himself for the lepers in two little villages in Hawaii: the Kalawao and the Kalaupapa. Gisela, well known as “Mama Putih” (white-skin n ed Mother) cite”Damian” to name an orphanage house she founded in Alor to reminisce about Pater Damian. The people addressed Gisela”Mama” to show close relation between her and the people, and 'putih' as Gisela was white-skinned.
Her service for the children at the orphanage is not restricted by the children's background. She even takes religious differences as benefits to learn from and to be thankful for. The orphanage takes care of children from much different background of faiths and also supports the children to commit themselves to the faiths they believe in. The staffs of the house will gladly accompany the children to go to worship places especially during religious feast days. People at the orphanage enjoy community service at worship places as well as celebrating feast days in togetherness.
Differences are taken as treasures to be proud of. Differences cannot hindrance people in the orphanage to love one another. The children even consider one another as brothers and sisters as they all don't have parents, and this strengthens the familihood in the house.