TINJAUAN PUSTAKA
Ekosistem Sungai
Ekosistem air yang terdapat di daratan secara umum dibagi atas 2 yaitu
perairan berarus tenang (lentik), misalnya danau, rawa, waduk, dan sebagainya,
serta perairan berarus deras (lotik), misalnya sungai, kali, kanal, parit, dan
sebagainya. Perbedaan utama antara perairan lotik dan lentik adalah dalam
kecepatan arus air. Perairan lentik mempunyai kekuatan arus yang lambat serta
terjadi akumulasi massa air dalam periode waktu yang lama, sedangkan perairan
lotik umumnya mempunyai kecepatan arus yang tinggi, disertai perpindahan
massa air yang berlangsung dengan cepat (Barus, 2004).
Sungai sebagai perairan lotik mempunyai zonasi longitudinal dimana pada
aliran air dapat dijumpai tingkat yang lebih tinggi dari hulu ke hilir. Sungai bagian
hulu dicirikan dengan badan sungai yang dangkal dan sempit, tebing curam dan
tinggi, berair jernih dan mengalir cepat serta mempunyai populasi (jenis maupun
jumlah) biota air sedikit. Sungai bagian hilir umumnya lebih lebar, tebingnya
curam atau landai, badan air dalam, keruh, aliran air lambat, dan populasi biota air
didalamnya termasuk banyak, tetapi jenisnya kurang bervariasi
(Kordi dan Tancung, 2007).
Sungai menjadi satu diantara beberapa ekosistem yang mengalami
pencemaran paling berat. Semua saluran pembuangan baik perumahan, pasar,
pabrik dan kegiatan lain seperti rumah makan, rumah sakit, semuanya berakhir di
bahan organik, yang beracun maupun tidak beracun. Hal tersebut dapat
mengakibatkan turunnya kualitas air di sungai (Rahman, 2008).
Kondisi umum Sungai Belawan
Daerah Aliran Sungai (DAS) Belawan merupakan Daerah Aliran Sungai
di Provinsi Sumatera Utara dengan luas 40,789.98 Ha. Daerah aliran Sungai
Belawan terbentang antara 3o15’49,83” s/d 3o50’38,89” garis Lintang Utara dan
meridian 98o29’58,56” s/d 98o43’21,76” Bujur Timur (Bpdaswu, 2012).
Secara administrasi DAS Belawan berada pada 2 Kabupaten/Kota yaitu
Kabupaten Deli Serdang seluas 38,029.30 Ha (93.23 %) dan Kota Medan seluas
2,760.69 Ha (6.77 %). (Pada data spasial sebagian kecil terdapat di Kabupaten
Langkat, namun dengan berbagai pertimbangan dileburkan ke Kabupaten Deli
Serdang) (Bpdaswu, 2012).
Plankton
Plankton adalah organisme atau makhluk hidup yang halus dan disebut
pula sebagai jasad-jasad renik yang melayang di dalam air. Istilah plankton dari
bahasa Yunani, yang artinya drifting, yaiu plankton hanya dapat melayang di
dalam kolom air, tidak bisa bergerak, dan hanya bergantung pada kecepatan arus.
Istilah plankton pertama kali dipakai oleh Hensen pada tahun 1987 dengan
menggambarkan organisme-organisme bersifat mikroskopik (Davis, 1955; Newell
& Newell, 1963 dalam Adnan, 2003).
Fitoplankton merupakan produsen primer yang mampu membentuk zat
penting dalam ekosistem air, karena kelompok ini mengandung klorofil yang
mampu melakukan fotosintesis. Proses fotosintesis pada ekosistem air dilakukan
oleh fitoplankton (produsen), yang merupakan sumber nutrisi utama bagi
kelompok organisma air lainnya yang berperan sebagai konsumen, dimulai
dengan zooplankton dan diikuti oleh kelompok organisma air lainnya yang
membentuk rantai makanan (Barus, 2004).
Berdasarkan ukurannya, plankton diklasifikasikan dalam beberapa
kelompok ukuran yaitu megaplankton (> 2 mm), makroplankton (0,2 mm-2 mm),
mikroplankton (20 µm-0,2 mm), nanoplankton (2 µm-20 µm), dan ultraplankton
(< 2 µm). Sedangkan berdasarkan daur hidupnya dibagi menjadi dua, yaitu
holoplankton (seluruh daur hidupnya bersifat planktonik) dan meroplankton
(sebagian dari daur hidupnya bersifat planktonik) (Widodo dan Suadi, 2006).
Pengukuran fitoplankton sangat penting dalam studi produktivitas
perairan, karena fitoplankton merupakan produsen primer yang memberikan
kontribusi terbesar terhadap produksi total di dalam ekosistem perairan. Adapun
zooplankton merupakan konsumer I yang berperan besar dalam menjembatani
transfer energi dari produsen primer (fitoplankton) ke jasad hidup yang berada
pada trophic level lebih tinggi (golongan ikan dan udang). Dengan demikian
keberadaan plankton sangat menentukan stabilitas ekosistem perairan
(Asriyana dan Yuliana, 2012).
Dinamika Plankton
Komunitas organisme sangat dinamis dimana populasi-populasi yang ada
atau variasi tersebut disebabkan karena adanya pengaruh faktor-faktor lingkungan.
Demikian halnya dengan plankton, yang mengalami perubahan dari waktu ke
waktu. Perubahan tersebut akan mencerminkan perkembangan komunitas secara
keseluruhan, seperti kelimpahan, keragaman, dan disitribusi fitoplankton.
Kelimpahan Plankton
Plankton merupakan satu diantara beberapa indikator untuk menilai
kesuburan perairan. Kandungan plankton dalam suatu perairan dapat digunakan
sebagai data pendukung serta pembanding, dan juga sebagai petunjuk untuk
menduga tempat-tempat bergerombolnya ikan yang berhubungan dengan
kandungan fitoplankton serta zat hara yang tinggi. Oleh karena itu, kandungan
plankton dalam suatu perairan diharapkan dapat memperkuat peran plankton
dalam pendugaan stok ikan di perairan tersebut, menjadi petunjuk terjadinya
pencemaran suatu perairan (Adnan, 2003).
Pertumbuhan, kelangsungan hidup dan produktivitas fitoplankton
dipengaruhi oleh berbagai faktor utama fisik dan kimia yaitu cahaya matahari dan
zat hara. Zat hara anorganik utama yang diperlukan fitoplankton untuk tumbuh
dan berkembang adalah nitrogen (dalam bentuk nitrat), fosfor (dalam bentuk
fosfat) dan silikon dalam bentuk silikat). Ketiga unsur ini sangat penting karena
merupakan faktor pembatas bagi produktivitas dan kelimpahan fitoplankton
(Nybakken, 1992).
Struktur komunitas plankton merupakan susunan individu dari beberapa
jenis atau spesies fitoplankton dan zooplankton yang terorganisir membentuk
tentang komunitas bersangkutan seperti indeks diversitas jenis dan kelimpahan.
Struktur komunitas dan kelimpahan plankton di suatu perairan dipengaruhi oleh
beberapa parameter lingkungan dan karakteristik fisiologinya. Sedangkan struktur
komunitas plankton ditentukan oleh keragaman atau komposisi jenis plankton
(fitoplankton dan zooplankton) yang ada. Populasi plankton dijumpai di seluruh
habitat akuatik, tetapi komposisi dan kelimpahannya bervariasi dan akan berubah
sebagai respon terhadap perubahan kondisi lingkungan baik fisik, kimia maupun
biologi. Faktor penunjang pertumbuhan plankton sangat kompleks dan saling
berinteraksi antara faktor fisika-kimia perairan antara lain intensitas cahaya,
oksigen terlarut, stratifikasi suhu dan ketersediaan unsur hara nitrogen dan fosfor,
sedangkan aspek biologi meliputi aktivitas pemangsaan oleh hewan, mortalitas
alami dan dekomposisi. Perubahan ukuran, jenis dan jumlah populasi plankton di
perairan dapat menggambarkan keadaan struktur komunitas perairan (Umar,
2010).
Lima kelompok besar fitoplankton yang hidup di perairan, yaitu
Cyanophyta (alga biru), Chlorophyta (alga hijau), Chrysophyta (alga kuning),
Pyrophyta dan Euglenophyta. Masing-masing organisme tersebut memiliki
tingkat respon yang berbeda terhadap kondisi lingkungan perairan. Produktivitas
fitoplankton dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan dan apabila faktor
lingkungan tidak mendukung dapat menyebabkan jumlah individu atau
kelimpahannya menurun (Asriyana dan Yuliana, 2012).
Komposisi dan kelimpahan fitoplankton pada suatu perairan sangat
berperan sebagai makanan alami pada tropik level diatasnya, juga berperan
dan buangan lumpur dapat menyebabkan tingkat kekeruhan yang sangat tinggi,
sehingga menyebabkan ketersediaan unsur hara yang tersebar tidak merata dan
penetrasi cahaya yang masuk ke dalam perairan akan berkurang dan sangat
mempengaruhi aktivitas fitoplankton dalam berfotosintesis (Wahyuni, 2010).
Penelitian tentang kandungan fitoplankton di berbagai perairan baik antar
wilayah perairan maupun antar perairan tertentu menunjukkan adanya keragaman
jumlah dan jenisnya. Meskipun lokasi relatif berdekatan dan berasal dari massa air
yang sama, namun berbagai faktor seperti angin, arus, suhu, salinitas, zat hara,
kedalaman perairan, dan pencampuran massa air menyebabkan adanya perbedaan
tersebut (Davis, 1955 dalam Yuliana dkk., 2012).
Kondisi perairan muara mempengaruhi jumlah spesies plankton yang
mendiami muara. Pada umumnya, jumlah spesies muara lebih sedikit daripada
yang mendiami habitat air tawar atau air laut dekatnya. Hal ini antara lain karena
ketidakmampuan organisme air tawar mentolerir kenaikan salinitas dan organisme
air laut mentoleriri penurunan salinitas estuaria (Rahman, 2008).
Distribusi Plankton
Berbeda dengan bentos yang hidupnya menancap atau melekat di dasar
laut dan hanya terdapat di sepanjang pantai yang dangkal, fitoplankton bisa
ditemukan di seluruh massa air mulai dari pemukaan sampai pada kedalaman
dengan intensitas cahaya yang masih memungkinkan terjadinya fotosintesis
(Nontji, 1993).
Sebaran plankton berdasarkan dimensi ruang dapat dibagi menjadi sebaran
tersebar merata melainkan hidup secara berkelompok, terutama lebih sering
dijumpai di perairan neritik (terutama perairan yang dipengaruhi oleh estuari)
daripada oseanik. Pengelompokkan fitoplankton secara garis besar dibedakan atas
pengaruh fisik dan pengaruh biologi. Pengaruh fisik dapat disebabkan oleh
turbulensi atau adveksi (pergerakan massa air yang besar yang mengandung
plankton didalamnya). Sedangkan pengaruh biologi terjadi apabila terdapat
perbedaan pertumbuhan antara laju pertumbuhan fitoplankton dan kecepatan
difusi untuk menjauhi kelompoknya.
Sebaran vertikal ditandai dengan berkumpulnya fitoplankton di zona
eufotik yaitu zona dengan intensitas cahaya yang masih memungkinkan terjadinya
fotosintesis. Dari hasil berbagai penelitian, ternyata sebaran vertikal plankton
tergantung dari berbagai faktor, antara lain intensitas cahaya, kepekaan terhadap
perubahan salinitas, arus, dan densitas air. Untuk fitoplankton, pengelompokkan
secara vertikal dipengaruhi pula oleh tersedianya nutrisi di permukaan air
(Arinardi dkk., 1997).
Penyebaran plankton di dalam air tidak sama pada kedalaman yang
berbeda. Tidak samanya penyebaran plankton dalam badan air disebabkan adanya
perbedaan suhu, kadar oksigen, intensitas cahaya, dan faktor-faktor abiotik
lainnya di kedalaman yang berbeda. Selain itu, kepadatan plankton pada suatu
badan air sering bervariasi antar lokasi. Pada lokasi bagian pinggir suatu badan air
kepadatan plankton biasanya lebih padat dibandingkan dengan bagian tengah
(Suin, 2002).
Distribusi zooplankton dan fitoplankton tidak merata karena fitoplankton
fitoplankton. Jumlah dan distribusi musiman plankton maupun zooplankton dapat
diketahui berdasarkan beberapa faktor pembatas (Barus, 2004).
Sebagaimana organisme lainnya, eksistensi dan kesuburan fitoplankton
didalam suatu ekosistem sangat ditentukan oleh interaksinya terhadap
faktor-faktor fisika, kimia, dan biologi. Tingginya kelimpahan fitoplankton pada suatu
perairan adalah akibat pemanfaatan nutrien, dan radiasi sinar matahari, disamping
suhu, dan pemangsaan oleh zooplankton. Hubungan antara komunitas
fitoplankton dengan perairan adalah positif. Bila kelimpahan fitoplankton di suatu
perairan tinggi, maka dapat diduga perairan tersebut memiliki produktivitas
perairan yang tinggi pula (Nontji, 1993).
Berubahnya fungsi perairan sering diakibatkan oleh adanya perubahan
struktur dan nilai kuantitatif plankton. Perubahan ini dapat disebabkan oleh
faktor-faktor yang berasal dari alam maupun dari aktivitas manusia seperti adanya
peningkatan signifikan konsentrasi unsur hara secara berlebihan, sehingga dapat
menimbulkan peningkatan nilai kuantitatif plankton melampaui batas normal yang
dapat ditolerir oleh organisme hidup lainnya. Kondisi ini dapat menimbulkan
dampak negatif berupa kematian massal organisme perairan akibat persaingan
penggunaan oksigen terlarut (Madinawati, 2010).
Dampak Aktivitas Manusia terhadap Kelimpahan Plankton
Perubahan iklim global berpengaruh sangat luas terhadap kondisi
ekosistem perairan. Meningkatnya suhu air sungai menyebabkan perpindahan
pergerakan zat hara dari dasar ke permukaan sehingga menimbulkan ledakan
fitoplankton yang bersifat racun (Adnan, dkk., 2010).
Perairan dikatakan blooming jika kepadatan salah satu jenis fitoplankton
mencapai jutaan individu/liter. Ambang batas dari fitoplankton dikatakan
blooming adalah 106 individu/L. Blooming atau ledakan populasi didefinisikan
sebagai suatu kejadian dimana satu atau beberapa spesies fitoplankton mencapai
suatu kepadatan tertentu yang dapat membahayakan organisme perairan, ataupun
mengakibatkan terjadinya akumulasi toksin dalam tubuh organisme, yang dapat
membahayakan organisme dalam trofik level yang lebih tinggi dan dapat
meracuni manusia sebagai konsumer (Andersen, 1996 dalam Asriyana dan
Yuliana, 2012).
Ditinjau dari aspek perikanan, plankton yang berfungsi sebagai makanan
ikan, dapat dijadikan sebagai indikator dari kesuburan suatu perairan. Semakin
tinggi kelimpahan fitoplankton maka kesuburan perairan tersebut juga semakin
tinggi sehingga dapat dikatakan bahwa, perikanan di perairan tersebut sangat
potensial. Meskipun demikian, pertumbuhan fitoplankton yang berlebihan di suatu
perairan justru dapat membahayakan sektor perikanan (Praseno dan Adnan, 1994
dalam Asriyana, dkk., 2012).
Didalam pembangunan, faktor sumber daya alam lingkungan, yaitu
sumber daya manusia dan alam tidak akan pernah lepas peranannya. Sebagai
contoh rusaknya lingkungan yang disebabkan oleh kegiatan penambangan pasir di
sekitar Sungai Brantas yaitu dapat menimbulkan bahaya erosi, saluran irigasi
tidak lancar, banjir dan lain sebagainya. Penambangan pasir tersebut merupakan
Brantas menurut Instruksi Gubernur Jawa Timur No. 36 Tahun 1994 yang
tertuang dalam pasal 1 angka (1) adalah dilarang. Apabila masih ada pihak yang
melakukan penambangan pasir di sekitar Sungai Brantas, maka penambangan
pasir tersebut adalah illegal. Dari keterangan beberapa saksi, dapat disimpulkan,
bahwa penambangan pasir di sekitar Sungai Brantas sangat membahayakan
ekosistem yang ada di sekitar aliran Sungai Brantas (Yudhistira, 2008).
Selain itu, Danau Laut Tawar yang terletak di Kota Takengon Kabupaten
Aceh Tengah juga telah dimanfaatkan dengan beberapa kegiatan aktivitas
manusia. Kegiatan tersebut antara lain sebagai lokasi penangkapan, budidaya
keramba jaring apung, dan pariwisata yang telah mengindikasikan terjadinya
degradasi sumberdaya, peningkatan unsur hara yang dapat meningkatkan
kesuburan perairan, serta terjadinya penurunan kualitas sumberdaya perairan.
Beban masukan dari kegiatan-kegiatan domestik, keramba jaring apung, kegiatan
pertanian baik langsung maupun tidak langsung telah berpengaruh terhadap
keberadaan organisme perairan khususnya fitoplankton sebagai organisme yang
peka terhadap perubahan kualitas air (Nurfadillah, dkk., 2012).
Hal ini juga terlihat di aliran Sungai Juwana yang terletak di Desa
Agungmulyo Kecamatan Juwana Kabupaten Pati, dari data kualitas kimia perairan
maka bagian hulu dan muara Sungai Juwana termasuk kedalam kriteria buruk.
Nilai indeks keanekaragaman dan keseragaman plankton di Sungai Juwana cukup
tinggi, sehingga menunjukkan cukup banyak plankton (khususnya fitoplankton)
yang diperoleh dengan pola sebaran yang merata. Tetapi apabila dilihat
kelimpahannya terjadi variasi yang tidak beraturan. Faktor penting yang
tinggi. Tetapi tingginya kandungan N dan P tersebut akan menyebabkan tingginya
laju pertumbuhan fitoplankton yang akan menyebabkan timbulnya red tide. Red
tide ini sangat berbahaya karena akan menurunkan tingkat kandungan oksigen
terlarut yang sangat dibutuhkan oleh organisme laut. Akibat yang timbul adalah
migrasi atau kematian dari sumberdaya perikanan yang ada, sehingga apabila
plankton yang tumbuh tersebut adalah plankton jenis berbahaya, maka akan
membahayakan masyarakat (Harsono, 2002).
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan plankton Parameter Fisika
Suhu
Suhu suatu badan air dipengaruhi oleh musim, lintang (latitude),
ketinggian dari permukaan laut (altitude), waktu dalam hari, sirkulasi udara,
penutupan awan, dan aliran serta kedalaman badan air. Perubahan suhu
berpengaruh terhadap proses fisika, kimia, dan biologi badan air. Suhu juga sangat
berperan mengembalikan kondisi ekosistem perairan. Organisme akuatik memiliki
kisaran suhu tertentu (batas atas dan bawah) yang disukai bagi pertumbuhannya.
Algae dari filum Chlorophyta dan diatom akan tumbuh dengan baik pada kisaran
suhu berturut-turut 30oC-35oC dan 20oC-30oC. Sedangkan filum Cyanophyta lebih
dapat bertoleransi terhadap kisaran suhu yang lebih tinggi dibandingkan dengan
Arus
Pada perairan lotik, arus mempunyai peranan yang sangat penting.
Umumnya kecepatan arus di perairan lotik relatif tinggi, bahkan mencapai 6 m/det
(Barus, 2004). Kecepatan arus air dari suatu badan air ikut menentukan
penyebaran organisme yang hidup di badan air tersebut. Penyebaran plankton,
baik fitoplankton maupun zooplankton, yang ditentukan oleh aliran air. Tingkah
laku hewan air juga ikut ditentukan oleh aliran air. Selain itu, aliran air juga ikut
berpengaruh terhadap kelarutan udara dan garam dalam air, sehingga secara tidak
langsung akan berpengaruh terhadap kehidupan organisme air (Suin, 2002).
Kecerahan dan kekeruhan
Kecerahan air tergantung pada warna dan kekeruhan. Kecerahan
merupakan ukuran transparansi perairan, yang ditentukan secara visual dengan
menggunakan secchi disk. Nilai ini sangat dipengaruhi oleh keadaan cuaca, waktu
pengukuran, kekeruhan, dan padatan tersuspensi, serta ketelitian orang yang
melakukan pengukuran. Pengukuran kecerahan sebaiknya dilakukan pada saat
cuaca cerah (Effendi, 2003).
Kekeruhan perairan sangat berpengaruh terhadap proses fotosintesa
fitoplankton, sehingga dapat menghambat pertumbuhannya dan juga berpengaruh
terhadap biota lainnya karena fitoplankton merupakan produktivitas primer suatu
siklus kehidupan di lingkungan perairan (Mukhtasor, 2007). Suatu studi
menjelaskan bahwa kecerahan air berkurang sampai 30% pada permukaan air dan
menjadi kurang dari 1% pada kedalaman 12 meter, karena adanya kekeruhan yang
Parameter Kimia pH
Nilai derajat keasaman (pH) suatu perairan mencirikan keseimbangan
antara asam dan basa dalam air dan merupakan pengukuran konsentrasi ion
hidrogen dalam larutan (Effendi, 2003). Organisme air dapat hidup dalam suatu
perairan yang mempunyai nilai pH netral dengan kisaran toleransi antara asam
lemah smpai basa lemah. Nilai pH yang ideal bagi kehidupan organisma air pada
umumnya terdapat antara 7 sampai 8,5. Kondisi perairan yang bersifat sangat
asam maupun sangat basa akan membahayakan kelangsungan hidup organisma
karena akan menyebabkan terjadinya gangguan metabolisme dan respirasi
(Barus, 2004).
Oksigen Terlarut
Oksigen merupakan faktor yang paling penting bagi organisme air. Semua
tumbuhan dan hewan yang hidup dalam air membutuhkan oksigen yang terlarut
untuk bernafas. Oksigen yang terlarut dalam air berasal dari udara dan hasil
fotosintesis tumbuh-tumbuhan yang ada dalam air. Oksigen dari udara terlarut
masuk dalam air karena adanya difusi langsung dan agitasi permukaan air oleh
angin dan arus turbulen (Suin, 2002)
Kelarutan oksigen dalam air sangat dipengaruhi oleh faktor suhu dan
jumlah garam terlarut dalam air. Sumber utama oksigen terlarut dalam air adalah
penyerapan oksigen dari udara melalui kontak antara permukaan air dengan udara
dari permukaan ke atmosfer dan melalui kegiatan respirasi dari semua organisme
air (Barus, 2004).
Fosfor dan Fosfat
Di perairan, unsur fosfor tidak ditemukan dalam bentuk bebas sebagai
elemen, melainkan dalam bentuk senyawa anorganik yang terlarut (ortofosfat dan
polifosfat) dan senyawa organik yang berupa partikulat. Fosfat merupakan bentuk
fosfor yang dapat dimanfaatkan oleh tumbuh-tumbuhan. Karakterikstik fosfor
sangat berbeda dengan unsur-unsur utama lain yang merupakan penyusun biosfer
karena unsur ini tidak terdapat di atmosfer. Fosfor juga merupakan unsur yang
esensial bagi tumbuhan tingkat tinggi dan algae, sehingga unsur ini menjadi faktor
pembatas bagi tumbuhan dan algae akuatik serta mempengaruhi tingkat
produktivitas perairan (Effendi, 2003)
Nitrat dan Nitrit
Nitrogen dan senyawanya tersebar secara luas dalam biosfer. Meskipun
ditemukan dalam jumlah yang melimpah di lapisan atmosfer, akan tetapi nitrogen
tidak dapat dimanfaatkan oleh makhluk hidup secara langsung. Nitrogen harus
mengalami fiksasi terlebih dahulu menjadi NH3, NH4, dan NO3. Meskupun
demikian, bakteri Azetobacter dan Clostridium serta beberapa jenis algae
hijau-biru (blue-green algae/ Cyanophyta), misalnya Anabaena, dapat memanfaatkan
gas N2 secara langsung dari udara sebagai sumber nitrogen (Effendi, 2003).
Mikroorganisme akan mengoksidasi ammonium menjadi nitirit dan
oksidasi ammonium menjadi nitrit dilakukan oleh bakteri Nitrosomonas.
Selanjutnya nitrit oleh aktivitas bakteri Nitrobacter akan dirombak menjadi nitrat,
yang merupakan produk akhir dari proses penguraian senyawa protein dan
diketahui sebagai senyawa yang kurang berbahaya jika dibandingkan ammonium/
amoniak atau nitrit. Kadar nitrat yang optimal untuk pertumbuhan fitoplankton
adalah 3,9 mg/l – 15,5 mg/l. Sementara nitrit merupakan senyawa toksik yang
dapat mematikan organisme air.
Ammonium dan Amoniak
Limbah domestik dari hasil penguraian bahan organik seperti lemak dan
protein dapat menimbulkan masalah dalam perairan yaitu zat amoniak (NH3) dan
ammonium (NH4+). Dari hasil penelitian diketahui bahwa kesetimbangan antara
ammonium dan amoniak di dalam air dapat dipengaruhi oleh nilai pH air (Baur,
1987; Berneff, 1982 diacu oleh Barus, 2004). Semakin tinggi nilai pH akan
menyebabkan keseimbangan antara ammonium dengan amoniak semakin
bergeser ke arah amoniak, artinya kenaikan pH akan meningkatkan konsentrasi