• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biografi Pahlawan Faridan M. Noto

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Biografi Pahlawan Faridan M. Noto"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

FARIDAN MURIDAN NOTO

Oleh:

Zahirah Tsurayya Mufidah

XI IPS

28 / 14311

SMA N 1 YOGYAKARTA

(2)

Faridan Muridan Noto

Sang Kesatria Pembela di Garis Depan

Jika mengaku sebagai masyarakat asli kota Yogyakarta, pasti sudah tidak asing dengan nama daerah berikut: Kotabaru. Sebuah kawasan yang terletak di sebelah timur laut Malioboro dan merupakan salah satu daerah yang cukup padat. Wilayah yang diapit lima kelurahan ini tidak pernah sepi dari lalu lalang orang-orang, terutama para pelajar salah satu sekolah negeri ternama di Yogyakarta, atau para muda-mudi yang sekadar mencicipi kuliner yang tersaji di beberapa restoran di sana.

Namun, siapa sangka, tempat yang nampak nyaman tersebut dahulunya adalah saksi bisu pertumpahan darah para kusuma bangsa yang kukuh mempertahankan kibaran sang Merah Putih di ujung tiang, berpuluh tahun silam. Para pejuang yang seharusnya masih mengenyam bangku pendidikan, tapi malah ikut turun ke jalan membuktikan bakti mereka pada negeri. Peristiwa yang tepatnya terjadi pada 7 Oktober 1945 dan bertajuk Penyerangan Kotabaru tersebut ikut merenggut nyawa seorang taruna terbaik yang pernah dimiliki bangsa. Beliau yang namanya kini diabadikan sebagai nama jalan yang merentang dari persimpangan jalan Abu Bakar Ali hingga persimpangan jalan Sabirin: Faridan Muridan Noto.

Faridan Muridan Noto atau biasa disingkat Faridan M. Noto adalah anak sulung dari lima bersaudara yang lahir pada tanggal 1 Agustus 1924 dari pasangan H. Muridan Noto dan Nyonya Alfiah. Ayahnya merupakan seorang jendral PETA yang berpangkat

Daidanchou, sedangkan ibunya merupakan anggota kelompok karawitan di Keraton pada saat itu. Beliau hidup dalam kecukupan, keluarganya merupakan keluarga yang cukup terpandang dan terpelajar. Hal ini dibuktikan dengan pendidikan yang dienyam oleh beliau, yaitu di Neutrale MULO Yogyakarta (sekarang gedung SMP N 8 Yogyakarta), kemudian berlanjut ke SMT A dan B Kotabaru (sekarang gedung SMAN 3 Yogyakarta).

Faridan muda merupakan seorang pelajar yang cerdas. Beliau selalu mendapatkan nilai yang gemilang terutama dalam bidang eksak dan bercita-cita untuk melanjutkan ke sekolah teknik, meskipun ayahnya menyuruhnya untuk menjadi dokter saja. Beliau dikenal sebagai orang yang galak namun disiplin di lingkungan keluarganya. Beliau paling tidak suka kalau diganggu saat belajar. Beliau juga tak segan untuk galak pada adik-adiknya jika bandel dan susah diberi tahu.

(3)

Seperti pemuda kebanyakan, beliau aktif dalam berbagai kegiatan. Diantaranya adalah mendirikan band keroncong bersama pemuda lain dari Beji hingga menjadi penyanyi di radio lokal. Selain itu, beliau juga melatih para pemuda di kampungnya untuk baris-berbaris.

Pendidikan Faridan di sekolah umum sempat tertunda. Hal ini dikarenakan beliau masuk ke SMT Kotabaru saat masih menjadi AMS (Algemeene Middelbare School) B. Tanpa diduga, setahun kemudian AMS ditutup dan banyak muridnya yang pulang ke kampung masing-masing. Beliau memutuskan untuk bergabung ke PETA. Hal ini sempat ditentang oleh keluarganya, karena beliau adalah anak sulung dan anak lelaki satu-satunya. Namun, setelah adik laki-lakinya yang bungsu lahir, beliau diperbolehkan untuk meneruskan jejak ayahandanya di PETA. Dua tahun ditempa di PETA dan lulus dengan pangkat Shodancho, beliau meneruskan kembali sekolahnya yang tertunda di SMT.

Kisah heroisme seorang Faridan berawal dari sebuah perundingan antara pihak Indonesia dan Jepang pada tanggal 6 Oktober 1945—sehari sebelum hari penyerbuan. Pihak Indonesia diwakili oleh beberapa petinggi militer dari BKR (Badan Keamanan Rakyat) serta polisi istimewa, sedangkan pihak Jepang diwakili oleh Mayor Otsuka, Sazaki, dan Kapten Ito. Perundingan tersebut membahas tentang persenjataan di Mase Butai (gudang penyimpanan senjata milik Jepang yang berada di Kotabaru) agar diserahkan kepada pihak RI. Selain itu, perundingan tersebut juga berangkat dari laporan warga yang resah karena Jepang tak kunjung hengkang dari tanah Indonesia pasca dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan RI. Perundingan yang dilakukan di kediaman Mayor Otsuka (sekarang kantor asuransi Jiwa Sraya) tersebut tidak menemui titik terang, karena Mayor Otsuka bersikukuh tidak akan menyerahkan gudang senjatanya tersebut.

Karena tidak ada itikad baik dari pihak Jepang, BKR memutuskan untuk melakukan penyerbuan ke markas Jepang di Kotabaru. Rencana ini sudah diamini oleh Sri Sultan Hamengkubuwana IX, bahkan beliau menyerukan agar banyak pemuda yang ikut turun ke penyerbuan. Termasuk Letkol Soeharto yang kelak membawa pasukan dari Benteng Vredeburg ke Kotabaru.

Faridan yang turut geram dengan kelakuan Jepang ikut berpartisipasi dalam rencana penyerbuan tersebut. Beliau mengoordinir pemuda-pemuda dari kampungnya untuk ikut serta dalam penyerbuan. Dengan kharismanya, beliau mampu menyulut semangat ratusan pemuda untuk berjuang membela tanah air mereka.

(4)

Suara tembakan tiga kali di udara tiba-tiba menyalak memecah kesunyian. Pertempuran sudah dimulai. Pasukan yang dikomandoi Faridan merangsek maju hanya dengan bermodalkan bambu runcing, martil, parang, pisau dan ada juga yang bersenjata revolver, karabin dan metaliur. Faridan dengan gagah berani berada di garis depan, menerobos pertahanan Jepang yang jelas-jelas bersenjata lebih lengkap.

Usahanya tersebut ternyata menagih balasan nyawa. Ketika Faridan sedang menyalakan sumbu granat, peluru sudah terlanjur melesat menghujam pelipis dan beberapa bagian tubuh lainnya sebelum beliau sempat melemparkan granatnya ke tangsi lawan. Granat tersebut meledak dan tubuh Faridan terkena serpihan ledakannya.

Beliau langsung digendong salah seorang temannya dan dibawa ke Rumah Sakit Pusat Yogyakarta (sekarang RS Bethesda). Namun sayangnya, dokter dan petugas palang merah tidak dapat menyelamatkan nyawanya. Sepertinya, firasat Faridan jika dirinya tidak akan kembali telah terbukti. Sebelum pertempuran dimulai, beliau sempat berkelakar di atas truk yang membawanya, “Kalau aku gugur, aku ingin diantar dengan truk ini”. Benar saja, Faridan adalah pejuang pertama yang gugur di medan laga.

Korban satu disusul yang lain. Di dini hari yang mencekam itu, 21 jiwa dikorbankan demi membela ibu pertiwi. Namun, usaha mereka tidak sia-sia, kerena Jepang yang terdesak oleh ribuan pasukan dari berbagai arah akhirnya menyerah.

Siang hari setelah pertempuran selesai, masyarakat Yogyakarta mengibarkan bendera setengah tiang sebagai tanda berkabung atas jiwa-jiwa para kesatria yang gugur. Pemakaman jenazah dilakukan sore hari pukul 16.00 dan diberangkatkan dari Gedung Agung menuju pemakaman Semaki (sekarang Taman Makam Pahlawan Kusumanegara). Namun atas permintaan keluarga, Faridan dimakamkan di makam keluarga di Pemakaman Gajah, dekat TMP Kusumanegara.

Untuk mengenang jasa mereka, nama-nama mereka kini diabadikan menjadi nama jalan di wilayah Kotabaru, termasuk nama Faridan M. Noto yang disematkan pada nama jalan di bagian barat Kotabaru menggantikan nama Danoeredjolaan-Kroonplinslaan. Pada tahun 1950-an, didirikan Masjid Syuhada’ sebagai pengenang para syuhada’ yang gugur. Selain itu, nama-nama ke-21 pemuda yang gugur juga diabadikan di monumen Serbuan Kotabaru (terletak di belakang SMPN 5 Yogyakarta).

Pihak keluarga juga turut mengenang namanya. Pada tahun 1987, berdiri sebuah masjid di kampung kelahirannya, Beji, Pakualaman. Masjid yang diberi nama sama dengan namanya tersebut berdiri di atas tanah wakaf milik Dr. Assilah Muridan Noto (adik kandung Faridan M. Noto) dan diresmikan oleh KGPAA Pakualam VIII. Hingga kini, masjid tersebut masih dapat digunakan untuk tempat beribadah dan kegiatan keagamaan lainnya.

(5)
(6)
(7)

LAMPIRAN

Makam Faridan M. Noto di Pemakaman Gajah

Masjid Faridan M. Noto

(8)

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. First

Blood .http://padzandfriends.tumblr.com/post/41866140648/firstblood. Diakses pada 26 November 2014, 03.40 WIB.

Herangga, Ni Putu Tarasita. 2014. Kesatriya Tama yang Gugur, Faridan Muridan Noto.

http://cappuccinoandsunshine.blogspot.com/2014/10/ksatriya-tama-yang-gugur-faridan.html. Diakses pada 26 November 2014, 03.45 WIB.

Atisatya, Fadiya Dhaneswara. 2014. 7 Oktober 1945 - 2014 … . [ID]. http://f-dhaneswara.tumblr.com/post/99409220601/7-oktober-1945-2014-id. Diakses pada 26 November 2014, 03.48 WIB.

Sujatmiko, Fajar. 2009. Masjid Faridan M, Noto.

http://pustakahikmah.blogspot.com/2009/10/masjid-faridan-m-noto.html. Diakses pada 27 November 2014, 03.20 WIB.

Atmosudiro, Sumijati dkk. 2010. Ensiklopedi Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan Prov DIY.

Referensi

Dokumen terkait