• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.1. Asal usul dan Pemaknaan Mangantar Dalam Perspektif Pastoral Budaya dan Konseling Multikultural - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mangantar: Menjembatani Proses Lamaran Menuju Pernikahan dalam Masyarakat Suku Lauje sebaga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "4.1. Asal usul dan Pemaknaan Mangantar Dalam Perspektif Pastoral Budaya dan Konseling Multikultural - Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Mangantar: Menjembatani Proses Lamaran Menuju Pernikahan dalam Masyarakat Suku Lauje sebaga"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

59 BAB IV

MANGANTAR DALAM PERSPEKTIF KONSELING MULTIKULTURAL, PASTORAL

BUDAYA DAN PENDAMPINGAN PRAPERNIKAHAN

Pada bab ini berisi pembahasan tentang kajian asal-usul, pemaknaan dan pelaksanaan

proses Mangantar sebagai suatu pendekatan pendekatan prapernikahan bagi masyarakat suku Lauje. Dari kajian mengenai asal-usul dan pemaknaan menghasilkan sebuah landasan filosofis,

sedangkan kajian tentang pelaksanaan menghasilkan nilai-nilai spiritual.

4.1. Asal usul dan Pemaknaan Mangantar Dalam Perspektif Pastoral Budaya dan

Konseling Multikultural

Kabupaten Tolitoli dikenal sebagai kabupaten yang memiliki banyak pendatang untuk

tinggal dan hidup di Tolitoli. Kedatangan mereka membuat penduduk Kabupaten Tolitoli terbagi

atas beberapa suku, misalnya: suku Bugis, Minahasa, Sangir, Kaili, Gorontalo, Poso, Toraja dan

Bali. Suku-suku pendatang ini hidup dengan cara dan budaya mereka sendiri. Dari pembagian

suku-suku tersebut tidak menutup ruang untuk suku asli Tolitoli tetap hidup dan

mempertahankan budaya mereka, karena setiap masyarakat pada suatu tempat atau daerah

tertentu memiliki yang namanya budaya dan masing-masing budaya itu memiliki keunikannya

sendiri, sehingga itulah yang membedakan budaya dari satu daerah dengan daerah lainnya.

Kebudayaan merupakan ciri dalam suatu masyarakat, karena dalam kebudayaan terdapat

nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat untuk melakukan interaksi sosial kepada masyarakat

lainnya. Sependapat dengan Kuntjaraningrat mengungkapkan bahwa masyarakat adalah

(2)

60

dan merasakan kebudayaan itu.1 Salah satu contohnya adalah masyarakat suku Lauje. Suku ini dikenal sebagai suku anak dalam yang ada di kabupaten Tolitoli dan masih mempertahankan

budaya serta keunikan mereka, sehingga melalui budaya yang ada terdapat nilai-nilai yang

menjadi pegangan mereka untuk menjalin interaksi dengan sesama. Sekalipun mereka harus

tinggal di hutan dengan keterbatasan tempat tinggal, mereka tetap hidup dan menjaga

kebudayaan. Itulah yang menjadikan mereka unik dan mempunyai ciri khas yang berbeda

dengan budaya lainnya.

Masyarakat suku Lauje memaknai tradisi Mangantar sebagai sesuatu yang sakral, yang tidak bisa dinodai oleh apapun juga. Mangantar artinya perempuan telah diikat oleh laki-laki dan wajib untuk dibiayai serta wajib bagi perempuan menjaga pergaulannya dengan teman lelaki

lainnya. Jika salah satu berlaku tidak setia, maka dikenakan denda adat yaitu bila laki-laki yang

berkhianat, maka semua proses dari pinangan sampai Mangantar dianggap batal. Bila perempuan yang berkhianat, maka harus mengembalikan dua kali lipat dari apa yang telah

diberikan oleh laki-laki. Proses ini menunjukkan betapa masyarakat suku Lauje menghargai dan

memegang teguh apa yang sudah mereka ciri khas mereka, sekalipun itu bertentangan dengan

kenyataan di jaman modern saat ini. Dalam melakukan konseling prapernikahan, konselor harus

memiliki kepekaan terhadap budaya,2 karena walaupun bertentangan proses konseling harus

tetap berjalan. Satu kesimpulan yang bisa diambil dalam proses ini adalah jika kita mau

menolong konseli, adat yang ada dalam budaya, bukanlah sesuatu yang penting untuk

dipertanyakan atau dipermasalahkan. Dari pemahaman seperti inilah yang menghasilkan sebuah

landasan filosofis yaitu Medunduluan atau gotong royong.

1

Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi I, 100.

2

(3)

61

Kehidupan masyarakat suku Lauje di dusun Kinapasan dapat digambarkan dengan

kuatnya solidaritas diantara mereka. Relasi yang terjalin dalam masyarakat sangat baik, bahkan

tidak ada diantara mereka yang tidak saling mengenal. Dalam kesederhanaan hidup, mereka

masih mampu untuk saling tolong menolong, saling mendukung dan saling menopang satu

dengan yang lainnya. Identitas mereka sebagai suku terasing membuat mereka dikenal karena

tradisi adat yang masih mereka jaga sampai saat ini. Mereka percaya bahwa tradisi adat tersebut

sudah ada sejak jaman leluhur sebelum mereka ada. Tradisi adat ini yang akhirnya membentuk

nilai-nilai yang mereka anut dan mereka percayai dari generasi ke generasi. Untuk

mempertahankan solidaritas mereka, ada landasan yang kukuh dan tetap dipertahankan sampai

kapanpun. Medunduluan (gotong royong), itulah yang menjadi landasan filosofis masyarakat suku Lauje dalam bertingkah laku terhadap sesama.

Medunduluan tidak hanya dapat diartikan sebagai gotong royong, tetapi dapat diartikan ke dalam hal mendukung, menopang, mendidik, dan saling mengingatkan satu dengan yang

lainnya. Medunduluan tidak mengenal usia, tidak mengenal laki-laki dan perempuan, tetapi bagi mereka apapun pekerjaannya selalu dilakukan bersama-sama. Tradisi adat apapun, tetap

dilakukan secara gotong royong. Susah dan senang dirasakan bersama. Tidak ada batasan dalam

hubungan kebersamaan mereka, baik sebagai orang tua maupun sebagai anak, baik sebagai

kakak maupun sebagai adik. Masyarakat suku Lauje hidup dalam kedamaian, bila ada masalah

maka diselesaikan secara kekeluargaan dan adat. Dari landasan filosofis ini sudah terlihat bahwa

proses pendampingan konseling pastoral dengan fungsi membimbing, menopang, dan

memelihara untuk membantu meringankan dan memberdayakan manusia sedang berlangsung.3 Hal tersebut terlihat dari bagaimana seseorang tidak sekedar membawa orang keluar dari

3

(4)

62

keterpurukan dan penderitaan hidupnya, tetapi mengembangkan potensi-potensi yang

dimilikinya untuk memberdayakan dirinya dan orang lain.4

Untuk memberdayakan dirinya dan orang lain, tentunya membutuhkan interaksi yang

saling bahu membahu dan berbagi dengan tujuan untuk saling menumbuhkan dan mengutuhkan.

Karena menurut Van Beek pendampingan yang baik adalah bagaimana menempatkan baik

pendamping maupun yang didampingi dalam kedudukan yang seimbang dan dalam hubungan

timbal balik yang serasi serta harmonis.5 Artinya tidak ada jarak antara keduanya. Inilah yang

harus ditanamkan dalam pemahaman masyarakat suku Lauje, agar landasan ini semakin kuat.

4.2. Pelaksanaan Mangantar Dalam Perspektif Pastoral Budaya dan Pendampingan

Prapernikahan

Pernikahan pada hakikatnya adalah persekutuan hidup antara pria dan wanita, atau atas

dasar saling mencintai untuk membentuk hidup bersama secara tetap dan memiliki tujuan yang

sama, yaitu saling membahagiakan.6 Secara personal, kebahagiaan dan penderitaan kita ditentukan oleh dan di dalam keluarga. Manusia bisa saja memiliki segalanya dalam hidup, akan

tetapi kalau kehidupan keluarganya hancur, pastinya ia akan menderita. Sebaliknya, jika keluarga

itu biasa-biasa saja, tetapi kehidupan keluarganya harmonis dan bertumbuh sehat, keluarga itu

pasti tidak jauh dari kebahagiaan. Kita tidak bisa memungkiri bahwa semua orang menginginkan

agar melalui pernikahannya dapat dibina sebuah keluarga yang utuh.7

Kehidupan pernikahan dalam masyarakat suku Lauje dapat dikatakan bahagia, meskipun

mereka menjalani kehidupan dengan kesederhanaan. Bagi mereka, kebahagiaan keluarga jauh

lebih penting daripada apapun. Ada pendapat yang mengatakan bahwa pernikahan sebenarnya

4

J.D. Engel, Materi Kuliah Pastoral Masyarakat, 10 Mei 2017.

5

J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 2.

6

Tim Pusat Pendampingan Keluarga “Brayat Minulyo, Kursus Persiapan Hidup Berkeluarga, 17. 7

(5)

63

tidak pernah gagal, yang bisa gagal adalah orang-orang yang ada dalam pernikahan tersebut.

Oleh karena itu, agar tidak mudah gagal maka perlu untuk belajar banyak tentang nilai-nilai yang

paling penting melalui pengalaman di lingkungan keluarga dan di sekitar kita.

Kita harus menyadari bahwa setiap orang memiliki latar belakang pengalaman hidup,

karakter dan pendidikan yang berbeda-beda. Untuk menyatukan itu semua dibutuhkan proses

yang cukup panjang dan bila proses tidak benar-benar dipahami secara mendalam dan tidak

disadari oleh calon pasangan masing-masing, maka akan terjadi masalah besar dalam perjalanan

pernikahan mereka.8 Menyikapi permasalahan ini, maka seharusnya sebelum memasuki kehidupan pernikahan, penting untuk dilakukan konseling prapernikahan bagi calon pasangan.

Benar bahwa yang membuat pernikahan gagal adalah orang-orangnya yang tidak mau menerima

adanya perbedaan diantara mereka dan tidak mau saling mengenal satu dengan yang lain dalam

proses berpacaran. Ini merupakan sebuah masalah yang harus diatasi melalui konseling

prapernikahan. Pemahaman tersebut diterapkan juga dalam masyarakat suku Lauje dengan

menanamkan nilai-nilai budaya dari setiap tradisi adat yang mereka lakukan. Kita bisa lihat itu

dari dalam setiap tahap yang harus dilalui oleh pasangan.

Mulai dari pinangan atau Mo’nyabi, yang dilakukan oleh pihak laki-laki dengan membawa sebungkus gula dan kopi. Sebelum meminang, mereka berdua telah menjalani

hubungan pacaran dan saling mengenal satu dengan lainnya juga saling menerima kekurangan

masing-masing serta saling melengkapi setiap perbedaan yang ada. Apabila diterima, maka

dilakukanlah adat Mangantar atau lamaran/mengikat bagi laki-laki dan perempuan. Pada proses

Mangantar ada penyerahan hantaran dari laki-laki kepada perempuan dan dari barang hantaran yang diserahkan, menurut penulis inilah media konseling yang digunakan dalam adat

8

(6)

64

Mangantar. Barang-barang tersebut dianggap telah memenuhi apa yang menjadi kebutuhan perempuan dan awal dari tanggung jawab laki-laki. Ketika menyerahkan barang-barang ini,

maka secara langsung perempuan sudah menjadi milik atau menjadi tanggung jawab laki-laki

dan laki-laki harus membiayai segala kebutuhan dari perempuan. Dalam penyerahan

barang-barang hantaran telah terjadi perubahan, namun walaupun terjadi perubahan, tetapi masih

memiliki makna yang sama yaitu misalnya, piring yang dapat disimbolkan sebagai keperluan

rumah tangga untuk makan dan juga dianggap sebagai kekuatan untuk membangun rumah

tangga.9

Konseling prapernikahan merupakan bentuk konseling yang menitikberatkan perhatian

pada hal-hal atau permasalahan seputar hubungan antar pribadi seorang pria dan wanita dalam

tahap-tahap sebelum mereka menjadi suami-istri. Melalui konseling ini, pasangan dibantu untuk

menilai hubungan mereka serta diperkenalkan kepada cara-cara mengusahakan pernikahan yang

bahagia dan berhasil. Kalau dalam adat Mangantar ada percakapan antara kepala adat dari pihak laki-laki dan kepala adat dari pihak perempuan. Percakapan itu diawali dengan saling berbalasan

pantun yang isinya menanyakan terlebih dahulu apakah anak perempuannya sudah pernah

menikah atau belum. Karena menurut penulis, kemungkinan ada pasangan yang saling menutupi.

Kemudian, membahas tentang silsilah keluarga. Percakapan ini dianggap penting untuk

menghindari pernikahan satu darah atau masih terkait hubungan saudara, karena bisa berdampak

terhadap keturunan atau anak yang akan dilahirkan nanti. Percakapan selanjutnya tentangMo’ar

atau mas kawin. Mo’ar dianggap sebagai persyaratan untuk memasuki pernikahan seperti piring,

parang, harus memotong ayam dua ekor setelah itu dibakar.

9

(7)

65

Moar dalam masyarakat suku Lauje dianggap sebagai pengganti dari surat nikah. Percakapan dilanjutkan dengan pemberian nasehat-nasehat dari kepala adat, tentang bagaimana

mempertahankan hubungan ini sebelum memasuki tahap nikah adat. Percakapan yang terakhir

yaitu tentang uang yang akan dipakai untuk proses Mokabing, bagi masyarakat suku Lauje uang yang harus dikeluarkan sebesar Rp. 10.000.000. Pembicaraan tentang uang ini di luar dari

pembicaraan adat dan baru ada pada jaman sekarang ini, karena jaman dulu belum ada

pembicaraan dan penentuan tentang uang. 10 Pelaksanaan adat Mangantar ini merupakan salah satu bentuk konseling prapernikahan yang mempersiapkan mereka untuk membentuk satu

keluarga.

Melalui Mangantar, pasangan bisa saling menilai dan saling mengenal keluarga masing-masing. Setelah dilakukan adat Mangantar, biasanya dibutuhkan waktu yang lama untuk melangkah ke tahap selanjutnya yaitu Mokabing. Karena baik laki-laki maupun perempuan harus mempersiapkan diri mereka. Kalau laki-laki dalam suku Lauje biasanya bekerja keras

mengumpulkan uang untuk menikah dan untuk membiayai kebutuhan perempuan setiap

bulannya. Sedangkan perempuan, dia harus belajar menjadi ibu rumah tangga yang baik.

Disinilah terlihat bentuk konseling dimana berbagai kesulitan yang biasa muncul dalam

hubungan suami istri dibicarakan dan dipersiapkan secara matang. Agar kedepannya tidak ada

kegagalan dalam bingkai rumah tangga mereka.

Konseling prapernikahan memberikan kesempatan terbuka bagi pasangan untuk

membicarakan diri mereka, teman hidup atau keluarga mereka atau dengan kata lain saling

mengenal seutuhnya. Tidak banyak orang memiliki peluang untuk membicarakan

masalah-masalah psikologis yang penting dalam pengambilan keputusan untuk keluarga. Konseling dapat

10

(8)

66

menjadi pelepasan untuk mengatasi kesulitan seperti itu. Melalui konseling prapernikahan ini

juga, pasangan mendapatkan kesempatan untuk tumbuh secara emosional dan pribadi sehingga

mereka ditolong dalam membentuk dasar yang teguh dalam kehidupan pernikahan. Selain itu,

pasangan juga dibantu untuk memahami dan mengetahui apakah mereka sudah matang untuk

menikah atau belum11 juga apakah mereka sanggup memegang teguh komitmen yang sudah kita

buat dalam tradisi Mangantar.

Mangantar dianggap merupakan sebuah ujian dalam hubungan laki-laki dan perempuan untuk menuju ke pernikahan. Apabila laki-laki dan perempuan berhasil melewati proses ini,

maka mereka masuk dalam tahap proses yang lebih serius dan tidak kalah pentingnya dari tahap

sebelumnya. Tahap menikah adat (Mokabing) diawali dengan sorong Mo’ar (mahar) oleh kedua belah pihak, yang dilaksanakan pada malam hari sebelum adat pernikahan (Mokabing). Mahar dilakukan sebagai arti bahwa laki-laki telah mampu bekerja keras untuk membangun kehidupan

rumah tangga kedepannya. Menurut penulis, konseling prapernikahan yang dijalani pada masa

Mangantar, telah memberikan banyak manfaat bagi mereka, sehingga laki-laki dan perempuan telah matang untuk memasuki kehidupan rumah tangga.

Manfaat tersebut mempengaruhi perubahan tingkah laku calon pasangan dan

memungkinkan mereka betul-betul dapat mengerti serta mengenal apa yang sebenarnya terjadi

pada diri mereka, juga tujuan ke depan yang mereka dambakan, sehingga mereka tidak saja

melihat tujuan hidup mereka dalam tanggung jawab pasangan, tetapi juga terutama tanggung

jawab dan relasi mereka dengan Tuhan, serta mencapai tujuan itu dengan kekuatan dan

kemampuan. Selain itu pasangan juga belajar untuk merawat, menopang, menolong, memelihara

11

(9)

67

dan melindungi calon pasangan,12 sehingga mereka dapat mengembangkan potensi-potensi positif yang ada dalam diri mereka dan mengurangi hal-hal negative dalam diri mereka, agar

tidak menjadi masalah dikemudian hari dalam pernikahan mereka dan membuat mereka

memiliki pandangan ke depan yang lebih terarah. Ada juga manfaat lain yaitu, penyatuan visi

dan misi, termasuk membantu memahami kedua keluarga masing-masing pasangan. Karena

penting untuk membangun relasi yang baik dengan keluarga pasangan dan seiring berjalannya

waktu ini juga akan mempengaruhi ketika sudah memiliki anak-anak. Dari manfaat ini, tentunya

ada tujuan yang ingin dicapai yaitu membentuk keluarga yang bahagia.

Dalam tulisan ini, penulis mendapatkan perbedaan antara konseling konvensional dengan

konseling pranikah dalam masyarakat suku Lauje. Pertama, bagi sebagian orang memahami

bahwa ketika orang mau menikah perlu untuk diberikan materi khusus melalui bimbingan13 tentang persiapan menuju kehidupan pernikahan dibutuhkan lima atau enam kali pertemuan yang

berlangsung selama kurang lebih satu jam.14 Menurut penulis, cara tersebut tidak cocok diterapkan dalam masyarakat suku Lauje. Karena mereka lebih memahami melalui tradisi-tradisi

yang ada. Tidak perlu harus dengan materi ataupun pertemuan-pertemuan, tetapi cukup dengan

cara-cara tradisional, maka itu akan tertanam dalam hati dan pikiran mereka.

Kedua, konseling dengan berorientasi pada percakapan dan wawancara.15 Menurut penulis,

kedua bentuk konseling ini ada yang bisa digunakan, tetapi ada yang tidak. Konseling berbentuk

percakapan bisa dilakukan, karena dalam percakapan mereka akan membahas beberapa hal

penting. Untuk konseling dalam bentuk wawancara sangat tidak cocok untuk masyarakat suku

12

J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 4-9. 13 Mesach Krisetya, Konseling Pernikahan dan Keluarga, 18. 14

J.T. Lobby Loekmono, Konseling Pernikahan, 40.

15

(10)

68

Lauje. Pengalaman saya, mereka tidak suka banyak bicara, namun lebih suka banyak berbuat.

Muncul pertanyaan, kapan konseling dilakukan ? dan siapa yang menjadi konselor, siapa yang

menjadi konseli ?

Jika mengikuti teori konseling konvensional, tentunya harus ada konselor dan konseli

yang saling bertemu untuk membantu menyelesaikan persoalan yang terjadi ataupun mengatasi

sebelum terjadi permasalahan. Hal tersebut berbeda dengan konteks yang ada dalam masyarakat

suku Lauje, dimana konseling itu telah berlangsung dari tahap pertama, yaitu peminangan atau

Mo’nyabi sampai dengan tahap terakhir yaitu potong nasi bungkus atau Mongkologe Alopa.

Semua tradisi adat yang dilakukan, itulah proses konseling yang mempersiapkan memasuki

kehidupan rumah tangga. Untuk menjawab pertanyaan siapa yang menjadi konselor dan konseli,

maka jawabannya ialah, konselor adalah kepala adat yang melakukan tradisi-tradisi adat dan

konseli adalah pasangan yang melakukan tradisi tersebut dan medianya adalah barang-barang

hantaran yang diserahkan pada saat Mangantar.

Adat Mangantar bisa terlaksana karena adanya dukungan dari masyarakat suku Lauje yang dalam diri mereka masing-masing memiliki kesadaran akan tanggung jawab untuk

mendidik, mendukung, menopang, dan saling mengingatkan calon pasangan yang akan menikah.

Mereka melakukan tanggung jawab tanpa ada paksaan dari pihak manapun, tetapi merupakan

inisiatif yang timbul dalam diri sendiri. Dari landasan filosofis yaitu Medunduluan, maka ditemukanlah nilai-nilai spiritual yang bisa membantu pasangan untuk melangkah pasti menuju

pernikahan dan membangun kehidupan rumah tangga yang bahagia. Ada lima nilai spiritual yang

(11)

69

a. Pengorbanan, ini berarti bahwa dalam melewati setiap proses mulai dari pinangan sampai

dengan tahap melamar atau Mangantar. Ada banyak hal yang telah dikorbankan oleh laki-laki maupun perempuan, baik secara finasial maupun secara pribadi. Laki-laki harus

berkorban tenaga untuk bisa bekerja keras memenuhi kewajibannya membiayai

perempuan dan berkorban untuk menjaga dirinya agar tidak melanggar apa yang telah

disepakati. Begitu juga perempuan, dia harus mengorbankan dirinya untuk mulai terbiasa

akan kebiasaan-kebiasaan baru yang mungkin sulit diterima.

b. Tanggung jawab, ini berarti ketika seorang laki-laki memutuskan untuk meminang dan

melamar seorang perempuan, maka dari situlah tanggung jawab dimulai. Tanggung

jawab yang dimaksudkan adalah bekerja mencari penghasilan untuk menghidupi wanita

yang telah dipilih menjadi calon istri. Kemudian, tanggung jawab bila terjadi sesuatu

dengan perempuan, entah dalam keadaan sakit ataupun keadaan lainnya.

c. Kerjasama, nilai ini berarti dalam masa-masa perjuangan untuk menuju pernikahan dan

membentuk sebuah keluarga, maka dibutuhkan kerjasama antara laki-laki dan

perempuan. Keduanya bisa merasakan bagaimana berjuang bersama untuk mencapai

tujuan yang disepakati pada saat Mangantar.

d. Komitmen, ini berarti ketika laki-laki meminang dan melamar seorang perempuan, maka

dituntut untuk memiliki komitmen bukan hanya laki-laki, tetapi perempuan pun harus

memiliki komitmen. Diharapkan kedepannya mereka bisa menentukan arah hubungan

mereka, sehingga tidak ada kegagalan.

e. Menyatukan keluarga, artinya pada saat laki-laki dan perempuan menentukan pilihan

untuk mengikat hubungan mereka, maka secara tidak langsung mereka juga telah

(12)

70

satu keluarga besar yang akan mendukung mereka sampai pada proses akhir dari

hubungan mereka. Untuk menyatukan kedua keluarga dibutuhkan pendampingan

konseling pastoral untuk memulihkan/memperbaiki hubungan yang mungkin dulunya

sempat rusak menjadi bersatu kembali, sehingga kedua keluarga bisa saling mendukung

dan mengingatkan.16

Dari nilai-nilai spiritual yang ditemukan dalam adat Mangantar, maka menghasilkan lagi sebuah teknik pendekatan pastoral untuk membantu menyelesaikan permasalahan pastoral,

sehingga tujuan dari Mangantar dapat tercapai yaitu untuk membantu pasangan membentuk sebuah keluarga yang harmonis. Teknik-teknik tersebut ialah:

a. Melumbu waktu

Dalam teknik ini, dibutuhkan pendampingan konseling pastoral yaitu

memelihara/mengasuh. Mengapa harus fungsi ini ? karena Fungsi memelihara atau

mengasuh memampukan pasangan untuk bisa mengembangkan potensi yang diberikan

Tuhan kepadanya. Potensi ini dilihat sebagai sesuatu yang bisa dikembangkan dan

dijadikan sebagai kekuatan dalam menjalankan hidupnya kedepan, sehingga pasangan

didorong ke arah pertumbuhan dan perkembangan demi menemukan kembali makna

hidupnya17 serta bertahan dalam situasi baru. Dalam hal ini pasangan harus mampu

bertahan pada sekarang, sebagaimana adanya dan akhirnya secara perlahan mulai

menerima keadaan itu dengan lapang dada dan mengatur kembali kehidupannya yang

baru.18

16

J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 8.

17

J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 9.

18

(13)

71 b. Motutu Mosou

Dalam teknik ini, dibutuhkan pendampingan konseling pastoral yaitu menopang

dimana dengan teknik ini menolong pasangan menghadapi keadaan sekarang

sebagaimana adanya, dan menerima kondisi yang sedang dialami serta tetap berjuang

untuk menjalani hidup dengan baik,19 sehingga dapat berubah, bertumbuh dan berfungsi

melalui tanggung jawab yang diembannya. Memikul tanggung jawab dalam keluarga

bukanlah sesuatu yang mudah, apalagi seorang laki-laki yang harus menjadi kepala

keluarga yang harus memenuhi semua kebutuhan dari keluarganya.

c. Medunduluan Kainkai

Dalam teknik ini, dibutuhkan pendampingan konseling pastoral menopang dan

memelihara/mengasuh. Alasannya karena dengan pendampingan konseling pastoral ini

membantu pasangan untuk berjuang bersama melewati proses Mangantar menuju pernikahan dengan mengembangkan setiap potensi yang ada dalam diri keduanya sebagai

kekuatan untuk semakin bertumbuh bersama dalam sebuah keluarga.20 Selain itu dengan teknik Medunduluan Kainkai, tercipta komunikasi yang sehat antara keduanya yang memacu pasangan untuk lebih kreatif dan efektif mengekspresikan perasaan, keinginan

dan aspirasinya.

d. Mesau Sabian

Teknik ini harus didukung dengan adanya pendampingan konseling pastoral yaitu

membimbing untuk pasangan bisa menentukan pilihan-pilihan dan memutuskan sesuatu,

19

J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 5.

20

(14)

72

sehingga tidak terjadi kebingungan dan tertekan antara pikiran dan tindakan.21 Melalui teknik ini juga, terbentuklah tingkah laku baru. Konseling pastoral ternyata bisa dipakai

sebagai media untuk menciptakan dan berlatih tingkah laku baru yang lebih sehat,

terutama bagi pasangan yang ingin menghentikan semua kebiasaan buruk yang ada dalam

dirinya.

e. Mo’Osonge Songa

Untuk teknik Mo’Osonge Songa dibutuhkan pendampingan konseling pastoral

yang memulihkan/memperbaiki hubungan yang mungkin dulunya sempat rusak menjadi

bersatu kembali, sehingga kedua keluarga bisa saling mendukung dan mengingatkan.22 Menyatukan kedua keluarga pastinya harus ditopang dengan adanya komunikasi yang

sehat antara kedua keluarga dan antara pasangan dengan masing-masing keluarga.

Keharmonisan dan kerukunan dalam keluarga bisa terlihat ketika pasangan sudah

membentuk sebuah keluarga yang baru.

4.3. Rangkuman

Dengan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dari landasan filosofis

Medunduluan dapat menghasilkan nilai-nilai spiritual, yaitu pengorbanan, tanggung jawab, kerjasama, komitmen dan menyatukan keluarga. Dari kelima nilai tersebut, ternyata

menghasilkan lagi teknik-teknik pendekatan yaitu Melumbu waktu,Motutu mosou, Medunduluan kainkai, Mesau sabian, Mo’osonge songa yang bisa digunakan untuk mencapai tujuan dan

sasaran. Sasaran utama yang ingin disampaikan melalui adat Mangantar ini adalah bagaimana mengusahakan pemberdayaan dan keharmonisan keluarga.

21

J.D. Engel, Pastoral dan Kebutuhan Dasar Konseling, 4.

22

Referensi

Dokumen terkait

OPTIMASI NAÏVE BAYES CLASSIFIER DENGAN MENGGUNAKAN PARTICLE SWARM OPTIMIZATION PADA DATA IRIS.. Husin Muhamad 1 , Cahyo Adi Prasojo 2 , Nur Afifah Sugianto 3 , Listiya Surtiningsih 4

Namun karena proses Islamisasi di kalangan warga Bugis tidak merata maka secara umum dilihat dari segi tingkat pemahaman dan pengamalan ajaran Islam dalam kehidupan

Berdasarkan faktor kerentanan tersebut didapatkan upaya mitigasi banjir rob yaitu pembangunan tanggul, pintu air dan rumah pompa, penyediaan konsep rumah

Demam lebih dari 1 minggu, gangguan kesadaran : apati sampai somnolen, dan gangguan saluran cerna seperti perut kembung atau tegang dan nyeri pada perabaan,

JATENG DIY JATIM SULRA PABAR SUMUT BABEL KEPRI DKI Jakarta JABAR BANTEN BALI KALSEL KALTIM SULUT SULSEL NTB SUMSEL BENGKULU LAMPUNG NTB NTT SULTENG GORONTALO SULBAR MALUKU PAPUA

Berdasarkan hasil penelitian dengan wawancara didapatkan data 50 responden bahwa hanya 4 anak (8%) mempunyai status gizi buruk yang salah satunya disebabkan oleh

Berdasarkan tabel 4.10 didapatkan hasil dengan menggunakan rumus Kendall Tau bahwa tidak ada hubungan antara peran orang tua dalam pendidikan seks dengan perilaku seksual

keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu.. Masih banyak ayat-ayat lainnya yang sejiwa dengan ayat-ayat di atas, yang menyuruh manusia untuk memperhatikan lebih banyak