• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH MATA KULIAH KOMUNIKASI POLITIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH MATA KULIAH KOMUNIKASI POLITIK"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Perilaku dan Gaya Komunikasi Politik Suharto

Diajukan Sebagai Tugas Mata Kuliah Komunikasi Politik

Disusun Oleh:

1. Amirudin Masbait

2. Anita Deki

3. Atmojo Laogu

4. Zulfikhar

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALUKU UTARA

(2)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Memasuki usia 71 tahun sejak negeri ini merdeka, telah tujuh orang presiden bergonta-ganti menjalankan rezimnya masing-masing dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Dari zaman Sukarno hingga Joko Widodo yang saat ini memimpin, telah banyak perubahan yang terjadi.

Di bidang politik, Indonesia telah sungguh-sungguh mempraktikkan sistem demokrasi sebagai sistem politiknya menyusul lengsernya Suharto pada 1998 silam. Kendati, dalam perjalanannya masih banyak persoalan yang perlu dibenahi. Terutama, usaha untuk mengakhiri model demokrasi prosedural. Yakni pemahaman terhadap demokrasi sejauh pada ukuran ketertiban mekanisme yang dijalankan. Bukan pada kualitas mekanisme itu sendiri (baca: demokrasi substansial) sehingga berimbas pada kemunculan banyak pemimpin-pemimpin bangsa yang sejatinya belum memiliki integritas yang memadai.

Selain itu, situasi politik di negara kita saat ini tengah di bayang-bayangi kekuatan-kekuatan non-negara yang berupaya melemahkan kedaulatan politik negara. Betapa kita menyaksikan ketidakberdayaan pemerintah kita dalam menghadapi kekuatan perusahaan-perusahaan multinasional yang mengeksploitasi sumber daya alam kita. Misalnya, kasus PT. Freeport beberapa waktu lalu yang hendak mempengaruhi pemerintah kita untuk memperpanjang kontrak perusahaan asal Amerika itu sebelum waktunya (baca: 2019). Juga yang sedang ramai sekarang adalah kasus reklamasi teluk Jakarta oleh perusahaan real estate yang berkepentingan dengan pemerintah dan DPRD DKI Jakarta.

(3)

bayangan di Wamena yang di kenal dengan United Liberty Movement for West Papua

(ULMWP). ULMWP di bentuk untuk mempersiapkan segala kebutuhan ketika kelak Papua berhasil merdeka.

Di bidang ekonomi, negara kita telah melalui periode kapitalisme negara yang dikendalikan oleh rezim Orde Baru selama 32 tahun. Namun, alih-alih kembali pada model ekonomi Pancasila atau Kerakyatan, ekonomi kita hari ini justru tersungkur lebih dalam ke dalam jurang kapitalisme global yang tak berujung. Kapitalisme yang dulunya hanya melibatkan kroni-kroni Suharto, sekarang menjadi arena persaingan bebas yang memberikan kesempatan kepada semua warga negara untuk ikut berkompetisi. Tidak terkecuali warga negara asing.

Sementara itu, bagi mereka yang tak memiliki kekuatan kapital memadai atau kalah dalam persaingan itu, dengan sendirinya lalu bekerja pada para pengusaha-pengusaha itu. Dengan upah seadanya. Syukur-syukur jika memperolehnya sama dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) dan tidak lebih rendah dari UMP. Jika tidak, maka serikat buruh akhirnya turun tangan mengadvokasi. Melakukan advokasi berarti memunculkan dua konsekuensi: berhasil atau gagal. Untuk yang terakhir, konflik berkepanjanganlah yang kemudian terjadi.

Hasil alam dalam negeri Indonesia pun mengalami keadaan yang tidak jauh berbeda. Saat ini para petani, peternak dan nelayan diperlakukan lebih buruk dari zaman Orde Baru. Kalau dulu pasokan pasar dalam negeri berasal dari tanah-tanah mereka, kini komoditas yang beredar di pasar juga datang dari luar negeri. Kalau dulu garam dan singkong tak pernah di impor, sekarang dua komoditas itu tidak segan-segan di impor pemerintah.

Di bidang kebudayaan, situasi negara kita tambah memprihatinkan. Para generasi muda kita kini telah dipengaruhi gaya hidup generasi muda di negara-negara maju. Hidup foya-foya, mengonsumsi narkoba, minuman keras dan pornografi, sudah menjadi gaya hidup tak terpisahkan dari kebanyakan mereka. Sehingga berujung pada kerusakan moral dan adab. Pembunuhan, perampokan, perzinaan dan pemerkosaan sebagai eksesnya adalah informasi yang setiap hari kita saksikan di layar televisi dan headline surat kabar.

(4)

konsumtif bergeser dari kebutuhan tersier menjadi kebutuhan primer sehingga dianggap mendesak untuk dipenuhi.

Fenomena semacam ini mendesak untuk di benahi sesegera mungkin. Untuk itu, kepemimpinan nasional yang kuatlah kunci utamanya. Namun, untuk mencapai ekspektasi tersebut, dibutuhkan strategi jitu agar kebijakan-kebijakan politik pemerintah dapat dijalankan. Dari sinilah kemudian komunikasi politik menjadi relevan. Dengan tujuan tidak lain merubah opini publik yang menyimpang, sehingga nilai-nilai luhur berbangsa dan bernegara yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945 dapat kembali dilestarikan.

Para presiden yang selama ini memimpin Indonesia memiliki gaya komunikasi politik yang berbeda satu sama lain. Hal ini dipengaruhi oleh pertama, situasi politik internasional saat itu.

Kedua, situasi ekonomi dan politik dalam negeri. Ketiga, sistem politik dan ekonomi yang dijalankan. Dan keempat, tingkat partisipasi politik warga dan civil society.

Makanya, kita menyaksikan perbedaan yang sangat mencolok antara gaya komunikasi politik Sukarno yang begitu energik berapi-api membakar semangat massa dan tegas melawan intervensi asing, dengan pembawaan diri Suharto yang tenang dan cenderung hati-hati dalam menanggapi suatu isu, pragmatis, tetapi terbuka pada segala hal yang datang dari luar. Terkhusus dalam pengelolaan ekonomi nasional dan sumber daya alam.

Latar belakang gaya komunikasi yang berbeda tersebut tentu dapat kita telusuri menggunakan beberapa variabel tadi. Tentu saja berbeda situasi politik pada tahun-tahun pasca revolusi kemerdekaan dimana bayang-bayang kolonialisme Belanda masih menghantui. Ketimbang dekade 1960-an, yang identik dengan menguatnya resonansi perang dingin antara Blok Barat dan Blok Timur. Adanya kompetisi antara kedua kutub tersebut, dimana banyak negara-negara dunia ketiga ikut ambi bagian di dalamnya, menempatkan Indonesia pada posisi yang sebelumnya netral namun segera berubah 180 derajat menyusul pergantian kepemimpinan nasional ke tangan Suharto.

(5)

Bagaimana pun juga, komunikasi politik memperoleh posisi penting untuk menyelamatkan kepentingan masing-masing rezim yang pernah berkuasa. Hal yang sama berlaku pula pada rezim Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berakhir pada 2014 silam dan Joko Widodo pada masa sekarang.

Gaya komunikasi SBY yang cukup toleran dan amat santun menjadikan pesan-pesan politiknya lebih mudah diterima rakyat. Efek yang diharapkan dari komunikasi yang dibangun melalui gesture tubuhnya yang tertata rapi dan tenang cukup memperoleh sambutan positif dari masyarakat Indonesia. Kendati, hal ini tentu saja tidak berlaku pada lapisan masyarakat yang lebih terdidik dan paham politik serta kaum oposan. Begitu juga yang terjadi Joko Widodo dengan pembawaan dirinya yang sangat merakyat. Menggunakan blusukan sebagai metode pengawasan dan evaluasi kepemimpinannya, dikombinasikan dengan sifatnya yang amat terbuka dan dekat dengan media, di tambah retorikanya yang amat sederhana dan mudah dipahami, menjadikan Joko Widodo sebagai sosok presiden pasca Reformasi yang dianggap paling populis dan di cintai rakyat Indonesia.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apa yang dimaksud dengan komunikasi politik?

2. Bagaimana gaya komunikasi politik di masa Presiden Suharto? C. TUJUAN MAKALAH

(6)

BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI PERILAKU DAN KOMUNIKASI POLITIK a. Definisi Perilaku Politik

Menurut Ramlan Surbakti (2010), perilaku politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat di antara lembaga-lembaga pemerintah dan di antara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik.1

Perilaku politik di sini diposisikan sebagai sikap pemerintah ke luar. Yakni terhadap struktur di bawah yang diperintahnya, atau pun terhadap struktur yang berdiri sejajar dengannya seperti lembaga legislatif dan yudikatif. Segala tindak tanduk pemerintah, benar dan salah, baik dan buruk, di sebut sebagai bagian dari pada perilaku politik.

Perilaku politik tidak jauh berbeda dengan perilaku keseharian manusia. Bahwa ada manusia yang jujur, demawan, rajin membantu sesama. Juga ada yang pembohong, pelit, individualis dan lain-lain. Adanya perilaku ini kemudian menentukan sikap pemerintah terhadap masyarakat atau sebaliknya. Pada gilirannya kemudian menentukan status pemerintahan dan masyarakat apakah sudah ideal atau belum.

Masih menurut Surbakti, perilaku politik di bagi dua, yakni (1) perilaku politik lembaga-lembaga dan para pejabat pemerintah, dan (2) perilaku politik warga negara biasa (baik individu maupun kelompok). Tipe perilaku yang terakhir ini dalam ilmu politik sering di sebut partisipasi politik. 2

Dalam melakukan analisa terhadap perilaku politik, tersedia tiga kemungkinan unit analisis, yakni (1) individu aktor politik. Meliputi aktor politik (pimpinan), aktivis politik dan individu warga negara biasa. (2) agregasi politik yaitu individu aktor politik secara kolektif seperti kelompok kepentingan, birokrasi, partai politik, lembaga-lembaga pemerintahan dan bangsa, sedangkan (3) tipologi kepribadian politik ialah tipe-tipe kepribadian pemimpin otoriter, machiavelis dan demokrat. Tipe ini menggunakan sudut pandang psikologi politik untuk menganalisa perilaku seorang pemimpin politik. Untuk selanjutnya penulis menggunakan tipologi terakhir ini untuk menganalisa perilaku politik Suharto.

(7)

B. KOMUNIKASI POLITIK a. Definisi Komunikasi Politik

Membicarakan gaya komunikasi Suharto tak terasa lengkap tanpa memahami terlebih dahulu apa itu komunikasi politik. Dan yang paling mendasar adalah definisi dari komunikasi itu sendiri. Istilah komunikasi berasal dari kata communis yang berarti membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. Komunikasi juga berasal dari kata Latin

communico yang berarti membagi. 3

Definisi lain juga di buat oleh pakar Ilmu Politik Harold Laswell. Menurutnya, komunikasi adalah “siapa yang menyampaikan, apa yang disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa, dan apa pengaruhnya.”

Definisi dari Laswell ini menarik. Sebab hampir mirip dengan definisi yang ditulisnya tentang politik. Yakni politik sebagai siapa mendapat apa, kapan, dan bagaimana. Perlu di catat, dari definisi yang dibuat Laswell di atas, kemudian mempengaruhi perkembangan ilmu komunikasi ke depan. Terutama komunikasi politik. Empat kata kunci dari definisi yang dibuatnya itu kemudian diabadikan menjadi empat komponen komunikasi politik. Yaitu; komunikator politik, pesan politik, komunikan politik dan efek politik.

Sedangkan definisi yang dibuat oleh kelompok sarjana komunikasi yang mengkhususkan diri pada studi komunikasi antar manusia (human communication) menyatakan bahwa “komunikasi adalah suatu transaksi, proses simbolik yang menghendaki orang-orang mengatur lingkungannya dengan (1) membangun hubungan antar sesame manusia, (2) melalui pertukaran informasi; (3) untuk menguatkan sikap dan tingkah laku orang lain; serta (4) berusaha mengubah sikap dan tingkah laku itu.”4

Sementara itu, komunikasi politik merupakan perkembangan dari ilmu komunikasi yang diaplikasikan dalam aktivitas berpolitik. Segala aktivitas berkomunikasi yang menyangkut kepentingan orang banyak di dalamnya dapat disebut sebagai bagian dari komunikasi politik. Kendati, hal tersebut bukan satu-satunya contoh.

(8)

Menurut Denton dan Woodward, komunikasi politik adalah wacana publik mengenai alokasi sumber-sumber daya milik publik, kewenangan (otoritas) sah dan sanksi yang legitimate.5 Pokok

dari definisi adalah kehendak komunikator untuk mempengaruhi lingkungan politik.

Sedangkan seorang pakar komunikasi politik Amerika, Dr. Catherine H. Palezewski mendefinisikan komunikasi politik “any form of communication that implements, negotiates, and recognize power relation”.6 Menurut Palezewski, komunikasi politik hanya memiliki tiga hakikat

yakni melaksanakan (implements), negosiasi (negotiates) dan mengakui hubungan kekuasaan (recognize power relation). Kata kuncinya adalah hubungan kekuasaan. Hal ini dimaksudkan sebagai penanda dimana selama komunikasi itu terjalin dalam hubungan kekuasaan, maka itu adalah komunikasi politik.

Di bawah ini beberapa ahli mendefinisikan cakupan komunikasi politik sebagai berikut: 1. Fagen:

Komunikasi politik merupakan segala komunikasi yang terjadi dalam suatu sistem politik dan antara sistem politik itu dengan lingkungannya.

2. Muller:

Komunikasi politik merupakan hasil yang bersifat politik (political outcomes) dari kelas sosial, pola bahasa, dan pola sosialisasi.

3. Galnoor:

Komunikasi politik merupakan infrastruktur politik, yakni suatu kombinasi dari berbagai interaksi sosial dimana informasi yang berkaitan dengan usaha bersama dan hubungan kekuasaan masuk ke dalam peredaran.

4. McNair

Komunikasi politik murni membicarakan tentang alokasi sumber daya publik yang memiliki nilai (apakah itu nilai kekuasaan atau nilai ekonomi), petugas yang memiliki kewenangan untuk memberi kekuasaan dan keputusan dalam pembuatan undang-undang atau peraturan (apakah itu legislatif atau eksekutif), dan sanksi-sanksi (apakah itu dalam bentuk penghargaan atau denda). 7

5 Lismana M.A., Prof. Dr.Tjipta. 2013. Bola Politik dan Politik Bola. Hlm. 145 6 Ibie., Hlm. 146

(9)

Sementara itu, komunikasi politik menurut Cangara (mengadopsi pendapat McNair dan Goran Hedebro) memiliki fungsi atau kontribusi sebagai berikut:

1. Memberikan informasi kepada masyarakat tentang usaha-usaha yang dilakukan oleh lembaga politik maupun dalam hubungan pemerintah dan masyarakat.

2. Melakukan sosialisasi tentang kebijakan, program, kegiatan, tujuan lembaga politik.

3. Memberikan motivasi kepada politisi, fungsionaris, dan para pendukung partai politik.

4. Menjadi platform yang bisa menampung ide-ide masyarakat sehingga menjadi bahan pembicaraan dalam bentuk opini publik.

5. Mendidik masyarakat dengan pemberian informasi dan sosialisasi tentang cara-cara pemilihan umum dan penggunaan hak suara.

6. Menjadi “hiburan” bagi masyarakat sebagai “pesta demokrasi” dengan menampilkan juru kampanye, artis, pengamat politik.

7. Memupuk integrasi dengan mempertinggi rasa kebangsaan untuk menghindari konflik dan ancaman berupa tindakan separatis yang mengancam persatuan nasional.

8. Menciptakan iklim perubahan dengan mengubah struktur kekuasaan melalui informasi untuk mencari dukungan masyarakat luas terhadap gerakan reformasi dan demokratisasi.

9. Meningkatkan aktivitas politik masyarakat melalui siaran berita, agenda setting, maupun komentar-komentar politik.

10. Menjadi watchdog dalam membantu terciptanya good governance

yang transparan dan akuntabel.

b. Komponen Komunikasi Politik

(10)

komunikasi ini terbagi menjadi komunikator atau sender, pesan, komunikan atau receiver dan efek yang ditimbulkannya:

1. Komunikator komunikasi politik adalah pihak yang menyampaikan pesan-pesan politik kepada pihak lain. Komunikator disini dapat bersifat individual maupun lembaga atau kelompok.

2. Pesan politik adalah pernyataan yang disampaikan oleh komunikator kepada komunikan, baik secara tertulis maupun verbal, secara terang-terangan ataupun tersembunyi, disadari maupun tidak disadari, yang isinya mengandung muatan politik.

3. Media atau saluran politik adalah alat atau sarana yang digunakan oleh komunikator untuk menyampaikan pesan politik kepada komunikan. Komunikator atau sasaran atau target politik adalah anggota masyarakat dalam bentuk individual, kelompok, ataupun lembaga yang menjadi sasaran penyampaian pesan-pesan politik.

4. Efek atau pengaruh komunikasi politik adalah dampak atau efek yang diharapkan oleh komunikator dari komunikan setelah menerima pesan-pesan politik yang disampaikan oleh komunikator. Efek disini bisa berupa efek kognitif, afektif, ataupun tingkah laku.8

Dampak kognitif berupa dampak berubahnya pikiran si komunikan setelah proses komunikasi berlangsung. Dengan kata lain, tujuan komunikator adalah untuk mengubah pikiran komunikan menjadi tahu tentang sesuatu.

Dampak afektif berupa dampak tersentuhnya atau tergeraknya hati si komunikan, sehingga menimbulkan perasaan tertentu. Dampak afektif tidak sekedar si komunikan mengetahui sesuatu, tapi lebih jauh lagi merasakan sesuatu.

Dampak perilaku (behavioral) berupa dampak berubahnya perilaku, tindakan, atau kegiatan si komunikan setelah dia mengetahui dan merasakan sesuatu. Jadi, dampak perilaku ini merupakan tingkatan tertinggi dari dampak proses komunikasi.9

c. Tipologi Komunikator Komunikasi Politik

Komunikator dalam komunikasi politik merupakan orang-orang yang berperan dalam menyampaikan pesan-pesan politik kepada komunikan. Mereka adalah kelompok orang yang memiliki kepentingan dengan adanya informasi atau isu politik yang tersebar. Sementara

(11)

komunikan di sini adalah masyarakat luas yang diharapkan reaksinya terhadap pesan yang tersebar itu. Menurut Dan Nimmo, komunikator politik terbagi ke dalam tiga kelompok:

1. Politisi

Politisi yang dimaksudkan oleh Dan Nimmo adalah calon pemegang jabatan atau pemegang jabatan, tidak peduli apakah mereka dipilih atau ditunjuk, pejabat politik atau pejabat karir, baik itu jabatan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Nimmo mengklasifikasikan para politisi sebagai komunikator politik dalam 3 golongan:

a. Politikus di dalam atau di luar jabatan pemerintah. b. Politikus yang berpandangan nasional atau sub nasional.

c. Politikus yang berurusan dengan masalah ganda atau masalah tunggal.

Meskipun politikus melayani beraneka ragam tujuan dengan berkomunikasi, namun menurut Daniel Katz, politikus akan selalu mengarahkan pengaruhnya pada dua arah:

1) Bertindak mewakili kepentingan suatu kelompok tertentu. 2) Bertindak sebagai ideolog.

2. Profesional

Dan Nimmo membedakan politikus yang menggunakan pemerintahan atau politik, alih-alih komunikasi, sebagai sumber nafkahnya. Politikus mencari pengaruh melalui komunikasi, sedangkan komunikator profesional mencari nafkah dengan berkomunikasi baik di dalam maupun di luar arena politik. Profesinya di bidang komunikasi, bukan politik. Komunikator profesional, menurut Nimmo, adalah sebuah peran sosial yang relatif baru bersamaan munculnya dengan revolusi komunikasi yang sedikitnya memiliki 2 dimensi utama:

a. Munculnya media massa yang melintasi batas rasial, etnis, kelas, wilayah, dan pekerjaan untuk meningkatkan kesadaran identitas nasional.

b. Perkembangan media-media khusus (majalah untuk khalayak khusus, stasiun radio, dsb) yang menciptakan publik baru untuk menjadi konsumen informasi dan hiburan. Sebagaimana halnya politisi, komunikator profesional juga bisa dibedakan dalam 2 tipe: a. Mewakili kepentingan tertentu / wakil partisan. Yaitu : promotor, orang yang dibayar

(12)

b. Ideolog. Yaitu: jurnalis. Sebagai komunikator profesional, jurnalis adalah karyawan organisasi berita yang menghubungkan sumber berita dengan khalayak. Mereka bisa mengatur para pemimpin pemerintah untuk berbicara satu sama lain, menghubungkan para pemimpin dengan publik umum atau sebaliknya, dan membantu menempatkan masalah atau peristiwa pada agenda diskusi publik.

3. Aktivis

Aktivis yang dimaksudkan oleh Dan Nimmo adalah orang-orang yang peduli pada masalah-masalah politik dan berperan aktif dalam berbagai organisasi kelompok kepentingan, kelompok penekan, mahasiswa, dan lain-lain.10

C. PERILAKU DAN GAYA KOMUNIKASI POLITIK SUHARTO a. Perilaku Politik Suharto

(13)

Sebelumnya telah diuraikan di atas, penulis menggunakan tipologi kepribadian politik yang dirumuskan Ramlan Surbakti untuk menganalisa perilaku politik Suharto selama 32 tahun masa kepemimpinannya. Dalam proses penganalisaannya, tipe ini membagi tiga perilaku pemimpin. Yaitu (1) otoriter, (2) machiavelis dan (3) demokrat.

Jika kita menelusuri sepak terjang kepemimpinan Suharto selama 32 tahun, dapat disimpulkan secara umum negara di masa itu berada dalam tiga kondisi. Pertama, kebebasan berserikat dan berpolitik di tekan sehingga situasi politik dan keamanan relatif stabil. Kedua, kondisi perekonomian relatif lebih bebas dan terbuka dengan perusahaan-perusahaan multinasional asing. Kendati masih dalam kendali Negara dalam hal ini, Suharto, keluarga dan kroni-kroninya. Ketiga, penegakan hukum berjalan tebang pilih dan sering digunakan untuk kepentingan penguasa.

Latar belakang terciptanya situasi tersebut dilandasi atas aktualisasi dari Trilogi Pembangunan yang di anut oleh rezim Suharto. Yaitu (1) stabilitas nasional, (2) pertumbuhan ekonomi tinggi dan (3) pemeretaan hasil-hasil pembangunan.

Ekses dari aktualisasi konsep tersebut berdampak pada: Pertama, pelarangan aktivitas politik mahasiswa melalui kebijakan NKK-BKK pada tahun 1978. Kedua, terjadinya Peristiwa Lampung yang merenggut nyawa warga tidak bersalah pada permulaan dekade 1980-an. Ketiga, Peristiwa Priok yang mengorbankan nyawa puluhan warga Jakarta. Keempat, penggusuran ratusan warga Kedung Ombo pada akhir 1980-an untuk pembuatan bendungan. Peristiwa itu setidaknya menenggelamkan 37 desa dan 7 kecamatan di tiga kabupaten di Jawa Tengah. Keempat, meletusnya Peristiwa 27 Juli 1996 yang mengorbankan puluhan orang tak berdosa di Jakarta. Kelima, penculikan aktivis mahasiswa dan partai politik menjelang Pemilu 1997 oleh Angkatan Darat. Akibat peristiwa ini, setidaknya belasan orang aktivis masih menghilang hingga sekarang. Keenam, terjadinya Tragedi Trisakti yang menewaskan empat orang mahasiswa Universitas Trisakti dan melukai puluhan lainnya.

Ketujuh, pemerkosaan etnis Tionghoa dalam kerusuhan 1998 menjelang lengsernya Suharto.

Kedelapan, Pembantaian warga Timor-Timur oleh Angkatan Darat pada dekade 1990-an.

(14)

pemberlakuan politik massa mengambang yang melarang partai politik selain Golkar berkampanye pada teritorial negara di bawah kecamatan.

Dari sini penulis dapat menyimpulkan bahwa perilaku politik Suharto adalah perilaku politik otoriter. Sebab, Suharto dalam memerintah tidak pernah menghiraukan penegakan HAM, kebebasan berserikat dan berpolitik, demokrasi, persamaan dalam memerintah. Justru yang dilakukan Suharto adalah sebaliknya. Meratifikasi pasar bebas dan kapitalisme sebagai pandangan ekonomi Indonesia yang bertentangan dengan konsep ekonomi Indonesia yang berdasar pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33.

b. Gaya Komunikasi Politik Suharto

Presiden Suharto memiliki gaya komunikasi yang sangat berbeda dengan Sukarno. Jika Sukarno berpidato dengan retorika berapi-api dan menarik simpati massa, Suharto tidak demikian. Justru ia berpidato dengan retorika yang berkebalikan. Sangat dingin, tanpa ekspresi, tanpa menarik simpati, bertele-tele dan high context.

Latar belakangnya yang berasal dari militer tidak kemudian mempengaruhi cara ia berkomunikasi. Jika Sukarno di kenal sebagai sosok presiden yang enerjik. Suharto justru tidak. Ia lebih dikenal sebagai sosok yang kalem dengan pembawaan yang tenang. Persis seperti kebanyakan bangsawan Jawa.

Jika dulu Sukarno di tuduh oleh pihak oposisi sebagai presiden otoriter. Suharto juga tidak jauh dari tuduhan itu. Dalam kepribadian sehari-hari Suharto merupakan sosok yang tenang, tapi dalam aktivitas berpolitik, ia justru di kenal sebagai presiden paling tegas, dispilin dan juga kejam.

(15)

Karakter komunikasi Suharto sangat high context (konteks tinggi). Ia tidak to the point

dalam menarasikan pidato-pidatonya. Hal ini berpotensi pada terjadinya keterpecahan pemahaman atas maksud dari pesan yang ia sampaikan. Terutama bagi para bawahan-bawahannya.

Gaya komunikasi Suharto sangat kental dengan kultur jawa: banyak kepura-puraan (impression management) dan sangat santun. Komunikasinya penuh simbol, tertib, satu arah, singkat dan tidak bertele-tele. Bicara sedikit tapi tiap katanya berbobot dan penuh non-verbal communication. Orangnya tertutup, konsistensi cukup tinggi dan konteks komunikasi pada umumnya high context. Maka wajar jika hanya orang-orang yang sudah lama berinteraksi dengannya yang dapat memahami pola komunikasinya.11

Bagi yang tidak memahami komunikasi tingkat tinggi ini, perlu siap-siap menuai gebukan atau perlawanan rakyat dan lingkungan sekitar. Semisal, kasus penyerbuan massa PDI Soerjadi terhadap Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro pada 27 Juli 1996. Dalam kasus ini, Sutiyoso yang dianggap bertanggung jawab waktu itu, berdalih bahwa peristiwa itu berasal dari perintah ”atasan”. Sementara, Faisal Tandjung mengatakan bahwa Soeharto tidak pernah memerintahkan penyerbuan itu. 12

Yang menarik, dalam keadaan marah, Suharto juga menggunakan bahasa tinggi. Semisal, pernah ketika salah seorang menteri di panggil ke istana. Tiba-tiba saja menteri itu di suruh Suharto meminum minuman yang tersedia. Itu artinya, menteri tersebut dipersilahkan meninggalkan istana. Makanya, tidak heran ketika jika setiap kali Menteri Penerangan, Harmoko, berbicara di depan media atau ketika berpidato. Ia selalu saja mengutip sepenggal kalimat di awal; “sesuai instruksi bapak presiden.” Hal ini ia lakukan agar pidato yang disampaikannya dianggap “resmi” berasal dari Suharto. Bukan merupakan tafsiran atas perintah The Smiling General itu.

Sikapnya yang dingin tersebut bukan berarti membuat Suharto menjadi orang yang berpikiran terbuka, kompromistik dan toleran. Suharto justru adalah seorang pemimpin yang anti-kritik. Ia pemimpin yang mudah sekali curiga. Apalagi terhadap pihak oposisi dan lawan-lawan politiknya.

(16)
(17)

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Menurut Ramlan Surbakti (2010), perilaku politik adalah interaksi antara pemerintah dan masyarakat di antara lembaga-lembaga pemerintah dan di antara kelompok dan individu dalam masyarakat dalam rangka proses pembuatan, pelaksanaan, dan penegakan keputusan politik.

Masih menurut Surbakti, perilaku politik di bagi dua, yakni (1) perilaku politik lembaga-lembaga dan para pejabat pemerintah, dan (2) perilaku politik warga negara biasa (baik individu maupun kelompok). Tipe perilaku yang terakhir ini dalam ilmu politik sering di sebut partisipasi politik.

Dalam melakukan analisa terhadap perilaku politik, tersedia tiga kemungkinan unit analisis, yakni (1) individu aktor politik. Meliputi aktor politik (pimpinan), aktivis politik dan individu warga negara biasa. (2) agregasi politik yaitu individu aktor politik secara kolektif seperti kelompok kepentingan, birokrasi, partai politik, lembaga-lembaga pemerintahan dan bangsa, sedangkan (3) tipologi kepribadian politik ialah tipe-tipe kepribadian pemimpin otoriter, machiavelis dan demokrat. Tipe ini menggunakan sudut pandang psikologi politik untuk menganalisa perilaku seorang pemimpin politik. Untuk selanjutnya penulis menggunakan tipologi terakhir ini untuk menganalisa perilaku politik Suharto.

Istilah komunikasi berasal dari kata communis yang berarti membuat kebersamaan atau membangun kebersamaan antara dua orang atau lebih. Komunikasi juga berasal dari kata Latin communico yang berarti membagi.

Menurut pakar Ilmu Politik, Harold Laswell, komunikasi adalah “siapa yang menyampaikan, apa yang disampaikan, melalui saluran apa, kepada siapa, dan apa pengaruhnya.”

(18)

kekuasaan (recognize power relation). Kata kuncinya adalah hubungan kekuasaan. Hal ini dimaksudkan sebagai penanda dimana selama komunikasi itu terjalin dalam hubungan kekuasaan, maka itu adalah komunikasi politik.

Menurut Dan Nimmo, komunikator politik terbagi ke dalam tiga kelompok: 1. Politisi

Politisi yang dimaksudkan oleh Dan Nimmo adalah calon pemegang jabatan atau pemegang jabatan, tidak peduli apakah mereka dipilih atau ditunjuk, pejabat politik atau pejabat karir, baik itu jabatan eksekutif, legislatif, maupun yudikatif.

2. Profesional

Dan Nimmo membedakan politikus yang menggunakan pemerintahan atau politik, alih-alih komunikasi, sebagai sumber nafkahnya. Politikus mencari pengaruh melalui komunikasi, sedangkan komunikator profesional mencari nafkah dengan berkomunikasi baik di dalam maupun di luar arena politik. Profesinya di bidang komunikasi, bukan politik.

3. Aktivis

Aktivis yang dimaksudkan oleh Dan Nimmo adalah orang-orang yang peduli pada masalah-masalah politik dan berperan aktif dalam berbagai organisasi kelompok kepentingan, kelompok penekan, mahasiswa, dan lain-lain

Sebelumnya telah diuraikan di atas, penulis menggunakan tipologi kepribadian politik yang dirumuskan Ramlan Surbakti untuk menganalisa perilaku politik Suharto selama 32 tahun masa kepemimpinannya. Dalam proses penganalisaannya, tipe ini membagi tiga perilaku pemimpin. Yaitu (1) otoriter, (2) machiavelis dan (3) demokrat.

(19)

Jadi, perilaku politik Suharto adalah perilaku politik otoriter. Sebab, Suharto dalam memerintah tidak pernah menghiraukan penegakan HAM, kebebasan berserikat dan berpolitik, demokrasi, persamaan dalam memerintah. Justru yang dilakukan Suharto adalah sebaliknya. Meratifikasi pasar bebas dan kapitalisme sebagai pandangan ekonomi Indonesia yang bertentangan dengan konsep ekonomi Indonesia yang berdasar pada Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33.

Suharto memiliki gaya komunikasi dan perilaku politik yang berbeda dengan presiden sebelum dan sesudahnya.

Karakter komunikasi Suharto sangat high context (konteks tinggi). Ia tidak to the point

dalam menarasikan pidato-pidatonya. Hal ini berpotensi pada terjadinya keterpecahan pemahaman atas maksud dari pesan yang ia sampaikan. Terutama bagi para bawahan-bawahannya.

Gaya komunikasi Suharto sangat kental dengan kultur jawa: banyak kepura-puraan (impression management) dan sangat santun. Komunikasinya penuh simbol, tertib, satu arah, singkat dan tidak bertele-tele. Bicara sedikit tapi tiap katanya berbobot dan penuh non-verbal communication. Orangnya tertutup, konsistensi cukup tinggi dan konteks komunikasi pada umumnya high context. Maka wajar jika hanya orang-orang yang sudah lama berinteraksi dengannya yang dapat memahami pola komunikasinya.

B. SARAN

(20)

DAFTAR PUSTAKA

Surbakti, Ramlan. 2010. Memahami Ilmu Politik. Cetakan ke-VII. Jakarta: Grasindo.

Cangara, M.Sc., Prof. Dr. H. Hafied. 2014. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta: Rajawali Press.

Lesmana M.A., Prof. Dr.Tjipta. 2013. Bola Politik dan Politik Bola. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Rahmawati, Dian Eka. 2009. Diktat Komunikasi Politik. Yogyakarta: Laboratorium Ilmu Pemerintahan UMY.

Sungatno, MG. Perbandingan Komunikasi Politik Presiden Indonesia.

http://www.akbartandjunginstitute.org/read/content/1122/perbandingan-komunikasi-politik-presiden-indonesia. Diakses pada 27 April 2016.

Sodikin, Ali. Mengurai Gaya Kepemimpinan Pemimpin-Pemimpin Indonesia.

Referensi

Dokumen terkait

Komunikasi merupakan cara terbaik bagi komunikator (da’i) untuk dapat menyampaikan pesan-pesan dakwah kepada mad’u (komunikan), sehingga pesan dakwah yang mengajak kepada

Komunikasi kesehatan yaitu proses penyampaian pesan kesehatan oleh komunikator melalui saluran atau media tertentu pada komunikan dengan tujuan untuk mendorong

Komunikasi politik adalah proses interaksi dimana dalam penyampaiannya mengandung unsur politik yang sengaja di lakukan oleh komunikator kepada komunikan dengan

Komunikasi politik yang dimaksud adalah komunikasi yang didalamnya terdapat pesan-pesan politik yang dilakukan oleh orang yang memiliki peran dalam pemerintahan

Komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh komunikator kepada komunikan bukanlah semata-mata untuk menyampaikan pesan dan sekadar saling tukar pikiran dan bertukar

Setiap komunikasi selalu ada komunikan (pihak yang menerima pesan komunikasi), dan komunikator (pihak yang mengirimkan pesan komunikasi). Hubungan antara komunikan

Komunikasi dakwah merupakan komunikasi yang dilakukan antara komunikator (da’i) dan komunikan (mad’u) untuk menyampaikan informasi dan pesan yang bersumber

3.2 Saran Diharapkan sebagai komunikator yang akan menyampaikan pesan kepada komunikan harus memperhatikan 7 pilar komunikasi bisnis yang memuat startegi komunikasi yang akan membantu