• Tidak ada hasil yang ditemukan

KONSEP DAN WAWASAN UMUM MEMIKIRKAN KEMBALI ETNOARKEOLOGI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KONSEP DAN WAWASAN UMUM MEMIKIRKAN KEMBALI ETNOARKEOLOGI"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

MEMIKIRKAN KEMBALI

ETNOARKEOLOGI

Daud Aris Tanudirjo

(Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)

Abstract

Up until now there is still much confusion about ethnoarchaeological research in archaeological community in Indonesia. There are many archaeologists who could not distinguish between ethnographic and ethnoarchaeological research. Therefore, after the evaluation of ethnoarchaeological research done in more than 20 years ago, there is a necessity to rethink about ethnoarchaeological research. In brief, ethnography in archaeology is an effort to depict all of the archaeological activities and ideas which tries to put the past (archaeology) in the context of society today (ethnography). The ethnoarchaeological research is not a way to fi nd the truth in the past but an effort to increase the faith upon the phenomenon that might be happened in the past.

Keywords: ethnoarchaeology, past, present Pendahuluan

Tahun ini usia istilah “etnoarkeologi” sudah 110 tahun. Istilah ini pertama kali diajukan oleh Jesse Fewkes, seorang ahli arkeologi yang banyak meneliti tentang tradisi migrasi Tusayan, salah satu komunitas Indian-Amerika. Dalam tulisannya yang diterbitkan dalam laporan tahunan Bureau of American Ethnology 1900, Fewkes menyebutkan “ethno-archaeologist” sebagai ahli arkeologi yang mempelajari kehidupan masyarakat tradisional sebagai persiapan untuk meneliti dan memahami ‘masyarakat prasejarah’ yang sedang ia kaji tinggalan-tinggalannya (David dan Kramer, 2001). Sebenarnya, upaya untuk memahami dan menafsirkan budaya yang sudah punah (arkeologis) dengan menggunakan bandingan budaya masyarakat masa kini (data etnografi s) sudah lama diterapkan sebelum munculnya istilah etnoarkeologi. Para perintis ilmu Arkeologi, seperti William Camden, Sven Nilsson dan Pitt Rivers, misalnya, telah mengemukakan pentingnya mengetahui kehidupan tradisional di masa kini untuk memahami dan menfasirkan kehidupan masa lampau (lihat Tanudirjo, 1987). Namun, cara-cara yang telah dipergunakan hampir setua ilmu arkeologi itu sendiri tidak jarang dipertanyakan keabsahnya.

(2)

Awalnya, para ahli arkeologi lebih banyak menggunakan data etnografi yang dikumpulkan atau dipaparkan oleh etnografer (ahli antropologi). Sejak tahun 1940-an, memang para ahli arkeologi merasa tidak puas dengan hasil pengamatan dan paparan ahli lain. Alasannya, ada banyak aspek yang ingin diketahui arkeologi justru tidak diamati atau tidak dipaparkan oleh mereka. Karena itu, para ahli arkeologi terdorong untuk melakukan pengamatan dan mendapatkan data etnografi sendiri. Pada saat itu, kegiatan etnoarkeologi menjadi semakin banyak dilakukan dan digunakan untuk memecahkan masalah-masalah arkeologi (Tanudirjo, 1987).

Di Indonesia, penggunaan kajian etnoarkeologi juga cukup memegang peran yang penting dalam memecahkan masalah arkeologi. Namun, penerapan kajian etnoarkeologi rupanya belum dipahami dengan benar. Hal itu dapat dibuktikan dari hasil penelitian sejumlah kajian etnoarkeologi hingga tahun 1986, yang ternyata menunjukkan adanya kesalahan dan kerancuan penggunaan etnoarkeologi (Tanudirjo, 1987). Bahkan, sampai saat ini pun masih ada kebingungan di lingkungan arkeologi Indonesia dalam menyikapi kajian ini. Tidak sedikit ahli arkeologi yang belum dapat membedakan secara tepat antara penelitian etnografi dengan etnoarkeologi. Karena itu, setelah evaluasi kajian etnoarkeologi dilakukan lebih dari 20 tahun lalu, barangkali ada baiknya untuk memikirkan sekali lagi tentang kajian etnoarkeologi.

Pembahasan

Setelah dasarwarsa 1970-an, sesungguhnya ada banyak istilah digunakan untuk kajian arkeologi yang menggunakan data etnografi , di antaranya “living

archaeology”, “action archaeology”, “archaeoethnography”, “ethnographic archaeology”, dan “analogi etnografi ”. Meskipun begitu banyak istilah yang

digunakan, namun satu hal yang pasti kajian ini selalu bertitiktolak dari persoalan atau masalah arkeologi. Pemahaman ini juga dapat ditangkap dari batasan etnoarkeologi menurut Kramer (1979) sebagai berikut

“Kajian etnoarkeologi meneliti berbagai aspek sosial-budaya masa kini dari cara pandang arkeologi. Peneliti etnoarkeologi mencoba menentukan secara sistematis hubungan antara perilaku dan budaya bendawi yang tidak digarap oleh ahli etnologi, dan memastikan sejauh mana tindakan-tindakan yang dapat diamati di masa kini dapat menghasilkan tinggalan-tinggalan yang serupa dengan apa yang ditemukan oleh ahli arkeologi”

(3)

Ahli lainnya Schiffer (1978) menyatakan “etnoarkeologi adalah kajian tentang budaya bendawi dalam sistem budaya yang masih ada untuk mendapatkan informasi, khusus maupun umum, yang dapat berguna bagi penelitian arkeologi”. Etnoarkeologi menelisik hubungan antara tindakan manusia dan budaya bendawi di masa kini untuk menyediakan prinsip-prinsip yang dibutuhkan dalam kajian tentang masa lampau (Reid, 1995; LaMotta dan Schiffer, 2001). Karena itu, untuk menilai apakah suatu karya penelitian bersifat etnografi atau etnoarkeologi, dapat diukur sejauh mana penelitian etnografi itu ditujukan untuk menjawab masalah arkeologi. Untuk memberikan gambaran perbedaan antara penelitian etnoarkeologi dan etnografi , Thompson (1991 dalam David dan Kramer, 2001) mencoba menunjukkan gradasi penelitian dalam ilmu antropologi yang membawahi arkeologi, etnografi , dan linguistik (lihat Diagram 1). Dari diagram tersebut, terlihat bahwa etnoarkeologi berbeda dengan arkeologi, karena pendekatan ini memasukkan data etnografi untuk penelitian arkeologi. Sementara itu, penelitian etnografi dilakukan tanpa ada perhatian tentang masalah arkeologi. Hasil kajian etnografi dapat saja memberikan gambaran hubungan antara budaya bendawi dengan tindakan dan gagasan manusia. Namun, itu semua tanpa disadari oleh peneliti etnografi . Data ini bisa saja kemudian dipakai oleh ahli arkeologi untuk menafsirkan atau menjelaskan data arkeologi. Contohnya adalah upaya S. Reinach menjelaskan fungsi lukisan gua prasejarah di Eropa. Ia menyimpulkan lukisan prasejarah Eropa sebagai ‘magi simpatetis” melalui perbandingan dengan data etnografi s pembuatan lukisan dinding cadas oleh orang aborijin Australia yang ditulis oleh B. Spencer dan F. Gillen (Bahn dan Vertut, 1988). Tentu saja, ketika melakukan pengamatan etnografi s Spencer dan Gillen tidak berpikir sama sekali tentang arkeologi. Namun, datanya dapat digunakan sebagai informasi untuk menafsirkan data arkeologi.

Dalam Diagram 1, kajian etnoarkeologi dibagi menjadi tiga kelompok.

Pertama, disebutkan kajian etnografi yang secara informal memberikan informasi

kepada ahli arkeologi. Disebut etnoarkeologi informal kalau pengamatan etnografi dilakukan hanya sekilas saja tetapi dimaksudkan untuk kepentingan arkeologi. Kedua, etnoarkeologi yang mengkaji secara khusus salah satu aspek tertentu dari budaya yang masih hidup, misalnya matapencaharian, teknologi, atau religi. Ketiga, etnoarkeologi yang menelaah secara mendalam seluruh budaya masyarakat yang masih hidup sebagai konteks penciptaan budaya bendawi. Sementara itu, penelitian etnosain, yaitu

(4)

gabungan penelitian linguistik (bahasa) dan etnografi , dapat menyumbang penelitian etnoarkeologi dengan menyediakan bandingan sistem pengetahuan, terutama sistem kategorisasi dan konsep-konsep tradisional. Secara umum diagram Thompson dapat memberikan gambaran kedudukan etnoarkeologi dalam hubungan dengan cabang ilmu lainnya dan nuansa perbedaan antara kajian-kajian tersebut

Penelitian Arkeologi Murni, tanpa gunakan data etnografi

Pengamatan Etnografi Informal yang dapat memberikan informasi bagi arkeologi

Penelitian etnografi fokus pada salah satu aspek budaya masa kini untuk keperluan arkeologi

Pengetahuan dan cara pandang

masyarakat tradisional terhadap budaya bendawi

Penelitian etnografi pada seluruh sistem budaya untuk memberi konteks penyimpulan masalah arkeologi

Penelitian Etnografi Murni, tanpa peduli keperluan arkeologi

Penelitian Linguistik Murni, tanpa konteks budaya A R K E O L O G I E T N O G R A F I L I N G U I S T I K E T N O A R K E O L O G I E T N O S A I N

Diagram 1 Gradasi Kajian Arkeologi – Etnografi – Linguistik dan posisi kajian Etnoarkeologi

(5)

Namun, konsep yang digambarkan dalam Diagram Thompson tadi seringkali dianggap sebagai kerangka pikir yang agak terlalu longgar. Ada kelompok praktisi etnoarkeologi yang menganut batasan yang lebih ketat. Dari perspektif kelompok ini, etnoarkeologi harus mencakup tiga langkah ilmiah, yaitu (a) dimulai dengan merumuskan masalah yang muncul dari pengamatan data arkeologi, lalu (b) melakukan pengamatan etnografi yang sesuai dengan masalah tadi, dan (c) menerapkan hasil pengamatan etnografi ke data arkeologi untuk mendapatkan pemahaman lebih baik. Selain itu, ada pula yang membatasi etnoarkeologi dengan mensyaratkan pengamatan langsung. Artinya, data etnografi s harus diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan, biasanya dengan metode observasi partisipatif, dan tidak diperoleh dari data etnografi s sekunder, baik dari catatan etnografi yang sudah ada maupun benda etnografi di museum. Bagi mereka, penelitian sampah masa kini atau kajian budaya bendawi modern (a.l. Gould dan Schiffer, 1981; Rathje, 1978). Penggunaan data etnografi s sekunder lebih digolongkan sebagai etnohistori atau bahkan arkeologi sejarah (historical archaeology) yang menggunakan dokumen dan arsip untuk membantu menjelaskan data arkeologi (David dan Kramer, 2001).

Apabila pengertian-pengertian di atas diterapkan sebagai tolok ukur penelitian etnoarkeologi di Indonesia, barangkali akan lebih banyak penelitian etnoarkeologi informal dan tidak jelas arahnya. Ada beberapa alasan yang melandasi pernyataan itu. Pertama, tidak sedikit kajian etnoarkeologi yang didasarkan pada data etnografi sekunder. Kedua, banyak peneliti etnoarkeologi di Indonesia yang hanya melakukan pengamatan sekilas dan singkat. Hampir tidak ada laporan observasi partisipatif yang menunjukkan kerja berbulan-bulan di lapangan untuk mengumpulkan data yang komprehensif. Ketiga, pengamatan sekilas yang dilakukan seringkali tidak memfokus pada hubungan antara benda budayawi dengan tingkah laku atau gagasan, tetapi lebih banyak deskripsi tindakan dan gagasan saja. Keempat, banyak kajian etnoarkeologi yang tidak merumuskan persoalan arkeologi yang dihadapi sebagai titik tolak untuk kajian etnoarkeologi-nya. Akibatnya, banyak kajian etnoarkeologi di Indonesia yang tidak menjawab persoalan arkeologi, tetapi lebih berbobot sebagai deksripsi etnografi s saja. Hal ini juga dapat dibuktikan dengan amat terbatasnya kajian etnoarkeologi yang fokus dan tuntas proses transformasi budaya bendawi dalam masyarakat tradisional. Penelitian ini memang membutuhkan ketekunan dan observasi partisipatif yang cukup lama dengan rekaman data yang cermat.

(6)

Keadaan ini tentu amat berbeda dengan apa yang dilakukan di luar. Binford, misalnya, melakukan penelitian yang amat teliti selama berbulan-bulan di tengah masyarakat Nunamiut Eskimo hanya untuk mengamati terbentuknya sebaran benda-benda hasil aktivitas mereka (1983). Demikian juga, Meehan (1982) yang tekun mengamati dan memetakan sisa-sisa cangkang kerang yang ditinggalkan oleh masyarakat Gidjingali di Australia Utara. Ia ingin mengetahui bagaimana proses transformasi ekofak kerang dari habitat alamnya (shell bed) hingga menjadi tumpukan sisa makanan (shell midden). Contoh lain adalah kerja Lee dan De Vore di Gurun Kalahari, Afrika. Mereka berbulan-bulan mengikuti perpindahan suku Kung Bushman yang nomaden dan merekam semua benda yang ditinggalkan di perkemahan-perkemahan mereka.

Kajian-kajian etnoarkeologi di Indonesia yang kurang rinci dan tidak didasari permasalah arkeologi membuktikan banyak peneliti etnoarkeologi yang kurang memahami kedudukan kajian etnoarkeologi dalam epistemologi arkeologi. Akibatnya, tidak jarang terjadi kerancuan dalam cara pikir kajian-kajian tersebut (Tanudirjo, 1987). Barangkali, perlu ditegaskan sekali lagi bahwa etnoarkeologi didasarkan pada penalaran analogi, sehingga disebut “analogi etnografi ”. Sesungguhnya, analogi tidak dapat menjadi bukti nyata dari hipotesis arkeologis. Analogi adalah penyimpulan yang hanya didasari oleh elaborasi atau perluasan pikir karena adanya unsur-unsur yang sama. Cara pikir ini dapat dijelaskan sebagai berikut.

A = C1, ...., C3, C4, C5, …, C7, .…, C9, C10

E = C1, C2, C3, C4, C5, C6, C7, C8, C9, C10 Maka, A = E

“A” adalah data arkeologi, dan “E” adalah data etnografi . Jadi, jika sejumlah ciri data arkeologi sama dengan ciri data etnografi , maka dianggap budaya di balik data arkeologi sama dengan budaya etnografi . Di sini, data etnografi mengisi ciri-ciri data arkeologi yang hilang, sehingga secara keseluruhan seakan-akan sama dengan data etnografi . Ciri-ciri yang ditambahkan oleh data etnografi (C2, C6, C8) hanya tafsiran, tidak nyata tetapi hanya merupakan perluasan pikir saja. Karena itu, bandingan data etnografi tidak dapat menjadi bukti nyata. Ia hanya merupakan suatu kemungkinan (probabilitas) saja. Semakin banyak ciri-ciri yang sama, maka kemungkinan kesamaan

(7)

antara data arkeologi dengan data etnografi semakin tinggi. Contoh gambar berikut ini mungkin dapat memberikan ilustrasi tentang analogi secara lebih jelas.

Data Etnografi

1 2 3

“asli-nya” Data arkeologi yang ditemukan

Benda etnografi s (gambar ujung kiri) merupakan model yang “utuh”, memiliki semua atribut secara lengkap. Model ini menjadi analog bagi benda arkeologis yang ditemukan. Artinya, benda-benda arkeologi yang ditemukan diasumsikan sama dengan benda etnografi s. Namun, ini hanyalah perluasan pikir saja, bukan pembuktian. Semakin tinggi kesamaan atribut semakin tinggi kemungkinan (probabilitas) bahwa benda arkeologis akan sama dengan benda etnografi s. Benda Arkeologis 1 memiliki hanya sebagian atribut, sehingga kemungkinan (probabilitas) asumsi tadi benar kecil. Sementara itu, pada Benda Arkeologis 2 dengan kesamaan atribut 50 % dan Benda Arkeologis 3 yang memiliki kesamaan atribut lebih dari 80 % dibanding benda etnografi s, tingkat kebenaran asumsi itu semakin besar. Namun, karena sebagian atribut benda arkeologis telah hilang selamanya, maka sesungguhnya etnoarkeologi (analogi etnografi ) tidak akan pernah dapat memberikan bukti nyata bahwa benda arkeologi itu sama dengan benda etnografi . Karena bisa saja, atribut yang sudah tidak ada itu justru menjadi pembeda yang signifi kan. Hal ini dapat dicontohkan dengan melihat pada “benda aslinya” atau benda arkeologi jika utuh, yang ternyata berbeda dengan benda etnografi s. Jadi, cukup jelas bahwa etnoarkeologi tidak dapat menjadi bukti yang memastikan bahwa fenomena arkeologi akan sama dengan yang dapat diamati di masa kini (etnografi ).

Dari ilustrasi di atas, dapat dimengerti bahwa analogi tidak memberikan bukti nyata. Dengan dasar itu, ada tingkat-tingkat keabsahan tertentu dari penelitian etnografi bagi arkeologi (etnoarkeologi). Hayden (1993) menyebutkan setidaknya ada empat tingkatan berdasarkan kekuatan hasil penyimpulannya dan kemudahan penerapannya. Kedua variabel ini saling bertolak belakang (Lihat Diagram 2).

(8)

Potensi Penerapan Tingkat Kepastian

Anggapan Umum Analogi Umum Analogi Prinsip

(Analogi Budaya Sintetis)

Kesinambungan Sejarah

Diagram 2 Jenjang Analogi sesuai dengan Potensi Penerapan dan Tingkat Kepastian masing

● Tingkat pertama adalah analogi anggapan umum (common sense analogy). Di sini yang difungsikan sebagai data etnografi adalah pemikiran atau logika umum yang kita punyai saat ini. Misalnya, anggapan semua tombak berfungsi sama dalam komunitas pemburu. Baik mata tombak dari batu, bambu atau logam dianggap seolah sama saja, sehingga peneliti bisa saja menyimpulkan kehidupan berburu pada Kala Plestosen sama dengan cara berburu masyarakat tradisional di masa kini yang sudah menggunakan matapanah dari logam. Atau, analogi yang didasarkan anggapan umum (yang tidak selalu benar) bahwa bangunan megalitik selalu terkait dengan pemujaan nenek moyang, sehingga analogi hanya ada pada ranah religi saja tidak meluas ke aspek hubungan sosial politik. Aplikasi analogi tingkat ini memang sangat luas dan mudah, karena hanya dilandasi prinsip-prinsip umum. Namun, dari segi epistemologi, merupakan pembuktian yang amat sangat lemah.

● Tingkat kedua adalah analogi umum (general analogy) yang menggunakan data etnografi di sembarang tempat dan waktu untuk menjelaskan data arkeologi. Karena itu, bisa saja data etnografi di Eskimo saat ini (sudah ada modernisasi) digunakan untuk menjelaskan fungsi alat yang sejenis tetapi ditemukan di daerah tropis pada situs Masa Bercocoktanam. Di

(9)

sini setidaknya ada anggapan bentuk yang sama memiliki fungsi dan cara pemakaian yang sama. Dari segi argumentasi, cara analogi ini lebih kuat dibanding tingkat sebelumnya, tetapi tetap saja kurang kuat karena ciri-ciri yang dibandingkan masih terlalu umum. Karena sifatnya masih umum, analogi ini masih dapat diterapkan secara cukup luas.

● Tingkat ketiga adalah analogi berdasarkan prinsip (analogy from principle). Pada tingkat ini analogi didasarkan model yang dapat dikembangkan dari data etnografi . Model ini dimaksudkan untuk merekam aspek tertentu dari budaya secara khusus, sehingga diperoleh prinsip-prinsip tentang aspek budaya tersebut agar mampu menjelaskan fenomena masa lampau (arkeologi). Misalnya, bagaimana pertukaran barang atau perdagangan tradisional dapat mempengaruhi persebaran jenis artefak tertentu. Atau, bagaimana proses pembuatan hingga penggunaan alat batu dapat dilihat dari variasi bentuk alat batu yang dihasilkan. Etnoarkeologi yang benar semestinya mencapai taraf ini, yaitu menciptakan model-model etnografi untuk menjadi analogi bagi arkeologi. Karena sifatnya yang sudah agak khusus, maka penerapan analogi itu menjadi lebih terbatas. Namun, dari sebagai perangkat argumentasi, analogi ini sudah cukup kuat. Kesamaan antara data etnografi dan arkeologi diperhatikan benar dan bahkan menjadi salah satu fokus dalam penelitian.

● Tingkat keempat adalah analogi dengan kesinambungan budaya (direct

historical approach). Pada tingkat ini disyaratkan ada keterkaitan sejarah

antara data etnografi dengan data arkeologi. Karena itu, analogi ini paling terbatas dalam aplikasinya, tetapi paling kuat untuk menjadi argumentasi. Asumsinya, jika ada keterkaitan sejarah, maka sudah pasti banyak unsur-unsur budaya yang masih sama antara budaya etnografi dengan arkeologi. Contohnya, untuk rekonstruksi sisa-sisa kampung megalitik yang sudah ditinggalkan di Nias atau Sumba, dapat digunakan data etnografi kampung orang Nias atau Sumba tradisional yang sekarang masih ada. Atau, untuk menjelaskan pola permukiman Majapahit dapat digunakan data etnografi dari Bali. Secara epistemologis, analogi itu sangat kuat karena dari sejarahnya masyarakat Bali sangat dekat Kerajaan Majapahit dan mempunyai kesamaan latar keagamaannya.

(10)

Model etnografi s yang diperoleh di Bali, dapat juga dipakai untuk menjelaskan fenomena arkeologi tinggalan Jaman Mataram Hindu di Jawa Tengah. Dalam hal ini, kekuatan argumentasinya memang sedikit lebih lemah karena hubungan sejarah keduanya sudah menjauh. Analogi semacam ini disebut analogi budaya sintetis (synthetic culture analogy) yang tingkat kesahihannya berada di bawah analogi kesinambungan sejarah.

Kedudukan kajian etnoarkeologi dalam upaya menjelaskan masa lampau atau memecahkan persoalan arkeologi memang tidak lepas dari perdebatan sengit. Debat ini tentu saja terkait dengan paradigma keilmuan yang mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan Arkeologi sendiri, terutama Arkeologi Prosesual (Pembaharuan) dan Arkeologi pasca-Prosesual (Interpretif).

Bagi Arkeologi Prosesual, data arkeologi adalah fenomena masa kini, benda mati yang statis, dan tidak memuat informasi apa pun. Ia tidak bisa menceritakan masa lalu, walaupun ia mengalaminya. Karena itu, tugas arkeologi adalah mencoba menemukan proses budaya yang menghasilkan benda-benda tersebut. Penjelasan itu akan diperoleh jika ada teori, dalil, dan model yang dapat memberikan acuan awal. Teori, dalil, dan model itu yang kemudian diujikan secara deduktif untuk menentukan tingkat kebenarannya. Dengan paradigma seperti itu, kajian etnoarkeologi tentunya ditempatkan sebagai penelitian yang menghasilkan teori, dalil atau model bagi penjelasan. Atau, menurut Binford (1983), kajian ini merupakan teori tingkat menengah (middle-range theory), karena etnoarkeologi dapat menyediakan data yang menjembatani secara langsung antara yang statis (benda budayawi) dan yang dinamis (tindakan dan gagasan). Dengan kata lain, data etnografi dapat menolong ahli arkeologi menjelaskan fenomena masa lampau yang terkait dengan benda arkeologi. Di sini, terdapat asumsi uniformitarian yang menyatakan bahwa proses-proses yang terjadi di masa lampau pada prinsipnya tidak berbeda dengan yang terjadi di masa kini. Binford (1983a) menuliskan secara puitis “letting the present serves the past” (biarlah masa kini melayani masa lampau). Artinya, melalui kajian etnoarkeologi, seorang aghli arkeologi akan dapat memiliki praduga atau kemungkinan awal

(prior-probability) tentang masa lampau. Tentu saja, untuk mengetahui apakah praduga

tersebut benar, maka harus diujikan lagi pada data arkeologinya. Dengan demikian, bagi Arkeologi Prosesual, etnoarkeologi menjadi wadah untuk mendapatkan model maupun menguji model itu pada data arkeologi.

(11)

Di sisi yang lain, paradigma Arkeologi Pasca-Prosesual melihat bahwa paradigma Arkeologi Prosesual yang menganggap dapat menemukan pengetahuan tentang masa lalu dengan penelitian yang bersifat deduksi melalui penerapan teori-dalil-model sebagai langkah yang keliru. Bagi Arkeologi Pasca-Prosesual, budaya bendawi pada setiap tahapan sejarahnya selalu mengalami perubahan. Mereka menganggap budaya bersifat khas dan tergantung pada sejarah, bahkan setiap orang memberikan warna pada budaya itu. Karena itu, budaya harus dipahami secara kontekstual dan bukan melalui kajian silang budaya yang didasari kerangka pikir uniformitarian. Arkeologi harus tetap bersifat interpretif dan tidak perlu terbawa pada cara-cara penalaran saintifi k sebagaimana yang disarankan Arkeologi Prosesual (lihat Hodder, 1999; Hodder dan Hutson, 2003; Tilley, 1993; Renfrew dan Bahn, 2004).

Dengan dasar pemikiran tersebut, mereka memilih memahami masa lampau dengan cara-cara hermeneutik yang merupakan proses dialektika antara kerangka pikir dan pengetahuan peneliti dengan data atau fenomena yang mereka teliti. Mereka melihat data arkeologi sebagai teks yang harus dibaca (Shank dan Hodder, 1995; Shank dan Tilley, 1987). Dalam kerangka pikir pendukung Arkeologi pasca-Prosesual, etnoarkeologi tidak terlalu banyak membantu, apalagi jika diperlakukan sebagai teori, dalil, atau model yang harus diujikan pada data arkeologi. Generalisasi hubungan antara yang statis dan dinamis, seperti diterapkan dalam etnoarkeologi, tidak akan mampu mengungkapkan makna data arkeologi dalam konteks-nya di masa lampau. Etnoarkeologi dianggap hanya dapat membantu melacak sejarah budaya masyarakat tertentu (direct-historical analogy), tetapi tidak untuk menjadi sumber teori, dalil, atau model yang dapat diterapkan secara silang budaya (general analogy). Dalam konteks, proses hermeneutika mungkin saja pendekatan etnoarkeologi dapat digunakan, tetapi kedudukannya sebagai tambahan pengetahuan yang dapat memperkaya peneliti untuk memahami masa lampau. Etnoarkeologi mungkin cukup berguna untuk menjelaskan proses transformasi alam atau N-tranform (Schiffer, 1987), karena sifat fenomena alam yang cenderung uniformitarian. Namun, etnoarkeologi akan cukup sulit untuk menjelaskan transformasi budaya atau C-tranform (Schiffer, 1987), karena proses budaya itu khusus, melibatkan peran pribadi manusia yang kreatif dan ikut ditentukan oleh sejarah dan konteks yang dihadapi. Keadaan ini yang mengurangi peran etnoarkeologi untuk dipakai sebagai sumber teori, dalil atau pun model (Hodder, 1999).

(12)

Dengan memahami lebih baik kedudukan etnoarkeologi dalam konteks Arkeologi, sebagaimana dipaparkan di atas, tentunya ada harapan bahwa para peneliti etnoarkeologi dapat memikirkan kembali arah dan tujuan dari penelitian yang hendak dilakukannya. Perlu ada kesadaran yang lebih baik tentang kedudukan etnoarkeologi dalam epistemologi arkeologi. Jika tidak, mungkin sekali penelitian-penelitian etnoarkeologi yang dilakukan tidak akan banyak membawa manfaat dan mubazir. Di samping itu, kesadaran itu juga akan membuka pikiran para peneliti dan pengguna hasil penelitian etnoarkeologi untuk lebih berpikir kritis untuk menempatkan hasil penelitian itu dalam mengungkap masa lampau. Hendaknya, anggapan lama yang melihat kajian etnoarkeologi seakan menjadi pembuktian terhadap tafsiran tentang masa lampau dapat terkikis. Penelitian Etnoarkeologi bukan cara memperoleh kebenaran tentang masa lampau, tetapi lebih merupakan upaya meningkatkan keyakinan terhadap fenomena yang mungkin terjadi di masa lampau. Pemahaman ini dapat menghindarkan kita dari kesalahan mendaku seakan kita telah “menemukan” masa lampau itu. Barangkali, etnoarkeologi lebih tepat didudukkan sebagai salah satu saluran atau jembatan yang dapat memfasilitasi arus dialektika antara kerangka pikir (pengetahuan) dan data (empiris) dalam proses hermeneutika.

Kesimpulan

Sebagai catatan akhir, pada saat wacana tentang etnoarkeologi di Indonesia masih belum mendapat kepedulian yang layak, dalam kancah Arkeologi dunia kini telah muncul wacana baru yang mengaitkan antara etnografi dan arkeologi. Wacana yang dimaksud adalah etnografi arkeologis (archaeological ethnography). Meskipun istilah ini pernah hadir sebagai bagian dari kajian etnoarkeologi (lihat David dan Kramer, 2001; Meskell, 2005), namun istilah tersebut kini mendapat pemaknaan yang baru. Etnografi arkeologi bukan lagi dimaknai sebagai data etnografi yang berguna sebagai pembanding (analogi) bagi data arkeologi, tetapi lebih diberi makna sebagai “etnografi tentang komunitas arkeologi”. Etnografi arkeologi merupakan paparan tentang kerangka pikir, tingkah laku, dan cara “kehidupan” para pelaku arkeologi. Bahkan, bagi para ahli arkeologi sendiri, etnografi arkeologi disebut sebagai “etnografi tentang kita” (ethnography of us). Wacana ini muncul sebagai bagian dari refl eksi para pelaku arkeologi.

(13)

Etnografi arkeologi adalah penelitian refl eksif yang mencoba menggambarkan proses dan pengaruh kerja para pelaku arkeologi dalam masyarakat. Hal ini terkait erat dengan semakin aktifnya arkeologi terlibat dalam kegiatan “memberdayakan” masyarakat, ikut mempengaruhi struktur kekuasaan, dan memberikan makna baru warisan budaya dalam masyarakat masa kini (Meskell, 2005).

Pada intinya, etnografi arkeologi adalah upaya menggambarkan segala aktivitas dan gagasan arkeologi yang berupaya menghadirkan masa lampau (arkeologi) dalam konteks kehidupan masyarakat masa kini (etnografi ). Salah satu pertanyaan yang penting dalam etnografi arkeologi adalah apa dan bagaimana peran arkeologi bagi masyarakat masa kini ? Pertanyaan refl eksif ini, memang perlu direnungkan dan dijawab, terutama bagi para peneliti dan lembaga penelitian arkeologi. Sudahkan, para peneliti dan penelitian arkeologi di Indonesia memberikan sumbangan yang berarti dan nyata bagi kehidupan masyarakat kita ? Untuk menjawab pertanyaannya ini, barangkali perlu dilakukan rintisan penelitian etnografi arkeologi di Indonesia. Siapa mau mulai ?

(14)

DAFTAR PUSTAKA

Bahn, P. dan J. Vertut. 1988. Images of the Ice Age. Fact on File, New York – Oxford. Binford, L.R. 1983. In Pursuit of the Past : Decoding the archaeological record.

New York: Academic Press.

Binford, L.R. 1983a. Working at Archaeology. New York: Academic Press.

David, N. dan C. Kramer. 2001. Ethnoarchaeology in Action. Cambridge: Cambridge World Archaeology.

Gould, R. dan M.B. Schiffer (eds.). 1981. Modern Material Culture: The Archaeology

of Us. New York: Academic Press.

Hayden, B. 1992. Archaeology: the Science of Once and Future Things. New York: W.H. Freeman and Company.

Hodder, I dan S. Hutson. 2003. Reading the Past. 3rd edition. Cambridge: Cambridge

University Press.

Hodder, I. 1999. The Archaeological Process: An Introduction. London: Blackwell. Kramer, C. 1979. Introduction, dalam C. Kramer (ed.), Ethnoarchaeology:

Implications of Ethnography for Archaeology. New York: Columbia

University Press. Hlm. 1 -7.

LaMotta, V.M. dan M.B. Schiffer. 2001. Behavioral Archaeology: Toward a New Synthesis, dalam I. Hodder (ed.), Archaeological Theory Today. London: Blackwell. Hlm. 14 – 64.

Meehan, B. 1982. Shell Bed to Shell Midden. Canberra: Australian Institute of Aboriginal Studies.

Meskell, L. 2005. Archaeological Ethnography: Conversations around Kruger National Park, Archaeologies, Vol. 1 no. 1 August 2005.

Rathje, W.L. 1978. Archaeological Ethnography: because sometimes it is better to give than to receive, dalam R.A. Gould (ed.), Exploration in Ethnoarchaeology. Albuquerque: University of Mexico. Hlm. 49 – 76

(15)

Reid, J. 1995. Four Strategies after Twenty Years: A Return to Basics, dalam J.M. Skibo, W.H. Walker, dan A.E. Nielsen (eds.) Expanding Archaeology. Salt Lake City: University of Utah Press. Hlm. 15 – 21

Renfrew, C. dan P.Bahn. 2004. Archaeology: Theories, Methods, dan Practice. 4th edition. London: Thames and Hudson.

Schiffer, M. B. 1987. Formation Processes of the Archaeological Record. Albuquerque: University of New Mexico Press.

Schiffer, M.B. 1978. Methodological Issues in Ethnoarchaeology, dalam R.A. Gould (ed.), Exploration in Ethnoarchaeology. Albuquerque: University of Mexico. Hlm. 229 – 248.

Shanks, M dan C. Tilley. 1987. Re-Constructing Archaeology. Cambridge: Cambridge University Press.

Shanks, M dan I. Hodder. 1995. Prosesual, post-Prosesual, and Interpretive Arcaheology, dalam I. Hodder et al. (eds.), Interpeting Archaeology. London: Routledge. Hlm. 3 – 29

Tanudirjo, D. 1987. Penerapan Etnoarkeologi di Indonesia. Laporan Penelitian. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.

Tilley, C. 1993. Interpretation and a Poetics of the Past, dalam C. Tilley (ed.)

Gambar

Diagram 1 Gradasi Kajian Arkeologi – Etnografi – Linguistik dan posisi  kajian Etnoarkeologi
Diagram 2 Jenjang Analogi sesuai dengan Potensi Penerapan  dan Tingkat Kepastian masing

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 3 : Yang dimaksud dengan tindak pidana korupsi adalah setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi,

Dari hasil penelitian, diperoleh kesimpulan bahwa kebiasaan berpikir ( habits of mind ) mahasiswa yang belajar dengan pembelajaran problem based learning (PBL) tidak

Gain antena dapat dihitung dengan menggunakan antena lain sebagai antena yang standar atau sudah memiliki gain yang standar, dimana membandingkan daya yang diterima

Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara regulasi emosi dengan burnout pada perawat rawat inap RSJD Dr

melalui metode inabah, metode yang didasarkan pada ajaran Tarekat Qadiriyah Wa Naqsyabandiyah, Jakarta. 73 Tugas Doktoral IAIN Syarif Hidayatullah, “kembali

Pedoman teknis di tingkat kabupaten ini penting guna memandu dan memfasilitasi desa-desa dalam menyusun dan/atau mereview dokumen RPJMDesa yang berbasis pada perencanaan tata

Program-program pemasaran yang telah dilakukan oleh PT Kharisma Karang Ploso dalam kasus perumahan Bumi Kepanjen. Aspek Teknis dan Produksi. 1)

Ketika dilarutkan dalam atau dicampur dengan bahan lain dan dalam kondisi yang menyimpang dari yang disebutkan dalam EN374 silahkan hubungi suplier sarung tangan CE-resmi