• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Ahmad Dahlan, seorang Ketib Amin di lingkungan Masjid Besar Kraton Yogyakarta.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Ahmad Dahlan, seorang Ketib Amin di lingkungan Masjid Besar Kraton Yogyakarta."

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Muhammadiyah didirikan di Yogyakarta pada tahun 1912 oleh KH. Ahmad Dahlan, seorang Ketib Amin di lingkungan Masjid Besar Kraton Yogyakarta. Sebagai abdi dalem Kraton, Ahmad Dahlan memiliki pemikiran dan gagasan berbeda dari Islam yang sudah menjadi tradisi di Yogyakarta. Gagasan-gagasan itu dipengaruhi oleh pemikiran pembaruan Islam yang dikenalnya ketika belajar Agama di Mekkah. 1

Ahmad Dahlan memandang pentingnya pendidikan untuk mendukung kemajuan masyarakat Islam. Pendidikan yang dimaksud bukan hanya pendidikan agama tetapi juga penyampaian ilmu-ilmu umum yang pada saat itu lazimnya disampaikan di sekolah-sekolah bergaya Barat. Pada tahun 1910 Ahmad Dahlan mulai membangun lembaga pendidikan yang menggabungkan antara ilmu agama dan ilmu umum. Sekolah ini kemudian diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah dan diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911. Di luar sekolah ini, Ahmad Dahlan juga menyampaiakan pelajaran agama kepada berbagai kelompok masyarakat. Organisasi Muhammadiyah pada awalnya, didirikan atas saran murid-muridnya untuk menaungi sekolah yang didirikannya.

1 Muhammad Syoedja'. Tanpa Tahun. Cerita Tentang Kiyai Haji Ahmad Dahlan Catatan Haji Muhammad Syoedja'. hlm 66-67

(2)

Muhammadiyah memberikan kesempatan yang sama bagi laki-laki maupun perempuan untuk memperoleh pendidkan. Karenanya Muhammadiyah tidak hanya membangun sekolah bagi kaum laki-laki saja tetapi juga bagi kaum perempuan. Pendidikan bagi perempuan bahkan mendapatkan perhatian yang lebih karena masih kecilnya kesepatan bersekolah bagi perempuan pada masa itu.

Selain menyelenggarakan pendidikan bagi kaum perempuan, KH Ahmad Dahlan juga memiliki ajaran tersendiri mengenai cara berpakaian bagi murid-murid perempuannya. KH. Ahmad Dahlan mendorong murid-murid perempuannya untuk mengenakan penutup kepala yang disebut sebagai kudung. Hal ini dianggap tidak wajar karena kudung masa itu umumnya hanya dikenakan oleh perempuan yang telah melaksanakan ibadah haji.2 Ajaran untuk menutup kepala dengan kudung ini pada akhirnya menjadi gerakan setelah pendirian Muhammadiyah dan disusul dengan pembentukan bagian Aisyiyah pada tahun 1917.3

Anggapan bahwa ideologi dapat diekspresikan melalui pakaian bukanlah hal baru.4 Karenanya pakaian menjadi sarana penting untuk menunjukkan identitas di tengah menggiatnya pergerakan sosial politik dan modernisasi di kota Yogykarta pada awal abad ke 20. Tesis ini mengangkat topik mengenai gerakan kudung di

2 Tutin Aryanti.” Shame and Borders: The Struggles for Muslim Women Education in Indonesia”. Dalam Zehavit Gross. 2013. Gender, Religion, and Education in a Chaotic Postmodern World. New York: Springer. Hlm 91

3 ibid

4 Shosana-Rose Marzel. 2015. Dress and Ideology: Fashioning Identity from Antiquity to the Present. London: Bloomsbury. Hlm 1

(3)

lingkungan Muhammadiyah Yogyakarta. Gerakan kudung di sini dilihat sebagai sebuah gerakan sosial budaya agama sebagai upaya pencarian identitas sebagai perempuan Muslim Jawa.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang telah disampaikan, Kota Yogyakarta dipilih sebagai batasan wilayah karena di kota inilah Muhammadiyah pertama kali didirikan. Kemudian batasan waktu ditentukan antara tahun 1912 hingga 1942. Tahun 1912 menjadi batas awal karena pada tahun inilah Muhammadiyah didirikan. Sedangkan tahun 1942 menjadi batas akhir penelitian karena pada masa ini kekuasan Hindia Belanda beralih ke tangan Jepang, menandai berakhirnya pemerintahan Kolonial Belanda.

Adapun rumusan masalah dari tesis ini adalah; Pertama, apa yang melatarbelakangi munculnya gerakan kudung di lingkungan Muhammadiyah Yogyakarta? Kedua, apa tujuan dari gerakan kudung tersebut? Ketiga, siapa pelaku gerakan kudung? Keempat, bentuk kudung dan cara berpakaian seperti apa yang muncul dari gerakan ini? Dan yang kelima, apa hasil yang dicapai oleh Muhammadiyah dari gerakan kudung?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan rumusan masalah yang telah diuraikan di atas, penelitian ini bertujuan untuk; Pertama menganalisis latar belakang munculnya gerakan kudung di lingkungan Muhammadiyah. Kedua menganalisis

(4)

tujuan dari gerakan kudung Muhammadiyah. Ketiga menganalisis pihak-pihak yang menjadi pelaku dari gerakan kudung di lingkungan Muhammadiyah. Keempat menganalisis bentuk kudung dan cara berpakaian yang muncul dari gerakan kudung di lingkungan Muhammadiyah. Kelima menganalisis hasil yang dicapai oleh Muhammadiyah dari gerakan kudung.

Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi mengenai praktek berpakaian perempuan muslim pada masa kolonial. Di samping itu, melalui penelitian ini, dapat diketahui salah satu proses penerjemahan kerudung yang diyakini sebagai ajaran Islam dan sudah terlebih dahulu menjadi budaya di sebagian wilayah Arab, ke dalam budaya Indonesia dan bagaimana interaksinya dengan budaya yang sudah ada sebelumnya.

D. Tinjauan Pustaka

Tulisan karya Kurniawati Hastuti Dewi yang berjudul Javanese Women and Islam: Identity Formation since the Twentieth Century berbicara tentang bagaimana perempuan muslim Jawa membentuk identitasnya. Adopsi kerudung dijadikan penanda proses pembentukan identitas perempuan Mulim Jawa.

Kurniawati Hastuti Dewi memberikan informasi tentang bagaimana proses islamisasi secara perlahan-lahan merubah cara berpakaian perempuan Jawa. Penggunaan penutup kepala memang belum nampak dalam keseharian perempuan muslim Jawa pada masa islamisasi awal. Penggunaan kemben belum banyak ditinggalkan hingga abad ke 19. Meski demikian ada kecenderungan pakaian

(5)

perempuan Jawa menjadi lebih tertutup dibandingkan pada masa pra-islam. Gerakan penggunaan pakaian islami pada perempuan Jawa muncul pada awal abad ke 20 bersamaan dengan semakin besarnya keterlibatan perempuan di ruang publik pada masa pergerakan.5

Perdebatan mengenai pemakaian kerudung diungkapkan Ali Tantowi dalam The Quest of Indonesian Muslim Identity Debates on Veiling from the 1920s to 1940s. Perdebatan ini tidak dapat dilepaskan dari perdebatan mengenai hukum pemakaian kerudung di Timur Tengah. Ali Tantowi dalam artikelnya menjelaskan tentang perdebatan antara kelompok Islam Modern, dalam hal ini Muhammadiyah dan Persis yang berusaha memurnikan praktek ajaran Islam dengan kembali pada referensi Al Quran dan Hadis, dengan kelompok peranakan Arab berhaluan nasionalis yang sedang bergumul dalam pencarian identitasnya sebagai bangsa Indonesia. 6

Tutin Aryanti menulis artikel berjudul Shame and Borders: The 'Aisyiyah's Struggle for Muslim Women's Education in Indonesia. Artikel ini merupakan bagian dari buku yang disusun Zehavit Gross dengan judul Gender, Religion, and Education in a Chaotic Postmodern World.

5 Kurniawati Hastuti Dewi. Javanese Women and Islam: Identity Formation since the Twentieth Century. South East Asian Studies, Vol. 1, No. 1, April 2012. Tersedia dalam

http://repository.kulib.kyoto-u.ac.jp/dspace/bitstream/2433/155197/1/sas_1_1_109.pdf Diakses pada 14 Desember 2014. pukul 13:43

6 Ali Tantowi. 2010. The Quest of Indonesian Muslim Identity Debates on Veiling from the 1920s to 1940s. Journal of Indonesian Islam. Volume 04 Number 01. June 2010. dalam http://jiis.uinsby.ac.id/index.php/JIIs/article/viewFile/63/63

(6)

Tutin Aryanti dalam artikelnya mengungkapkan tentang “strategi islami” yang dilakukan oleh Aisyiyah untuk membuka jalan bagi perempuan untuk mengenyam pendidikan. Strategi yang dimaksud disandarkan pada konsep aurat perempuan. Di sini Aisyiyah menganjurkan pemakaian kerudung, dan membangun masjid tersendiri khusus bagi perempuan. Strategi ini menjadi jalan tengah agar perempuan tetap dapat memperoleh pendidikan di tengah budaya yang menganggap kemunculan perempuan di ruang publik sebagai hal tabu.7

Tutin dalam artikelnya menggarisbawahi bahwa kerudung dan pemisahan laki-laki dan perempuan, yang seringkali dikritik oleh Feminis Barat karena dianggap melanggar kebebasan dan merendahkan peremuan, dalam kasus Aisyiyah justru berbeda. Keduanya justru memfasilitasi perempuan untuk ikut terlibat dalam aktifitas sosial di ruang publik, sembari membangun identitas baru Perempuan Muslim Jawa menghadapi kolonialisme Belanda di Indonesia. 8

Tesis ini bebeda dengan ketiga artikel yang telah disebutkan. Kurniawati Hastuti Dewi dan Ali Tantowi tidak secara khusus membahas mengenai gerakan kudung Muhammadiyah. Pembahasan Tutin Aryanti terbatas pada ajaran KH Ahmad Dahlan kepada murid-murid perempuannya untuk mengenakan penutup kepala sekaligus menerapkan pemakaian kain tabir pemisah antara laki-laki dan perempuan. Tutin tidak memberikan uraian yang lebih detail tentang bagaimana ajaran ini

7 Tutin Aryanti. op.cit. hlm 88 8 Ibid. hlm 90

(7)

berkembang menjadi sebuah gerakan. Dengan memperdalam pembahasan pada gerakan kudung Muhammadiyah, tesis ini akan melengkapi ketiga penelitian yang telah ada sebelumnya.

Selain ketiga artikel yang telah disebutkan sebelumnya, terdapat dua artikel yang menjadi referensi awal yang penting bagi tesis ini. Artikel Suzanne Brenner berjudul Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and "The Veil". Artikel ini merupakan hasil penelitian antropologi yang menelusuri motivasi penggunaan jilbab dan mengapa praktek ini menjadi semakin populer di kalangan para perempuan muda dari kelas menengah dan berpendidikan. Penelitian ini berangkat dari asumsi bahwa penggunaan pakaian islami pada perempuan Jawa tidak memiliki akar sejarah dan tradisi. Di Yogyakarta dan Solo pada masa lalu, menurut pandangan Brenner, praktek penggunaan pakaian islami berupa penutup kepala hanya ditemukan pada sejumlah kecil muslimah yang sudah lanjut usia, terutama mereka yang telah menunaikan ibadah haji.9

Brenner dalam penelitian ini menganggap jilbab di Jawa sebagai fenomena baru, berbeda dengan kemunculan jilbab di negara-negara lain, terutama di Timur Tengah yang seringkali disebut “kembali ke jilbab” (re-vailing/return to veil). 10

Nanncy J. Smith Hefner dalam Javanese Women and the Veil in Post-9 Brenner, Suzanne. Reconstructing Self and Society: Javanese Muslim Women and "The Veil". American Ethnologist, Vol. 23, No. 4 (Nov., 1996), pp. 673-697 dalam http://www.jstor.org/stable/646178 diakses pada 20 April 2012 pukul 07:59

(8)

Soeharto Indonesia menyampaikan pengamatannya terhadap praktek dan makna jilbab dan islamisasi bagi perempuan Muslim Jawa kelas menengah. Hefner melakukan penelitian terhadap para mahasiswa dari dua perguruan tinggi di yogyakarta:Universitas Gadjah Mada dan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga.

Menurut Hefner fenomena jilbab yang menjadi tren pasca pemerintahan Soeharto muncul bukan sebagai sebuah gerakan Islam tradisionalis dan reaksi anti modernitas. Hefner melihat adanya fenomena yang lebih kompleks dan terkadang nampak sebagai bentuk usaha ambigu yang dilakukan perempuan muslim muda untuk merekonsiliasi kesempatan dan kebebasan memilih yang ditawarkan oleh pendidikan modern dengan meningginya komitmen untuk melaksanakan praktek-praktek keislaman.11

Hefner melihat bahwa pasca Soeharto jilbab tidak saja semakin meluas tetapi juga mengalami keberagaman. Setiap komunitas muslim yang berbeda nampak memiliki pemahaman keislaman yang berbeda, termasuk dalam memandang tata cara berpakaian. Maka muncullah beragam penampilan dalam berkerudung. 12

Hefner dalam artikelnya sama sekali tidak menyinggung tentang praktek pemakaian kerudung pada masa pra-kemerdekaan. Meski demikian, dalam penelitian ini akan digunakan juga beberapa pendekatan yang dilakukan oleh Hefner dalam

11 Nancy J. Smith Hefner. Javanese Women and the Veil in

Post-Soeharto Indonesia. The Journal of Asian Studies. Vol. 66, No 2 (May, 2007) pp. 390. dalam http:www.jstor.org/stable/20203163. Diakses pada tanggal 11 Juni 2012 pukul 09:12.

(9)

penelitiannya.

E. Landasan Teoritik

Kudung adalah istilah bahasa Jawa dari kerudung. Menurut Pijper, sebagaimana dikutip oleh Ali Tantowi, istilah kudung lumrah digunakan orang Jawa untuk menyebut kain penutup kepala di tahun 1930an.13 Selain istilah kudung, dikenal pula istilah machramah. Istilah ini berasal dari kata mihram atau mihramah, yakni kain putih yang digunakan sebagai pakaian haji. Hal ini tidak dapat dilepaskan dari kebiasaan di mana kain penutup kepala digunakan oleh perempuan-perempuan yang telah berhaji.14 Meski demikian, istilah kudung dan machramah mengacu pada bentuk penutup kepala yang sama.

Praktek ber-kudung dalam penelitian ini dilihat sebagai bentuk gerakan sosial budaya agama. Gerakan sosial dapat diartikan sebagai “tindakan terencana yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat disertai program terencana dan ditujukan pada suatu peubahan atau gerakan perlawanan untuk melestarikan pola-pola dan lembaga-lembaga masyarakat yang ada.” 15 Gerakan sosial budaya agama, berupaya membuat perubahan budaya dengan menggunakan agama sebagai dasarnya.

Pembahasan mengenai kudung tidak dapat dipisahkan dari pembahasan mengenai pakaian. Menurut Van Dijk, pakaian adalah salah satu penanda paling jelas dari sekian banyak penanda penampilan luar, dengan apa orang-orang membedakan

13 Ali Tantowi, op.cit 14 ibid

(10)

diri mereka dari orang lain dan pada gilirannya diidentifikasikan sebagai sebuah kelompok tertentu.16 Pakaian merupakan ekspresi dari identitas seseorang. Memilih pakaian berarti mendefinisikan dan mendeskripsikan diri.17

Gerakan kudung perlu dilihat sebagai upaya mencari identitas. Castells mengklasifikasikan identitas menjadi tiga tipe. Pertama, identitas pembenaran (legitimizing identity), diperkenalkan oleh institusi sosial yang dominan untuk memperluas dan merasionalkan dominasi mereka terhadap pihak yang dianggap lawan dalam masyarakat. Kedua, identitas perlawanan (resistance identity), dibuat oleh kelompok yang merasa direndahkan atau distigmatisasi oleh logika dominasi. Ketiga, identitas proyek (project identity), muncul ketika agensi-agensi sosial dengan basis kultural yang tersedia, membangun identitas baru, untuk mendefinisi ulang posisi mereka dalam masyarakat. Dengan melakukan hal ini mereka berusaha mencapai perubahan yang menyeluruh dari struktur sosial.18

Praktek ber-kudung, memilki kesamaan dengan praktik berpakaian perempuan muslim di tempat dan waktu berbeda. Meski demikian, Fadwa El Guindi dalam penelitian mengenai Jilbab menegaskan, inovasi budaya tidak hanya terjadi 16 Kees Van Dijk. “Sarung, Jubah, dan Celana Pakaian sebagai Sarana Pembedaan dan Diskriminasi”. dalam Henk S. Nordholt(ed). Outward Appearence Dressing State and Society in Indonesia, alih bahasa oleh M Imam Aziz, Outward Appearances Trend, Identitas, Kepentingan. 2005. Yogyakarta: LKiS. hlm 57.

17 Henk S Nordholt. op. cit. 1-2

18 Tarik Kulenovic. “Hijab as a Public Symbol”. Collegium

Antropologicum 30 (2006) 4: 713–718 tersedia dalam http://hrcak.srce.hr/file/43634

(11)

melalui proses difusi dan kontak. Ada proses-proses penemuan independen, ada pula asimilasi dan sinkretisme yang timbul ketika terjadi situasi berhadapan..19 Gerakan kudung dalam penelitian ini dilihat sebagai kasus yang tidak hanya dicampuri oleh pengaruh-pengaruh luar, tetapi juga mengalami proses tersendiri yang bersifat lokal. F. Metode Penelitian

Pencarian sumber dalam penelitian tesis ini dilakukan di berbagai perpustakaan seperti Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, Perpustakaan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, Perpustakaan Pusat Universitas Gadjah Mada, Perpustakaan Jurusan Sejarah FIB UGM, Fakultas Ilmu Budaya UGM, Perpustakaan Pusat Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga, dan Perpustakaan Kolese Ignatius Kotabaru.

Penelitian ini menggunakan sumber pustaka. Sumber Utama tesis ini adalah majalah Soeara Aisjijah yang terbit antara tahun 1926 hingga 1941. Majalah ini menjadi saluran penyampai pandangan dan kebijakan Muhammadiyah, terutama bagian Aisyiyah, kepada para anggotanya. Melalui artikel-artikel dalam majalah ini dapat dikumpulkan data mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi, pandangan dan kebijakan Muhammadiyah terutama mengenai perempuan, sekaligus reaksi yang muncul atas kebijakan-kebijakan yang ditetapkan. Selain artikel, informasi juga dapat diperoleh melalui foto-foto dan iklan yang dimuat dalam majalah ini.

19 Fadwa El Guindi. Veil: Modesty, Privacy, and Resistance. Alih bahasa oleh Mujiburohman. 2005. Jilbab Antara Kesalehan, Kesopanan, dan Perlawanan. Jakarta: Serambi. hlm 30

(12)

Foto seringkali dianggap sebagai bukti nyata, yang dapat menguatkan atau membantah informasi dari data-data tertulis. Anggapan ini bearasal dari keyakinan bahwa foto merupakan reproduksi mekanis dari kenyataan. Meski demikian, sebagaimana pada sumber tertulis, kritik sumber juga perlu dilakukan terhadap foto.20 Seperti tulisan, foto seringkali sengaja ditata untuk menonjolkan atau menyembunyikan sesuatu. Kemudian dalam majalah, pemilihan foto-foto yang dimuat dan bagaimana foto-foto ini ditata dan ditampilkan juga perlu diperhatikan untuk menangkap informasi-informasi yang tersirat.

Iklan, pernah disebut dalam Harpers Weekly sebagai cemin kehidupan, hingga cukup dengan sumber iklan saja, sejarah dapat ditulis.21 Melalui iklan, sejarawan tidak hanya dapat melihat lingkungan usaha yang menghasilkannya, tetapi juga keadaan masyarakat secara keseluruhan. Melalui iklan-iklan ini dapat diperoleh informasi mengenai gaya hidup yang sedang berkembang. 22

Soeara Aisjijah merupakan majalah yang terbit dari sebuah organisasi pergerakan yang membawa paham dan pandangan tertentu. Majalah ini juga memiliki target pembaca yang jelas yakni, perempuan Muslim, terutama anggota Muhammadiyah. Karenanya, iklan-iklan yang dimuat dalam majalah ini perlu dibaca 20 James Curtis. Making Sense of Documentary Photograph. Tersedia dalam

http://historymatters.gmu.edu/mse/photos/photos.pdf. Diunduh pada 24 Januari 2016 pukul 04:35.

21 Daniel Pope. Making Sense of Advertisement. Tersedia dalam

http://historymatters.gmu.edu/mse/ads/ads.pdf. Diunduh pada 24 Januari 2016 pukul 04:32

(13)

sebagai iklan yang dibuat dengan mempertimbangkan karakter pembaca.

Selain majalah Soeara Aisjijah digunakan pula data-data yang berasal dari media cetak sezaman lainnya dan wawancara. Data-data dari sumber ini diperlukan untuk melengkapi dan mengkonfirmasi data-data yang didapat dari Soeara Aisjijah. G. Sistematika Penulisan

Pada bab-bab selanjutnya, pembahasan dalam tesis ini akan disusun sebagai berikut: BAB II ANJURAN MENGENAKAN KUDUNG

Bab kedua secara umum menjelaskan tentang latar belakang gerakan kudung yang dilancarkan oleh Muhammadiyah. Di awal dijelaskan bagaimana KH. Ahmad Dahlan mengajarkan tentang pemakaian kudung sebelum Muhammadiyah secara resmi menganjurkan pemakaiannya. Pada sub-bab selanjutnya diuraikan peristiwa-peristiwa yang mendahului dikeluarkannya anjuran resmi ber-kudung oleh Muhammadiyah. Kemudian diterangkan pula penetapan anjuran resmi mengenai pakaian bagi perempuan oleh Muhammadiyah dan bagaimana Muhammadiyah menyampaikan ajakan untuk ber-kudung.

BAB III GAYA BER-KUDUNG

Bagian ini akan mengungkapkan tentang bagaimana kudung dikenakan. Sub bab pertama menjelaskan tentang pakaian yang disarankan dalam Soeara Aisjijah untuk dikenakan bersama kudung. Sub-bab kedua menguraikan tentang bentuk-bentuk kudung yang dikenakan. Sub-bab ketiga menguraikan tentang pemakaian perhiasan sebagai pelengkap berpakaian bagi pemakai kudung. Sub-bab keempat menguraikan

(14)

tentang bagaimana gerakan ber-kudung memandang pakaian bergaya Barat. Bagian ini terutama akan membahas tentang kemunculan mode babosca yang memiliki fungsi yang sama seperti kudung sebagai penutup kepala. Melalui bab ini hendak ditunjukkan pakaian yang dapat diterima dalam gerakan kudung Muhammadiyah dan pakaian yang tidak dapat diterima.

BAB IV KE(TIDAK)BERHASILAN GERAKAN KUDUNG Bagian ini membahas hasil yang dicapai dari gerakan kudung. BAB V PENUTUP

Referensi

Dokumen terkait

Dari beberapa pengertian mengenai anggaran sektor publik yang telah dikemukakan oleh para ahli, penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa anggaran adalah tindakan

Berdasarkan analisis komponen utama maka terbentuk 3 kelompok yaitu Kuto Padang dan Merabung yang dicirikan dengan nilai total alkalinitas dan turbiditas tinggi,

Aset diklasifikasikan menjadi Aset Lancar, Investasi, Aset Tetap, Piutang Jangka Panjang dan Aset Lainnya.. Catatan atas Laporan Keuangan | Penjelasan Pos-pos

Berdasarkan jenis usaha perikanan lele, menunjukkan adanya perbedaan keuntungan yang signifikan diantara usaha perikanan lele mutiara dan masamu; (3) Faktor produksi,

Mahasiswa mampu bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial serta kepedulian terhadap anggota kelompok dan lingkungannya serta mampu memelihara dan mengembangkan

Jika data sudah benar, matikan catu daya dan lepas rangkaian yang telah disusun.. Pasangkan IC 7474 pada projectboard dan hubungkan pin 14 pada Vcc dan pin 7

Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium intraseluler dan rendahnya rasio antara potasium terhadap sodium Individu dengan orang tua dengan hipertensi mempunyai risiko

[r]