BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA
PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Tinjauan Sosial Ekonomi Tebu Nasional
Tanaman Tebu dalam bahasa latin (saccharum officinarum L) merupakan salah
satu bahan dasar (raw material) pembuatan gula. Tanaman tebu dapat tumbuh
dengan baik di daerah tropika, sub-tropika dan beriklim sedang. Di Indonesia
khususnya di Jawa, tanaman tebu diusahakan sebagai tanaman rakyat dan
perkebunan PTP/PTPN (Setyohadi, 2012).
Indonesia merupakan salah satu penghasil tebu terbesar di dunia. Perkebunan tebu
di Indonesia terdapat di Sumatera Utara, Lampung, Sumatera Selatan, Jawa
Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan. Sebagian besar perkebunan tebu di
Indonesia berupa perkebunan rakyat yang jumlahnya mencapai 50%, 30%
dikelola oleh swasta dan 20% lagi oleh perkebunan negara. Perkebunan tebu
negara dikelola oleh PT. Perkebunan Negara (PTPN) II, VII, IX, X, XI, XIV.
Masing-masing PTPN memiliki sejumlah pabrik gula yang mengolah tebu
menjadi gula untuk didistribusikan ke masyarakat.
Tebu merupakan salah satu tanaman perkebunan yang mempunyai peranan dan
posisi penting dalam sektor industri pengolahan di Indonesia. Tanaman tebu
merupakan bahan baku untuk industri gula, dan tidak hanya menghasilkan gula
makanan-ikutannya mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi dan mampu menyerap
tenaga kerja begitu besar (Zafrullah, 2013).
Tanaman tebu (Saccharum officinarum) terkategori tanaman berserat yang
memiliki kandungan polisakarida yang cukup tinggi dan kandungan lignin yang
relatif rendah sehingga pemanfaatan terbesar saat ini adalah untuk industri gula.
Budidaya tebu merupakan upaya manusia untuk mengoptimalkan kondisi tanaman
tebu agar memperoleh sumberdaya alam yang dibutuhkannya, sehingga diperoleh
hasil panen yang maksimal, baik dilihat dari sisi produktivitas maupun
dari sisi kualitas (Arda, 2009).
Saat ini pemerintah sedang menggalakkan penanaman tebu untuk mengatasi
rendahnya produksi gula di Indonesia. Usaha pemerintah sangat wajar dan tidak
berlebihan mengingat Indonesia pernah mengalami masa kejayaan sebagai
pengekspor gula (Suwarto dan Octavianty, 2010).
2.1.2 Usahatani Tebu Dengan Sistem TRI
Program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI), merupakan kebijaksanaan pemerintah
di bidang perindustrian gula tertuang dalam Inpres No. 9 tahun 1975. Program
TRI awalnya berkembang di pulau Jawa sekitar tahun 1975, dan mulai diterapkan
di Sumatera Utara sekitar tahun 1986, yaitu: di kabupaten Langkat dan meluas ke
kabupaten Deli Serdang sekitar tahun 1988 (Elizabeth, 2002).
Dalam program ini, pemerintah mengalihkan sistem penyewaan lahan petani
menjadi pengusahaan sendiri oleh petani di bawah bimbingan pabrik gula (PG)
dari para petaninya merupakan faktor utama yang penting dalam pengusahaan
pertanaman tebu rakyat, dimana tenaga kerja merupakan faktor produksi utama
pula bagi seorang petani dalam berusaha di bidang manapun.
Secara historis, program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) merupakan salah satu
kebijakan pemerintah di masa “Orde Baru”, yang berhubungan dengan
pembangunan di bidang perindustrian gula. Sebagai salah satu kebijakan
pemerintah, program TRI tertuang dalam Inpres No.9 tahun 1975, yang
mengalihkan sistem penyewaan lahan petani menjadi pengusahaan sendiri oleh
petani dengan pola intensifikasi dibawah bimbingan pabrik gula (PG) dan bantuan
kredit dari BRI, serta BULOG yang berperan untuk membeli dan menampung
seluruh produksi gula (Majalah Gula Indonesia, 1986).
Program TRI merupakan salah satu usaha untuk peningkatan produksi gula,
sebagai salah satu komoditas komersil dunia, dan meningkatkan pendapatan
petani tebu di Sumatera Utara yang dilaksanakan berdasarkan SK Menteri
Pertanian tahun 1989 , tentang Program Intensifikasi Pertanian dan SK Gubernur
Kepala Daerah Tk. I Sumatera Utara No. 520 tahun 1990, tentang Program
Intensifikasi Pertanian di Sumatera Utara.
Program TRI sangat besar pengaruhnya, yang menyebabkan: perubahan sosial
ekonomi petani tebu; perubahan sistem produksi, pemasaran, alokasi sumberdaya
dan kodal; serta kelembagaan yang menunjang undustri pergulaan. Perubahan
1) Terjadinya pemisahan antara sistem produksi dan subsistem pengolahan,
dimana kegiatan PG sangat tergantung pada tersedianya bahan baku tebu dari
produksi usahatani petani;
2) Pengusahaan pertanaman tebu skala besar oleh PG, dengan pola TRI
merupakan akumulasi usahatani skala kecil oleh petani, sehingga sangat
bergantung pada pilihan petani untuk tetap mempertahankan usahatani
tebunya;
3) Melibatkan banyak lembaga penunjang, dimana keberhasilan industri gula
tergantung pada efisiensi lembaga penunjang tersebut;
4) Terjadi perubahan pasar input, output dan modal di pedesaan didasari Inpres
No.9 tahun 1975 tersebut (Malian, 2004).
2.2 Landasan Teori
Program Bimas Intensifikasi Tebu Rakyat (TRI) adalah salah satu program
nasional yang dilaksanakan berdasarkan Inpres Nomor 9 Tahun 1975, dan
merupakan suatu program inovasi untuk menerapkan teknologi dengan tujuan
meningkatkan dan memantapkan produksi gula sekaligus meningkatkan
kesejahteraan para petani melalui peningkatan pendapatan.
Pelaksanaan TRI ditempuh melalui peningkatan mutu intensifikasi (penerapan
teknologi anjuran) dengan sistem Bimas, dan telah dikembangkan sejak MTT.
1975/1976 sampai sekarang. Dalam penyelenggaraan TRI ini terdapat 2 unsur
pelaku utama yaitu petani yang terhimpun dalam suatu kelompok tani dan pabrik
pabrik gula dan pabrik gula sebagai pimpinan kerja para petani, sumber teknologi,
pembimbing teknis dan pengolah tebu hasil TRI.
Untuk dapat melaksanakan fungsinya kedua unsur pelaku utama tersebut perIu
mendapat dukungan dari unsur pelayanan (KUD) dan Bank pemberi kredit serta
dorongan dari unsur pengaturan dan pembinaan. Pelaksanan pertanaman tebu
dilapangan untuk tiap-tiap pabrik gula telah diatur wilayah kerja dan binaannya
masing-masing yang disesuaikan dengan kapasitas pabriknya dengan jumlah hari
giling yaitu maksimun 180 hari, sehingga diharapkan tidak terjadi tumpang tindih
antara satu pabrik dengan pabrik lainnya dalam hal penyedian bahan baku.
Waktu dan jumlah tebangan harus disesuaikan dengan kapasitas pabrik diatur
sedemikian rupa agar pada waktu ditebang berada dalam keadaan rendemen
optimal (matang dan siap untuk langsung diolah dipabrik gula). Agar siap diolah
dalam keadaan MBS maka peranan manajemen/ pengaturan penebangan, dan
angkutan tebu cukup penting agar keadaan tersebut diatas yaitu tebu yang telah
ditebang dapat tiba di pabrik tepat waktu dan tepat jumlah sesuai dengan aturan
yang telah ditetapkan demikian pula agar tebu yang diangkut tersebut dapat tiba
ketujuannya (Sukarman, 1998).
Pelaksanaan TRI dilakukan berdasarkan fungsi kelembagaan yaitu terkait di
dalamnya: fungsi pelaksana meliputi petani TRI dan PG; fungsi pelayanan
meliputi KUD, Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Balai Penyuluhan Pertanian
(BPP); fungsi pembinaan meliputi semua instansi yang terkait dalam koordinasi
Kepala Daerah Tingkat II/Ketua SATPEL BIMAS beserta para Kepala Wilayah
Pemerintahan bawahannya selaku ketua SATPEL BIMAS sampai dengan desa,
bertanggung jawab atas terlaksananya program TRI. Dalam hubungan ini para
Kepala Daerah/Kepala Wilayah harus mengusahakan: pengendalian pelaksanaan
sistim/tata tanam glebagan secara lebih mantap; mengembangkan KUD agar dapat
berfungsi dengan baik dalam pelaksanaan program TRI; terciptanya hubungan
kerjasama yang baik dan serasi antara PG, KUD, dan kelompok tani. Kepala
Daerah tingkat II/Ketua SATPEL BIMAS dengan memperhatikan pertimbangan
dari PG dan Kantor Departemen Koperasi menetapkan KUD mampu untuk
melaksanakan tugas penyediaan sarana produksi, penyaluran dan pengembalian
kredit TRI.
Pabrik Gula sebagai perusahaan pengelola mempunyai tanggung jawab
operasional dan bertindak sebagai pimpinan kerja pelaksana budidaya tanaman
tebu di wilayah kerjanya, serta bertanggung jawab dalam menyebarluaskan
informasi hasil penemuan baru (inovasi) yang berasal dari lembaga-lembaga
penelitian terutana dari BP3G, dibantu Cabang Dinas Perkebunan Daerah/Unit
Pelaksana Proyek (UPP) TRI serta wajib memberikan buku pedoman teknis
bercocok tanam tebu kepada semua kelompok tani di wilayah kerjanya. Sinder
Kebun Kepala/Sinder Kebun Wilayah wajib menyusun rencana kerja dan
pembiayaan pengelolaan kebun sesuai dengan buku kultur teknis di wilayahnya
sebagai pedoman bagi kelompok tani dalam mengusahakan tanaman tebunya.
Kelompok tani berdasarkan hamparan yang telah dibentuk dalam rangka sistim
tebu rakyat yang rasional. Masing-masing kelompok tani hamparan dipimpin oleh
seorang Ketua Kelompok Tani.
Koperasi Unit Desa (KUD) merupakan wadah kegiatan ekonomi yang melayani
masyarakat pedesaan sesuai dengan kemampuannya masing-masing,
melaksanakan fungsi penyediaan dan penyaluran sarana produksi seperti pupuk,
pestisida, dan lain-lain, fungsi penyaluran dan pengembalian kredit dari petani,
serta fungsi pemasaran hasil.
Pendapatan atau keuntungan usaha tani adalah selisih antara penerimaan dan
semua biaya. Analisis pendapatan usaha tani dapat dipakai sebagai ukuran untuk
melihat apakah suatu usaha tani menguntungkan atau merugikan, sampai seberapa
besar keuntungan atau kerugian tersebut (Soekartawi, 2006).
Faktor – faktor yang mempengaruhi pendapatan usahatani adalah luas usahatani,
efisiensi kerja, dan efisiensi produksi. Luas usahatani yang sempit dapat
mengakibatkan produksi persatuan luas yang tinggi tidak dapat tercapai.
Sementara efisiensi kerja dan efisensi produksi yang tinggi meneyebabkan
pendapatan petani semakin tinggi (Makeham dan Malcolm, 1991).
Penerimaan usaha tani adalah perkalian antara volume produksi yang diperoleh
dengan harga jual. Harga jual adalah harga transaksi antara petani (penghasil) dan
pembeli untuk setiap komoditas menurut satuan tempat. Satuan yang digunakan
seperti satuan yang lazim dipakai pembeli/penjual seperti partai besar, misalnya:
Pada dasarnya, pendapatan petani tebu banyak ditentukan oleh tingkat produksi,
harga input, harga produksi, dan sistem bagi hasil. Bila harga dan bagi hasil yang
telah ditentukan dapat menguntungkan petani tebu, maka tidak sia-sialah petani
yang telah mengorbankan banyak biaya dan tenaga. Adapun penentuan bagi hasil
dapat dilakukan berdasarkan pengukuran rendemen efektif (Tim Penulis PS,
1994).
Faktor produksi usahatani pada dasarnya adalah tanah dan alam sekitarnya, tenaga
kerja, modal, serta peralatan. Namun demikian, ada beberapa pendapat yang
memasukkan manajemen sebagai faktor produksi keempat walaupun tidak
langsung (Suratiyah, 2008).
Osburn dkk. (1978) menyatakan bahwa manajemen terdiri atas tiga hal yang
saling berkaitan, yaitu manajemen sebagai suatu pekerjaan, manajemen sebagai
sumber daya, dan manajemen sebagai prosedur. Jika manajemen sebagai suatu
pekerjaan maka petani harus dapat menjabarkan dan merealisasikan idea tau buah
pikirannya dalam mengelola usahataninya sehingga berhasil seperti yang dia
inginkan. Manajemen sebagai sumber daya juga sangat penting karena sangat
menentukan keberhasilan suatu usaha. Sebagai contoh, dua orang petani dengan
luas lahan dan kondisi yang sama, pada saat yang sama dapat diperoleh hasil yang
berbeda. Hal ini karena ditentukan oleh pengelolaan yang berbeda. Manajemen
atau pengelolaan yang baik dan benar akan memberikan hasil yang baik pula.
Proses kemasakan tebu merupakan proses yang berjalan dari ruas ke ruas. Tebu
yang sudah mencapai umur masak, keadaan kadar gula di sepanjang batang
dilakukan dengan cara ditebang. Usahakan agar tebu ditebang saat rendemen pada
posisi optimal, yaitu umur sekitar 10 bulan atau tergantung jenis tebu. Tebu yang
berumur 10 bulan akan mengandung saccharose 10%, sedangkan yang berumur
12 bulan bias mencapai 13% (Suwarto dan Octavianty, 2010).
Rendemen yang tinggi menjadi idaman setiap petani tebu. Hal itu berarti
pendapatan bersih mereka menjadi lebih tinggi. Rendemen tebu adalah kadar
kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dengan persen. Apabila
tanaman tebu memiliki rendemen 10%, berarti dari setiap 1 ku tebu atau 100 kg
tebu yang digiling akan dihasilkan gula seberat 10 kg. Perhitungan tersebut dapat
dirumuskan sebagai berikut.
Rendemen = Sejumlah gula yang dihasilkan x 100%
Sejumlah tebu yang digiling
Secara umum biaya merupakan pengorbanan yang dikeluarkan oleh produsen
dalam mengelola usaha taninya untuk mendapatkan hasil yang maksimal.
Menurut Makeham dan Malcolm (1991: 93), biaya produksi merupakan jumlah
dari dua komponen: (i) biaya tetap, yang tidak langsung berkaitan dengan jumlah
tanaman yang dihasilkan di atas lahan (biaya ini harus dibayar apakah
menghasilkan sesuatu atau tidak). Menurut Hernanto (1991: 179), biaya yang
tergolong dalam kelompok ini antara lain: pajak tanah, pajak air, penyusutan alat
dan bangunan pertanian, pemeliharaan kerbau, pemeliharaan pompa air, traktor
dan lain sebagainya. Total biaya produksi adalah total biaya tidak tetap ditambah
yang tergolong dalam kelompok ini antara lain: biaya untuk pupuk, bibit, obat
pembasmi hama dan penyakit, buruh atau tenaga kerja upahan, biaya panen, biaya
pengolahan tanah baik yang merupakan kontrak maupun upah harian, dan sewa
tanah.
Analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunity, Threats) adalah metode
perencanaan strategis yang digunakan untuk mengevaluasi kekuatan (Strengths),
kelemahan (weaknesses), peluang (opportunities), dan ancaman (threats) dalam
suatu proyek atau spekulasi bisnis. Proses ini melibatkan penentuan tujuan yang
spesifik dari spekulasi bisnis atau proyek dan mengidentifikasi faktor internal dan
eksternal yang mendukung dan yang tidak dalam mencapai tujuan tersebut.
Analisis SWOT dapat diterapkan dengan cara menganalisis dan memilah berbagai
hal yang mempengaruhi keempat faktornya, kemudian menerapkannya dalam
gambar matrik SWOT, dimana aplikasinya adalah bagaimana kekuatan (strengths)
mampu mengambil keuntungan (advantage) dari peluang (opportunities) yang
ada, bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) yang mencegah
keuntungan (advantage) dari peluang (opportunities) yang ada, selanjutnya
bagaimana kekuatan (strengths) mampu menghadapi ancaman (threats) yang ada,
dan terakhir adalah bagaimana cara mengatasi kelemahan (weaknesses) yang
mampu membuat ancaman (threats) menjadi nyata atau menciptakan sebuah
ancaman baru (http://id.wikipedia.org/wiki/Analisis_SWOT).
2.3 Penelitian Terdahulu
Penelitian terdahulu mengenai petani tebu yang melakukan kontrak dan yang
menyatakan bahwa biaya transaksi tertinggi berada pada petani yang tidak
memiliki kontrak dengan pihak pabrik gula.
Sutrisno (2009) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa penerimaan petani
tebu di PG Mojo, Sragen dipengaruhi oleh kultur teknik, varietas tebu, pupuk,
rendemen, dan biaya yang dikeluarkan untuk keperluan usahatani tebu. Variabel
yang paling mempengaruhi penerimaan petani adalah rendemen tebu.
2.4 Kerangka Pemikiran
Program Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI) adalah salah satu program nasional yang
dilaksanakan berdasarkan Inpres Nomor 9 Tahun 1975, yang merupakan salah
satu usaha untuk peningkatan produksi gula dan meningkatkan pendapatan petani
tebu. Pelaksanaan TRI dilakukan berdasarkan fungsi kelembagaan yaitu terkait di
dalamnya: fungsi pelaksana meliputi petani TRI dan PG; fungsi pelayanan
meliputi KUD, Bank Rakyat Indonesia (BRI), dan Balai Penyuluhan Pertanian
(BPP). Namun, dalam praktiknya fungsi kelembagaan ini tidak berjalan
sebagaimana mestinya, tidak ada lembaga-lembaga pelayanan seperti BRI, KUD
ataupun penyuluh yang membantu petani dalam mengelola usaha tani tebu kecuali
Pabrik Gula sebagai jasa penggiling. Maka, dalam penelitian ini akan dilihat
bagaimana sebenarnya mekanisme pelaksanaan Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI).
Usaha tani tebu yang dilaksanakan dengan sistem Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI)
terbagi atas TRI Mitra dan TRI Murni. TRI Mitra diusahakan di atas lahan PTPN
sedangkan TRI Murni diusahakan di atas lahan sendiri. Pada dasarnya,
berdasarkan pengukuran rendemen. Rendemen yang tinggi menjadi idaman setiap
petani tebu. Hal itu berarti pendapatan bersih mereka menjadi lebih tinggi. Dalam
praktiknya, tingkat produksi yang diperoleh TRI Mitra lebih tinggi dari TRI
Murni karena pada TRI Mitra hasil panen dan rendemen harus sesuai dengan
ketentuan atau target yang ditetapkan oleh pabrik sedangkan pada TRI Murni
bergantung pada perlakuan petani itu sendiri. Adanya perbedaan hasil usaha tani
tebu antara TRI Mitra dengan TRI Murni menghasilkan pendapatan yang berbeda.
Pendapatan dihitung dengan selisih antara penerimaan dan pengeluaran dimana
penerimaan diperoleh dari hasil perkalian penjualan dengan harga yang berlaku
dan pengeluaran merupakan total biaya.
Pendapatan yang rendah dibarengi dengan kewajiban untuk membayar sewa lahan
membuat petani merugi, begitu juga dengan perbedaan pendapatan yang terjadi.
Kondisi ini perlu dicari jalan keluar atau strategi dengan mengetahui apa yang
menjadi kekuatan, kelemahan, peluang serta ancaman untuk mempertahankan dan
2.5Hipotesis Penelitian
Berdasarkan landasan teori yang dibuat, maka hipotesis penelitian ini dibuat
sebagai berikut:
1) Pendapatan rata-rata petani dengan sistem TRI Mitra lebih tinggi daripada