• Tidak ada hasil yang ditemukan

Belajar Dari Lukisan Anak Usaha

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Belajar Dari Lukisan Anak Usaha"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Belajar Dari Lukisan Anak

Muchammad Bayu Tejo Sampurno

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta m.bayutejo@gmail.com

Abstrak

Seni merupakan salah satu media bagi anak untuk bermain, baik bermain dengan lingkungannya sampai bermain dengan imajinasi yang dimilikinya. Seni juga merupakan media pemahaman, yang membantu anak memahami konsep-konsep yang belum diketahuinya. Orang tua dengan berbagai argumennya mulai sadar akan pentingnya seni bagi anak, namun mereka kurang memahami apa yang dibutuhkan anak untuk menunjang kemampuan berkeseniannya. Karya seni yang diciptakan oleh anak tergolong istimewa. Hal tersebut dikarenakan dalam karya seni anak terdapat nilai-nilai yang merupakan esensi dan hakikat dari seni itu sendiri. Dari karya seni anak, dapat diambil ilmu yang penting bagi manusia yaitu mengenai pribadi kreatif yang tidak takut untuk bereksperimen karena anak tidak memperhatikan faktor eksistensi yang sering menjadi masalah orang dewasa.

Katakunci:Belajar, seni, lukisan, anak

1. Pendahuluan

Budaya instan yang menghalalkan berbagai cara agar mendapatkan eksistensi dari apa yang dihasilkan oleh individu semakin menggerus ‘pribadi asli’ yang dimiliki manusia. Demi pengakuan, penghargaan, hati nurani tidak dijadikan sebagai kuasa tertinggi dalam mengambil keputusan, termasuk dalam hal mencipta seperti yang disbutkan di atas. Rasa dari dalam hati kalah dengan logika yang merupakan olahan dari kemampuan kognitif manusia. Dewasa ini sedang marak mengenai kasus plagiarisme, mulai dari bidang akademis, bisnis, sampai seni. Seseorang yang mengklaim dirinya sebagai seniman seringkali menciptakan karya atas hasil ‘tiruan’, dan memodifikasinya, walaupun tidak semua pekerja seni seperti demikian, dengan kata lain tidak sesuai dengan orisinalitas dirinya. Hal serupa juga terjadi dalam berbagai bidang lainnya. Ada rasa takut yang diakibatkan oleh batasan-batasan berupa pemahaman yang melekat dalam diri manusia sejak masa kanak-kanak, yang secara tidak langsung membuat individu yang mengalaminya terkurung dalam sebuah kotak, tidak berkembang, dengan berbagai alasan yang setelah diresapi menjadi sebuah alasan yang tidak masuk

akal. Jika diresapi dan direnungkan, rasa rindu akan spontanitas dan keberanian untuk mencoba hal baru serta keberanian untuk bereksperimen sering muncul, alih-alih rasa itu muncul ketika hendak melakukan sesuatu untuk memotivasi diri, namun pada kenyataannya rasa itu muncul saat ide dan gagasan yang seharusnya ‘milik kita’ telah dipakai orang lain atau terlambat ‘dituangkan’ karena suatu hal.

(2)

guru, dan sebagian orang tersebut memberikan label yang baik pada anak. Begitu pula dengan seni, anak mengekspresikan karya seni yang dibuatnya dengan spontan, ekspresif, menunjukkan orisinalitas karya mereka yang hal tersebut membuat karya anak menjadi istimewa. Kembali pada permasalahan mengenai bagaimana ‘orang dewasa’ seakan kehilangan ‘kemampuan’ anak-anak mereka, maka perlu untuk orang dewasa untuk belajar dari anak-anak, dan salah satu media belajar dari anak-anak adalah belajar dari lukisannya. Dari lukisan anak dapat dilihat banyak aspek yang dibutuhkan oleh orang dewasa.

2. Pembahasan

Anak-anak bagaikan hardisk kosong yang menanti untuk diisi mengenai konsep kehidupan yang berada dalam sebuah istilah yang dinamakan ilmu. Anak-anak tidak berjuang sendirian dalam proses penerimaan sebuah konsep. Orang tua menjadi penolong pertama anak yang akan membantu anak memecahkan masalah dan mengajarkan berbagai konsep dalam hidup. Selain orang tua, terdapat guru yang merupakan pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada jalur pendidikan.1 Setiap orang tua berupaya meningkatkan kecerdasan pada anaknya, namun jarang yang menyadari bahwa kecerdasan sebenarnya mulai dibentuk sejak dini. Perumbuhan otak yang sangat pesat justru terjadi pada awal kehidupan. Itulah sebabnya mengapa orang tua harus memperhatikan hal-hal yang dapat menunjang kecerdasan anak seperti kecukupan akan gizi pada makanan yang dibutuhkan dan stimulasi otak yang dapat menggunakan berbagai cara. Otak merekam apa yang dapat dicatat dari lingkungannya, dari sinilah konsep pemahaman mulai diperkenalkan. Orang tua harus menanggapi respon tersebut mulai dari pengenalan pemahaman konsep dasar kemudian memperkuatnya ke pemahaman pengetahuan dasar. Kemampuan kreativitas berpikir

1

Lihat Supriyadi, Strategi Belajar Mengajar, Yogyakarta: Cakrawala Ilmu, 2011, 11.

dalam memahami dunia sekitar secara nyata adalah kemampuan penting, dan ketika ditunjang dengan program yang komprehensif, selain itu proses analisa menjadi terstruktur. Meninjau kembali pengertian belajar sama dengan bermain pada anak dan pengetahuan tidak ada batasnya maka konsep pemahaman pengetahuan dasar kemudian dikembangkan kepemahaman secara spesifik. Seni merupakan salah satu metode dalam proses pemahaman kepada anak yang juga memiliki hubungan erat dengan dunia anak. Seni merupakan media bermain sekaligus belajar bagi anak. Di dalam proses pemahaman, seseorang dapat melakukan beberapa tahap sebagai cara dalam memahami suatu konsep, salah satunya dengan penghayatan. Penghayatan dalam pemahaman diartikan sebagai proses mencerna, menyaring, merasakan, dimana hasilnya akan diterima oleh reseptor otak yang memiliki kuasa untuk menerimanya sebagai sebuah konsep. Pemahaman mengenai suatu konsep merupakan ilmu yang harus dicari dan didapatkan seceptanya untuk dapat memahami ilmu tersebut dengan baik. Kembali pada kaitannya dengan seni, seni menyangkut penghayatan dalam sebuah struktur pengalaman estetis, sedangkan ilmu menyangkut pemahaman rasional-empiris terhadap suatu objek ilmu.2 Ilmu dapat meletakkan sebuah karya seni menjadi objek pengamatannya, dalam kata lain di dalam karya seni terdapat ilmu yang dapat digunakan sebagai metode pemahaman anak. Karya seni dalam ilmu bukan untuk dihayati, melainkan untuk dipahami secara rasional. Pemahaman terhadap karya seni akan membantu dalam menghayati karya seni tersebut.3 Namun, tetap terdapat hubungan erat antara penghayatan-pemahaman konsep yang terdapat dalam sebuah karya seni. Oleh karenanya, seni dapat dijadikan sebagai metode pemahaman bagi anak.

Pada masa kanak-kanak awal, presentase perkembangan otak berkembang pesat, dimana anak pada usia 0-6 tahun mempunyai potensi perkembangan otak mencapai 80%, sedangkan pada usia 17-18 tahun hanya berkembang sebanyak 20%.4 Sementara itu, teori neurosains modern menyatakan bahwa pada masa pertumbuhan tersebut (golden ages) memungkinkan anak untuk mengembangkan kreativitas dan juga terjadi tahapan pra-operasional dalam perkembangan kognitif. Anak pada usia 3-6 tahun mulai

2

Periksa Jakob Sumardjo, Filsafat Seni, Bandung: Penerbit ITB, 2000, 253.

3

Periksa Jakob Sumardjo, 2000, 254.

4

(3)

menjelaskan dunia dengan kata-kata dan gambar, meningkatkan pemikiran simbolis serta mendapatkan kemampuan untuk menggambarkan secara mental sebuah objek yang tidak ada.5 Oleh karenanya, pada usia tersebut anak akan sering melakukan kegiatan seni sebagai media penuangan imajinasinya.

Bagi individu yang belum memiliki

sense dalam seni, seringkali mereka memandang karya seni terutama karya seni berupa lukisan hanya sebatas pandangan atau penilaian di permukaannya saja. Dengan kata lain, mereka mungkin hanya mengenal aliran realisme, naturalisme, dan mungkin dekoratif dalam penilaiannya mengenai karya seni. Hal tersebut berdampak pada bagaimana pemahaman mereka terhadap bentuk aliran lukisan yang lain. Berkaitan dengan marak diadakannya kompetisi melukis untuk anak-anak, seiring dengan mulai munculnya rasa penting ‘seni’ bagi anak-anak. Pola pikir orang tua modern yang mulai memperhatikan perkembangan otak kanan anak dalam kaitannya dengan keseimbangan antara otak kiri yang sering dianggap sebagai otak akademis yang berisikan logika, analisis, matematis, dengan otak kanan yang sering dianggap sebagai otak kreatif karena dipenuhi oleh imajinasi, emosi, intuisi, dan spiritual.

Gambar 1. Ilustrasi kemampuan otak kanan

dan kiri manusia6

Dengan anggapan demikian, orang tua memberikan perhatian ekstra kepada anak-anak berupa materi tambahan dalam kaitannya dengan perkembangan otak kanan, salah satunya adalah les melukis baik secara privat maupun dalam sebuah sanggar seni.

5

John W. Santrock, 2007, 49.

6

http://api.ning.com/files/ugvKKEIE2TyLFAxjWILH*-9PTo67E1GkKo2xeRsUo8JKRjeg0Z-Lo-rbqFycRhz77 s0Vd7HVSmeASLuxK154Ha-IaNP0W5Qu/mitosotakkana nvsotakkiri.jpg diunduh pada 20 September 2014 pukul 15.32

Hal tersebut bertujuan selain untuk menyeimbangkan atau meningkatkan kemampuan otak kanan anak, juga terkait dengan kemampuan berkesenian anak yang nantinya diharapkan dapat membuahkan hasil dalam sebuah kompetisi melukis yang tengah marak saat ini. Penambaham materi melukis bagai dua sisi mata pisau, memberikan efek positif namun juga memungkinkan untuk memberikan efek negatif pada anak. Pendamping dalam hal ini adalah guru les baik privat maupun sanggar seringkali menciptakan anak ke dalam sebuah aliran yang dinamakan aliran ‘sanggar’. Aliran sanggar adalah sebuah aliran dimana hasil karya anak memiliki kemiripan dengan anak lainnya yang ikut dalam sanggar, mulai dari ide dan gagasan sampai simbolisasi bentuk dan warna. Interverensi yang dilakukan oleh guru dalam proses kreatif yang dilakukan anak ketika menciptakan karya seni memiliki dampak buruk pada kreativitas yang dimiliki anak. Guru memberikan interverensi berupa batasan-batasan pemahaman kepada anak, antara lain bentuk manusia ‘harus’ seperti ini, pohon ‘harus’ demikian, warna objek ‘harus’ sesuai, sampai penggunaan warna yang ‘harus’ digradasi. Memang, hal tersebut akan membuat lukisan anak menjadi lebih ‘bagus’, namun salah satu hal yang menjadi ironis adalah interverensi dari guru yang dapat merusak kreativitas dan spontanitas anak. Ketika proses berkarya seni, anak menghasilkan ide-ide yang unik, inovatif, kreatif, dan membuat cara keluar dari permasalahannya sendiri. Hal tersebut akan terwujud apabila anak diberi kebebasan dalam menuangkan ide dan gagasannya ke dalam karya seni nya, baik dalam lukisan ataupun gerakan tari, tanpa adanya interverensi yang berlebih dari pendamping baik guru maupun orang tua.

Gambar 2. Contoh tipe lukisan sanggar7

7

(4)

Pemahaman terhadap objek dan fenomena kepada anak yang dilakukan oleh guru dalam kaitannya dengan kegiatan seni, merupakan hal yang positif jika tidak berlebihan. Guru sebagai pendidik harus mengetahui dan memahami karakter dari masing-masing peserta didiknya guna mendapatkan hasil yang maksimal. Seseorang yang ingin mendidik orang lain harus mempertimbangkan tiga faktor dasar, (1) mengetahui sifat dasar materi yang akan disampaikan, (2) setiap pendidik harus menguasai materi yang akan diajarkan, (3) pendidik tidak berhak menolak mengenai situasi dan kondisi dimana tempat dirinya mengajar.8 Pembahasan pertama mengenai sifat dasar seni, dimana untuk memahaminya seorang ‘pendidik seni’ harus memahami seni sesuai dengan kebutuhannya. Seni pada sebagian kalangan merupakan bumbu pelengkap yang sering tidak diketahui keberadaannya. Seni lagi-lagi bagi sebagian orang merupakan kebutuhan nomor sekian dalam hakekat hidup seseorang, maka dari itu pendidik sebagai tokoh utama dalam kampanye mengenai seni harus paham apa itu seni. Seni dalam sebuah kerajaan yang dinamai pendidikan, sebenarnya terletak pada bagian paling tinggi. Telah diketahui bersama pendidikan dibagi menjadi tiga, pendidikan alam (eksak), sosial, dan estetika. Bagi beberapa kalangan pendidikan estetika belum banyak diketahui dan bagi beberapa kalangan yang tahu mengenai pendidikan estetika, mereka hanya memasukkan seni dalam pendidikan estetika. Memang, estetika adalah rumah bagi seni, namun hal tersebut bukan berarti seni tidak mampu tinggal dalam bidang eksak maupun sosial. Sepertihalnya pendidikan sosial yang meminjam matematika dari pendidikan eksak untuk mengukur sebuah fenomena sosial yang disebut sebagai statistik, sebenarnya bidang eksak dan sosial-pun meminjam seni baik sebagai media penyampaian, metode, dan pemahaman sebuah materi.

Kegiatan berkesenian dalam hal ini melukis, memiliki peran penting dalam

8

Ralph Tyler, Basic Principles of Curriculum and Indstruction, dalam Al Hurwitz, dkk., Children and Their Art: Methods for the Elementary School, United States: Thomson Wadsworth, 2007, 1.

kehidupan anak, yaitu (1) sebagai media mencurahkan perasaan yang menjadikan warna dan bentuk sebagai ungkapan perasaan, (2) sebagai media berkomunikasi yang komprehensif, pengolahan pikiran sedemikian rupa menjadi sebuah bentuk gagasan yang diekspresikan pada proses melukis, (3) sebagai media untuk melatih ingatan anak, (4) sebagai pengenalan anak pada kreatif dan mengekspresikan emosional diri yang lebih baik, dimana terjadi perpaduan antara emosional dan ide kreatif yang dapat diperoleh pada proses berkarya. Berkaitan dengan fungsi melukis sebagai media untuk melatih ingatan anak, hal tersebut mengingatkan kepada istilah reprsentasi. Melukis adalah menggambar bayangan yang ada di benak,9 bayangan di benak seniman datang dari suatu peristiwa yang dikenang, baik kenangan indah maupun kenangan yang kurang menyenangkan. Semua ingatan akan muncul ketika anak sedang melukis. Melukis dapat melatih proses berfikir secara menyeluruh yang melatih anak untuk mengemas berbagai peristiwa menjadi suatu catatan visual. Melukis juga berpotensi menawarkan pada semua anak-anak kesempatan untuk mengintegrasikan pengetahuan, keterampilan, dan pemahaman ke dalam media lukis. Di dalam lukisan anak, terdapat salah satu aspek penting yaitu kreativitas. Kreativitas berkaitan erat dengan karakteristik, ekspresi, dan imajinasi yang dimiliki seorang individu dalam sebuah cara atau metode pemecahan masalah. Kreativitas berasal dari kemampuan merangkai bagian-bagian kecil dalam pikiran menjadi sebuah kesatuan yang merekonstruksi interpretasi mengenai pemecahan masalah tersebut.10 Anak dibiarkan berpikir kreatif yaitu dengan membiarkan anak menuangkan imajinasinya. Karya seni lahir karena adanya imajinasi seniman yang menghadirkan karya tersebut. Penghadiran karya seni dapat disebut sebagai representasi, karena dalam prosesnya seniman bersinggungan dengan kenyataan objektif di luar dirinya atau kenyataan dalam dirinya sendiri.11 Persinggungan ini menimbulkan respons atau tanggapan meskipun tidak semua kenyataan menimbulkan respons pada seniman. Mengenai lahirnya karya seni dimana tanggapan tersebut dimiliki oleh seniman dan diungkapkan, direpresentasikan ke luar dirinya. Istilah representasi seni dapat mengandung arti

9

Hajar Pamadhi, dkk., Seni Keterampilan Anak, Yogyakarta: Universitas Terbuka, 2008, 3.14.

10

Susan Wright, Understanding Creativity in Early Childhood: Meaning-Making and Children’s Drawing, London: SAGE, 2010, 4.

11

(5)

sebuah gambaran yang melambangkan atau mengacu pada kenyataan eksternal, atau dapat berarti pula mengungkapkan ciri-ciri umum yang universal dari alam manusia.12 Representasionalisme adalah pandangan bahwa seni merupakan suatu cara merepresentasikan sesuatu. Representasionalisme juga merupakan pandangan normatif yang membawa seseorang untuk menempatkan nilai tinggi pada karya sama seperti potret ‘lifelike’ atau sama seperti aslinya. Sebagian orang menyukai dan memuji potret kehidupan manusia dan lukisan pemandangan sebagai representasi kenyataan. Namun mereka juga beranggapan, seniman bergaya realis tidak hanya sekedar menyalin apa yang mereka lihat, tapi lebuh dari itu dimana mereka mengharapkan untuk menawarkan interpretasi pribadi. Tugas seniman adalah menciptakan kesadaran sosial atas realitas itu sndiri; seniman dituntut menciptakan dunia khayal atau fiksi tertinggi.13

Gambar 3. Lukisan anak: spontan dan

ekspresif14

Dunia yang direpresentasikan dalam karya seni idealis atau imajinatif adalah dunia yang segar, sebuah rekonstruksi dari kesadaran manusia bahwa dunia memang seperti itu adanya. Kebanyakan orang cenderung untuk berpikir bahwa representasi sebagai penjiplakan karena ketentuan pada umumnya dalam lukisan menginginkan untuk mereprentasi melalui tingkat kemiripan yang tinggi, namun hal tersebut juga tidak melulu diperlukan juga. Gambar-gambar seni di zaman Mesir kuno seringkali terlihat aneh bagi kita, seolah-olah sang seniman tidak mampu untuk melakukan yang lebih baik. Perbedaan antara

12

Jakob Sumardjo, 2000, 76.

13

Jakob Sumardjo, 2000, 129.

14

Karya Rasya Rizqi Ananda, 8 tahun, dokumentasi penulis.

representasi yang kuno (Mesir) dan modern atas manusia bagaimanapun merupakan hasil dari perbedaan ketentuan mengenai representasi.15 Seni bukan sekadar representasi dunia eksternal, atau sebagai representasi karakteristik umum yang universal dari suatu kenyataan, atau suatu pelarian dari dunia nyata untuk sekadar memasuki dunia transedental.16 Adalah sebuah kesalahan untuk memikirkan representasi dalam seni visual sebagai upaya sederhana untuk ‘menyalin’ apa yang ‘dilihat’.

Gambar 4. Representasi lukisan anak sesuai

dengan keinginannya17

Ernst Gombrich dalam Art and Illusion

menyatakan bahwa kekuatan pelukis bukanlah untuk menghasilkan kembali apa yang ‘ada di sana’, namun untuk menciptakan sebuah ‘kesan’ meyakinkan bahwa kita sedang melihat sesuatu yng direpresentasikan.18 Bahkan kebanyakan representasi yang mirip dengan kehidupan tidak dapat dipikirkan hanya sebagai jiplakan. Pembuatnya mengikuti ketentuan yang mana menentukan bagaimana sesuatu direpresentasikan dan memakai teknik yang mewajibkan kita untuk melihatnya dengan cara tertentu. Anak-anak memiliki visinya sendiri untuk merepresentasikan apa yang dilihat maupun apa yang dipikirkannya ke dalam lukisan. Dengan demikian, setelah menelusuri perkembangan pemikiran karya seni sebagai representasi tiruan kenyataan atau ekspresi subjek atas kenyataan, dapatlah disimpulkan adanya enam pandangan tentang apa yang seharusnya diwujudkan dalam karya seni yaitu, (1) seni merupakan representasi sikap ilmiah atas kenyataan alam dan kenyataan sosial; (2) seni adalah representasi karakteristik general dari alam dan emosi manusia; (3) seni adalah representasi karakteristik general dalam alam dan manusia yang

15

Gordon Graham, Philosophy of The Arts: An Introduction to Aesthetics, London: Routledge, 1997, 88.

16

Jakob Sumardjo, 2000, 129.

17

Karya Rasya Rizqi Ananda, 8 tahun, dokumentasi penulis.

18

(6)

dilihat secara subjektif oleh senimannya; (4) seni adalah representasi bentuk ideal yang melekat pada alam kenyataan dan alam pikiran seniman; (5) seni adalah representasi bentuk ideal yang transedental; (6) seni adalah representasi dunia seni itu sendiri.19 Pandangan di atas seluruhnya ada di dalam karya seni yang dihasilkan oleh anak. Orang dewasa terlalu terpaku dengan aturan-aturan yang diketahuinya, bukan dipahaminya. Sebagian besar dari mereka masih sering mengalami kebingungan saat ingin merepresentasikan sesuatu. Kebingungan yang dialami tersebut diakibatkan oleh keinginan untuk dianggap atau eksistensi. Hasil dari representasi dari orang dewasa yang dituangkan, selalu sesuai dengan apa yang kita ketahui sebelumnya. Misalnya, representasi mengenai perang, maka yang dilukiskan adalah simbol tentang perang secara nyata, atau dalam keadaan yang mendekatinya, baik dari simbolisasi bentuk maupun warna. Berbeda dengan anak-anak yang merepresentasikan dengan hal yang berbeda sesuai dengan pemahamannya mengenai suatu kejadian. Anak-anak berkarya tidak melihat batasan-batasan tersebut. Mereka berkarya spontan, ekspresif, dan tentu orisinil, yang memang benar-benar hasil olahan ide dan gagasan yang dimilikinya.

Hal lain yang didapatkan dari lukisan anak adalah mengenai bagaimana anak mengolah pengalaman seni yang dimilikinya. Pengalaman dalam seni dikategorikan menjadi dua jenis yaitu pengalaman artistik (act of production) dan pengalaman estetik (perception and enjoyment). Pengalaman artistik adalah pengalaman seni yang terjadi dalam proses penciptaan karya seni.20 Pengalaman ini dirasakan oleh seniman pada saat melakukan aktivitas artistik yang dinamakan proses kreatif. Pengalaman estetik adalah pengalaman yang dirasakan oleh penikmat terhadap karya estetik dalam arti keindahan.21 Kenikmatan yang dihasilkan oleh keindahan dari sebuah karya seni memiliki tingkat subjektivitas yang tinggi. Seseorang tidak dapat menikmati dan tidak

19

Jakob Sumardjo, 2000, 131.

20

John Dewey, Art as Experience, New York: Perigee Books, 1980, 46.

21

John Dewey, 1980, 46.

dapat menerima efek dari karya seni apabila tidak memiliki ketertarikan terhadap seni tersebut.22 Kenikmatan dalam mengapresiasi karya seni menimbulkan kesenangan pada akal yang nantinya dapat memberikan pengalaman seni. Hakekat seni diletakkan pada intuisi serta perasaan seseorang.23 Seseorang senantiasa mengacu pada pengalaman sebagai unsur hakiki dalam penilaian estetis. Keindahan dapat dikenal melalui pengalaman, dan terbentuk oleh pengalaman dengan membayangkan sesuatu.24 Beberapa istilah di atas yang menjadi masalah bagi orang dewasa. Lagi-lagi, sebagian besar dari mereka menganggap seluruh manusia memiliki interpretasi yang ‘benar’ dan ‘sesuai’ mengenai istilah-istilah di atas. Namun secara tidak disadari, hal tersebut justru membuat orang menjadi tidak dapat berkembang dan seakan lebih memikirkan bagaimana tanggapan orang lain mengenai dirinya, daripada memperhatikan esensi seni sebagai media pencurahan perasaan.

Berbicara mengenai representasi, pengalaman seni, terdapat satu istilah yang erat hubungannya dengan kesenian, yaitu persepsi. Manusia memiliki dua macam persepsi yaitu kesan atau ide; kesan merupakan pengalaman inderawi (realitas lahiriah atau pengamatan), baik dari luar maupun perasaan batin sedangkan ide atau gagasan adalah hasil renungan atau ingatan dari kesan tersebut. Kesan merupakan jenis yang lebih memiliki kekuatan dan kekerasan, sedangkan gagasan adalah citra yang remang-remang tentang keduanya dalam pemikiran dan penalaran.25 Seniman berupaya mengkomunikasikan idenya lewat benda-benda seni kepada publik. Publik yang menikmati dan menilai karya seni tersebut memberikan nilai-nilai yang merupakan respon estetik publik terhadap benda seni yang mungkin bisa muncul berbeda. Hal ini tergantung pada subjek publik sebagai pemberi nilai. Betapapun seorang seniman banyak menghasilkan karya, namun jika publik seni tidak pernah menganggap bahwa karya itu bernilai, maka karya semacam itu akan lenyap dan tak pernah memiliki arti apapun.26 Sama halnya dengan representasi, persepsi yang dimiliki oleh anak sesuai dengan masa perkembangannya, namun yang membuatnya istimewa adalah

Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat: Kaitnnya dengan Kondisi Sosio-Politik Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, 865.

26

(7)

bagaimana cara anak memvisualisasikan, mensimbolisasi bentuk dan warna dalam lukisannya.

Hasil karya memiliki nilai-nilai, dan salah satu nilai penting dari karya seni adalah nilai estetis. Seni memiliki nilai estetis atau keindahan yang disukai oleh manusia dan mengandung ide-ide yang dinyatakan dalam bentuk aktivitas atau rupa sebagai lambang. Seni dapat menyebabkan seseorang memperoleh kenikmatan sebagai akibat dari refleksi perasaan terhadap stimulus yang diterima. Kenikmatan seni bukanlah kenikmatan fisik lahiriah, melainkan kenikmatan banitiah yang muncul ketika menangkap dan merasakan simbol-simbol estetika dari sebuah karya seni. Penikmatan merupakan proses dimensi psikologis, proses interaksi antara aspek intrinsik seseorang terhadap sebuah karya estetik.27 Hasil dari proses tersebut merupakan penilaian mengenai senang atau tidaknya terhadap keberlangsungan terhadap karya seni. Hal tersebut dipengaruhi oleh tingkat relatifitas seseorang dalam menghadapi sebuah sajian karya seni, selain itu juga dipengaruhi dari tingkat intelektual seseorang dan latar belakang budayanya. Standar rasa muncul dari sifat manusia, sejak mereka berbagi sifat yang sama maka secara umum mereka menyukai hal yang sama. Ketika rasa itu datang ke seni, beberapa bentuk tertentu atau kualitas dari struktur asli pikiran manusia sudah memperhitungkan rasa senang atau sebaliknya.28 Jadi keindahan atau keburukan bukan terdapat dalam sebuah objek, melainkan dari perasaan. Orang tua sebagai pusat kontrol anak, menilai karya seni anak sesuai dengan visi yang dimilikinya, visi orang dewasa. Kebanyakan orang tua menganggap lukisan yang dihasilkan sendiri oleh anak tidak memiliki arti, maka sering muncullah kata-kata seperti “menggambar apa kamu itu, nak?”, “lukisanmu seperti benang ruwet”, “kuda kok seperti itu, pohon kok daunnya warna merah, salah!”, dan kata-kata yang secara tidak langsung memojokkan anak, mengucilkan sisi kreatif dan visi anak terhadap berbagai objek dan fenomena. Jika orang tua memperhatikan

27

Sony Kartika Dharsono, dkk., 2004, 95.

28

Gordon Graham, 1997, 4.

secara kritis, pada dasarnya saat anak melakukan proses pemindahan ide dan gagasannya ke dalam bentuk lukisan, pikiran anak dikuasai alam bawah sadar dan dituangkan dalam bentuk simbolis, yang sebagian anak telah mampu mengamati objek di depannya untuk dilukis, akan tetapi dengan goresan yang belum berujud, misalnya lukisan tersebut hanya berupa garis atau goresan cat. Hal tersebut membuat lukisan anak seakan-akan nirmakna, dan meimbulkan sebuah pertanyaan klasik “seni macam apa ini?”. Berdasarkan teori seni konseptual dari akhir 1960-an dan mengatakan bahwa sesuatu adalah sebuah karya seni jika, dan hanya jika benda yang ditujukan sebagai karya seni memenuhi tiga kriteria : pertama, benda atau karya tersebut harus membuat penonton bertanya

“apakah ini seni?”, yang kedua ‘seniman harus menyatakannya sebagai sebuah karya seni’, dan ketiga ‘benda’ atau karya tersebut harus ditampilkan dalam ruang seni dalam hal ini pameran. Kita bisa merujuk pada Marcel Duchamp dengan karya agungnya yang berjudul Fountain. Karya itu adalah kloset sebagaimana mestinya dan disimpan begitu saja di galeri. Meski awalnya ditolak sebagai karya seni, namun hal tersebut justru menantang setiap orang untuk bertanya

‘apakah ini seni?’. Jelas pertanyaan tersebut telah mencakup salah satu syarat disebutnya sebagai karya seni. Selanjutnya, seniman tentu menyebutnya sebagai karya seni, dan seniman meletakkannya dalam ruang publik atau dipamerkan. Pada akhirnya dapat dikatakan bahwa

Fountain karya Duchamp merupakan sebuah karya seni.

Gambar 5. Fountain – Marcel Duchamp29

29

(8)

Pendekatan Jung yang merepresentasikan ilmu psikologis yang dipelajarinya ke dalam ranah estetika, dimana dirinya menilai sebuah karya seni melalui pendekatan psikologis. Pendekatan yang biasa dilakukan Jung memiliki beberapa masalah atau kekurangan. Untuk individu masalahnya adalah mencegah setiap diskusi substansif pada ada atau tidaknya seni ditinjau dari kualitasnya. Mereka dengan cara pandang Jung lebih ke sisi psikologis atau sisi emosional dalam menilai baik tidaknya sebuah karya seni. Kembali pada kaitannya dengan karya anak, pada saat itu sebenarnya anak telah menciptakan karya seni dengan tingkat orisinalitas yang maksimal. Sesuai dengan teori konspetual yang telah dijabarkan di atas, bagaimana ‘sesuatu’ dikatakan karya sseni jika benda atau karya tersebut harus membuat penonton bertanya

“apakah ini seni?”, yang kedua ‘seniman harus menyatakannya sebagai sebuah karya seni’, dan ketiga ‘benda’ atau karya tersebut harus ditampilkan dalam ruang seni dalam hal ini pameran. Di dalam ‘syarat’ tersebut, pertama, membuat penonton bertanya ”apa ini seni?”, sekiranya lukisan yang dihasilkan orisiniloleh anak telah memenuhi syarat tersebut. Diluar kemampuan motorik anak dalam memvisualisasikan ide dan gagasannya, sering kita jumpai lukisan anak yang membuat kita justru bertanya “gambar apa ini”, seperti yang telah dicontohkan dalam pembahasan sebelumnya. Syarat yang kedua yaitu seniman menyatakan bahwa ini adalah karya seni. Dalam kaitannya dengan anak-anak, sebenarnya mereka menciptakan ‘seni’ sesuai dengan hakekatnya. Syarat ketiga, karya tersebut harus ditampilkan dalam ruang seni. Anak-anak memiliki dunianya sendiri, pun dengan ruang seni yang diciptakannya sendiri. Anak-anak menganggap dunia ini adalah ruang seni, hal tersebut dapat kita cermati dan pahami apabila melihat dunia anak yang merupakan dunia bermain memiliki kaitan erat dengan dunia seni. Maka dapat dikatakan setelah tiga syarat dapat terpenuhi, karya anak tentu merupakan seni, seni yang terkadang melebihi pikiran orang dewasa.

3. Kesimpulan

Ilmu pengetahuan adalah suatu produk pemikiran manusia yang sekaligus menysuaikan antara hukum-hukum pemikiran dengan dunia luar. Ilmu pengetahuan memiliki sebuah kontruksi yang memiliki peran sentral yang disebut konsep. Setiap pembentukan konsep selalu terkait dengan kenyataan (reality), teori (theory), kata-kata

(words), dan pemikiran (thought).30 Kenyataan membutuhkan imajinasi baik dari pengalaman maupun imajinasi spontan untuk jadi kenyataan. Salah satu yang tidak dimiliki oleh orang dewasa, namun dimiliki oleh setiap anak-anak adalah spontanitas dan keberanian. Teori merupakan tingkat pengertian tentang sesuatu yang sudah teruji, sehingga dapat dipakai sebagai titik tolak bagi pemahaman hal lain.31 Lukisan anak sebagai teori bagi orang dewasa untuk paham mengenai esensi seni, bagaimana berkarya seni, yang pada akhirnya mampu diaplikasikan ke dalam bidang-bidang lain yang membantu dalam kehidupan.

30

Periksa Frederick Sontag, Elements of Philosophy, New York: Charles Schribner’s Son, 1984, 141.

31

Gambar

Gambar 2.  Contoh tipe lukisan sanggar7
Gambar 4.  Representasi lukisan anak sesuai 17
Gambar 5.  Fountain – Marcel Duchamp29

Referensi

Dokumen terkait

Objektif kajian adalah untuk mengenal pasti tahap pengaruh televisyen (pelakon, keganasan, senjata, situasi, ditiru, kesan) terhadap murid-murid sekolah, mengenal pasti

Markisa, Muka Kuning, Batamindo Industrial Park Community Centre, Ba Komplek Pasar Fanindo Blok B no.. 11-12 Tanjung

Kerja (Y) sebagai variabel dependent. Hasil penelitian ini adalah 1) terdapat pengaruh stress kerja terhadap kepuasan kerja polisi Polresta Padang sebesar

Pemodelan dengan sayatan diharapkan dapat menjelaskan struktur bawah permukaan daerah penelitian yang berlokasi di sekitar manifestasi mataair panas Kaliulo berupa

Perdarahan antepartum adalah perdarahan dari vagina yang terjadi pada usia kehamilan lebih atau sama dengan 20 minggu dan terjadi sebelum bayi lahir.. SOLUTIO PLASENTA =

diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Banyaknya peraturan atau hukum warisan kolonial yang berlaku di Indonesia mengakibatkan hingga saat ini negara hukum Indonesia belum memiliki

Sesuai dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 272 / Kpts.II / 2003 tanggal 12 Agustus 2003 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Penyuluh Kehutanan dan Angka

masalah, Tetapi pendapat ini tidak sepenuhnya benar karena banyak penderita alergi  batuk saat tidur siang atau di kantor dengan AC yang sangat dingin tidak timbul gejala