• Tidak ada hasil yang ditemukan

New Public Service

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "New Public Service"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tahun 2008 telah berlalu dan berganti dengan tahun 2009, tahun dimana kita akan melakukan Pemilihan Umum secara langsung untuk kedua kalinya. Sebagai bangsa yang besar kita patut melakukan refleksi nasional, tentang apa yang sudah kita capai dan tidak kita secara kolektif selama setahun ini, serta apakah selama 11 tahun masa transisi kita jalani terdapat perubahan yang berarti dari berbagai aspek kehidupan bangsa politik, ekonomi, dan sosial-budaya. Pertanyaan tersebutlah kiranya yang menggelayuti benak mahasiswa yang mendorong reformasi dan masyarakat awam yang kondisinya belum beranjak lebih sejahtera untuk melakukan aksi demonsterasi hingga saat ini. Seharusnya pertanyaan tersebut mestinya muncul lebih dulu dari kalangan elite pemimpin nasional.

Kepemimpinan nasional di masa transisi memperlihatkan tidak mudah untuk mengkonsolidasikan sumber daya dan potensi bangsa untuk mencapai cita-cita baru yang diimpikan bersama. Pergantian pemerintahan begitu kerap dalam waktu yang relatif singkat. Setelah Soeharto lengser dari kekuasaannya, maka Habibie memegang tampuk pemerintahan hanya selama 17 bulan, dengan sejumlah terobosan dalam keterbukaan politik dan pemulihan ekonomi. Abdurrahman Wahid memerintah sedikit lebih lama dari Habibie, yakni 21 bulan, namun memunculkan berbagai kontroversi akibat sikap pribadi dan kebijakan yang diambilnya. Megawati berusaha menyelamatkan pemerintahan yang diwarisi Wahid, namun sampai batas Pemilihan Umum 2004, kepercayaan yang diberikan rakyat sudah beralih. Kini bangsa Indonesia dipimpin oleh

(2)

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang bergaya flamboyan, walau substansi kebijakan dan realisasi kepemimpinannya terus diuji dengan berbagai tantangan. Namun berdasarkan hasil survey yang dilakukaan oleh CESDA-LP3ES, tentang kelayakan para pemimpin nasional untuk memimpin negara ini, diperoleh hasil bahwa masyarakat yang merasa kepemimpinan yang telah ada selama ini layak atau sudah ideal adalah kurang dari 10 persen. Dari hal tersebut dapat kita ketahui bahwa hingga saat masyarakat masih merasa belum mendapatkan pemimpin yang ideal. Sebagi seorang pemimpin yang ideal seharusnya mampu untuk memenuhi tanggung jawab yang diembankan kepadanya.

Untuk menjadi seorang pemimpin yang baik dan membawa bangsa ini menuju kesejahtraan tidaklah dapat dilakukan oleh pemimpin itu sendiri, namun perlu adanya peran serta masyarakat. Sehingga bangsa ini akan maju oleh dan untuk masyarakatnya sendiri.

1.2

Tujuan Penulisan

Adapun tujuan yang mendasari dibuatnya makalah ini adalah untuk mengetahui kewajiban yang dimiliki oleh seorang pemimpin nasional sehingga mampu menjadi seorang pemimpin yang ideal. Selain itu tulisan ini juga bertujuan mengetahui peran serta terbaik yang dapat dilakukan oleh masyarakat dalam membantu pemimpinnya mewujudkan tujuan bersama, sehingga sukses yang berasal dari dan untuk masyarakat sendiri dapat dicapai.

(3)

Dalam makalah ini, pembahasan yang dilakukan adalah hanya melihat pemimpin nasional sudah dapat dikatakan ideal ketika sudah mampu memenuhi tanggung jawabnya kepada masyarakat umum. Sehingga yang akan dibahas dalam makalah ini hanya melihat tanggung jawab yang seharusnya dilakukan oleh pemimpin nasional yang ideal, mengetahui keterkaitan antara kepemimpinan nasional dan birokrasi, dan peran serta masyarakat dalam melakukan reformasi birokrasi yang dilakukan dengan new public sevice.

1.4 Pengertian – Pengertian

1.4.1 Kepemimpinan Nasional

Kepemimpinan nasional bukan semata-mata menjadi tanggung jawab tokoh-tokoh tertentu. Makna kepemimpinan nasional adalah pemimpin di semua tingkat kekuasaan dari bawah ke atas yang mampu memobilisasi dan meningkatkan nilai tambah keterlibatan masyarakat menuju bangsa yang sejahtera dan bermartabat. Kepemimpinan di tingkat bawah, dari desa sampai distrik (kabupaten/kota) maupun di tingkat atas tidak bisa mengandalkan segelintir tokoh yang pada gilirannya akan bermain atau dipermainkan oleh kekuasaan yang tidak selalu benevolent.

Charles Handy dalam The Age of Paradox (1994) menggambarkan ciri kepemimpinan masa depan yang baik berpijak pada subsidiarity (tanggung jawab kepemimpinan di tingkat yang lebih rendah jangan dirampas oleh kepemimpinan yang lebih tinggi, karena akan mematikan kemampuan memecahkan masalah dan mengembangkan diri), earned authority (kepemimpinan berdasarkan pengakuan rakyat, bukan pada kepentingan kelompok elite tertentu),

(4)

dan virtuality (kepemimpinan yang didasarkan pada jaringan luas, tidak mengandalkan birokrasi yang gemuk dan lamban).

Peter Senge melalui pemikiran-pemikirannya tentang organisasi belajar (learning organization) mempertanyakan bagaimana kita bisa memberdayakan kepemimpinan di garis depan jika masih mengandalkan pola kepemimpinan yang terstruktur secara hierarki dan pimpinan puncak masih menentukan segalanya. Tantangan perubahan sistemik yang kita hadapi tidak bisa dipecahkan melalui pemimpin-pemimpin heroik tanpa bekerja sama dengan banyak orang dalam posisi berbeda dan memberikan kontribusi kepemimpinan yang berlainan pula.

Rosabeth Moss Kanter yang terobsesi oleh konsep kepemimpinan kelas dunia menawarkan ciri-ciri pemimpin masa depan sebagai integrator (yang dapat melihat kesamaan di balik perbedaan-perbedaan nyata di antara sektor, disiplin, fungsi dan budaya), diplomat (mampu mengajak orang untuk bekerja sama didorong oleh kepentingan bersama), cross-fertilizer (dapat membawa yang terbaik dari satu tempat ke tempat lain sesuai kebutuhan), dan pemikir yang bijak (dapat menemukan kemungkinan-kemungkinan baru dan membulatkannya secara konseptual).

1.4.2 Birokrasi

Istilah atau kata birokrasi mempunyai arti sesuatu yang positif. Kata itu bermakna sebagai suatu metode organisasi yang rasional dan efisien – metode untuk menggantikan pelaksanaan kekuasaan yang sewenang-wenang oleh rajim otoriter. Logika dari birokrasi dalam kerja pemerintah sama dengan jalur perakitan dalam pabrik. Model birokrasi pemerintahan seperti ini dapat diterapkan; jika lingkungan stabil, tugas-tugas relatif sederhana, setiap pelanggan menginginkan layanan yang sama, serta kualitas kinerja tidak

(5)

mengkhawatirkan, dan masih mampu berjalan sampai tingkat tertentu (Osborn dan Gaebler, 1995).

Max Weber ahli sosiologi Jerman mengembangkan sebuah model struktural yang ia katakan sebagai alat yang paling efisien bagi organisasi-organisasi untuk mencapai tujuannya. Ia menyebut struktur ideal ini sebagai birokrasi. Struktur tersebut dicirikan dengan adanya pembagian kerja, hirarki wewenang yang jelas, prosedur seleksi yang formal, peraturan yang rinci, serta hubungan yang tidak didasarkan pribadi atau impersonal (Robbins, 1994). Konsep Max Weber tentang birokrasi berkaitan dengan organisasi rasional, in efisiensi organizational, kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat, administrasi negara, administrasi yang dijalankan oleh pejabat, sebuah organisasi, dan masyarakat modern.

Sehubungan dengan hal tersebut, maka birokrasi dapat dibedakan atas dua tipe, yaitu; tipe patrimoni dan tipe rasional. Birokrasi patrimoni adalah adanya sekelompok pejabat. Konsep pejabat (beamter) adalah fundamental bagi birokrasi. Weber menggunakan istilah Beamtentum (officialdom = kepejabatan) sebagai alternatif bagi istilah birokrasi. Weber memandang birokrasi sebagai suatu istilah kolektif bagi suatu badan yang terdiri atas pejabat-pejabat, suatu kelompok yang pasti dan jelas pekerjaan serta pengaruhnya dapat dilihat pada semua macam organisasi. Konsep ini sejalan dengan pendapat Thoha (2003) yang mengatakan bahwa konsep birokrasi Max Weber yang dianut dalam organisasi pemerintahan (government) banyak memperlihatkan cara-cara officialdom (kerajaan pejabat). Pejabat birokrasi pemerintah adalah sentra dari penyelesaian urusan masyarakat. Rakyat sangat tergantung pada pejabat, bukannya pejabat tergantung pada rakyat.

Adapun birokrasi rasional Weber menurut Blau dan Meyer (1987), dan Beetham (1996) dicirikan oleh tipe ideal birokrasi, seperti; (1) pejabat melakukan tugas-tugas secara impersonal, (2) Terdapat hirarki jabatan yang jelas, (3) fungsi-fungsi jabatan-jabatan

(6)

itu dirinci dengan jelas, (4) para pejabat diangkat atas dasar kontrak, (5) mereka diseleksi atas dasar kualifikasi profesional, (6) gaji disusun sesuai kedudukan dalam hirarki, (7) pekerjaan pejabat ialah satu-satunya dan utama, (8) terdapat suatu struktur karier, dan kenaikan pangkat, (9) kedudukan pejabat tidak boleh dianggap milik pribadainya, dan (10) pejabat tunduk kepada pengendalian dan sistem disipliner.

(7)

BAB II

PERMASALAHAN

Kepemimpinan nasional mengalami disfungsi dan pembusukan. Hal ini terlihat dari berbagai kasus penyimpangan yang dilakukan oleh pejabat publik telah merata di seluruh lembaga negara, baik di legislatif, eksekutif, maupun yudikatif. Itu membuktikan bahwa pembusukan kepemimpinan nasional telah, sedang, dan akan terus terjadi. Pejabat publik yang seharusnya memberi contoh kepada masyarakat untuk keluar dari krisis nasional, telah keluar dari nurani kebangsaannya. Kepekaan terhadap pertanggungjawaban publik sudah hilang. Para pejabat tinggi pada instansi-instansi strategis bukannya memberi keteladanan, melainkan mempertontonkan perilaku buruk dalam mengelola otoritas publik.

Kecenderungan ini dapat mengarah pada makin suburnya budaya kekuasaan, serta mengancam efektivitas kepemimpinan nasional. Esensi kepemimpinan yang seharusnya berada pada akseptabilitas dan kekuatan moral kini semakin bergeser pada upaya mempertahankan kekuasaan dengan segala cara, termasuk memutarbalikkan interpretasi tentang tindakan dan putusan hukum. Kondisi ini, disebabkan kepemimpinan nasional mengalami disfungsi. Presiden maupun lembaga tinggi negara yang semestinya mengambil tindakan untuk menunjukkan keseriusan menangani masalah korupsi hanya diam tanpa kata-kata, dan tidak menunjukkan sikap yang jelas. Jika kecenderungan seperti ini terus berlanjut, maka akan meruntuhkan seluruh sistem penegakan hukum, tidak berfungsinya sistem ketatanegaraan dan hilangnya kepercayaan publik kepada para pemimpinnya. Meskipun tampak di permukaan, mayoritas masyarakat cenderung apatis, bukan berarti tidak ada keresahan sosial yang berpotensi memicu ledakan sosial.

(8)

Kesenjangan yang makin lebar antara rakyat kebanyakan yang sangat menderita akibat krisis ekonomi yang belum pulih, dengan perilaku kepemimpinan yang korup dan bermewah-mewah secara tidak sah, dapat memicu munculnya keresahan dan anarki sosial. Selain itu terdapat pula gejala terjadinya imunitas media massa. Para pemimpin negeri ini sudah tidak mempan terhadap kritikan atau keresahan yang disuarakan masyarakat melalui media massa. Bahkan, dalam banyak kasus, pemerintah cenderung mereduksi keberadaan masyarakat. Dengan terseduksinya keberadaan masyarakat maka birokrasi negara ini telah melanggar UUD 1945. Jika kejadian ini terus berlangsung maka negara ini tidak akan pernah menemukan seorang pemimpin yang ideal.

(9)

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Pemimpin Nasional Ideal Indonesia

Ketika kita mencoba menguraikan landasan kepemimpinan dalam konteks Indonesia maka kita akan menjelaskan fondasi kepemimpinan berfungsi sebagai parameter dalam menilainya, konteks memberikan acuan kemana kepemimpinan itu diterapkan. Ketika rejim Order Baru lengser di tahun 1998 dan semangat reformasi bangkit secara luar biasa, terkuak beberapa idealisme yang sebelumnya cenderung mimpi yang mustahil menjadi kenyataan. Idealisme tersebut adalah kemenangan moral atas kekuasaan, kejayaan reformasi atas status quo, kegemilangan masa depan atas masa lalu, serta kemenangan hati nurani rakyat atas kekecewaan terhadap berbagai penyelewengan oleh pemerintahan sebelumnya. Namun hingga saat ini hal-hal ideal tersebut masih jauh dari harapan. Karenanya keempat hal ideal di atas masih tetap sebagai tantangan terhadap kepemimpinan nasional di masa kini, sehingga siapapun yang mengklaim diri menjadi pemimpin bangsa harus memperhatikan keempat keadaan ideal di atas. Dia harus mampu menjadi inspirator, motivator dan organisator dalam mengembangkan embrio-embrio tersebut menjadi kenyataan. Dalam kaitan ini, sedikitnya ada empat tanggung jawab yang diemban oleh pemimpin nasional.

3.1.1 Meneruskan komitmen terhadap perjuangan moral

Umum diketahui bahwa praktik KKN yang merajalela dalam pemerintahan-pemerintahan sebelumnya adalah disebabkan rendahnya moralitas birokrat, pengusaha dan berbagai kalangan masyarakat. Adalah tugas berat pemimpin nasional untuk memulihkan dan membangun moralitas birokrat, sektor swasta dan masyarakat yang sudah berkarat

(10)

dengan praktik negatif tersebut selama kurang lebih 30 tahun, dan yang terus berlangsung sampai sekarang.

Salah satu upaya pemulihan yang mungkin adalah dengan memulai dari dirinya sendiri, menciptakan keterbukaan dan kejujuran dalam dirinya sendiri. Tanpa itu mustahil pemimpin nasional berhasil memulihkannya. Ini tidak lain disebabkan juga budaya kita yang paternalistik, sehingga seorang pemimpin luas dianggap sebagai tauladan. Karenanya, dia harus menjadi figur pertama yang akan konsisten menegakkan prinsip moral dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan pemerintahan. Di sini fondasi kepemimpinan yang ketiga, optimisme, menjadi sentral. Diperlukan adanya self-restrocpection,

humility dan ketauladanan. Dengan demikian pemimpin dapat

memerankan peranannya sebagai model dalam masyarakat. 3.1.2 Melanjutkan dan meningkatkan kualitas reformasi

Selama lima tahun terakhir, pengertian reformasi sudah mengalami berbagai penyimpangan. Seorang pemimpin nasional diharapkan dapat memberi makna lebih berbobot dan merevitalisasi reformasi yang sedang diperjuangkan. Reformasi bukan hanya menyangkut pergantian pemerintahan dan anggota badan legilastif. Jauh lebih penting, itu meliputi mentalitas, cara berpikir, cara mengelola sumberdaya nasional, dan cara bersosialisasi masyarakat. Reformasi menyangkut pembaruan sikap masyarakat dan penerimaan secara dewasa perbedaan-perbedaan baik ras, agama, suku dan etnis, yang merupakan isu sangat sensitif selama ini, serta penempatan kepentingan bangsa secara utuh di atas kepentingan golongan. Karenanya seorang pemimpin nasional juga diharapkan dapat memimpin pembaruan terhadap kesenjangan pemikiran, pendapat dan sikap antar golongan, agama dan suku terhadap reformasi. Dapat kita liahat dimasyarakat, tidak semua kalangan menyambut reformasi secara positif. Beberapa pengamat mungkin akan mencoba membalik atau memanfaatkan situasi demi kepentingan golongannya.

(11)

Adalah tugas pemimpin nasional untuk menyatukan bangsa dalam satu visi dan misi: kesatuan nasional, keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat. Dengan kata lain, dia menjadi inspirator dan motivator.

3.1.3 Mewujudkan kegemilangan masa depan atas masa lalu

Masa lalu bangsa ditandai dengan mismanagement sumberdaya alam dan manusia nasional. Pemanfaatan sumberdaya alam tidak dioptimalkan untuk kemakmuran seluruh rakyat. Sebaliknya, tingkat kesenjangan ekonomi dan kemiskinan secara absolut terus meningkat. Sama halnya, sumberdaya manusia belum dimanfaatkan secara optimal karena dua hal, yakni pembangunan lebih diarahkan pada pembangunan fisik dan individu-individu kapabel justru berada di luar sistem. Kondisi sekarang, khususnya dari segi ekonomi, sangatlah serius ditandai dengan tingkat pengangguran relatif tinggi yang diperkirakan mencapai 30%, sekitar 50 juta penduduk hidup di bawah garis kemiskinan, lunturnya kepercayaan investor asing dan domestik, masih tingginya tingkat harga-harga, serta ketersediaan bahan kebutuhan pokok. Masalah berat lain adalah restrukturusisasi perbankan dan utang luar negeri. Ringkasnya, tantangan dalam mewujudkan kesejahteraan seluruh rakyat sangat berat. Karenanya, seorang pemimpin nasional diharapkan dapat merumuskan dan menjalankan kebijakan yang tidak hanya bertujuan mengatasi masalah ekonomi sekarang, tetapi juga kebijakan masa depan yang konsisten dengan misi dan visi bangsa.

Dalam jangka menengah, pemimpin harus mampu mengambil keputusan agar dapat memajukan ekonomi pertanian dan industri kecil dan menengah. Dari data BPS (2002), sekitar 50 % atau 40 juta tenaga kerja masih terpusat di sektor pertanian dan hanya 12.5 % di sektor industri. Apa yang terjadi selama pemerintahan Orde Baru adalah, strategi kebijakan ekonomi yang berfokus pada industri ternyata gagal menyerap surplus ternaga kerja di pertanian, sementara ironisnya, sumberdaya modal lebih terpusat pada sektor industri.

(12)

Dalam jangka panjang, apa yang harus dilakukan untuk membangun manusia Indonesia. Mencerdaskan kehidupan bangsa tanpaknya satu-satunya pilihan. Data BPS (2007) menunjukkan sekitar 67% atau 140 juta penduduk masih berpendidikan SD ke bawah. Di tengah revolusi teknologi dan pengetahuan, tidak ada jalan lain selain membina dan memperlengkapi penduduk yang tertinggal dengan sarana dan prasarana pengetahuan. Suatu contoh mengagumkan yang diberikan Andrew Carnegie, konglomerat baja AS yang membangun lebih kurang 1.800 perpustakaan di seluruh AS. Juga, pendiri MacDonald yang memberikan sumbangan sebesar 1.6 milyar dolar untuk pengembangan pusat kemasyarakatan di AS. Karenanya, seorang pemimpin nasional diharapkan mampu menggalang sumberdaya pemerintah dan swasta untuk misalnya mendirikan dan mengembangkan pusat-pusat pengetahuan dan pendidikan kemasyarakat di setiap ibukota kabupaten. Hanya dengan memperlengkapi rakyat dengan pengetahuan, bangsa Indonesia akan mampu mengikuti kemajuan peradaban manusia. Seorang pemimpin nasional, tidak hanya mampu menjadi inspirator, juga sebagai penggerak dalam membangun kesatuan nasional, baik melalui ide, pikiran-pikiran dan pendekatan-pendekatan kebijakan yang inspiratif dan yang semangatnya merangkul semua lapisan masyarakat dan golongan. Karena pemimpin nasional merupakan seorang organisator.

3.1.4 Mewujudkan kemenangan nurani rakyat

Selama beberapa dekade, rakyat telah menyaksikan banyak individu yang melakukan penyimpangan baik di bidang ekonomi, politik dan hukum, tetapi hukum dikebiri sehingga tidak mampu menjangkau individu-individu tersebut. Adalah tugas pemimpin nasional untuk menyelenggarakan amanat konstitusi bahwa Republik Indonesia adalah negara yang berlandaskan hukum dengan membangun dan menciptakan hukum bagi semuanya tanpa pandang bulu. Disituasi tersebut seorang pemimpin nasional harus mampu menjadi seorang leader.

(13)

3.2

Kepemimpinan Nasional Dan Birokrasi

Pemimpin nasional yang ideal, seperti yang telah disampaikan sebelumnya, adalah pemimpin yang bertanggung jawab. Kunci menuju keunggulan bersaing pada tahun 1990-an dan sesudahnya menurut Bennis (1998) adalah kemampuan kepemimpinan dalam menciptakan arsitektur sosial yang bisa menghasilkan modal intelektual. Modal intelektual berarti gagasan, cara melakukan, inovasi, pengetahuan, dan keahlian. Itulah apa yang akan membuat perbedaan. Melakukan restrukturisasi dan rekayasa ulang hanya akan menghasilkan sesuatu yang terbatas; kita tidak bisa melakukan restrukturisasi atau rekayasa ulang atas perusahaan kita untuk memasuki kemakmuran. Itu memerlukan gagasan dan penciptaan kembali. Penciptaan kembali memerlukan otak, gagasan, dan pengetahuan. Kita tidak akan bisa menarik atau mempertahankan angkatan kerja yang seperti itu dibawah bentuk kepemimpinan komando dan pengawasan birokratis yang ada saat ini.

Kepemimpinan birokrasi selama ini cenderung bersikap top-down atau memerintah, dan mendahulukan pekerjaan administratif ketimbang urusan sumberdaya manusia. Bersikap top-down dan mendahulukan pekerjaan administratif, dipandang oleh Hans dan Finsel (2002) sebagai suatu kesalahan yang dilakukan oleh pemimpin. Bahkan, dalam organisasi hirarkis tradisional seperti birokrasi, visi berasal dari puncak atau visi selalu digaungkan dari “atas” atau datang dari proses perencanaan yang sudah dilembagakan suatu organisasi (Sange, 1996). Manajemen puncak menuliskan “pernyataan visi” mereka, seringkali dengan bantuan konsultan. Orang-orang dalam organisasi tidak perlu memahami visi, tetapi cukup tahu apa yang diharapkan dari mereka. Visi seperti ini seringkali mengecewakan hasilnya, karena tidak dibangun berdasarkan visi pribadi, atau visi pribadi seringkali diabaikan dalam visi

(14)

strategik. Pembangunan visi yang sesuai, yang diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang sesuai untuk masyarakat tersebut, haruslah terdapat andil masyarakat umum (citizen) dalam pembuatannya. Untuk mewujudkan hal tersebut maka perlu dilakukan sebuah reformasi dalam kinerja birokrasi yang ada saat ini. Reformasi tersebut dapat dilakukan dengan melakukan New Public Service.

3.3 New Public Service

New public service merupakan pola terbaru era ini dalam mereformasi kinerja birokrasi. New public service adalah salah satu sistem yang berusaha memperbaiki kinerja birokrasi dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam memperbaiki kinerja birokrasi. Dalam sistem new public service, ditawarkan sebuah perubahan yang sangat signifikan dalam proses memformulasikan dan mengimplemantasikan kebijakan pemerintah berkaitan dengan pelayanan terhadap publik. Jika dalam sistem-sistem lain proses perumusan kebijakan hanya melibatkan pemerintah dan swasta maka dalam new public service sebaliknya. Dalam new public service dominasi pemerintah yang sangat besar dalam penentuan sebuah kebijakan dilepaskan dan pemerintah mulai terbuka terhadap partisipasi banyak individu, kelompok dan berbagai institusi yang berada di luar pemerintah.

Kerangka new public service sendiri terdiri dari tiga komponen utama (good governance) yakni negara (pemerintah), market (pasar) dan masyarakat yang sering disebut sebagai citizen. Dalam kerangka ini, ketiga komponen ini memainkan peran yang sama penting dalam menentukan berbagai kebijakan. Suatu hal yang baru dalam hal ini adalah keterlibatan masyarakat sebagai citizen, di mana masyarakat memainkan peran yang penting sebagai pemberi mandat kepada pemerintah untuk melaksanakan berbagai kebijakan publik (dengan diimbangi kewajiban untuk membayar pajak). Dengan sebuah sistem demoratic governance, new public service memantapkan dirinya untuk mereformasi birokrasi

(15)

dengan membuka ruang yang sebesar-besarnya terhadap partisipasi masyarakat untuk terlibat dalam berbagai kebijakan publik.

Proses kebijakan yang terbuka dan partisipatif sendiri adalah salah satu ciri penting dari tata pemerintahan (birokrasi) yang baik. Dengan kebijakan yang membuka ruang bagi keterlibatan masyarakat, setiap stakeholder akan dengan mudah memahami alasan sebuah tindakan perlu dilakukan oleh pemerintah. Mereka juga dapat dengan mudah mengetahui keinginan yang sebenarnya dari pemerintah ketika pemerintah melaksanakan kebijakan tertentu. Sehingga dengan demikian stakeholders dapat dengan mudah untuk mengambil sikap untuk mendukung atau menolak kebijakan-kebijakan yang diambil dan dibuat oleh pemerintah. Oleh karena itu proses kebijakan ini kemudian harus didukung oleh berbagai hal berupa akuntabilitas, transparansi, keadilan, responsifitas, kesamaan dan kepastian hukum. Karena kinerja birokrasi akan menjadi baik ketika para aktor-aktor yang terlibat dalam pengambilan dan pelaksanaan menggunakan kekuasaan yang berdasarkan prinsip-prinsip tadi. Dalam konteks Indonesia, keterlibatan masyarakat untuk memperbaiki kinerja dan kultur birokrasi Indonesia seperti yang ditawarkan oleh new public service tentunya harus dilihat dalam kerangka permasalahan utama yang menyebabkan rendahnya mutu kinerja birokrasi. Dalam hal ini keterlibatan masyarakat tidak hanya dilihat sebagai bagian dari keterlibatan dalam menentukan berbagai kebijakan. Birokrasi lahir dan berkembang dalam sejarah manusia, karena itu birokrasi senantiasa dibentuk, dijalankan dan diarahkan oleh manusia. Bahkan walaupun hadir sebagai institusi yang objektif namun secara mendasar pelaksanaan birokrasi tetap bersumber pada aktivitas manusiawi dan tidak dapat terlepas dari tingkah polah manusia.

Masyarakat sebagai agen kebudayaan tentunya memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perubahan dalam kultur yang tercipta dalam kehidupan birokrasi. Yang kemudian akan berkorelasi secara langsung maupun tidak langsung dalam membentuk kultur-kultur positif dalam diri

(16)

birokrasi. Salah satu hal paling konkret berkaitan dengan hal ini dapat dilihat dalam kultur kebudayaan jawa yang membentuk sebuah kultur feodalisme dalam birokrasi di jawa dan Indonesia pada umumnya. Di daerah jawa, terbentuk dari kelompok elite birokrasi berawal dari dipilihnya para raja dan bangsawan untuk membantu Belanda mengatur kehidupan masyarakat. Dengan kekuasaan yang dimiliki para raja serta bangsawan, Belanda percaya bahwa masyarakat akan patuh terhadap apa yang diperintahkan dan segala hal yang telah diatur oleh Belanda.

Akar pembentukkan birokrasi ini kemudian membawa konsekuensi hubungan politik, sosial dan kultural di antara birokrat dan masyarakat. Persepsi-persepsi budaya yang telah tercipta dalam masyarakat jawa, menjadikan masyarakat jawa sangat menghormati para birokrat dan tidak berani melawan serta menuntut pelayanan yang layak dari para birokrat. Lalu di lain sisi, persepsi sosial tersebut menjadikan para birokrat memposisikan diri lebih tinggi daripada masyarakat kebanyakan. Hal ini dapat dilihat dalam mentalitas sebagian besar birokrat yang tidak mencerminkan adanya budaya persamaan kedudukan diantara birokrasi dan masyarakat yang harus dilayani. Karena itu implikasi yang sering terjadi, tipe pelayanan yang terjadi sangat bercorak feodal, di mana budaya melayani sangat jauh dari yang diharapkan karena para birokrat masih melihat diri mereka sebagai bangsawan yang jauh dari masyarakat. Selain itu, sering juga terjadi bahwa kultur-kultur negatif yang tercipta dalam sistem kerja birokrasi punya kaitan erat dengan dengan cara pandang masyarakat terhadap birokrasi dan bagaimana masyarakat memperlakukan birokrasi. Di mana dalam hal ini, masyarakat secara sadar maupun tidak sadar terlibat dalam menanam dan mempertahankan kultur korupsi pada diri birokrat (selain karena budaya korupsi dan kolusi yang telah tertanam sejak orde baru). Hal ini secara konkret dapat terjadi ketika masyarakat meminta dan menuntut sebuah pelayanan dari birokrasi. Tidak jarang yang terjadi bahwa masyarakat sering melihat bahwa pelayanan birokrasi tidak lebih dari sebuah produk yang dapat

(17)

diperjualbelikan. Di mana untuk mendapatkan sebuah produk yang maksimal dan lancar, masyarakat harus mengeluarkan sejumlah uang dan menyogok sana sini agar tidak menghambat pekerjaan mereka.

Ironisnya hal ini justru membudaya dalam kinerja birokrasi. Karena dalam kenyataan, masyarakat kadang tidak merasa keberatan saat harus mengeluarkan biaya atau bayaran tambahan dalam menikmati pelayanan publik. Sebagian masyarakat bahkan melihat bahwa pungutan liar ini sebagai suatu hal yang biasa dan wajar. Maka bertolak dari hal ini, terdapat sebuah indikasi yang jelas bahwa praktik korupsi sudah menjadi budaya dalam birokrasi dan dapat diterima dalam kehidupan masyarakat. Berangkat dari hal ini, dapat dikatakan bahwa secara mendasar cara pandang masyarakat terhadap birokrasi punya implikasi yang erat dalam membentuk kultur kinerja birokrasi. Ketika masyarakat tetap mempertahankan cara pandangnya dan tetap memperlakukan birokrasi sedemikian rupa maka sistem dan kinerja birokrasi tidak akan berubah. Akibatnya sampai kapanpun bangsa ini tidak akan memiliki pemimpin yang ideal.

Oleh karena itu, bertolak dari kedua hal sederhana di atas, dapat dijelaskan bahwa budaya, kultur, cara pandang masyarakat terhadap birokrasi serta prilaku masyarakat dalam memperlakukan birokrasi, mempunyai implikasi yang besar terhadap kinerja birokrasi. Dan perubahan dalam cara pandang masyarakat tentunya pula akan mengubah kinerja birokrasi secara langsung maupun tidak langsung. Namun sejauh manakah akses masyarakat untuk terlibat mengubah kinerja dan kultur negatif yang telah lama tertanam dalam birokrasi adalah suatu pertanyaan real yang perlu dijawab.

Munculnya sistem new public service dalam pergulatan birokrasi Indonesia menuju pelayanan yang efektif dan efesien adalah salah satu sistem yang menawarkan ruang bagi keaktifan dan partisipasi masyarakat dalam mereformasi kinerja birokrasi. Akan tetapi dalam konteks Indonesia,

(18)

keterlibatan masyarakat seperti yang ditawarkan oleh new public service harus dilihat dalam konsep interaksi dan keterlibatan masyarakat dalam merubah kebudayaan dan pola pikir negatif yang telah membentuk kultur negatif dalam kinerja birokrasi. Masyarakat sebagai agen dan pelaku nilai-nilai kebudayaan dalam hal ini tentunya memiliki yang peran sangat signifikan untuk turut serta merubah kultur serta kinerja buruk birokrasi saat ini. Salah satu hal yang paling sederhana yang dapat dimulai oleh masyarakat ialah dengan mengubah cara pandang (mindset) yang salah mereka terhadap birokrasi. Salah satu hal yang sering diabaikan oleh masyarakat ialah birokrasi jarang dilihat sebagai organisasi masyarakat yang bertugas untuk melayani kebutuhan-kebutuhan masyarakat, di mana pelayanan tersebut adalah hak yang harus mereka terima sebagai warga negara. Sebaliknya yang sering terjadi ialah masyarakat memandang pelayanan sebagai produk yang diperjualbelikan dan mengeluarkan biaya tambahan adalah suatu hal yang lumrah dalam memperoleh sebuah pelayanan yang berkualitas. Hal-hal sederhana inilah yang harus dirubah masyarakat. Walaupun sederhana, inilah wujut keterlibatan paling nyata yang dapat dilaksanakan dalam mereformasi kinerja birokrasi. Karena walaupun bertolak dari hal yang paling sederhana, secara esensial hal ini merupakan suatu hal yang sangat mendasar dalam memperbaiki kinerja birokrasi. Dalam pelayanan publik, masyarakat adalah subyek dan obyek dari pelayanan tersebut dan mengubah mindset masyarakat dalam menuntut memperbaiki kinerja pelayanan publik adalah salah satu hal paling utama.

Ketika masyarakat telah mencapai kepuasan atas kebijakan yang diambil pemerintah, itu mengindikasikan bahwa pemimpin nasional telah mampu menjalankan tanggung jawabnya. Dengan telah terjalankannya tanggung jawab yang dimiliki seorang pemimpin nasional maka dia akan menjadi seorang pemimpin yang ideal.

(19)

BAB IV

PENUTUP

4.1

Kesimpulan

4.1.1 Kemimpin nasional yang ideal terjadi ketika telah pemimpin telah mampu melakukan tanggung jawabnya yaitu memberikan kemenangan moral atas kekuasaan, kejayaan reformasi atas status quo, kegemilangan masa depan atas masa lalu, serta kemenangan hati nurani rakyat atas kekecewaan terhadap berbagai penyelewengan oleh pemerintahan sebelumnya kepada masyarakat.

4.1.2 Kepemimpinan nasional yang ideal, tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan birokrasi pemerintahan.

4.1.3 New public service adalah salah satu sistem yang berusaha memperbaiki kinerja birokrasi dengan melibatkan masyarakat secara aktif dalam memperbaiki kinerja birokrasi

4.2

Saran

4.2.1 Pemerintah harus melakukan langkah nyata untuk merealisasikan New Public Service yaitu dengan memberikan transparansi dan penyampaian informasi secara luas kepada semua masyarakat terutama pihak yang berkepantingan.

4.2.2 Ketikan New Public Sevice telah direalisasikan masyarakat harus berperan secara aktif terhadap peran yang dimilikinya sehingga New Public Service dapat berjalan sesuai yang diharapkan

(20)

4.2.3 Pemerintah harus dapat memberikan pendidikan tentang politik kepada masyarakat serta memberi contoh yang baik tentang kegiatan politik yang sehat.

(21)

DAFTAR PUSTAKA

Adela, Fernanda Putra, Peran Serta Masyarakat Dalam Mereformasi

Kinerja Birokrasi Indonesia. Yogyakarta: UGM-Press, 2008.

CESDA-LP3ES, Laporan Survai Persepsi Publik Tentang Krisis Legitimasi

Kepemimpinan Nasional. Jakarta: CESDA-LP3ES, 2002

Denhardt, Janet V. dan Robert B. Dendhart. 2003. New Public Service. New York & London: M. E. Sharpe.

Dwiyanto, Agus. dkk. 2002. Reformasi Birokrasi Publik Di Indonesia. Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gajah Mada.

Manan, Bagir. Lembaga Kepresidenan. Yogyakarta: Gama Media, 1999. Said, M. Mas’ud. 2007. Birokrasi Di Negara Birokratis. Malang: Universitas

Muhammadiyah Malang.

Santoso, Priyo Budi. 1993. Birokrasi Pemerintahan Orde Baru Perspektif

Kultural dan Struktural. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Sutherland, Heather. 1983. Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi. Jakarta: Sinar Harapan.

http://www.lp3es.or.id/program/polling4 http://ppsdms.org/evaluasi-kepemimpinan-nasional.htm http://www.tokohindonesia.com/berita/berita/2002/berita-05s0902/pembusukan.shtml http://www.theindonesianinstitute.org/tpfeb2604.htm http://fp3su.blogspot.com/2008_11_01_archive.html http://qisai-indo.blogspot.com/2008/01/partai-politik-dan-kaderisasi-pemimpin.html http://adeimagination.blogspot.com/2008/07/membangun-kepemimpinan-nasional-yang.html http://www.transparansi.or.id/majalah/edisi3/3berita_4.html

Referensi

Dokumen terkait

dan mampu meningkatkan kemampuan representasi matematis siswa secara signifikan. Pendekatan konvensional merupakan pendekatan yang umum digunakan oleh guru- guru dalam

Sedangkan dengan obesitas mendapat kontribusi sumbangan zat gizi dari kelompok bahan energi, protein, karbohidrat .lemak dan pangan kacang-kacangan tidak berbeda

WHUQ\DWD 5 28 < R 0,05 = 36 , maka diputuskan bahwa H o ditolak dan H a GLWHULPD +DO LQL EHUDUWL KLSRWHVLV SHQHOLWLDQ \DQJ EHUEXQ\L ³6NRU kenakalan remaja korban broken home

Tugas yang paling mulia dalam hidup manusia adalah semata- mata untuk beribadah kepada Allah. Jika tugas manusia dalam kehidupan ini demikian penting, pendidikan harus

Al-Qur’an adalah suatu jalan petunjuk bagi manusia yang akan menyelamatkan manusia dari kegelapan menuju kepada cahaya yang terang benderang di dalam Al-Qur’an diterangkan

Secara kuantitatif sasaran yang akan dicapai dengan penerapan teknologi pengolahan air payau dengan sistem reverse omosis adalah adanya sarana penunjang utama, yaitu

Dian Abdi Nusa Di Kabupaten Kutai Barat dari tahun 2010 sampai dengan 2012 adalah telah efektif, Hipotesis yang diajukan diterima atau terbukti

Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa kepuasan petani terhadap kegiatan penyuluhan rendah (skor 50,7), petani menilai penyuluh belum mampu memenuhi kebutuhan informasi yang