• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Hardiness

II.1.1. Pengertian Hardiness

Menurut Bartone (dalam Ingranurindani, 2008) mengatakan bahwa

hardiness merupakan kepribadian yang menjadi dasar atau disposisi individu yang

memiliki resiliensi yang baik, oleh karena itu Bartone menggunakan istilah

dispositional resiliency untuk menggambarkan hardiness. Papalia (2004)

mengatakan bahwa resiliensi adalah kemampuan untuk tetap berperan secara maksimal dalam keadaan yang buruk, mampu menghadapi tantangan, dan dalam hal ini individu memiliki kemampuan untuk kembali bangkit dari pengalaman buruk yang dialami. Kebangkitan dari individu dari keterpurukannya, membuat individu lebih kuat dalam proses menghadapi peristiwa yang berat (Henderson, dalam Ingranurindani, 2008).

Mc.Cubbi (dalam Smet, 1994) mengungkapkan bahwa hardiness merupakan kekuatan dasar individu untuk menemukan kapasitas dalam menghadap tekanan. Menurut Sheridan dan Radmacher (dalam Smet, 1994)

hardiness merupakan kepercayan bahwa seseorang akan survive dan mampu

tumbuh, belajar dan menghadapi tantangan. Sementara Quick (1997) menyatakan

hardiness sebagai konstruksi kepribadian yang merefleksikan sebuah orientasi

yang lebih optimistis terhadap hal-hal yang menyebabkan stres. Kobasa (1979) menjelaskan hardiness sebagai variabel kepribadian individu yang berkembang

(2)

sejak dini, dan relatif stabil sepanjang waktu, serta berfungsi sebagai sumber kekuatan bagi individu untuk mampu bertahan dalam kondisi yang kurang menyenangkan dalam hidupnya.

Menurut Kobasa (2002), individu dengan hardiness yang tinggi menggunakan transformational coping dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan, yakni dengan mengubah pola pikir dan tingkah laku mereka. Tujuannya untuk menyelesaikan masalah dengan merestruksi kembali pikiran mereka ke pemikiran yang positif, memperluas perspektif, mencoba untuk memahami peristiwa tersebut sebaik mungkin, menentukan tindakan apa yang akan diambil, dan mencari dukungan emosional. Sedangkan, individu dengan hardiness yang rendah, cenderung menggunakan regressive coping, seperti menghindari atau mengabaikan pola pikir dan perilaku mereka terhadap peristiwa yang membuat stres.

Hardiness yang dimiliki oleh individu tidak terlepas dari kepribadian.

Kepribadian adalah perilaku yang dimiliki oleh individu yang bersifat dinamis yang menentukan tingkah laku, pemikiran, dan tindakan seseorang. Dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli dapat disimpulkan bahwa hardiness pada penelitian ini merupakan variabel kepribadian yang membuat individu menjadi lebih kuat, survive, dan optimis dalam menghadapi stres akibat meletusnya Gunung Sinabung.

(3)

II.1.2 Aspek Hardiness

Menurut Kobasa (1979) menjelaskan adanya tiga aspek hardiness. Ketiga aspek itu adalah :

a. Kontrol

Kontrol adalah keyakinan individu bahwa dirinya dapat mempengaruhi peristiwa-peristiwa yang terjadi atas dirinya, Kobasa dan Maddi (2005). Aspek ini berisi keyakinan bahwa individu dapat memengaruhi atau mengendalikan apa saja yang terjadi dalam hidupnya. Individu percaya bahwa dirinya dapat menentukan terjadinya sesuatu dalam hidupnya, sehingga tidak mudah menyerah ketika sedang berada dalam keadaan tertekan. Individu dengan hardiness yang tinggi memiliki pandangan bahwa semua kejadian dalam lingkungan dapat ditangani oleh dirinya sendiri dan ia bertanggung jawab terhadap apa yang harus dilakukan sebagai respon terhadap stres.

b. Komitmen

Komitmen adalah kecenderungan untuk melibatkan diri dalam aktivitas yang sedang dihadapi, Kobasa dan Maddi (2005). Aspek ini berisi keyakinan bahwa hidup itu bemakna dan memiliki tujuan. Individu juga berkeyakinan teguh pada dirinya sendiri walau apapun yang akan terjadi. Individu dengan hardiness yang tinggi percaya akan nilai-nilai kebenaran, kepentingan dan nilai-nilai yang menarik tentang siapakah dirinya dan apa yang mampu ia lakukan. Selain itu, individu dengan hardiness yang tinggi juga percaya bahwa perubahan akan membantu

(4)

dirinya berkernbang dan mendapatkan kebijaksanaan serta belajar banyak dari pengalaman yang telah didapat.

c. Tantangan

Tantangan adalah kecenderungan untuk memandang suatu perubahan yang terjadi sebagai kesempatan untuk mengembangkan diri, bukan sebagai ancarnan terhadap rasa amannya, Kobasa dan Maddi (2005). Aspek ini berupa pengertian bahwa hal-hal yang sulit dilakukan atau diwujudkan adalah sesuatu yang umum terjadi dalam kehidupan, yang pada akhirnya akan datang kesempatan untuk melakukan dan mewujudkan hal tersebut.

Berdasarkan uraian diatas dapat simpulkan bahwa aspek dari hardiness adalah kontrol, komitmen, dan tantangan. Individu yang hardiness memiliki keyakinan untuk dapat mengendalikan kejadian – kejadian hidupnya dengan keterlibatannya dalam pekerjaan maupun orang – orang didalam hidupnya (komitmen), kemampuan untuk mengendalikan dirinya (kontrol), serta keyakinan untuk memandang bahwa kejadian yang terjadi dalam hidup sebagai perubahan untuk mengembangkan diri menjadi lebih positif (tantangan).

II.1.3 Fungsi Hardiness

Menurut Florian (dalam Heriyanto, 2011) fungsi hardiness adalah :

a. Membantu individu dalam proses adaptasi dan lebih toleransi terhadap stres.

(5)

b. Mengurangi akibat buruk dari stres yang kemungkinan dapat terjadinya burnout dan penilaian negatif terhadap suatu kejadian yang mengancam dan meningkatkan pengharapan untuk melakukan coping yang berhasil. c. Membuat individu tidak mudah jatuh sakit.

d. Membantu individu mengambil keputusan yang baik dalam keadaan stress.

Dari beberapa penjelasan tentang fungsi hardiness dapat disimpulkan bahwa hardiness dapat efek negatif dari stres yang dialami oleh individu dan dapat memberikan penilaian yang lebih positif terhadap suatu peristiwa sehingga mampu meningkatkan harapan individu sehingga mampu mengambi keputusan yang baik.

II.1.4 Faktor yang Mempengaruhi Hardiness

Faktor-faktor yang mempengaruhi hardiness adalah :

1. Well-being, menurut Pollachek (2001) dan Noreuil (2002), well-being yang merupakan suatu konsep kesejahteraan dimana individu mampu menciptakan kepuasan dalam hidupnya dan merupakan salah satu faktor yang dapat membantu mengurangi stres yang dialami oleh individu, individu yang memiliki well-being yang baik akan membuat

hardiness juga meningkat.

2. Social Support, menurut Pagana (1990) dan Dibartolo (2001), merupakan bentuk pertolongan yang dapat berupa materi, emosi dan informasi yang diberikan oleh orang-orang yang memiliki arti seperti keluarga, sahabat, teman, saudara atau orang yang dicintai ketika

(6)

individu yang bersangkutan sedang menghadapi masalah yang dapat menimbulkan stress sehingga membuat individu lebih kuat dan dapat mengurangi beban dalam hidupnya, individu yang memiliki sosial support yang baik akan membuat hardiness juga meningkat.

3. Etnis dan kualitas dari hubungan pasangan, menurut Dibartolo (2001), individu yang berasal dari etnis yang serupa akan membuat individu merasa aman, nyaman untuk berbagi cerita dan masalah yang terjadi dalam hidup begitu juga dengan kualitas dari hubungan pasangan, jika pasangan dari individu yang memiliki masalah dapat mengerti dan tetap bersikap hangat kepada pasangannya dapat mengurangi beban dalam hidupnya.

4. Gender, menurut Belmont (2000), pria dan wanita akan berbeda dalam menanggapi atau menghadapi masalah yang terjadi dalam hidup. Wanita sudah terbiasa mengalami rasa sakit mulai dari siklus menstruasi setiap bulan, mengandung, melahirkan, dan wanita juga dikatakan sebagai mahkluk yang sabar, mengalah, dan lemah lembut. Pria lebih menggunakan pemikiran yang logis dan juga pria dikatakan lebih egois dalam menghadapi suatu hal. Dengan melihat tugas pada pria dan wanita, membuat gender sebagai prediktor dalam menentukan

(7)

II.2 Penyintas Bencana Gunung Sinabung

Istilah “penyintas” muncul pertama kali pada tahun 2005. Kemunculannya bukan dari kalangan ahli sastra ataupun ahli linguistik. Kata ini muncul dari para pegiat alias aktivis LSM dalam konteks bencana. Para pegiat ini memerlukan kata yang lebih pendek untuk menerjemahkan kata “survivor”. Mereka paling tidak harus menggunakan tiga patah kata, yakni: “korban yang selamat” (Juneman, 2010). Menurut KBBI kata sintas berarti terus bertahan hidup, mampu mempertahankan keberadaanya. Dalam penelitian ini, istilah penyintas diartikan sebagai orang yang mampu bertahan atau selamat dari bencana Gunung Sinabung.

Gunung Sinabung merupakan gunung berapi di Sumatera Utara yang mempunyai ketinggian 2.640 meter diatas permukaan laut . Letaknya cukup dekat dengan kota Berastagi dan Kabanjahe dan terdapat banyak desa di lerengnya. Satu-satunya Gunung di Sumatera Utara yang berkakikan danau (Widiastuti,,2008). Pada tahun 1600 Gunung Sinabung meletus pertama dan pada tanggal 28 Agustus 2010. Gunung Sinabung meletus lagi pada tanggal 29 Agustus 2010, sekitar pukul 00.08 WIB. Asap dan debu membumbung sampai ketinggian 1.500 meter dari bibir kawah. Tindakan evakuasi segera dilakukan. 12.000 warga yang tinggal di sekitar gunung diungsikan.

Letusan-letusan Gunung Sinabung masih terus berlangsung. Sabtu, 3 Januari 2015, Gunung Sinabung kembali mengeluarkan debu vulkanik yang disertai awan panas dan menjalar empat kilometer ke arah selatan. Jumlah pengungsi mencapai 2.443 jiwa atau 795 kepala keluarga yang ditempatkan di tujuh titik pengungsian (Ananda, 2015). Hingga tahun 2013 tercatat tujuh belas

(8)

orang warga meninggal dunia dan 30.000 orang kehilangan tempat tinggal mereka (Leandha, 2015).

Bencana Gunung Sinabung menyisakan berbagai kondisi yang memprihatinkan. Bencana ini telah menyebabkan kerusakan di desa-desa sekitarnya dan menyebabkan ribuan penyintas kehilangan tempat tinggalnya.Para penyintas tidak hanya kehilangan rumah dan tempat tinggal, tetapi juga lahan pertanian yang menjadi sumber utama lahan pencaharian mereka. Rumah-rumah penyintas dan lahan pertanian telah rusak karena abu vulkanik dan lahar dingin. Oleh karena itu, para penyintas terpaksa meninggalkan tempat tinggal mereka dan harus mengungsi (Damanik,2015).

Bagi para penyintas, kehilangan rumah bukan hanya berarti kehilangan fisik bangunan semata, akan tetapi juga kehilangan kenangan dan kehidupan lama mereka. Penyintas bencana Gunung Sinabung menghadapi berbagai masalah seputar kondisi yang dialami sekarang. Diantaranya mereka harus menerima kenyataan bahwa desa yang selama ini mereka tinggali tidak dapat dihuni lagi dan mereka harus meninggalkan desa yang selama ini menjadi tempat mereka tinggal. Lokasi tempat tinggal mereka yang baru pun masih sangat asing dan jauh dari pemukiman. Fasilitas-fasilitas umum seperti pasar, tempat ibadah dan sekolah jauh dari jangkauan. Tidak tersedianya lahan pertanian juga menjadi masalah bagi mereka karena karena sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai petani.

(9)

II. 3 Gender

II.3.1 Defenisi Gender

Gender merupakan perbedaan yang tampak antara pria dan wanita dalam melakukan tugas, tanggung jawab, fungsi, dan perilaku yang dibentuk oleh nilai sosial dan budaya dan dapat berubah menurut waktu serta kondisi (Fakih, 1999). Gender adalah perbedaan antara perempuan dan laki- laki yang dibentuk oleh masyarakat sesuai dengan nilai budaya dan adat istiadat yang berlaku (WHO, 2001).

Kesetaraan gender merupakan gejala alam atau tuntutan yang menghendaki kesetaraan, yang harus direspon oleh umat manusia dalam rangka adaptasi dengan alam. Berdasarkan teori ini pembagian tugas dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan pada zaman dahulu tidak pernah dipermasalahkan. Sekarang tuntutan kesetaraan gender menjadi permasalahan yang menjadi perhatian manusia di seluruh dunia juga karena alam menuntut demikian disebabkan adanya perubahan kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang berlaku di masyarakat yang memungkinkan fungsi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan bisa sama atau dipertukarkan.

Dapat disimpulkan, gender adalah perbedaan antara pria dan wanita terkait tugas dan tanggung jawabnya sehari – hari.

II.3.2 Gender Dalam Sudut Pandang Budaya Karo

Dalam masyarakat Karo, konsep patriarkhi yang dipakai untuk menggambarkan sistem gender. Patriarkhi merupakan konsep bahwa pria yang memegang semua kekuasaan atas peran penting dalam masyarakat dan juga, pria

(10)

Karo lebih dominan sehingga mampu untuk mengontrol wanita (Tarigan, 2009). Proses sosialisasi gender dalam masyarakat Karo, sudah di perkenalkan kepada anak sejak kecil, diarahkan dan dibedakan sesuai dengan keberadaan status kewanitaan dan kelelakian. Pria dalam masyarakat Karo mempunyai fungsi sosial yang sangat luas sebagai pelanjut silsilah keluarga, sebagai penerima harta warisan, dan sebagai penentu dalam pengambilan keputusan sedangkan wanita memiliki fungsi untuk mengurus mengurus rumah tangga (Tarigan,2009).

Menurut Tarigan (2009) masyarakat Karo memiliki sifat dan watak yang tabah, sabar, lemah lembut, jujur, dan mengalah jika dihadapkan dengan suatu peristiwa. Begitu juga menurut Bangun (2006) yang mengatakan bahwa masyarakat Karo memiliki sifat dan watak yang berpendirian teguh, memiliki kepercayaan diri, gigih, tekun dalam melakukan suatu kegiatan.

II.3.2.1 Tugas dan Tanggung Jawab Pria Dalam Budaya Karo

Dalam sistem kebudayaan Karo dapat dilihat bahwa pria merupakan pihak yang diutamakan dan pihak yang dianggap penting (Tarigan, 2009). Masyarakat Karo percaya bahwa, pria Karo berfungsi sebagai penjaga nama baik keluarga dan sebagai pelindung bagi saudara perempuan (Tarigan, 2009). Pria Karo juga menjadi pemimpin upacara adat, sebagai ketua adat (Tarigan, 2009). Laki-laki Karo yang menjadi pembicara utama dan pembuat keputusan dalam suatu musyawarah atau acara adat, pernikahan, hukum, warisan, silsilah keluarga, tempat tinggal, hak atas kepemilikan harta atau tanah orangtua. Menurut Prinst (1996), mengatakan bahwa jika dalam keluarga memiliki anak laki–laki, maka

(11)

orangtua akan memanjakan dan menomor satukan anak lakinya dibanding dengan anak perempuan dalam keluarga.

Natar (2006) mengatakan bahwa laki–laki Karo diharuskan untuk mencari nafkah, tetapi yang ditemukan laki–laki Karo hanya duduk di kedai kopi menghabiskan waktu bersama teman daripda bekerja membantu istri. Dalam adat, laki-laki Karo sejak kecil diajarkan untuk mengenai pentingnya melestarikan kebudayaan dan marganya serta bertanggung jawab sebagai penerus keluarga (Tarigan, 2009).

II.3.2.2 Tugas dan Tanggung Jawab Wanita Dalam Budaya Karo

Tamboen (1952) mengatakan wanita Karo sebagai tulang punggung keluarga, menjadi penopang dalam perekonomian keluarga seperti berladang, bertani, mengurus dan merawat ternak. Jika dalam suatu keluarga, tidak memiliki anak laki - laki, wanita yang disalahkan dan suami tersebut dapat melakukan poligami. Begitu juga ketika anak perempuan dalam keluarga melakukan kesalahan, seorang bapak tidak akan memarahi langsung ke anak perempuannya melainkan ibu dalam keluarga yang menjadi ”pelampiasan” amarahnya (Tarigan, 2009). Wanita Karo juga tidak berhak memiliki suara dalam memberikan pendapat, wanita hanya menerima apapun keputusan dari pihak pria (Natar, 2004). Wanita Karo yang sudah menikah memiliki fungsi ganda yang lebih berat dalam kehidupannya (Tamboen, 1952). Menurut masyarakat Karo, wanita Karo yang sudah menikah memiliki tugas yaitu mulai dari pagi, mengurus kehidupan rumah tangga mulai dari memasak, menyapu, mencuci, mengambil air ke pancuran (tempat mandi terbuka yang jaraknya jauh dari perkampungan),

(12)

mengurus anak dan suami, setelah pekerjaan rumah selesai, ia akan berangkat untuk berladang, mencari nafkah untuk menghidupi keluarga, bekerja mulai dari pagi hingga sore atau siang hari. Setelah selesai berladang, ia akan kembali memasak dirumah untuk keluarga (Natar,2004). Selain berladang, wanita Karo juga sering juga berjualan atau berdagang di pasar tradisional untuk memenuhi kebutuhan keluarganya (Bangun, 2006).

II.4 Perbedaan Hardiness Antara Pria dan Wanita Karo Penyintas Bencana Gunung Sinabung

Hardiness merupakan variabel kepribadian yang membuat individu menjadi

lebih kuat, survive, dan optimis dalam menghadapi peristiwa atau kejadian yang membuat individu menjadi stres. Aspek dari hardiness adalah kontrol, komitmen, dan tantangan. Individu yang hardiness memiliki keyakinan untuk dapat mengendalikan kejadian-kejadian hidupnya dengan keterlibatannya dalam pekerjaan maupun orang-orang didalam hidupnya (komitmen), kemampuan untuk mengendalikan dirinya (kontrol), serta keyakinan untuk memandang bahwa kejadian yang terjadi dalam hidup sebagai perubahan untuk mengembangkan diri menjadi lebih positif (tantangan).

Individu dengan hardiness yang tinggi dalam menghadapi situasi yang penuh tekanan mereka akan mengubah pola pikir dan tingkah lakunya. Tujuannya untuk menyelesaikan masalah dengan merestruksi kembali pikiran mereka ke pemikiran yang positif, memperluas perspektif, mencoba untuk memahami peristiwa tersebut sebaik mungkin, menentukan tindakan apa yang akan diambil,

(13)

yang rendah, dalam menghadapi situasi penuh dengan tekanan akan cenderung untuk menghindari bahkan mengabaikan kejadian yang terjadi dalam diri mereka. Gender memainkan peran dalam hardiness. Gender merupakan perbedaan yang tampak antara pria dan wanita dalam melakukan tugas, tanggung jawab, fungsi, dan perilaku yang dibentuk oleh nilai sosial dan budaya. Salah satu budaya di Indonesia yang mempunyai tugas serta tanggung jawab yang tampak berbeda pada pria dan wanita adalah Suku Karo.

Pada masyarakat Karo, konsep patriarkhi yang dipakai untuk

menggambarkan sistem gender. Patriarkhi merupakan konsep bahwa pria yang memegang semua kekuasaan atas peran penting dalam masyarakat dan juga, pria Karo lebih dominan sehingga mampu untuk mengontrol wanita. Masyarakat Karo percaya bahwa pria Karo berfungsi sebagai penjaga nama baik keluarga dan sebagai pelindung bagi saudara perempuan, menjadi ketua adat, pembicara utama dan pembuat keputusan dalam suatu musyawarah atau acara adat, pernikahan, hukum, warisan, silsilah keluarga, tempat tinggal, hak atas kepemilikan harta atau tanah orangtua.

Jika dalam suatu keluarga memiliki anak laki–laki, maka orangtua akan memanjakan dan menomor satukan anak lakinya dibanding dengan anak perempuan dalam keluarga. Pria Karo diharuskan untuk mencari nafkah, tetapi yang ditemukan pria Karo hanya duduk di kedai kopi menghabiskan waktu bersama teman daripda bekerja membantu istri. Pria Karo sejak kecil diajarkan untuk mengenai pentingnya melestarikan kebudayaan dan marganya serta bertanggung jawab sebagai penerus keluarga.

(14)

Wanita Karo dari kecil terbiasa untuk mengurus rumah tangga seperti membantu ibu menyuci, memasak, membersihkan rumah, mengurus adik. Wanita Karo yang sudah menikah memiliki tugas yaitu mulai dari pagi, mengurus kehidupan rumah tangga mulai dari memasak, menyapu, mencuci, mengambil air ke pancuran (tempat mandi terbuka yang jaraknya jauh dari perkampungan), mengurus anak dan suami, setelah pekerjaan rumah selesai, ia akan berangkat untuk berladang, mencari nafkah untuk menghidupi keluarga, bekerja mulai dari pagi hingga sore atau siang hari. Selain berladang, wanita Karo juga sering juga berjualan atau berdagang di pasar tradisional untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Dengan beban berat yang harus dijalani oleh wanita Karo, membuat wanita Karo dituntut untuk lebih kuat dan tangguh dalam menghadapi masalah.

Akibat meletusnya Gunung Sinabung, membuat masyarakat Karo yang berada dalam area berbahaya harus mengungsi ke posko pengungsian. Dalam keseharian yang dilakukan para penyintas tidak jauh berbeda dengan tugas dan fungsinya antara pria dan wanita Karo sebelum berada di posko pengungsi. Baik penyintas pria maupun penyintas wanita Karo yang berada di posko pengungsi sudah mulai bersabar, tetap berusaha keras bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan sekolah anak, kurang menyenangi kehiudupan selama berada di posko pengungsian, menyadari ada makna atau hikmah yang didapat akibat meletusnya Gunung Sinabung, walaupun hanya sebahagian saja dari penyintas pria Karo yang menyadari adanya hikmah yang didapat.

(15)

II.5 Hipotesa Penelitian

Berdasarkan penjabaran di atas, maka dirumuskanlah hipotesis dalam penelitian ini, sebagai berikut “hardiness penyintas wanita Karo lebih tinggi daripada hardiness penyintas pria Karo”.

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu model hari tenang yang menjadi referensi dalam kegiatan penentuan pola hari tenang adalah model yang diperkenalkan oleh McPherron (2005).. • Download tabel

Hal ini berarti bahwa H " ditolak atau I I ' diterima, dengan kata lain, bahwa distribusi frekuensi skor jawaban mengenai penyajian catatan atas laporan keuangan tidak

Timbulnya pengungsi disebabkan oleh keadaan yang memburuk dalam ranah politik, ekonomi, dan sosial suatu negara tersebut sehingga memaksa masyarakatnya untuk

Tetapi dipihak lain resiko yang timbul adalah piutang tidak terbayarkan, sehingga semakin besar atau lama periode pengumpulan piutang maka akan menghambat

Dalam perhitungan biaya berdasarkan pesanan, biaya overhead diestimasikan menggunakan tarif overhead yang telah ditentukan sebelumnya, misal : overhead yang dapat dibebankan

Berdasarkan analisis data penelitian yang telah dilakukan tentang Pengaruh susunan lamina komposit berpenguat serat E-glass dan serat Carbon terhadap kekuatan tarik

cheat, phone lock, dan informasi laennya, mas,bagaimana cara flash hp nokia n 73 yang terkena virus dengan bagaimana cara membuka kode. tapi saya lupa gi mana caranya klo hp

Model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian di SMP Negeri 1 Bandar Mataram ini adalah manajemen diri, yaitu untuk mengontrol atau mengatur proses belajar siswa yang