• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hadits dan Ilmu Hadits dalam Pandangan Syiah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Hadits dan Ilmu Hadits dalam Pandangan Syiah"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

1

Hadits dan Ilmu Hadits dalam Pandangan Syiah

Oleh: Jumal Ahmad

Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta ahmadbinhanbal@gmail.com

Pendahuluan

Hadits adalah salah satu sumber tasyri‟ penting dalam Islam. Urgensinya semakin nyata melalui fungsi-fungsi yang dijalankannya sebagai penjelas dan penfasir al-Qur‟an, bahkan juga sebagai penetap hukum yang independen sebagaimana al-Qur‟an sendiri. Itulah sebabnya, di kalangan Ahl al-Sunnah, menjadi sangat penting untuk menjaga dan “mengawal” pewarisan al-Sunnah ini dari generasi ke generasi. Mereka –misalnya- menetapkan berbagai persyaratan yang ketat agar sebuah hadits dapat diterima (dengan derajat shahih ataupun hasan). Setelah meneliti dan membuktikan keabsahan sebuah hadits secara sanad, mereka tidak cukup berhenti hingga di situ. Mereka pun merasa perlu untuk mengkaji matannya; apakah ia tidak syadz atau mansukh –misalnya-. Demikianlah seterusnya, hingga mereka dapat menyimpulkan dan mendapatkan hadits yang dapat dijadikan sebagai hujjah.

Di samping Ahl al-Sunnah –sebagai salah satu kelompok Islam terbesar-, ternyata Syiah –sebagai salah satu kelompok Syiah terbesar- juga memiliki perhatian khusus terhadap al-Sunnah. Namun mereka memiliki jalur sanad dan sumber khusus dalam menerima al-Sunnah yang berbeda dengan sanad dan sumber Ahl al-Sunnah. Ini tentu saja tidak mengherankan, sebab Syiah memiliki pengertian tersendiri tentang al-Sunnah. Maka perbedaan ini tidak pelak lagi memunculkan perbedaan antara Ahl al-Sunnah dengan mereka dalam persoalan keaqidahan maupun kefikihan.1

1

Luthfullah al-Shafy, Awa’il al-Maqalat fi al-Madzahib al-Mukhtarat, Al-Mathba‟ah al-„Ilmiyyah Qum. Cetakan pertama 1398 H

(2)

2

Oleh karena itu, tentu menjadi menarik untuk mengetahui lebih jauh tentang hadits, ilmu hadits dan metodologi khas Syiah dalam melakukan kritik hadits. Dan secara singkat akan dibahas dalam tulisan ini.

Pembahasan

A. Sekilas Tentang Mazhab Syiah

Syiah menurut bahasa berarti “pengikut”, sedangkan menurut istilah Syiah berarti sekolompok orang yang mengagumi dan mengikuti Ali bin Abi Thalib. Belakangan, golongan ini memiliki beberapa istilah yaitu al-Rafidhah, al-Imamiyah,

al-Itsna ‘Asyariyah, dan Ja’fariyah.2 Kata Syiah menurut pengertian bahasa secara umum berarti kekasih, penolong, pengikut, dan lain-lainnya, yang mempunyai makna membela suatu ide atau membela seseorang. Kata Syiah digunakan untuk menjuluki sekelompok umat Islam yang mencintai Ali bin Abi Thalib karramallâhu

wajhah secara khusus, dan sangat fanatik.3 Maka kemudian secara terminologis Syiah hanya dikhususkan untuk orang-orang yang meyakini bahwa hanya Rasulullah Saw yang berhak menentukan penerus risalah Islam sepeninggalnya.

Pendapat populer tentang kemunculan Syiah adalah bahwa Syiah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Khalifah Ali dengan pihak pemberontak Muawiyah bin Abu Sufyan di Shiffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa tahkîm atau arbitrasi. Akibat kegagalan itu, sejumlah pasukan Ali memberontak terhadap kepemimpinannya dan keluar dari pasukan Ali. Mereka ini disebut golongan Khawarij. Sebagian besar orang yang tetap setia terhadap khalifah disebut Syî’atu ‘Alî (pengikut Ali).4

2

Redaktur Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), hal. 5.

3 Abdul Mun‟eim al-Nemr, Sejarah dan Dokumen-dokumen Syiah (T.tp.: Yayasan Alumni Timur Tengah, 1988), hal. 34-35.

4 Muhammad Nasir, Kriteria Keshahihan Hadits Perspektif Syiah, Jurnal Farabi, Vol. 12. No. 1 Juni 2015, hal. 194

(3)

3 B. Definisi Hadits Menurut Syiah

Hadits menurut Syiah adalah “Perkataan, perbuatan dan taqrir dari al-Ma‟shum.”5

Dan al-Ma‟shum dalam pandangan Syiah tidak hanya terbatas di kalangan para nabi dan rasul. Para imam mereka juga termasuk dalam kategori ini. Bahkan pada sebagian kelompok ekstrem Syiah, ada yang memandang bahwa kedudukan para imam jauh berada di atas para nabi dan rasul kecuali Rasulullah saw.

Muhammad Ridha al-Muzhaffar –salah seorang ulama kontemporer Syiah- menjelaskan, Al-Sunnah menurut kebanyakan fuqaha‟ adalah “perkataan, perbuatan dan taqrir Nabi”…Akan tetapi menurut (Syiah) Imamiyah memperluas batasan hadits menjadi sesuatu yang mencakup perkataan, perbuatan dan taqrir setiap al-Ma‟shum (dari Ahl al-Bait). Sehingga al-Sunnah dalam terminologi mereka adalah “perkataan, perbuatan dan taqrir al-Ma‟shum.”

Kedua-Belas-Imam yang diakui oleh Mazhab Syiah adalah sebagai berikut:

1.

Ali ibn Abi Thalib “al-Murtadha” (w. 40 H/661 M)

2.

Al-Hasan ibn „Ali “al-Zaky” (w. 49 H/669 M)

3.

Al-Husain ibn „Ali “Sayyid al-Syuhada‟” (w. 61 H/680 M)

4.

Ali ibn Al-Husain, Zain Al-Abidin “Zainal „Abidin” (w. 95 H/714 M)

5.

Abu Ja‟far Muhammad Ali “Al-Baqir” (w. 115 H/733 M)

6.

Abu Abdillah Ja‟far bin Muhammad “Al-Shadiq” (w. 148 H/765 M)

7.

Abu Ibrahim Musa bin Ja‟far “Al-Kazhim” (w. 183 H/799 M)

8.

Abu Hasan Ali bin Musa “Al-Ridha” (w. 203 H/818 M)

9.

Abu Ja‟far Muhammad bin Ali “al-Jawad” Al-Taqi (w. 220 H/835 M)

10.

Abu Hasan Ali bin Muhammad “al-Hadi”(w. 254H/868 M)

11.

Abu Muhammad Al-Hasan bin Ali “Al-Askari” (w. 260 H/874 M)

12.

Abu al-Qasim Muhammad bin Hasan “Al-Mahdi”, Al-Qa‟im Al-Hujjah (memasuki kegaiban besar pada 329 H/940 M).

5

Muhammad Baqir al-Majlisy (w. 1111 H): Bihar al-Anwar al-Jami’ah li Durar

(4)

4

Ciri khusus kelompok Syiah adalah keyakinannya terhadap Imamah, sebuah keyakinan bahwa yang berhak menjadi khalifah setelah Rasulullah meninggal adalah Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Model keyakinan seperti ini menjadi epistimologi yang penting dalam bangunan keyakinan Syiah. Menurut mereka, sipapun yang beriman kepada Allah namun tidak beriman kepada kepemimpinan Ali dan para Imam keturunannya, maka hukumnya sama dengan musyrik. Karena menurut mereka, Allah yang menetapkan dan memilih para Imam, sehingga iman kepada para Imam adalah sebuah keharusan.

Mereka percaya bahwa Imamah, seperti kenabian, tidak wujud kecuali dengan nash dari Allah melalui lisan Rasul-Nya, atau lisan Imam yang diangkat dengan nash, yaitu dia akan menyampaikan dengan nash Imam yang bertugas sesudahnya.6 Berdasar pemahaman ini kemudian kalangan Syiah mengklaim bahwa semua perkataan Imam Dua Belas yang ma‟shum pada dasarnya berasal dari Rasulullah. Karenanya para Imam tersebut tidak ubahnya seperti Nabi yang memiliki sifat maksum, sehingga perkataan, perbuatan dan sifat-sifatnya juga sama dengan Nabi.

Konsekwensi dari hal ini mereka berpendapat bahwa perkataan para Imam juga dikatakan sebagai hadits. Mengenai definisi ini, tidak ada pertentangan dan perbedaan di kalangan ulama Syiah. Perbedaannya, hanya berkaitan dengan subyek hadits yang menyangkut apakah hanya hadits Nabi yang mengikat atau juga yang diriwayatkan oleh para Imam suci juga mengikat.7

Kaum Syiah meyakini bahwa kedua-duanya mengikat. Sehingga atas dasar pemahaman seperti ini kaum Syiah dengan tegas menyatakan bahwa berita atau khabar yang datangnya dari para Imam berarti bisa dijadikan hujjah dalam beragama, karena ia termasuk hadits. Sebaliknya, apa-apa yang tidak pernah datang dari Para Imam berarti tidak bisa disebut hadits. Dengan alasan ini, hadits-hadits

6 Muhammad Ridha al-Muzhaffar, Aqaid al-Imamiyah, Markaz Abhas Al Aqoid, Iran. Cetakan II th. 1424 H. hlm.72

7 Murtadha Mutahari, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, (terj.) Ibrahim al Habsyi dkk, (Pustaka Zahra, Jakarta, 2003), hlm. 15.

(5)

5

yang bersumber dari para Imam adalah shahih tanpa perlu kesinambungan riwayat (ittishal) dengan Rasulullah sebagaimana persyaratan keshahihan hadits dalam Sunni.8 Definisi lain tentang hadits menyebutkan bahwa perkataan para imam Syiah memiliki kedudukan yang sama dengan perkataan Nabi saw. Sebab para imam itu juga menerima “ilmu” dari Allah melalui jalur ilham, sebagaimana Nabi menerimanya dari jalur wahyu.

Berdasarkan ini, maka penjelasan para Imam terhadap hukum bukan termasuk dalam kategori periwayatan al-Sunnah atau ijtihad dalam menggali sumber-sumber tasyri‟, akan tetapi karena merekalah sumber hukum (tasyri’) itu sendiri.9 Penjelasan ini menunjukkan bahwa perkataan para imam yang ma‟shum, baik yang diperoleh melalui jalur ilham atau jalur lainnya (dikenal dengan istilah ilmu hadits)10, maupun yang diriwayatkan dan diwariskan dari imam ma‟shum sebelumnya dari Rasulullah (ilmu mustauda’), termasuk dalam bagian Sunnah yang kedudukannya sederajat dengan hadits yang berasal dari Rasulullah saw.

Syiah meyakini, tidak ada perbedaan antara perkataan yang diucapkan sang imam saat ia masih kanak-kanak maupun yang diucapkannya pada usia kematangan akalnya. Sebab, menurut mereka para imam itu tidak mungkin melakukan kesalahan, sengaja ataupun tidak, sepanjang hayat mereka.

Itulah sebabnya, salah seorang ulama kontemporer Syiah mengatakan, “Sesungguhnya keyakinan akan kema‟shuman para imam telah membuat hadits-hadits yang berasal dari mereka serta-merta menjadi shahih, tanpa harus mempersyaratkan adanya persambungan sanad sampai Rasulullah saw, sebagaimana yang dipersyaratkan di kalangan Ahl al-Sunnah.”11 Ini karena “perkataan para imam itu adalah perkataan Allah, perintah mereka adalah perintah Allah, ketaatan pada mereka adalah ketaatan pada Allah, kedurhakaan pada mereka

8 Abdullah Fayyadah, Tarikh al-Imamiyah wa Aslafihim min al-Syi’ah, Beirut: Mu‟assasah al-A‟lami li al-Mathbu‟at, . cet.3, 1986, hlm. 140.

9 Hasan al-Amin, Da’irah al-Ma’arif al-Syi’iyyah, Dar al-Ta‟aruf li al-Mathbu‟at, Beirut. Cetakan keempat 1989 M

10

Muhammad ibn al-Hasan al-Thusy , Al-Fahrasat. Al-Mathba‟ah al-Haidariyah, Nejef. Cetakan kedua 1960 M.

(6)

6

adalah kedurhakaan pada Allah. Mereka itu tidak mungkin berbicara kecuali dari Allah dan wahyu-Nya.”12

Maka Syiah telah mempersempit cakupan hadits dengan batasan yang mereka yakini bahwa periwayatan hadits hanya dimungkinkan melalui jalur Ahl al-Bait. Dan itupun tidak semua Ahl al-Bait, sebab hanya yang mempunyai predikat ma‟shum saja yang dapat melakukannya. Dan itu berarti hanya terbatas pada “para imam yang dua belas” saja.

Sikap Syiah Terhadap Teks-Teks Hadits Mereka

Sikap ulama Syiah dalam memandang dan menyikapi teks-teks hadits mereka sendiri secara umum terwakili dalam 2 kelompok besar, yaitu Ikhbariyyun dan Ushuliyyun.13

Kelompok Ikhbariyyun adalah kelompok Syiah yang melarang ijtihad dan mencukupkan diri dengan mengamalkan “khabar-khabar” yang terdapat dalam empat kitab hadits mereka; Al-Kafi, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, Al-Tahdzib dan

Al-Istibshar. Mereka memandang bahwa apa yang terkandung dalam keempat kitab

itu qath‟i berasal dari para imam, karena itu tidak perlu melakukan penelitian lebih lanjut tentang sanadnya. Demikian pula tidak perlu membagi hadits-hadits dalam kitab-kitab itu menjadi shahih, hasan, dha‟if, dan sebagainya karena semuanya shahih. Karena itu mereka disebut juga al-Akhbariyah, sebuah penisbatan kepada akhbar (khabar-khabar). Tokoh-tokoh kelompok ini diantaranya adalah al-Kulainy (w. 329 H) penulis al-Kafy, Ibnu Babawaih al-Qummy (w. 382 H), penulis Man La Yahdhuruhu al-Faqih, dan al-Mufid (w. 413 H), penulis Awa‟il al-Maqalat.

Sedangkan kelompok Ushuliyyun adalah mereka yang memandang perlunya ijtihad, dan bahwa landasan hukum itu terdiri dari al-Qur‟an, al-Sunnah, ijma‟ dan dalil „aqli. Mereka juga meyakini bahwa hadits-hadits yang terdapat

12

Abu Ja‟far Muhammad ibn al-Hasan al-Thusy (w. 460 H), Al-Istibshar fi Ma

Ikhtalafa min al-Akhbar:. Dar al-Adhwa‟, Beirut. Cetakan kedua 1992 M.

13

DR. Muhammad „Ajjaj al-Khathib, Nasy’at Ulum al-Hadits wa Mushthalahihi. Kulliyat Dar al-„Ulum, Universitas Kairo 1965 M.

(7)

7

dalam keempat kitab pegangan itu, sanadnya ada yang shahih, hasan, dan dha‟if. Oleh karena itu, diperlukan sebuah kajian terhadap sanadnya pada saat akan diamalkan atau dijadikan landasan hukum. Tokoh-tokoh kelompok ini antara lain adalah: al-Thusy (w. 460 H), penulis al-Istibshar, al-Murtadha yang dianggap menyusun Nahj al-Balaghah, Muhsin al-Hakim, al-Khu‟iy dan al-Khumainy (Khomeni).

Kitab-Kitab Hadits Syiah

Dikalangan syiah terdapat empat kitab hadits yang dianggap paling shahih, yang dikenal dengan al-Kutubu al-Arb’ah yaitu: Al-Kafi, Man la Yahdurhu al-faqih,

Tahdzib al-Ahkam dan al-Istibshar.14

1. Al-Kafi

Ditulis oleh Abu Ja‟far Muhammad bin Ya‟qub al-Kulaini. Tidak hanya memuat tentang hadits mengenai fiqih, akan tetapi juga mencakup hadits-hadits tentang akidah ushul dan furu, sejarah para ma‟shumin (orang-orang yang ma‟shum) menurut syi‟ah. dan empat belas orang-orang suci, yakni Nabi saw, Sayyidah Fatimah ra. dan kedua belas Imam dan memuat 16099.

Kitab ini dianggap istimewa oleh Syiah karena penyusunannya dilakukan selama 30 tahun, melalui pengembaraan yang panjang dari satu negeri ke negeri yang lain, disusun dengan cara yang teratur, sistematis dan jeli, dan penyusunnya adalah seorang yang ahli dalam bidangnya dan dihormati semua pihak, karena ketinngian ilmu dan takwanya.

2. Man la Yahdurhu al-faqih

Ditulis oleh Syekh Abu Ja‟far Muhammad Ibn Ali Babuwaih al-Qummy yang lebih dikenal dengan julukan Syekh ash-shaduq atau maha guru yang jujur‟. Kitab Man la Yahdhurhu al-Faqih adalah karya hadits mengenai hukum. Di dalamnya tertampung 9044 hadist, dengan 2050 hadist mursal, hadis yang terputus periwayatannya dan sisanya adalah hadist-hadist musnad bersambung periwayatannya menurut persepsi Syiah.

(8)

8 3. Tahdzib al-Ahkam dan Al-Istibshar

Ditulis oleh syekh Abu Ja‟fa Muhammadibnu Hasan ath-Thusi atau yang lebih dikenal dengan sebutan ath-Thusi.Jumlah hadits dalam Tahdzib sebanyak 13590 hadits, sedangkan dalam al-Istibshar sebanyak 5511 hadits. Hadits-hadits di dalam dua buku ini, selain periwayatan yang dilakukan oleh syeikh al-Thusi sendiri, sebagian yang lain merupakan salinan atas hadits-hadits yang terdapat dalam al-Ushul al-Arba‟ah dan kitab-kitab hadits kecil lain.

Keshahihan Sanad Hadits Menurut Pandangan Syiah

Ulama mutaqaddimûn Syiah membagi kualitas hadis berkisar pada dua jenis: (1) hadis mu„tabar (muktabar); dan (2) hadis ghair mu„tabar (tidak muktabar). Pembagian seperti ini didasarkan pada: pertama, kriteria internal, seperti keakuratan periwayat; dan kedua, kriteria eksternal seperti kemuktabaran hadis yang dihubungkan dengan Zurârah, Muhammad ibn Muslim, dan Fudlail ibn Yasâr. Maka hadis yang memenuhi kedua kriteria itu dianggap sahih, yakni muktabar, sehingga boleh dijadikan sandaran. Namun sebaliknya, jika kedua kriteria itu tidak terpenuhi, maka hadis bersangkutan dianggap tidak sahih, yakni tidak muktabar, dan tidak mungkin dijadikan sandaran.15

Jumhur Syiah membagi hadis menjadi mutawatir dan ahad. Pengaruh akidah mereka tampak dalam maksud hadis mutawatir. Karena hadis mutawatir menurut mereka adalah harus dengan syarat hati orang yang mendengar tidak dicemari syubhat atau taklid yang mewajibkan menafikan hadis dan maksudnya.16

Ulama muta‟akhkhirûn Syiah kemudian membagi kualitas hadis Ahad menjadi empat jenis: shahîh (sahih), muwatstsaq (andal), hasan (hasan), dan dha‘îf (dhaif). Pembagian kualitas hadis itu mulai dikenal sejak akhir abad VII H, tepatnya

15

Ayatullah Ja‟far Subhani, Menimbang Hadis-hadis Mazhab Syi’ah; Studi atas

Kitab al-Kafi, dalam al-Huda: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, diterbitkan oleh Islamic

Center, Jakarta, vol II, no. 5. 2001, hal. 38-39.

16 Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi’ah; Studi Perbandingan Hadis &

(9)

9

pada masa Ahmad ibn Thâwus ibn Mûsâ Hilliy (w. 673 H) dan muridnya al-Hasan ibn Yûsuf ibn Aliy ibn Dâwud ibn Muthahhar al-Hilliy (w.726 H). Pembagian inilah yang kemudian berlaku sampai saat ini.

Berikut ini keterangan dari pembagian hadits Ahad di atas. 1. Shahih

Yaitu hadist yang diriwayatkan oleh seorang penganut Syi'ah Imamiah yang telah diakui ke-adalah-annya dan dengan jalan yang shahih. Dari definisi hadits Shahih ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada satupun hadits shahih kecuali jika rawinya berasal dari kalangan dua belas Imam yang ma‟shum.

2. Hasan

Yaitu jika rawi yang meriwayatkannya adalah seorang Syi'ah Imamiah yang terpuji, tidak ada seorangpun yang jelas mengecamnya atau secara jelas mengakui ke-adalah-annya.

3. Muwats-tsaq

Yaitu hadits dari seorang yang ma‟shum dan diriwayatkan oleh rawi yang bukan Syi'i, namun ia adalah orang yang tsiqat dan terpercaya dalam periwayatan.

4. Dha'if

Yaitu hadist yang tidak mempunyai kriteria-kriteria tiga kelompok hadist di atas, seperti misalnya sang rawi tidak menyebutkan seluruh rawi yang meriwayatkan hadist kepadanya.17

(10)

10 C. Kritik Sanad Dan Matan Menurut Syiah

Sebagaimana Ahlus Sunnah, Syiah Imamiyah juga memiliki metode kritik sanad dan matan yang khas, meskipun dalam beberapa bagian nampak sama dengan metode kritik sanad dan matan yang dianut oleh Ahlus Sunnah.

Metode Kritik Sanad Syiah

Dalam hal ini yang akan dipaparkan adalah klasifikasi perawi, awal munculnya pembagian derajat hadits dalam Syiah, kajian seputar persambungan dan perputusan sebuah sanad dalam sudut pandang Syiah dan kajian al-rijal di kalangan Syiah.

Klasifikasi Perawi di Kalangan Syiah

Klasifikasi perawi sebuah hadits yang dapat diterima, dalam pandangan Syiah hampir sama dengan klasifikasi yang selama ini dikenal dan dipegangi oleh para ulama hadits Ahlus Sunnah. Diantara klasifikasi seorang perawi yang bisa diterima menurut mereka adalah:

1. Islam 2. Baligh 3. Berakal 4. „Adil 5. Dhabith

Sebagian besar ulama Imamiyah menambahkan syarat “iman”. Yang dimaksud “iman” di sini adalah bahwa seorang perawi haruslah seorang penganut madzhab Imamiyah Itsna „Asyariyyah. Bahkan tidak hanya sekedar penganut madzhab Imamiyah, sang perawi haruslah menerima riwayat itu dari para imam. Al-Thusy mengatakan, “Setelah diteliti dengan cermat, jelaslah bahwa tidak semua riwayat yang diriwayatkan oleh seorang „imamiyah‟ dapat diamalkan secara mutlak. (Sebab yang boleh diamalkan) hanyalah riwayat-riwayat yang diriwayatkan dari para imam –alaihissalam- dan dituliskan oleh murid-muridnya.”

(11)

11

Karena itu, jika seorang penganut Imamiyah meriwayatkan hadits dari salah seorang Ahl al-Bait yang tidak termasuk dalam kategori imam, maka haditsnya pun tidak dapat diamalkan. Dengan kata lain, tidak semua Ahl al-Bait dapat dijadikan sebagai jalur periwayatan, sebab tidak semua dari mereka itu berstatus sebagai imam. Itulah sebabnya, riwayat yang disampaikan oleh keturunan Fathimah r.a melalui Hasan r.a –misalnya- tidak dapat diterima. Bahkan yang melalui jalur al-Husain r.a sekalipun.

Adapun tautsiqat ‘ammah yang dijadikan sandaran penting dalam madzhab Syiah terdiri dari beberapa kelompok berikut:

Pertama, Ashhab al-Ijma’. Mereka adalah kelompok yang disepakati (ijma‟) keshahihan semua riwayat yang datang dari mereka. Rincian mereka adalah 6 orang dari murid-murid al-Baqir, 6 orang dari murid-murid al-Shadiq, dan 6 orang dari murid-murid Musa al-Kazhim.

Kedua, Masyayikh al-Tsiqat. Mereka adalah beberapa orang –yaitu Muhammad ibn Abi „Umair, Shafwan ibn Yahya, dan Ahmad ibn Muhammad ibn Abi Nashr al-Bizanty- yang tidak meriwayatkan dan memursalkan sebuah hadits kecuali dari perawi yang tsiqah. Namun ada sebagian ulama Syiah yang kemudian tidak mengakui ini sebagai sandaran, dengan alasan sebagian dari mereka telah dituduh berdusta dan membuat hadits palsu, bahkan dianggap keluar dari akidah Imamiyah.

Ketiga, disamping ketiga nama di atas, ada pula beberapa nama yang dikenal tidak meriwayatkan hadits kecuali dari orang-orang yang tsiqah. Mereka diantaranya adalah Ahmad ibn Muhammad ibn Isa, Ja‟far ibn Basyir al-Bajaly, Muhammad ibn Ismail al-Za‟farany, dan Ahmad ibn Ali al-Najasyi. Namun sebagaimana sebelumnya, ada juga ulama Syiah yang tidak menyepakati ini.

Sebab-sebab penetapan Jarh terhadap seorang perawi dalam pandangan Syiah di antaranya adalah:

1. Akidah yang batil. Yaitu jika sang perawi bukanlah pengikut Imamiyah. 2. Cacatnya ke ‘adalahan perawi, seperti jika ia melakukan dosa besar dan

terus-menerus melakukan dosa kecil.

(12)

12

4. Jika seorang perawi banyak meriwayatkan dari perawi-perawi yang

dhu‟afa dan majhulun.

5. Jika perawi itu berasal dari kalangan Bani Umayyah, kecuali jika ia seorang pengikut Imamiyah.

Awal Munculnya Pembagian Derajat Hadits dan Perhatian Terhadap Sanad di Kalangan Syiah

Ulama Syiah pertama yang mengeluarkan ide ini adalah Ibnu al-Muthahhir al-Huliyy (w. 726H).[17] Itu artinya, awal mula munculnya pemikiran untuk memberikan “nilai” kepada sebuah hadits di kalangan Syiah adalah sekitar abad 7 Hijriyah. Dan ini bertepatan dengan “serangan” Ibnu Taimiyah terhadap Syiah Imamiyah dalam bukunya, Minhaj al-Sunnah. Salah satu kritik penting Ibnu Taimiyah adalah rendahnya perhatian dan pengetahuan Kaum Syiah terhadap ilmu ar-Rijal.18

Hal ini diakui sendiri oleh Hurr al-„Amily (w. 1104 H). Ia mengakui bahwa penyebab Kaum Syiah mulai meletakkan istilah shahih, hasan dan dha‟if untuk hadits mereka serta memperhatikan sanad, adalah kritik yang ditujukan oleh Ahl al-Sunnah kepada mereka. Ia mengatakan,

“Salah satu faidah penyebutan (sanad) adalah…untuk membantah tuduhan „orang awam‟ –maksudnya Ahl al-Sunnah- terhadap Syiah, bahwa hadits mereka tidak „mu‟an‟an‟ dan hanya sekedar dinukil begitu saja dari kitab-kitab para pendahulu mereka.”19

Bersambung dan Terputusnya Sanad Menurut Syiah

Sanad sebagai mata rantai jalur periwayat hadits yang dimulai dari Sahabat sampai ulama hadits, terkadang ditulis lengkap dan terkadang membuang sebagian

18Ahmad Haris Suhaimi, Tautsiq al-Sunnah Baina al-Syi’ah al-Imamiyah wa Ahl

al-Sunnah. Dar al-Salam, Mesir. Cetakan pertama 2003 M.

19 DR. Muhammad al-Tijany al-Samawy, Al-Syi’ah Hum Ahl al-Sunnah. Mu‟assasah al-Fajr, London. Cetakan pertama 1993 M.

(13)

13

sanad atau awalnya dengan alasan atas beberapa konteks tertentu. Contohnya adalah yang dilakukan Al-Kulaini setelah menulis lengkap sanad pada hadits yang dikutip di atas hadits yang diringkas atau meringkas sejumlah periwayat terkenal yang terkenal dengan sebutan dari sejumlah sahabat kita (ashabuna), dari fulan dan seterusnya, atau dengan kata-kata iddah (sejumlah) dan jamaah (sekelompok) yang dapat menunjukkan upaya peringkasan sanad.

Peringkasan sanad ini dilandasi atas keinginan al-Kulaini untuk tidak memperpanjang tulisan, dan dilakukan hanya pada para periwayat yang dianggap baik dan dipercaya oleh beliau. Oleh karena itu, jika sanad telah ditulis lengkap pada hadis sebelumnya, maka selanjutnya al-Kulaini tidak menulisnya secara lengkap.20

Syiah Imamiyah juga menekankan tentang keharusan adanya persambungan sanad kepada imam yang ma‟shum. Meski sanad itu kemudian tidak bersambung kepada Nabi saw, sebab perkataan imam itu sendiri adalah hujjah dan sunnah sehingga tidak perlu dipertanyakan dari mana ia mengambilnya. Tetapi jika sanad itu bersambung kepada Nabi saw tanpa perantaraan seorang imam, maka hadits semacam ini tidak dapat diterima.

Kajian ‘al-Rijal’ di Kalangan Syiah

Kalangan Imamiyah mengaku bahwa awal penyusunan referensi dalam bidang ini di kalangan mereka telah dimulai pada abad 2 H. Mereka beranggapan bahwa kitab „Ubaidullah ibn Abi Rafi. Penulisan ilmu ini menurut mereka terus berlanjut hingga abad 4 H. Namun –seperti pengakuan mereka- tidak ada satu pun karya dalam bidang ini yang sampai pada mereka, kecuali yang ditulis pada abad 4 dan 5 H. karya-karya itulah yang kemudian menjadi rujukan penting mereka selanjutnya. Diantaranya:

20

Khoirul Mudawinun Nisa‟, Hadis di Kalangan Sunni (Shahih Bukhari) dan Syiah

(14)

14

1. Rijal Kisysyi, karya Muhammad ibn Umar yang lebih dikenal dengan al-Kisysyi (w. 340H). Ia hidup semasa dengan al-Kulainy (w. 329H), dan termasuk tokoh tsiqah penting di kalangan mereka.

2. Fihris al-Najasyi, karya Abu al-Abbas Ahmad ibn „Ali ibn al-Abbas yang lebih dikenal dengan al-Najasyi (w. 450H).

3. Rijal Ibn al-Ghadhairy, karya Ahmad ibn al-Husain al-Ghadhairy (w. 412). Judul buku ini sebenarnya adalah Kitab al-Dhu’afa’. Isinya memuat perawi-perawi dha‟if. Penulisnya bahkan mendha‟ifkan banyak ulama dan perawi Imamiyah dengan alasan sikap ghuluw yang ada pada diri mereka.

Metode Kritik Matan Syiah

Perbedaan Ahlus Sunnah dan Syiah dalam melakukan kritik matan, dijelaskan sebagaimana berikut:

Pertama, Perbedaan dalam menimbang matan hadits dengan Al-Quran.

Para imam Syiah telah menyatakan kewajiban memaparkan hadits-hadits yang diriwayatkan dari mereka kepada Qur‟an. Maka yang sesuai dengan al-Qur‟an, itulah yang benar. Namun jika hadits itu menyelisihi al-al-Qur‟an, maka ia tidak bisa dijadikan pegangan. Imam al-Ridha mengatakan,

“…Maka janganlah kalian menerima (riwayat) dari kami yang menyelisihi al-Qur‟an. Sebab jika kami menyampaikan sesuatu pada kalian, kami tidak menyampaikan kecuali yang sesuai dengan Qur‟an dan al-Sunnah…Maka jika datang kepada kalian orang yang menyampaikan hadits yang menyelisihi itu, maka tolaklah! Sebab setiap perkataan dari kami itu akan disertai dengan hakikat dan cahaya, dan sesuatu yang tidak ada hakikat dan cahayanya, maka itu adalah perkataan syetan.”[58]

Namun, Syiah meragukan keabsahan Al-Quran yang ada sekarang ini. Masalah terjadinya tahrif dan pengurangan dalam al-Qur‟an hampir dapat dikatakan telah menjadi ijma‟ Syiah terdahulu, kecuali 4 orang yang tidak meyakininya. Mereka adalah Ibnu Babawaih Qummy (w. 382H), Syarif Murtadha (w. 436H), al-Thusy (w. 460H), dan al-Fadhl ibn al-Hasan al-Thibrisy (w. 548H).

(15)

15

Akibatnya, mereka terpaksa memilih pandangan yang menyatakan bahwa para imam itu memerintahkan mereka untuk berpegang pada al-Qur‟an yang ada di hadapan kita saat ini, meskipun telah diselewengkan –menurut mereka- hingga datangnya Al-Qa‟im Al-Mahdy yang akan mengeluarkan al-Qur‟an yang shahih yang dikumpulkan oleh Imam „Ali r.a.

Syekh al-Mufid (w. 413H) menyatakan,

“Sesungguhnya hadits-hadits yang shahih dari para imam kami a.s (yang menunjukkan) bahwa mereka memerintahkan untuk membaca apa yang ada dalam mushhaf (al-Qur‟an) dan tidak melampaui batas, baik dengan menambah atau menguranginya, hingga datang al-Qa‟im a.s yang akan membacakan al-Qur‟an (yang benar) sesuai dengan yang diturunkan Allah Ta‟ala dan dikumpulkan oleh Amirul mukminin.”

Kedua, Perbedaan dalam menimbang matan hadits dengan As-Sunnah

Syiah Imamiyah memandang bahwa al-Sunnah merupakan sumber tasyri‟ kedua setelah Kitabullah, dan hal ini disepakati oleh semua kaum muslimin. definisi al-Sunnah menurut Syiah adalah perkataan, perbuatan dan penetapan al-ma‟shum. Oleh sebab itu, sang imam mempunyai hak untuk mengkhususkan dalil al-Qur‟an yang umum, atau tindakan semacamnya. Atau dengan kata lain, sang imam –karena ia ma‟shum-, maka posisinya sama dengan Nabi saw yang tidak berbicara kecuali berdasarkan wahyu.

Ketiga, Perbedaan dalam menimbang matan hadits dengan Ijma’

Syiah –sebagaimana juga Ahl al-Sunnah- memandang ijma‟ sebagai salah satu sumber tasyri‟ dalam Islam. Hanya saja, terminologi ijma‟ dalam pandangan mereka berbeda dengan terminologi ijma‟ menurut Ahl al-Sunnah. Ibn al-Muthahhir al-Huliyy mendefinisikan ijma‟ menurut Syiah dengan mengatakan,

“Ijma‟ itu hanya menjadi hujjah bagi kita jika ia mencakupi perkataan sang (imam) yang ma‟shum. Maka jama‟ah apapun, sedikit atau banyak, jika perkataan imam termasuk dalam perkataan mereka, maka ijma‟nya menjadi hujjah karenanya (perkataan imam), bukan karena kesepakatan mereka.”

(16)

16

A. Penutup

Melalui kajian singkat ini setidaknya kita dapat melihat –meskipun tidak secara terperinci- bahwa secara garis besar ada persamaan antara Ahl al-Sunnah dan Syiah tentang hakikat hadits sebagai sumber ajaran Islam.

Perbedaan mendasar terletak pada sumber utama hadis dan persoalan verifikasi terhadap keotentikan hadis. Pertama, tentang sumber hadis. Syi‟ah beranggapan mengenai tidak terhentinya wahyu setelah wafatnya Nabi Muhammad saw dan masih tetap mengakui adanya hadis yang bersumber dari keturunan Nabi, khususnya dari Ali, bahkan para imam juga dianggap dapat mengeluarkan hadis. Kedua, kaitannya dengan persoalan verifikasi kesahihan hadis, para ulama Syi‟ah dalam kajian sanad suatu hadis telah memberikan kriteria-kriteria sebagai periwayat hadis. Di antaranya: Bersambung sanadnya kepada yang ma‟shum, Seluruh periwayat dalam sanad berasal dari kelompok Syiah dalam semua tingkatan, dan seluruh periwayat dalam sanad bersifat „adil dan dhabit.

Dalam proses melakukan kritik terhadap sanad dan matan kita temukan dalam penerapannya terdapat perbedaan yang sangat jauh antara keduanya. Sebagai contoh, jika Ahl al-Sunnah sejak awal menjadikan sanad sebagai salah satu pijakan utama dalam menerima hadits, maka Syiah justru „terlambat‟ untuk menyadari itu. Bahkan, -seperti diakui oleh ulama mereka sendiri- perhatian terhadap sanad itu muncul bukan karena memang hal itu penting, akan tetapi sekedar untuk memunculkan „pembelaan‟ di hadapan Ahl al-Sunnah.

(17)

17

Referensi:

Abdullah Fayyadah, Tarikh al-Imamiyah wa Aslafihim min al-Syi‟ah, Beirut: Mu‟assasah al-A‟lami li al-Mathbu‟at, . cet.3, 1986

Ahmad Haris Suhaimi, Tautsiq al-Sunnah Baina al-Syi‟ah al-Imamiyah wa Ahl al-Sunnah. Dar al-Salam, Mesir. Cetakan pertama 2003 M.

Ali Ahmad al-Salus, Ensiklopedi Sunnah-Syi‟ah; Studi Perbandingan Hadis & Fiqih, (Jakarta: Pustaka al-Kausar, 1997),

Ayatullah Ja‟far Subhani, Menimbang Hadis-hadis Mazhab Syi‟ah; Studi atas Kitab al-Kafi, dalam al-Huda: Jurnal Kajian Ilmu-ilmu Islam, diterbitkan oleh Islamic Center, Jakarta, vol II, no. 5. 2001

Khoirul Mudawinun Nisa‟, Hadis di Kalangan Sunni (Shahih Bukhari) dan Syiah (Al-Kafi Al-Kulaini), Jurnal An-Nuha, Vol.3, No. 1, Juli 2016, hal. 11 – 12 Muhammad Nasir, Kriteria Keshahihan Hadits Perspektif Syiah, Jurnal Farabi, Vol.

12. No. 1 Juni 2015

Murtadha Mutahari, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, (terj.) Ibrahim al Habsyi dkk, (Pustaka Zahra, Jakarta, 2003)

Redaktur Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997),

Al-Hadits, Link: http://ar.wikishia.net/view/ثيدحلا (diakses 05 November 2017) http://media.isnet.org/islam/gapai/Syiah03.html (diakses 05 November 2017)

Referensi

Dokumen terkait

EFEKTIVITAS PENGGUNAAN SUNBLOCK KOMERSIAL PADA BEBERAPA NILAI SPF (Sun Protection Factor) SEBAGAI PELINDUNG Spodoptera litura NUCLEAR POLYHEDROSES VIRUS (SlNPV) DARI

Pada saat pulse pengapian sejajar dengan pic up magnet, pulse kehilangan arus sehingga arus dari CDI ke kumparan primer terputus. akibatnya kumparan primer coil

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa semua kegiatan di ruang Anggrek telah berjalan sesuai dengan prosedur asuhan keperawatan. Dan dapat dikatan sudah

Sifat-sifat yang berpengaruh pada cetakan pasir adalah sifat pasir cetak itu sendiri yang meliputi : Kadar Air (Humadity), kadar air yang terdapat dalam pasir

Masalah gangguan stres dalam konteks karya ini adalah stres sebagai suatu pemikiran subjektif , yakni bila keinginan yang dicapai berbeda dengan apa yang

Ekstrak metanol jamur yang diisolasi dari tanah waduk memiliki efek penghambatan terhadap sel MCF-7 dengan persentase sel hidup 83,95 konsentrasi 500 µg/mL, pada

yang dinormalisasi dengan cara membagi jumlah piksel bin warna dengan jumlah total piksel pada suatu citra, yang mana telah dijelaskan pada bab 2 butir 2.6. Histogram