BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1Tinjauan Teoritis
2.1.1. Penerapan Manajemen Risiko
Pengertian Risiko
Menurut Kamus Perbankanyang diterbitkan oleh Institut Bankir Indonesia
(1999) risiko adalah tingkat kemungkinan terjadinya kerugian yang harus
ditanggung dalam pemberian kredit, penanaman investasi, atau transaksi lain
yang dapat berbentuk harta, kehilangan keuntungan, atau kemampuan
ekonomis, antara lain, karena adanya perubahan suku bunga, kebijakan
pemerintah, dan kegagalan usaha.
Menurut Masyhud Ali (2006) risiko adalah peluang (kemungkinan)
terjadinya bencana atau kerugian. Jika dilihat dari sudut perbankan risiko
didefinisikan sebagai peluang dari kemungkinan terjadinya situasi yang
memburuk (bad outcome).Definisi tersebut berarti bahwa risiko hanya
berkaitan dengan situasi dimana suatu hasil yang negatif (negative
outcome)dapat setiap saat terjadi dan kejadian tersebut dapat diperkirakan
(estimated). Banyak perisitiwa yang dapat berimbas pada terjadinya kerugian
bagi bank itu sendiri. Peristiwa terus dapat berasal dari internal ataupun luar
bank itu sendiri. GARP (Global Association of Risk Professionals) dan
a. Risk Event didefinisikan sebagai terjadinya sebuah kejadian yang dapat
menimbulkan potensial for loss (a bad outcome).
b. Risk Loss didefinisikan dengan mengacu pada kerugian-kerugian yang
terjadi sebagai konsekuensi langsung maupun tidak langsung dari risk
event tersebut. Kerugian yang ditimbulkan dapat berupa kerugian
finansial maupun kerugian nonfinansial.
Risiko yang dihadapi perbankan menurut Basel Accord II dalam
Masyhud Ali (2006) terdiri atas 4 jenis, yaitu:
a. Risiko pasar (Market Risk) adalah risiko kerugian pada posisi
portofolio trading pada on dan off balance sheet (neraca dan rekening
administratif) yang muncul sebagai akibat dari terjadinya perubahan
harga pasar asset dan liabilities bank tersebut. Perubahan harga tersebut
merupakan akibat terdapatnya perubahan faktor pasar yaitu tingkat suku
bunga, nilai tukar mata uang, harga pasar saham, dan sekuritas serta
harga komoditas.
b. Risiko Kredit (Credit Risk) adalah risiko dari kemungkinan terjadinya
kerugian bank sebagai akibat dari tidak dilunasinya kembali kredit yang
diberikan bank kepada debitur maupun counterparty lainnya. Penetapan
teknik dan kebijakan risiko kredit dikenal dengan credit risk mitigation,
yang meliputi: menyusun peringkat (grading models), manajemen
(securitization), collateral,cash flow monitoring, dan manajemen
pemulihan (recovery management)
c. Risiko Operasional (Operational Risk) adalah risiko terjadinya
kerugian bagi bank yang diakibatkan oleh ketidakcukupan atau
kegagalan proses di dalam manajemen bank, sumber daya manusia, dan
sistem. Unsur-unsur risiko yang berkaitan dengan risiko operasional
meliputi : proses internal bank (internal processes), sumber daya
manusia, sistem, peristiwa eksternal (external events), dan persyaratan
hukum regulatori (legal and regulatory requirements).
d. Risiko Lainnya meskipun sesuai dengan ketentuan Basel Accord II
Framework, tidak dimuat dalam regulasi sebagai bagian dari
perhitungan kecukupan modal. Namun sesungguhnya jenis-jenis risiko
ini tetap penting karena dipertimbangkan dalam perhitungan risk-based
capital perbankan. Risiko lainnya itu meliputi : Risiko Bisnis (Business
Risk), Risiko Strategi (Strategic Risk), dan Risiko Reputasi
(Reputational Risk).
Pengertian Manajemen Risiko
Manajemen risiko sebagaimana telah dirumuskan di dalam pasal 1
angka (5) Peraturan Bank Indonesia No.11/25/PBI/2009 tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia No.5/8/PBI/2003 tentang
Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Umum, yang menyatakan bahwa
digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan
mengendalikan risiko yang timbul dari seluruh usaha bank. Dari hal di atas
dapat disimpulkan bahwa risiko tidak hanya cukup dihindari namun juga
harus dihadapi cara-cara yang dapat mengurangi kemungkinan terjadinya
risiko tersebut. Risiko dapat terjadi kapan saja, agar risiko tidak
mengganggu kegiatan perusahaan, risiko harus dikelola dengan baik.
Menurut Widigdo Sukarman manajemen risiko adalah keseluruhan
sistem pengelolaan dan pengendalian risiko yang dihadapi oleh bank yang
terdiri dari seperangkat alat, teknik, proses manajemen (termasuk
kewenangan dan sistem dan prosedur operasional) dan organisasi yang
ditujukan untuk memelihara tingkat profitabilitas dan tingkat kesehatan
bank yang telah ditetapkan dalam Corporate Plan atau rencana strategis
bank lainnya sesuai dengan tingkat kesehatan bank yang berlaku.
Menurut William T. Thornhill dalam Tampubolon (2004) manajemen
risiko adalah sebuah displin pengelolaan yang tujuannya adalah untuk
memproteksi aset dan laba sebuah organisasi dengan mengurangi potensi
kerugian sebelum hal tersebut terjadi.
Fungsi dan Tujuan Manajemen Risiko
a. Menentukan arah dan risk appetite dengan mengkaji ulang secara
berkala dan menyetujui risk exposure limits yang mengikuti strategi
b. Menetapkan limit, biasanya mencakup pemberian kredit, penempatan
non-kredit, asses liability management, trading dan kegiatan lain
seperti derivatif dan lain-lain.
c. Menetapkan kecukupan prosedur pemeriksaan untuk memastikan
adanya integritasi pengukuran risiko, kontrol sistem pelaporan, dan
kepatuhan terhadap kebijakan dan prosedur yang berlaku.
Proses Manajemen Risiko
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia yang telah dijelaskan diatas, Proses
Manajemen Risiko meliputi:
A. Identifikasi Risiko
Tujuan dilakukannya identifikasi risiko adalah untuk mengidentifikasi
seluruh jenis risiko yang melekat pada setiap aktivitas fungsional yang
berpotensi merugikan Bank. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
menerapkan identifikasi risiko antara lain:
1. Bank harus mengidentifikasi risiko kredit yang melekat pada
seluruh produk dan aktivitasnya. Identifikasi risiko kredit tersebut
merupakan hasil kajian terhadap karakteristik risiko kredit yang
melekat pada aktivitas fungsional tertentu, seperti perkreditan
(penyediaan dana), treasury dan investasi, dan pembiayaan
perdagangan.
2. Untuk kegiatan perkreditan dan jasa pembiayaan perdagangan,
dan khususnya kemampuan membayar secara tepat waktu, serta
jaminan atau agunan yang diberikan.
3. Untuk kegiatan treasury dan investasi, penilaian risiko kredit harus
memperhatikan kondisi keuangan counterparty, rating, karakteristik
instrumen, jenis transaksi yang dilakukan dan likuiditas pasar serta
faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi risiko kredit.
B. Pengukuran Risiko
1. Bank harus memiliki prosedur tertulis untuk melakukan pengukuran
risiko yang memungkinkan untuk:
a. Sentralisasi eksposur on balance sheet dan off balance sheetyang
mengandung risiko kredit dari setiap debitur atau perkelompok
debitur dan atau counterparty tertentu mengacu pada konsep
single obligor
b. Penilaian perbedaan kategori tingkar risiko kredit dengan
menggunakan kombinasi aspek kualitatif dan kuantitatif data dan
pemilihan kriteria tertentu.
c. Distribusi informasi hasil pengukuran risiko secara lengkap untuk
tujuan pemantauan oleh satuan kerja terkait.
2. Sistem pengukuran risiko kredit sekurang-kurangnya
a. Karakteristik setiap jenis transaksi risiko kredit, kondisi keuangan
debitur/counterpary serta persyaratan dalam perjanjian kredit
seperti dalam jangka waktu dan tingkat bunga
b. Jangka waktu kredit (maturity profile) dikaitkan dengan
perubahan potensial yang terjadi di pasar
c. Aspek jaminan, agunan dan/atau garansi
d. Potensi terjadinya kegagalan membayar (default), baik
berdasarkan hasil penilaian pendekatan konvensional maupun
hasil penilaian pendekatan yang menggunakan proses
pemeringkatan yang dilakukan secara intern (internal risk rating)
3. Bagi Bank yang menggunakan teknik pengukuran risiko dengan
pendekatan internal risk rating harus melakukan validasi data secara
berkala.
4. Parameter yang digunakan dalam pengukuran risiko kredit antara lain
meliputi:
a. Non Performing Loans (NPLs)
b. Konsentrasi kredit berdasarkan peminjam dan sektor ekonomi
c. Kecukupan agunan
d. Pertumbuhan kredit
e. Non performing portofolio treasury dan investasi (non kredit)
f. Komposisi portofolio treasury dan investasi (antar bank, surat
berharga dan penyertaan)
h. Transaksi pembiayaan perdagangan yang default
i. Konsentrasi pemberian fasilitas pembiayaan perdagangan.
5. Mark to Market pada Transaksi Risiko Kredit Tertentu
Untuk mengukur risiko kredit yang disebabkan transaksi over the
counter atau pada suatu pasar tertentu, khususnya pasar transaksi
derivatif, maka bank harus menggunakan metode penilaian mark to
market.
Eksposur risiko kredit harus diukur dan dikinikan
sekurang-kurangnya setiap bulan atau lebih intensif khususnya apabila portofolio
debitur atau kelompok usaha debitur sangat signifikan dan atau
volatilitas parameter pasar yang digunakan untuk menilai mark to
market mengalami perubahan/fluktuasi.
Limit kredit yang dialokasikan untuk satu debitur atau kelompok
debitur harus diuji berdasarkan penilaian mark to market sedangkan
faktor risiko harus digunakan untuk memperhitungkan perubahan
kondisi pasar dan pengaruh replacement cost.
6. Penggunaan Credit Scoring Tools
a. Bank dapat menggunakan sistem dan metodologi
statistik/probabilistik untuk mengukur risiko yang berkaitan
dengan jenis tertentu dari transaksi risiko kredit, seperti credit
scoring tools.
- Melakukan kaji ulang secara berkala terhadap akurasi model
dan asumsi yang digunakan untuk memproyeksikan kegagalan
(defaults)
- Menyesuaikan asumsi dengan perubahan yang terjadi pada
kondisi internal dan eksternal.
c. Apabila terdapat eksposur risiko yang besar atau transaksi yang
relatif kompleks maka proses pengambilan keputusan transaksi
risiko kredit tidak hanya didasarkan pada sistem tersebut sehingga
harus didukung sarana pengukuran risiko kredit lainnya.
d. Bank harus mendokumentasikan kredit seperti asumsi, data dan
informasi yang digunakan pada sistem tersebut, termasuk
perubahannya, serta dokumentasi tersebut selanjutnya dikinikan
secara berkala.
e. Penerapan sistem ini harus:
- Mendukung proses pengambilan keputusan dan memastikan
kepatuhan terhadap ketentuan pendelegasian wewenang
- Independen terhadap kemungkinan rekayasa yang akan
mempengaruhi hasil (score-ouputs) melalui prosedur pengamanan
yang layak dan efektif
- Dilakukan kaji ulang oleh satuan kerja atau pihak yang
independen terhadap satuan kerja yang mengaplikasikan sistem
tersebut.
Bank harus mengembangkan dan menerapkan sistem informasi
dan prosedur untuk memantau kondisi setiap debitur atau counterparty
pada seluruh portofolio kredit bank. Sistem pemantauan
sekurang-kurangnya memuat ukuran-ukuran dalam rangka:
1. Memastikan bahwa Bank mengetahui kondisi keuangan terakhir dari
debitur atau counterparty
2. Memantau kepatuhan terhadap persyaratan dalam perjanjian kredit
atau kontrak transaksi risiko kredit
3. Menilai kecukupan agunan dibandingkan dengan kewajiban debitur
atau counterparty
4. Mengidentifikasi ketidaktepatan pembayaran dan
mengklasifikasikan kredit bermasalah secara tepat waktu
5. Menangani dengan cepat kredit bermasalah.
Bank juga harus melakukan pemantauan eksposur risiko kredit
dibandingkan dengan limit risiko kredit yang telah ditetapkan, antara lain
dengan menggunakan kolektibilitas atau internal risk rating. Pemantauan
eksposur kredit tersebut harus dilakukan secara berkala dan terus
menerus oleh Satuan Kerja Manajemen Risiko dengan cara
membandingkan risiko kredit aktual dengan limit risiko yang ditetapkan.
Untuk keperluan pemantauan eksposur risiko kredit, Satuan Kerja
Manajemen Risiko harus menyusun laporan mengenai perkembangan
risiko kredit secara berkala, termasuk faktor-faktor penyebabnya, yang
Prinsip pokok dalam penggunaan internal risk rating adalah sebagai
berikut:
1. Prosedur penggunaan sistem internal risk rating harus
diinformasikan dan didokumentasikan
2. Sistem ini harus dapat mengidentifikasi secara dini perubahan profil
risiko yang disebabkan oleh penurunan potensialmaupun akrual dari
risiko kredit
3. Sistem internal risk rating harus dievaluasi secara berkala oleh pihak
yang independen terhadap satuan kerja yang mengaplikasikan
interna risk rating tersebut
4. Apabila Bank menerapkan internal risk rating untuk menentukan
kualitas aset dan besarnya provisi, harus terdapat prosedur formal
yang memastikan bahwa penetapan kualitas aset dan provisi dengan
internal rating adalah lebih prudent atau sama dengan ketentuan
yang berlaku
5. Laporan yang dihasilkan oleh internal risk rating, seperti laporan
kondisi portofolio kredit disampaikan secara berkala kepada Direksi.
D. Sistem Informasi Manajemen Risiko
Dalam rangka meningkatkan efektivitas proses pengukuran risiko
kredit, bank harus memiliki sistem informasi manajemen yang
menyediakan laporan dan data secara akurat dan tepat waktu untuk
Sistem informasi manajemen tersebut juga harus menghasilkan
laporan atau informasi dalam rangka pemantauan eksposur aktual
terhadap limit yang ditetapkan dan pelampauan eksposur limit risiko
yang perlu mendapat perhatian dari direksi.
Sistem informasi manajemen juga harus menyediakan dara secara
akurat dan tepat waktu mengenai jumlah seluruh eksposur kredit
peminjam individual dan counterparties, portofolio kredit serta laporan
pengecualian limit risiko kredit. Bank harus memiliki sistem informasi
yang memungkinkan Direksi untuk mengidentifikasi adanya konsentrasi
risiko dalam portofolio kreditnya.
E. Pengendalian Risiko
Bank harus menetapkan suatu sistem penilaian (internal credit
reviews) yang independen dan berkelanjutan terhadap efektivitas
penerapan proses manajemen risiko kredit. Kaji ulang tersebut
sekurang-kurangnya memuat evaluasi proses administrasi perkreditan, penilaian
terhadap akurasi penerapan internal risk rating, dan efektivitas
pelaksanaan satuan kerja yang melakukan pemantauan kualitas kredit
individual.Kaji ulang tersebut harus dilakukan oleh satuan kerja yang
independen terhadap satuan kerja yang melakukan transaksi risiko kredit.
Bank harus memastikan bahwa satuan kerja perkreditan dan
transaksi risiko kredit lainnya telah dikelola secara memadai dan
eksposur risiko kredit tetap konsisten dengan limit yang ditetapkan dan
menerapkan pengendalian intern untuk memastikan bahwa
penyimpangan terhadap kebijakan, prosedur, dan limit telah dilaporkan
tepat waktu kepada Direksi atau pejabat terkait untuk keperluan tindakan
perbaikan. Dan bank harus memiliki prosedur pengelolaan penanganan
kredit bermasalah termasuk sistem deteksi kredit bermasalah secara
tertulis dan menerapkannya secara efektif.
2.1.2. Penerapan Audit Internal
Pengertian Audit Internal
Menurut Sukrisno Agoes (2004:221), internal audit (pemeriksaan intern)
adalah pemeriksaan yang dilakukan oleh bagian internal audit perusahaan,
baik terhadap laporan keuangan dan catatan akuntansi perusahaan, maupun
ketaatan terhadap kebijakan manajemen puncak yang telah ditentukan dan
ketaatan terhadap peraturan pemerintah dan ketenruan-ketentuan dari ikatan
profesi yang berlaku.
Menurut A Statement of Basic Auditing Concept (ASOBAC) dalam Halim
(2001:1) audit internal adalah:
“Suatu proses sistematik untuk menghimpun dan mengevaluasi bukti-bukti
secara obyektif mengenai asersi-asersi tentang tindakan dan kejadian ekonomi
untuk menentukan tingkat asersi-asersi tersebut dengan kriteria yang telah
ditentukan dan menyampaikan hasilnya kepada para pemakai yang
Laporan keuangan terdiri dari asersi manajemen yang merupakan hal
penting sebagai pedoman auditor lainnya dalam pengumpulan bukti audit.
Auditing Standard Boards (ASB) mengakui 5 kategori asersi laporan
keuangan sebagai berikut:
a. Keberadaan atau Keterjadian (Existence or Occurence)
Berkaitan dengan apakah aktiva atau kewajiban entitas benar-benar ada pada
tanggal tertentu dan transaksi yang dicatat benar-benar telah terjadi selama
periode tertentu.
b. Kelengkapan (Completeness)
Berkaitan dengan apakah semua transaksi dan akun yang harus diajukan
dalam laporan keuangan benar-benar telah dicantumkan.
c. Hak dan Kewajiban (Right and Obligation)
Berkaitan dengan apakah aktiva merupakan hak entitas dan utang merupakan
kewajiban perusahaan pada tanggal tertentu.
d. Penilaian atau Alokasi (Valuation or Allocation)
Berkaitan dengan apakah komponen aktiva, kewajiban, pendapatan dan beban
telah dicantumkan dalam laporan keuangan dengan jumlah yang semestinya.
e. Penyajian dan Pengungkapan (Presantation and Discloure)
Berkaitan dengan apakah komponen tertentu laporan keuangan telah
Menurut Boynton (2003:6) bahwa audit dapat diklasifikasikan berdasarkan
tujuan dilaksanakannya audit. Dalam hal ini tipe audit terbagi dalam tiga
kategori, yaitu:
a. Financial Statement Audit
Audit laporan keuangan merupakan penilaian atas suatu perusahaan atau
badan hukum lainnya sehingga dapat dihasilkan pendapat yang independen
tentang laporan keuangan yang relevan, akurat, lengkap dan disajikan secara
wajar.
b. Compliance Audit
Audit kepatuhan mencangkup menghimpun dan mengevaluasi bukti dengan
tujuan untuk menentukan apakah kegiatan financial maupun operasi tertentu
dari suatu entitas sesuai dengan kondisi, aturan, dan regulasi yang telah
ditentukan.
c. Operational Audit
Audit operasional meliputi penghimpunan dan pengevaluasian bukti mengenai
kegiatan operasional organisasi dalam hubungannya dengan tujuan pencapaian
efisiensi, efektivitas, maupun keekonomisan operasional.
Dalam melaksanakan suatu audit, pada umumnya jenis auditor dibedakan atas:
a. Auditor Independen adalah auditor yang melakukan fungsi pengauditan
atas laporan keuangan yang diterbitkan oleh perusahaan. Biasanya
terdapat pada Kantor Akuntan Publik (KAP) yang pada umumnya
b. Auditor Internal adalah auditor yang bekerja pada suatu perusahaan dan
oleh karenanya berstatus pegawai pada perusahaan tersebut. Tugas
utamanya ditujukan untuk membantu manajemen perusahaan tempat
dimana ia bekerja.
c. Auditor Pemerintah biasanya terdapat dibeberapa lembaga ataupun
badan yang bertanggung jawab secara fungsional atas pengawasan
terhadap kekayaan/ keuangan negara. Diantaranya, Badan Pengawas
Keuangan dan Pengembangan (BPKP) dan Inspektorat Jendral (Itjen)
pada Departemen Pemerintah.
Tujuan dan Fungsi Audit Internal
Menurut Sukrisno Agoes (2004:222), tujuan pemeriksaan yang dilakukan oleh
internal auditor adalah membantu semua pimpinan perusahaan (manajemen)
dalam melaksanakan tanggungjawabnya dengan memberikan analisa,
penilaian, saran dan komentar mengenai kegiatan yang diperiksanya. Untuk
mencapai tujuan tersebut, internal auditor harus melakukan kegiatan-kegiatan
berikut:
a. Menelaah dan menilai kebaikan, memadai tidaknya dan penerapan dari
sistem pengendalian manajemen, pengendalian intern dan pengendalian
operasional lainnya serta mengembangkan pengendalian yang efektif
dengan biaya yang tidak terlalu mahal.
b. Memastikan ketaatan terhadap kebijakan, rencana dan prosedur-prosedur
c. Memastikan seberapa jauh harta perusahaan dipertanggungjawabkan dan
dilindungi dari kemungkinan terjadinya segala bentuk pencurian,
kecurangan dan penyalahgunaan.
d. Memastikan bahwa pengelolaan data yang dikembangkan dalam
organisasi dapat dipercaya.
e. Menilai mutu pekerjaan setiap bagian dalam melaksanakan tugas yang
diberikan oleh manajemen.
f. Menyarankan perbaikan-perbaikan operasional dalam rangka
meningkatkan efisiensi dan efektifitas.
Ikatan Akuntan Indonesia telah menetapkan dan mengesahkan standar
auditing sebagai berikut:
a. Standar Umum Internal Auditor
1. Internal auditor harus memiliki keahlian dan pelatihan teknis yang
cukup sebagai auditor sehingga hasil kerjanya handal dan dapat
dipercaya.
2. Dalam semua hal yang berhubungan dengan penugasan, independensi
dalam sikap mental harus dipertahankan.
3. Dalam pelaksanaan audit dan penyusunan laporannya, audit wajib
menggunakan kemahiran profesionalnya dengan cermat dan seksama.
b. Standar Pelaksanaan Tugas
4. Pekerjaan harus direncanakan sebaik-baiknya dan jika digunakan asisten
5. Pemahaman yang memadai atas struktur pengendalian internal harus
diperoleh untuk merencanakan audit dan menentukan sifat, saat dan
lingkup pengujian yang akan dilakukan.
6. Bukti audit kompeten yang cukup harus diperoleh melalui inspeksi,
pengamatan, pengajuan pertanyaan, dan konfirmasi sebagai dasar yang
memadai untuk menyatakan pendapat atas laporan keuangan.
c. Standar Pelaporan
7. Laporan audit harus menyatakan bahwa laporan keuangan yang disusun
sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum.
8. Laporan audit harus menunjukkan keadaan yang didalamnya prinsip
akuntansi tidak secara konsisten diterapkan dalam penyusunan laporan
keuangan periode berjalan dalam hubungannya dengan prinsip akuntansi
yang diterapkan dalam periode sebelumnya.
9. Pengungkapan informatif dalam laporan keuangan harus dipandang
memadai.
10.Laporan audit harus memuat suatu pernyataan pendapat mengenai laporan
keuangan secara keseluruhan.
Fungsi dan Ruang Lingkup Audit Internal
Fungsi audit internal adalah sebagai alat bantu bagi manajemen untuk
menilai efisien dan keefektifan pelaksanaan struktur pengendalian intern
memberi nilai tambah bagi manajemen yang akan dijadikan landasan
mengambil keputusan atau tindak selanjutnya.
Ruang Lingkup audit internal menurut The Institute of Internal Auditors
(IIA) yang dikutip oleh Boynton (2001:983) Ruang lingkup audit internal
harus mencakup kecukupan dan efektivitas sistem kinerja organisasi dalam
melaksanakan tanggung jawab yang ditugaskan: 1. keandalan dan menyokong
informasi; 2. sesuai dengan kebijakan, rencana, prosedur, hukum, peraturan
dan kontak; 3. pengamanan aktiva; 4. penggunaan sumber daya yang
ekonomis dan efisien; 5. tercapainya target yang ditetapkan dan tujuan
program operasi.
Untuk melaksanakan tugasnya, auditor internal mempunyai batasan
ruang lingkup pekerjaan yang akan dilaksanakan, oleh sebab itu menurut
Cashin (1997) dalam Firdaus (2006) mengemukakan ruang lingkup audit
internal sebagai berikut:
1. Kepatuhan (compliance)
Merupakan salah satu unsur audit internal yang bertujuan untuk menentukan
dan mengawasi apakah pelaksanaan aktivitas perusahaan telah dilaksanakan
sesuai dengan kebijakan dan prosedur yang telah ditetapkan perusahaan.
2. Verifikasi (verification)
Verifikasi merupakan aktivitas pemeriksaan terhadap dokumen, catatan dan
laporan apakah hal-hal tersebut telah mencerminkan keadaan yang
sebenarnya. Umumnya verifikasi dilakukan atas:
b. Aktiva, Hutang serta modal dan hasil operasi perusahaan.
3. Evaluasi (evaluation)
Kegiatan ini merupakan tanggung jawab internal auditor yang paling penting
dan paling sulit diukur hasilnya. Evaluasi mencakup dua fungsi, yaitu
penilaian terhadap pelaksanaan dari berbagai tingkat manajemen dan penilaian
terhadap pengendalian internal yang berjalan dalam perusahaanya.
2.1.3 Keputusan Pemberian Kredit
Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar dengan adanya istilah
kredit, baik itu kredit rumah, kredit usaha, kredit modal kerja, kartu kredit dan
sebagainya. Kredit tersebut dapat diartikan sebagai penundaan pembayaran
oleh pihak yang penerimaan uang atau suatu barang kepada pihak yang
memberikan uang atau barang tersebut dengan perjanjian telah disepakati
sebelumnya.Kredit dalam neraca bank merupakan penggunaan dana, namun
bagi perusahaan kredit merupakan suatu bantuan dari pihak bank sebagai
sumber dana.
Menurut Moh. Tjoekam (1991:1), kata “kredit” berasal dari bahasa Latin
yaitu credere yang berarti percaya atau to believe atau to trust. Menurut
undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, Pasal 1 angka 11, kredit
adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Kredit yang diberikan oleh bank ataupun lembaga penyalur kredit lainnya
didasarkan oellh kepercayaan, sehingga pemberian kredit akan diberikan bila
benar-benar diyakini bahwa calon peminjam dapat mengembalikan
kepercayaan tersebut tepat waktu dan syarat-syarat lain yang disepakati antara
peminjam dan kreditor. Dengan demikian, kredit memiliki beberapa unsur,
yaitu:
a. Kepercayaan, adalah keyakinan dari kreditur bahwa kepercayaan yang
diberikan baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa akan benar-benar
diterima kembali dalam jangka waktu tertentu dimasa yang akan datang.
Dalam hal ini, terdapat keterlibatan dua pihak, yaitu pemberi kredit
(kreditur) dan penerima kredit (debitur).
b. Waktu, adalah suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi
dengan kontraprestasi yang akan diterima dimasa mendatang. Dalam hal
unsur waktu ini, terdapat pengertian nilai uang, bahwa uang yang ada pada
saat ini lebih tinggi dari yang akan diterima dimasa yang akan datang.
c. Risiko, adalah suatu tingkat risiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari
adanya jangka waktu yang memisahkan prestasi dengan kontraprestasi
yang akan diterima dikemudian hari. Semakin lama kredit diberikan,
semakin besar tingkat risikonya. Hal ini karena adanya unsur
ketidakpastian dimasa mendatang, yang akan menyebabkan munculnya
d. Prestasi, adalah objek kredit yang dalam praktiknya tidak hanya berbentuk
uang tetapi juga dapat berbentuk barang dan jasa. Namun dikarenakan
kehidupan saat ini tidak terlepas dari adanya uang, maka
transaksi-transaksi kredit yang menyangkut uang yang sering kita jumpai dalam
perkreditan.
e. Adanya unsur bunga atau margin sebagai kompensasi bagi pemberi kredit
merupakan perhitungan atas beberapa komponen seperti biaya modal (cost
of fund), biaya umum (overhead cost), biaya atau premi risiko dan
lain-lain.
Dalam pemberian kredit, unsur kepercayaan tidak terbatas pada
penerima kredit, tetapi terjaganya kepercayaan akan kejujuran dan
kemampuan dalam mengembalikan pinjaman itu tepat pada waktunya. Oleh
karena itu, seseorang atau perusahaan yang akan menentukan kredit harus
mempunyai kredibilitas atau kelayakan seseorang untuk memperoleh kredit.
Kredibilitas tersebut harus memenuhi lima syarat yang biasa dikenal dengan
istilah 5C’s principles yaitu:
a. Character
Bahwa calon nasabah debitur mempunyai watak, moral, dan sifat-sifat
pribadi yang baik. Penilaian terhadap karakter ini dilakukan untuk
mengetahui tingkat kejujuran, integritas, dan kemauan dari calon
ini dapat diperoleh bank melalui riwayat hidup, riwayat usaha, dan
informasi dari usaha-usaha sejenis.
b. Capacity
Kemampuan calon nasabah debitur untuk mengelola jegiatan usahanya
dan mampu melihat prospek masa depan, sehingga usahanya dapat
memberikan keuntungan yang menjamin bahwa ia mampu melunasi
utang kreditnya dalam jumlah dan jangka waktu yang telah ditentukan.
Pengukuran kemampuan ini dapat dilakukan dengan berbagai
pendekatan, misalnya pendekatan materiil, yaitu melakukan penilaian
terhadap keadaan neraca, laporan laba rugi, dan arus kas (cash flow)
usaha dari beberapa tahun terakhir. Melalui pendekatan ini, tentu dapat
diketahui pula mengenai tingkat solvabilitas, likuiditas dan rentabilitas
usaha serta tingkat risikonya. Pada dasarnya untuk menilai capacity
seseorang didasarkan pada pengalamannya di dunia bisnis yang
dihubungkan dengan pendidikan dari calon nasabah debitur, serta
kemampuan dan keunggulan perusahaan dalam melakukan persaingan
usaha dengan pesaing lainnya.
c. Capital
Analisis modal untuk dapat menggambarkan capital structure, analisis
ini tidaklah hanya melihat besar atau kecilnya modal, akan tetapi
difokuskan bagaimana distribusi modal ditempatkan oleh peminjam
Modal dapat terdiri dari modal saham, pinjaman bank, pinjaman pihak
ketiga lainnya.
d. Collateral
Collateral adalah jaminan untuk persetujuan pemberian kredit yang
merupakan saran pengaman (back-up) atas risiko yang mungkin terjadi
atas debitur dikemudian hari, misalnya terjadi kredit macet. Jaminan ini
diharapkan mampu melunasi sisa utang kredit, baik utang pokok
maupun bunganya.
e. Condition of Economy
Bahwa dalam pemberian kredit oleh bank, kondisi ekonomi secara
umum dan kondisi sektor usaha pemohan kredit perlu memperoleh
perhatian dari bank untuk memperkecil risiko yang mungkin terjadi
yang diakibatkan oleh kondisi ekonomi tersebut.
Selain konsep atau prinsip 5C diatas, dalam prakteknya bank juga
menerapkan dasar penilaian lain yang disebut dengan 5P’s principles
yaitu:
a. Personality
Bank mencari data mengenai kepribadian calon debitur seperti
riwayat hidup, hobi, pengalaman berbisnis, social standing, dan lain
sebagainya. Hal ini ditentukan untuk persetujuan kredit yang
diajukan oleh debitur.
Selain mengenal kepribadian (personality) dari calon debitur, bank
juga harus mencari data mengenai tujuan atau penggunaan kredit
tersebut sesuai line of business kredit bank yang bersangkutan.
c. Prospect
Dalam hal ini, bank harus melakukan analisis dengan cermat
mengenai bentuk usaha yang akan dilakukan oleh pemohon kredit
apakah mempunyai prospek dikemudian hari ditinjau dari aspek
ekonomi dan kebutuhan masyarakat.
d. Payment
Bahwa dalam penyaluran kredit, bank harus mengetahui dengan jelas
mengenai kemampuan dari pemohon kredit untuk melunasi utang
kredit dalam jumlah dan jangka waktu yang telah disepakati.
e. Party
Bank perlu menggolongkan calon debiturnya menjadi beberapa
golongan menurut character, capacity dan capital. Penggolongan ini
akan memberikan arah analisis bagaimana harus bersikap.
Selain konsep atau prinsip 5C dan 5P diatas, bank juga menerapkan
dasar penilaian lain yang sering disebut 3R yaitu:
a. Returns
Penilaian atas hasil yang akan dicapai oleh debitur setelah
menutupi pinjaman serta sekaligus memungkinkan pula usahanya
untuk berkembang.
b. Repayment
Suatu perhitungan terhadap kemampuan dan jadwal serta jangka
waktu pengembalian kredit.
c. Risk Bearing Activity
Sampai sejauh mana ketahanan debitur untuk menanggung risiko
kegagalan apalagi menanggung suatu hal yang tidak diinginkan.
Dalam hal ini, termasuk kemampuan bank menanggung risiko
sebagai kreditur, apabila terjadi hal-hal yang tidak diinginkan dengan
cara meminta collelateral dari debitur.
Kebijakan perkreditan (loan policy) menurut Hampel dan Simpson
(1991) dalam Putri (2010:35) adalah:
“The policy should in turn reflect the bank’s lending philosopy and culture, indicating prorities, specifying prosedures and means of monitoring lending activity. Loan policy should obtain three result:
1. Produce sound and collectible loan
2. Provide profitable investment of bank funds
3. Encourage extension of credit that meet the legitimate needs of the bank’s
Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa kebijakan kredit adalah
kemampuan bank dalam menyalurkan kredit kepada debitur yang dapat
menimbulkan keuntungan bagi bank itu sendiri. Pelaksanaan kredit
mempunyai berbagai masalah yang cukup sulit sehingga diperlukan
peraturan-peraturan baik secara tertulis maupun tidak tertulis dalam
pelaksanaan kredit berlangsung, dalam penetapan kebijakan kredit perlu
a. Azas Likuiditas
Azas yang mengharuskan bank untuk tetap dapat menjaga
likuiditasnya, karena suatu bank yang rasio likuiditasnya rendah
akan berdampak pada hilangnya kepercayaan nasbahanya sendiri.
b. Azas Solvabilitas
Usaha pokok perbankan yaitu menerima simpanan dana dari
masyarakat dan disalurkan dalam bentuk kredit.
c. Azas Rentabilitas
Bank mengharapkan untuk memperoleh laba dari aktivitas usahanya.
Laba diperoleh dari perkreditan selisih antara pendapatan dana dengan
biaya dana.
Berdasarkan uraian diatas, tujuan dari penetapan kebijakan kredit
menurut Muljono (2001:20) yaitu:
a. Untuk penyediaan saran penjagaan atau pengamatan terhadap set bank
dan dana yang disimpan oleh para deposan secara memadai,
maksudnya agar dana yang telah ditanamkan ke dalam bank tersebut
dapat dikembangkan hingga dapat memperoleh reurn yang optimal.
b. Sebagai dasar pedoman kerja dalam menghadapi perkembanngan
perekonomian khususnya yang menyangkut kegiatan perbankan,
maksudnya sebagai unit perekonomian sudah tentu tidak dapat
melepaskan diri dari setiap perkembangan yang terjadi pada kegiatan
c. Sebagai pedoman bagi para pejabat kredit bank dalam menyelesaikan
tugasnya.
d. Sebagai dasar untuk melaksanakan pengawasan, karena policy
merupakan decision made in advance yaitu sebagai tolak ukur dari
apa-apa yang harus dilaksanakan oleh para petugas dilapangan.
Menurut Kasmir (2014) Aspek-aspek yang perlu diperhatikan
menyangkut calon debitur adalah:
a. Aspek Hukum (Yuridis)
Dalam aspek ini yang dinilai adalah masalah legalitas badan usaha
serta izin-izin yang dimiliki perusahaan yang mengajukan kredit.
Penilaian dimulai dengan akte pendirian perusahaan sehingga dapat
diketahui siapa pemiliknya dan besarnya modal masing-masing
pemilik.
b. Aspek Pemasaran
Dalam aspek ini yang dinilai adalah permintaan terhadap produk
yang dihasilkan sekarang ini dan dimasa yang akan datang
prospeknya bagaimana.
c. Aspek Teknis/Operasi
Penilaian mengenai keteknisan meliputi segi teknik fisik dari
perusahaan calon debitur dimana sasarannya adalah untuk
baik itu kualitas, jumlah kapasitas, ukuran maupun kepentingan
kalkulasi biaya atau kebutuhan modal kerja perusahaan.
d. Aspek Keuangan
Aspek yang dinilai adalah sumber-sumber dana yang dimiliki untuk
membiayai usahanya dan bagaimana penggunaan dana tersebut.
e. Aspek Sosial Ekonomi
Aspek ini menganalisis dampaknya terhadap perekonomian dan
masyarakat umum.
Menurut Putri (2010:45) ketentuan-ketentuan batas maksimum fasilitas
kredit yang akan diperkenankan diberikan kepada satu debitur atau
kelompok debitur adalah sebagai berikut:
a. Batas Maksimum Pemberian Kredit oleh Bank kepada nasabahnya
adalah:
1. 20% dari modal sendiri bagi satu debitur
2. 50% dari modal sendiri bank bagi debitur grup dengan prinsipnya
bahwa kredit yang diberikan kepada satu anggota grup tidak boleh
lebih dari 20% dan untuk anggota grup tidak boleh 50%.
3. Ketentuan ini berlaku pula bagi cabang bank yang bersangkutan
yang beroperasi di luar negeri.
b. Pemberian fasilitas kredit kepada perusahaan yang sebagian
1. Perusahaan yang kepemilikannya 50% atau lebih dimiliki bank,
batas maksimum kredit adalah 10% dari penyertaan bank pada
perusahaan yang bersangkutan.
2. Perusahaan yang kepemilikannya kurang dari 50% dimiliki oleh
bank batas maksimum kredit adalah 20% dari modal sendiri bank.
3. Batas maksimum kredit untuk seluruh perusahaan sebagaimana
dimaksud diatas adalah 50% dari modal sendiri bank.
c. Bank diperkenankan pula memberikan kredit kepada:
1. Anggota direksi dan pegawai dengan maksimum sebesar
kemampuan pengembalian dari pendapatan yang berasal dari bank
yang bersangkutan.
2. Anggota komisaris yang bukan pemegang saham dengan maksimal:
a. 5% dari modal sendiri bank bagi individu atau perusahaan yang
dimilikinya.
b. 15% dari modal sendiri bank bagi komisaris yang bersangkutan
beserta grup perusahaan yang dimilikinya.
3. Pemegang saham dengan maksimal:
a. 10% dari jumlah penyertaannya bagi bank pemegang saham
atau bagi perusahaan yang dimilikinya.
b. 25% dari penyertaannya pada bank dalam hal kredit kepada
pemegang saham beserta grup perusahaan yang dimilikinya.
a. Jangka waktu (maturity)
Penggolongan kredit menurut jangka waktu dapat dibedakan:
1. Kredit jangka pendek (short-term loan)
Kredit jangka pendek adalah kredit yang jangka waktu
pengembaliannya kurang dari satu tahun. Kredit ini biasanya
untuk membiayai kelancaran operasi perusahaan seperti kredit
modal kerja.
2. Kredit jangka menengah (medium-term loan)
Kredit jangka menengah adalah kredit yang jangka waktu
pengembaliannya 1 s/d 3 tahun. Biasanya kredit ini untuk
menambah modal kerja misalnya untuk membiayai pengadaan
bahan baku. Kredit jangka menengah juga dapat pula dalam
bentuk kredit investasi.
3. Kredit jangka panjang (long-term loan)
Kredit jangka panjang adalah kredit yang jangka waktu
pengembaliannya melebihi 3 tahun. Kredit ini biasanya untuk
membiayai sutu proyek, perluasan usaha atau rehabilitasi.
b. Bentuk Jaminan (Collateral)
Dilihat dari barang jaminan, kredit dapat dibedakan:
1. Kredit dengan jaminan (secured loan)
c. Segmen Usaha
Sektor industri yang dibiayai oleh bank biasanya dibagi lagi menjadi
segmen-segmen usaha lainnya seperti: perdagangan, otomotif,
farmasi, tekstil dan lain-lain.
d. Tujuan Kredit
Kredit dapat dibedakan menurut tujuannya yaitu:
1. Kredit Komersil (commercial loan)
Kredit yagn diberikan untuk memperlancar kegiatan usaha
nasabah dibidang perdagangan. Kredit komersil meliputi antara
lain: kredit leveransir, kredit untuk usaha pertokoan, kredit ekspor
dan lain sebagainya.
2. Kredit Konsumtif (consumer loan)
Kredit yang diberikan oleh bank untuk memenuhi kebutuhan
debitur yang bersifat konsumtif. Kredit ini biasanya meliputi
kredit membeli barang atau kebutuhan lainnya seperti kredit
properti, kredit motor, kredit mobil dan lain sebagainya.
3. Kredit Produktif
Kredit yang diberikan oelh bank dalam rangka membiayai
kebutuhan modal kerja debitur sehingga dapat memperlancar
produksi misalnya pembelian bahan baku, pembayaran upah,
biaya pengepakan, biaya pemasaran dan lain sebagainya.
e. Penggunaan Kredit
1. Kredit Modal Kerja
Kredit Modal Kerja adalah kredit yang diberikan oleh bank untuk
menambah modal kerja debitur.
2. Kredit Investasi
Kredit Investasi adalah kredit yang diberikan bank kepada debitur
untuk digunakan melakukan investasi dengan membeli
2.2 Tinjauan Penelitian Terdahulu
Penelitian ini merupakan replikasi penelitian dari Putri (2010). Perbedaan
penelitian ini dengan penelitian sebelumnya terdapat pada objek penelitiannya.
Peneliti sebelumnya melakukan penelitian pada perusahaan perbankan yang
berada di wilayah Tangerang dan DKI Jakarta sedangkan Penulis melakukan
penelitian pada perusahaan perbankan yang berada di Kota Medan.
Hasil penelitian Putri (2010) menemukan hasil yaitu penerapan
manajemen risiko perbankan berpengaruh positif signifikan terhadap kebijakan
pemberian kredit dan Penerapan audit internal berpengaruh negatif terhadap
kebijakan pemberian kredit kredit pada perusahaan perbankan yang berada di
wilayah Tangeramg dan DKI Jakarta.
Nama Peneliti
Judul Penelitian Variabel yang Digunakan
2.3 Kerangka Konseptual dan Hipotesis
2.3.1 Kerangka Konseptual
Untuk memperjelas dan mempermudah pemahaman penelitian, maka perlu
dijelaskan suatu kerangka konseptual sebagai landasan dalam pemahaman.
Kerangka Konseptual adalah penjelasan tentang hubungan antar variabel
yang disusun dari berbagai teori yang telah dideskripsikan. Berdasarkan latar
belakang, tinjauan teoritis dan penelitian terdahulu maka kerangka konseptual
dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Dalam ketentuan yang dikeluarkan Bank Indonesia telah ditetapkan
Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan Bank yang merupakan paduan
bagi bank dalam menyusun kebijakan perkreditannya, yang
sekurang-kurangnya mengatur hal-hal pokok mengenai prinsip kehati-hatian dalam
perkreditan, organisasi dan manajemen perkreditan, kebijakan persetujuan Gambar 2.1
Variabel Independen Variabel Dependen
Audit Internal Manajemen Risiko
kredit, dokumentasi atau administrasi kredit dan pengawasan terhadap kredit
bermasalah. Oleh karena itu, bank diwajibkan memiliki standar yang jelas
dan tegas dengan mengandung unsur pengawasan internal pada semua
tahapan dalam pemberian kredit. Sehingga bank akan bertanggung jawab
dalam melaksanakan perkreditan yang telah dibuatnya sendiri, yang
merupakan ketentuan internal bagi bank sendiri (self regulation).
Penerapan Manajemen risiko dalam Tampubolon (2004) memiliki tujuan
untuk memproteksi aset dan laba sebuah organisasi demgam menguragi
potensi kerugian sebelum hal tersebut terjadi. Manajemen risiko dalam
keputusan pemberian kredit dapat mengukur dan mengawasi risiko yang
timbul dari risiko kredit, kontrol sistem laporan dan kepatuhan terhadap
kebijakan dan prosedur yang berlaku.
Penerapan Audit internal menurut Eviyanti (2011) Audit internal tidak
hanya berperan sebagai pengawas dengan melakukan pemeriksaan tetapi
audit internal juga berperan sebagai konsultan dengan cara memberikan
rekomendasi berdasarkan fakta temuan dan memastikan audit internal dapat
melakukan tindak lanjut dari hasil temuan tersebut dalam hal ini menyangkut
bidang kredit.
2.3.2 Hipotesis
Hipotesis adalah pernyataan tentatif yang merupakan dugaan apa saja
yang sedang kita amati dalam usaha untuk memahamainya. Hipotesis
diambil berdasarkan latar belakang, tinjauan teoritis dan kerangka konseptual
adalah:
H1: Manajemen Risiko dan Audit Internal berpengaruh secara parsial
terhadap Keputusan Pemberian Kredit
H2: Manajemen Risiko dan Audit Internal berpengaruh secara simuktan