• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VIII. Hak Ulayat dan Hutan Adat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VIII. Hak Ulayat dan Hutan Adat"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB VIII. Hak Ulayat dan Hutan Adat

.

 Pokok Bahasan a. Hak Ulayat

Hak ulayat adalah kewenangan, yang menurut hukum adat, dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya, dimana kewenangan ini memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Masyarakat dan sumber daya yang dimaksud memiliki hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

Menurut UU No 21 Tahun 2001, Hak Ulayat adalah hak persekutuan yang dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas suatu wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya, yang meliputi hak untuk memanfaatkan tanah, hutan, dan air serta isinya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Fungsi dari hak ulayat dapat dibedakan menjadi dua garis besar, yaitu : a. Persona

b. Publik

Persona adalah hak ulayat yang dimaksud sebagai hak tanah komunal itu berfungsi untuk memberinya manfaat dari tanah, hutan, air, dan isinya kepada individu yang tergabung kedalam hak ulayat tersebut. Ia dapat mengelola tanah itu, menjadikannya sebagai mata pencarian (Berkebun atau bertani).

Publik adalah hak ulayat yang dimaksudkan sebagai hak atas tanah komunal yang berfungsi sebagai pengendali sosial, keakraban, serta kekeluargaan. Maksudnya, mereka yang tergabung kedalam hak ulayat tentu akan berinteraksi antar sesama anggota, interaksi tersebut tentu didasari pada hukum adat yang tidak tertulis, selanjutnya, mereka akan senantiasa berpikir dan bertindak sesuai dengan peraturan yang mengikat antar anggota tersebut.

(2)

2 Masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang timbul secara spontan di wilayah tertentu yang berdirinya tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan solidaritas yang sangat besar diantara para anggotanya, yang memandang bukan anggota masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya. Ciri khas dari masyarakat hukum adat adalah komunal, ikatan batin yang kuat antar anggota baik yang dikarenakan faktor geneologis, teritorial dan geneologis teritorial.

Masyarakat hukum adat mempunyai salah satu hak yang terpenting terkait dengan ruang hidupnya yaitu “Hak Ulayat”, sebagaimana tertuang dalam Pasal 3 UUPA :

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 dan 2pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakatmasyarakathukum adat, sepanjang menurut kenyataannya. masih ada,harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional danNegara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak bolehbertentangan dengan Undang-undang dan peraturan-peraturan lain yanglebih tinggi”.

UUPA tidak memberikan penjelasan yang jelas mengenai hak ulayat, kecuali menyebutkan bahwa yang dimaksud hak ulayat adalah beschikkingsrecht dalam kepustakaan hukum adat. Dalam istilah teknis yuridis hak ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dimiliki oleh masyarakat hukum adat atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan warganya yang memperbolehkan masyarakat untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam termasuk tanah dalam wilayah tersebut bagi kelangsungan hidupnya. Dengan demikian hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah/wilayahnya adalah hubungan menguasai, bukan hubungan memiliki sebagaimana halnya dalam konsep hubungan antara negara dengan tanah menurut Pasal 33 ayat (3) UUD 1945.

Pada dasarnya hak ulayat telah diakui keberadaanya dalam UUPA, namun pengakuan tersebut masih harus diikuti syarat-syarat tertentu yaitu : Pertama, eksistensi atau keberadaannya, hak ulayat diakui sepanjang menurut kenyataannya masih ada, yang

(3)

3 berarti bahwa UUPA tidak mengatur eksistensinya, karena pada dasarnya hak ulayat hapus dengan sendirinya melalui proses alamiah, yaitu dengan menjadi kuatnya hak-hak perorangan dalam masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Kedua, syarat pelaksanaannya yaitu sesuai dengan kepentingan nasional dan negara yang berdasar atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan lainnya yang lebih tinggi.

Selain dari pengaturan tanah hak ulayat yang ditentukan dalam Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA, melalui Pasal 18 B ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip negara kesatuan RI yang diatur dalam UU. Amandemen UUD 1945 ternyata masih belum mampu menyelesaikan persoalan sebenarnya yang dihadapi masyarakat hukum adat terutama di daerah, yang disebabkan berbagai alasan antara lain : Pertama, adanya pembatasan pengakuan hukum berupa persyaratan-persyaratan contohnya seperti yang terdapat pada Undang-undang Kehutanan, ndang-undang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Perkebunan. Kedua, kebijakan di masing-masing isntansi pemerintah belum sinergis, sehingga menciptakan sektoralisasi yang pada akhirnya menjadikan banyak instansi pemerintah mengurusi masyarakat hukum adat menggunakan pendekatan yang berbeda-beda dan parsial dalam memandang hak-hak masyarakat hukum adat. Ketiga, belum adanya lembaga yang paling berkompeten menurusi keberadaan dan hak-hak masyarakat hukum adat serta belum terciptanya model pengaturan yang komprehensif dalam pengakuan hukum terhadap keberadaan masyarakt hukum adat, baik substansi maupun kerangka implementasinya.

b. Hak Pengelolaan bagi Masyarakat Hukum Adat

Pasal 2 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Penjelasan Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa urusan agraria adalah urusan pemerintah pusat. Meskipun demikian, atas dasar asas tugas perbantuan (medebewind), wewenang pemerintah pusat ini dapat

(4)

4 dilimpahkan kepada pemerintah daerah dan masyarakat hukum adat. Pasal 2 ayat (4) UUPA menyatakan sebagai berikut :

“Hak menguasai dari Negara tersebut diatas pelaksanaannya dapatdikuasakan kepada daerah-daerah Swatantra dan masyarakat-masyarakathukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangandengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan PeraturanPemerintah”.

Ketentuan Pasal 2 ayat (4) ini menjadi dasar dari pengaturan penguasaan tanah oleh negara yang dikenal dengan sebutan hak pengelolaan. Selama ini pelaksanaan ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA hanya dilakukan terhadap penguasaan tanah oleh instansi pemerintah untuk kepentingan sendiri maupun kepentingan pihak ketiga. Sementara itu pengaturan mengenai penguasaan tanah oleh masyarakat hukum adat sesuai Pasal 2 ayat (4) ini belum tersedia. Ketentuan dalam pasal ini memberikan dasar bagi pengakuan atas penguasaan masyarakat hukum adat atas suatu bidang tanah yang luas (serupa dengan wilayah adat mereka) dimana institusi adat berwenang untuk mengatur segala hal terkait dengan penguasaan komunal, kolektif dan individu anggota masyarakatnya.

Hal yang umumnya dikhawatirkan banyak pihak terkait dengan pemberian semacam hak atas tanah pada masyarakat hukum adat adalah kemungkinan peralihan hak tersebut kepada pihak luar. Dengan hak pengelolaan kekhawatiran akan hilang karena hak pengelolaan sejatinya bukan hak privat atas tanah. Hak pengelolaan adalah hak publik bukan hak privat, yang merupakan bagian dari hak menguasai negara yang didelegasikan pelaksanaannya kepada masyarakat hukum adat. Dengan demikian masyarakat hukum adat tidak akan dapat mengalihkan hak pengelolaannya ini kepada pihak lain.

Belum adanya pengaturan mengenai hak ulayat bagi masyarakat hukum adat membuat sulit menduga apakan hak pengelolaan yang selama ini ada pada instansi pemerintah juga bisa diterapkan pada masyarakat hukum adat. Dalam hak pengelolaan pemerintah ada kewenangan pemegang hak pengelolaan untuk membuat perjanjian dengan pihak ketiga guna pemanfaatan tanah-tanah yang menjadi bagian dari hak pengelolannya. Atas dasar perjanjian itu maka BPN dapat memberikan hak atas tanah kepada pihak ketiga

(5)

5 dan pada saat berakhirnya jangka waktu hak atas tanah, maka penguasaan tanah kembali kepada pemegang hak pengelolaan. Yang menjadi pertanyaan adalah, jika masyarakat hukum adat mendapatkan hak pengelolaan apakah mereka juga berhak mengadakan perjanjian yang demikian apa tidak, hak-hak apa sajakah yang boleh muncul, kemudian bagaimana prosedur yang harus dilalui oleh masyarakat hukum adat untuk mendpatkan kembali haknya setelah hak atas tanah dari pihak ketiga berakhir. Hal-hal inilah yang penting untuk diperhatikan jika ingin mengatur lebih lanjut ketentuan Pasal 2 ayat (4) UUPA bagi masyarakat hukum adat dengan model hak pengelolaan untuk melegalisasikan komunal hukum adat.

c. Pengakuan atas Hak Ulayat sesuai dengan PMNA/KBPN No. 5/1999

Peraturan pelaksanaan dari UUPA yang mengatur lebih rinci mengenai hak dan tanah ulayat adalah Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 5 Tahu 1999, yang dibuat dengan tujuan untuk memberikan panduan kepada pemerintah daerah guna menyelesaikan konflik-konflik yang terkait dengan penguasaan tanah oleh masyarakat hukum adat. Peraturan ini memberikan definisi tentang tanah ulayat, hak ulayat dan kriteria serta prosedur pengakuan terhadap hak ulayat. Dalam Pasal 1 peraturan tersebut dengan jelas dinyatakan bahwa tanah ulayat adalah bidang tanah yang di atasnya terdapat hak ulayat dari masyarakat hukum adat tertentu.Pengakuan terhadap hak ulayat diberikan melalui Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten setelah melalui tahapan penelitian untuk menilai apakah hak yang diakui oleh masyarakat itu telah memenuhi kriteria hak ulayat yang ditetapkan oleh PMNA/KBPN No. 5/1999. Di sejumlah daerah Perda tersebut telah dibuat, diantaranya seperti Kabupaten Lebak, Kampar dan Nunukan.

Tidak semua hak ulayat dapat diakui, Pasal 2 PMNA/KBPN 5/199 memberikan kriteria yang harus dipenuhi agar hak ulayat dapat diakui, yaitu : (a) terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukumadatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yangmengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalamkehidupannya sehari-hari, (b) terdapat tanah ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para wargapersekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnyasehari-hari, dan (c) terdapat tatanan hukum adat

(6)

6 mengenai pengurusan, penguasaan danpenggunaan tanah ulayat yang berlaku dan ditaati oleh para wargapersekutuan hukum tersebut.

Ketentuan-ketentuan dalam PMNA/KBPN No. 5/1999 mengandung kelemahan yaitu terbatasnya tanah-tanah ulayat yang dapat diakui melalui Perda Kabupaten karena, : pertama, pengakuan tidak dapat diberikan atas tanah-tanah ulayat yang pada saat berlakunya Perda telah dikuasai oleh perorangan/badan hukum dengan hak atas tanah menurut UUPA. Ketentuan ini dapat diterima dengan alasan memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah yang beritikad baik, namun dengan melihat kembali praktik-praktik penyerobotan tanah-tanah adat pada masa lalu yang dilakukan dengan paksaan dan kekerasan di atas tanah-tanah ulayat tersebut sudah tergolong subyek hukum yang teritikad baik atau tidak. Kedua, pengakuan atas tanah-tanah ulayat tidak dapat diberikan pada bidang-bidang tanah yang sudah dibebaskan oleh pemerintah, badan hukum atau perorangan. Selain itu, persoalan serupa akan muncul terkait apakah proses pembebasan tersebut benar-benar dilakukan tidak dengan cara melawan hukum dan melanggar rasa keadilan masyarakat hukum adat. Ketiga,pengakuan terhadap tanah-tanah ulayat tidak dapat diberikan pada tanah-tanah yang berada di dalam kawasan hutan. Jika dilihat dari besarnya prosentasi pengalokaisan tanah untuk kawasan hutan, maka banyak tanah-tanah ulayat yang berada di dalam kawasan hutan. Dengan demikian PMNA/KBPN No. 5/1999 tidak dapat berlaku.

d. Hutan Adat

Hutan adat adalah hutan negara yang berada dalam wilayah adat yang pengelolaannya diserahkan pada masyarakat hukum adat (Undang-undang No. 41 Tahun 1999). Definisi hutan adat mengalami perkembangan. Perkembangan ini dipacu oleh adanya otonomi daerah sehingga mulai muncul definisi baru yang tercantum dalam peraturan daerah. Salah satu definisi hutan adat berdasarkan pada peraturan daerah adalah definisi hutan adat dalam Peraturan Daerah Kabupaten Malinau mengenai Kehutanan. Peraturan daerah ini mendefinisikan hutan adat sebagai hutan yang dimiliki dan atau dikuasai secara bersama-sama oleh kelompok masyarakat hukum adat tertentu yang mendapat pengesahan dari Pemerintah Kabupaten (Anonim, 2002).

(7)

7 Dalam sistem kepemilikan hutan, sebagaimana diperintahkan oleh hukum nasional merupakan hal yang relatif baru. Sampai beberapa puluh tahun terakhir ini, sebagian besar lahan hutan yang digunakan atau dihuni oleh penduduk diatur menurut kewenangan dan hukum adat (Abdurrahman, 1984; Sudiyat, 1981 dalam Barber Charles, dkk, 1999: 32). Di banyak masyarakat, adat masih dipatuhi sebagai kewenangan yang mengalir bukan dari negara melainkan dari masyarakat sendiri. Seringkali cara setempat dianggap sebagai lebih sah, lebih sehat secara ekologis, dan lebih adil.

Beberapa paham-paham atas hak milik menurut adat sangat berbeda dengan pengandaian-pengandaian yang mendasari sistem milik negara. Dimana menurut adat: 1. Tanah memiliki makna sosio-religius, dan tanah itu sangat erat kaitannya dengan jati

diri kelompok tersebut. Masalah-masalah yang menyangkut tanah tidak dapat dengan mudah dipisahkan dengan masalah-masalah kekerabatan, kekuasaan dan kepemimpinan, cara-cara menyambung hidup dan upacara.

2. Di banyak wilayah, tanah dan seumber-sumbernya mendukung serangkaian luas kegiatan yang digelar menurut musim. Pertanian yang bergulir berpindah-pindah, berburu, menangkap ikan dan mengumpulkan produk hutan lazimnya lebih penting daripada pertanian intensif.

3. Ada hak perseorangan atas tanah yang dapat diwariskan, tetapi kebanyakan “hak atas tanah” secara perorangan itu, entah merupakan hak pemanfaatan yang lebih rendah daripada hak kelompok yang lebih unggul atau hak-hak terhadap sumberdaya tertentu.

4. Lahan-lahan tidur, untuk sebagian besar, sama-sama dibebani hak-hak seperti halnya masing-masing petak taman. Tanah jarang dianggap „kosong‟.

5. Hak tanah dan sumberdaya jarang dicatat dalam peta-peta atau dengan rekaman tertulis, dengan perkecualian tanda hak milik yang ditaruh di pohon dan sumber-sumber tertentu lainnya yang dimiliki secara pribadi. Batas-batas ditentukan berdasarkan bentuk alam, seperti sungai, dan/ atau menurut kesepakatan bersama, (Barber, dkk, 1999; 33-34).

(8)

8 Melihat beberapa definisi mengenai hutan adat, dapat diketahui bahwa keberadaan hutan adat sangatlah berkaitan erat dengan keberadaan masyarakat hukum adat. Masyarakat hukum adat merupakan pihak yang memiliki interaksi yang sangat kuat dengan hutan adat, sehingga keberadaan dan kelestarian hutan adat akan mempengaruhi kehidupan masyarakat hukum adat.

Menurut UU No. 41 tahun 1999 tentang kehutanan, masyarakat hukum adat akan diakui keberadaannya apabila memenuhi syarat-syarat tertentu. Keberadaan masyarakat hukum adat akan diakui apabila memenuhi unsur antara lain:

 masyarakat masih dalam bentuk peguyuban,

 ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya,  ada wilayah hukum adat yang jelas,

 ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat yang masih ditaati,  masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya untuk

pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

Pengelolaan hutan adat biasanya dilakukan sesuai dengan tata nilai dan aturan yang berlaku dilingkungan masyarakat hukum adat. Praktek pengelolaan hutan adat di berbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda seperti Parak di Sumatera Barat, Rimbo Larangan di Jambi, Khepong di Lampung, Tembawang di Kalimantan Barat, Pahomba di Nusa Tenggara Timur, Hompongan di Jambi, dan lain-lain.

Parak merupakan istilah untuk menyebut hutan yang dikenal di kalangan masyarakat hukum adat di Sumatera Barat. Parak dikelola dengan berlandaskan pada aturan adat yang berlaku secara turun temurun. Pengelolaan parak juga dilakukan secara alami. “Parak menghasilkan hasil hutan yang khas, baik untuk dijual maupun untuk kebutuhan harian, termasuk kayu bangunan, kayu bakar beserta hasil hutan ikutan seperti buah hutan liar dan sayuran, bahan obat dan lain-lain” (Suhendri, 2009). Parak juga dapat ditanami dengan tanaman budidaya seperti kacang-kacangan, kopi, cabai, durian, dan lain-lain.

(9)

9 Rimbo larangan atau hutan larangan merupakan suatu konsep tradisional mengenai konservasi hutan. “Hutan larangan dalam konsepsi tradisional adalah bagian dari suatu kawasan hutan milik suatu kampung yang tidak boleh dibuka untuk lahan pertanian atau kayunya tidak boleh diambil untuk keperluan perabot rumah” (Junaedi, 2009). Hutan larangan juga dipercaya sebagai tempat yang dihuni oleh mahluk-mahluk halus penunggu hutan yang keberadaannya tidak boleh diganggu. Kawasan hutan yang disebut hutan larangan biasanya mengandung sumber air. Hal ini juga menjadi salah satu alasan adanya larangan pengeksploitasian hasil hutan. Ada kepercayaan yang memandang bahwa kawasan tersebut tabu untuk dimasuki. Apabila ada seseorang ya ng melanggar maka akan menyebabkan petaka. Kepercayaan ini secara tidak langsung merupakan upaya konservasi hutan, terutama konservasi sumber daya air yang ada di dalamnya.

Khepong damar merupakan suatu istilah yang berkembang di masyarakat Krui. Khepong adalah sebidang lahan kering yang ditumbuhi berbagai jenis tanaman produktif seperti damar, duku, durian, petai, jengkol, manggis, dan beragam jenis yang bernilai ekonomis serta beragam jenis tumbuhan liar yang dibiarkan hidup (Lubis, 1997). Damar merupakan jenis yang mendominasi sehingga istilah Khepong biasanya dikenal juga dengan istilah Khepong damar. Pengelolaan Khepong damar dilakukan dengan siklus selama 20 tahun.

Istilah pengelolaan hutan adat di Kalimantan Barat dikenal dengan nama Tembawang. Tembawang merupakan areal atau lokasi bekas lahan dan permukiman peladang berpindah yang telah ditinggalkan selama puluhan tahun. Areal ini kemudian dikelola oleh suku dayak di Kalimantan Barat. Tembawang biasanya ditanami tanaman buah-buahan dan kayu untuk memenuhi kehidupan selama periode perladangan. Masa menetap sebuah keluarga peladang di suatu lokasi bergantung pada tingkat kesuburan lahan garapan. Jika dianggap sudah tidak subur lagi, mereka pindah ke lokasi baru. Perpindahan bisa juga karena ada wabah penyakit dan serangan hewan buas atau gangguan makhluk halus. Adapun lokasi yang ditinggalkan dan telah ditumbuhi berbagai jenis tanaman buahanbuahan dan kayu lokal itu lama-kelamaan menjadi hutan belantara kembali (Anonim, 2010).

(10)

10 Pahomba merupakan istilah hutan yang terdapat di Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Pahomba merupakan hutan yang sangat terlarang. Pepohonan yang tumbuh di pahomba tidak boleh dieksploitasi. Pada hakekatnya pepohonan ini berfungsi sebagai pohon induk yang dapat menyebarkan benih ke padang rumput yang relatif luas. Pepohonan di pahomba yang tumbuh di sekitar sungai berfungsi sebagai filter terhadap materi erosi sekaligus befungsi sebagai sempadan alamiah sungai agar air sungai lestari (Anonim, 2008).

Hompongan merupakan hutan belukar melingkupi kawasan inti pemukiman orang Rimba di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas, Jambi. Kawasan ini merupakan kawasan yang dijaga keberadaannya karena berfungsi sebagai benteng pertahanan dari gangguan pihak luar (Anonim, 2008). Hompongan juga merupakan alternatif pemanfaatan lahan berupa pembuatan agroforesti berbasis tanaman karet (Marzuki, 2008).

Tombak Hamijon merupakan istilah hutan pada masyarakat Kabupaten Humbang Hasundutan, Sumatera Utara. Struktur tanaman tombak hamijon menyerupai hutan (agroforestri), terdiri atas beranekaragam jenis tumbuhan. Tumbuhan yang hidup di tombak hamijon terdiri dari berbagai strata. Hewanhewan seperti kera juga banyak hidup di dalam tombak hamijon. Selain kera ada juga binatang kecil seperti burung, tapponak (kumbang), dan berbagai jenis hewan lainnya (Anonim, 2008).

Hutan Nung merupakan kawasan hutan gambut yang berada di kawasan Taman Nasional Danau Sentarum. Kawasan ini ditetapkan sebagai hutan adat dan dikelola dengan kearifan lokal masyarakat hukum adat. Salah satu bentuk kearifan lokal tersebut adalah adanya larangan penebangan pohon komersial. Apabila terjadi pela nggaran akan dikenakan sanksi sebesar Rp. 1 juta per batang (Anshari, 2005)

(11)

11 Menurut Pasal 67 UU No. 41 Tahun 1999, masyarakat hukum adat sepanjang menurut kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya berhak :

a. melakukan pemungutan hasil hutan untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari masyarakat hukum adat yang bersangkutan,

b. melakukan kegiatan pengelolaan hutan berdasarkan hukum adat yang berlaku dan tidak bertentangan dengan undang-undang, dan

c. mendapatkan pemberdayaan dalam rangka meningkatkan kesejahteraannya.

 Hasil Pembelajaran

(1) Mampu memahami dan menjelaskan definisi hak ulayat dan hutan adat beserta contoh-contohnya

(2) Mampu memberikan contoh kasus berikut analisisnya mengenai dinamika pengelolaan hutan adat di Indonesia

 Aktifitas

(1) Membaca bahan ajar sebelum kuliah,

(2) Membaca bahan bacaan/pustaka yang relevan

(3) Mencari kasus pengelolaan hutan adat di Indonesia dan menganalisisnya (4) Diskusi dan menjawab kuis

 Kuis dan latihan

(1) Jelaskan yang dimaksud dengan hak ulayat dan berikan contohnya !

(2) Terangkan yang dimaksud dengan hutan adat serta berikan contoh wujud hutan tersebut di Indonesia !

(3) Terangkan hak-hak masyarakat adat terkait dengan kegiatan pengelolaan hutan disekitarnya !

(4) Mengapa masyarakat adat sering dirugikan dalam konteks pemanfaatan sumberdaya hutan serta berikan contoh kasusnya !

(12)

12 DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa Putra H.S. 1994. Antropologi Ekologi; Beberapa Teori dan Perkembangannya. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Awang S.A. 2002. Etnoekologi ; Manusia di Hutan Rakyat. Sinergi Press. Yogyakarta Djuwadi. 1976. Beberapa Aspek Produksi Gula Kelapa, FKT UGM, Yogyakarta

Djuwadi & Fanani. 1985. Produksi Tanaman Perladangan sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Petani Peladang di Propinsi Jambi. FKT UGM. Yogyakarta Djuwadi. 2004. Hutan Kemasyarakatan. FKT UGM. Yogyakarta

Dove. M.R. 1985. Sistem perladangan di Indonesia; Studi Kasus di Kalimantan Barat. Penerbitan FKT UGM. Yogyakarta

Field, John. 2010. Modal Sosial. Kreasi Wacana. Yogyakarta.

Hasbullah, J., 2006. Sosial Kapital: Menuju Keunggulan Budaya Manusia Indonesia. MR-United Press. Jakarta.

Leibo J., 2003. Kearifan Lokal Yang Terabaikan Sebuah Perspektif Sosiologi Pedesaan. Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta

Kartasasmita, G. 1996. Pembangunan Hutan Rakyat, Cides. Jakarta. Keraf S. 2002. Etika Lingkungan. Kompas. Jakarta.

Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta

Lobja E. 2003. Menyelamatkan Hutan dan Hak Adat Masyarakat Kei. Debut Press. Yogyakarta

Mubyarto. 1998. Pemberdayaan Ekonomi Rakyat; Laporan Kaji Tindak Program IDT. Aditya Media. Yogyakarta

Nugraha A. & Murtijo. 2005. Antropologi Ekologi. Wana Aksara. Banten

Nur A. 2010. Peranan Kearifan Lokal dalam Mendukung Kelestarian Hutan Rakyat. FKT UGM. Yogyakarta

Pretty J. & Ward H., 2001, Social Capital and The Environment, World Development, Volume 29, No. 2, UK

Qowi M.R. 2009. Tata Kelola Hutan Lestari Masyarakat Adat Baduy. FKT UGM Yogyakarta

(13)

13 Raharjo. 1999. Pengantar Sosiologi Pedesaan dan Pertanian. Gadjah Mada University

Press. Yogyakarta

Ritzer G., dan Goodman D.J., 2004, Teori Sosiologi Modern, Prenada Media, Jakarta. Salim P., 2001. Teori dan Paradigma: Penelitian Sosial. Tiara Wacana. Yogyakarta Soekanto S. 2010. Sosiologi ; Suatu Pengantar. Rajawali Pers. 2010. Jakarta

Soemarwoto O., 2007, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta

Supriono, Agus., Flassy, Dance J., Rais, Slasi. 2011. Modal Sosial : Definisi, Dimensi, dan Tipologi. Artikel

Wibisono H. 2013. Etnobotani Tanaman Herbal pada Areal Hutan Rakyat oleh Masyarakat Dusun Gedong. Girimulyo. Kulon Progo. FKT UGM Yogyakarta Widiyanto E. 2012. Relasi antara Modal Sosial dengan Implementasi PHBM di Desa

Jono. Kab. Bojonegoro. FKT UGM. Yogyakarta

Yuntari D. 2012. Relasi antara Tata Nilai dan Modal Sosial dengan Interaksi Masyarakat Terhadap Sumberdaya Hutan. FKT UGM. Yogyakarta

Referensi

Dokumen terkait

Studi mengenai kinerja perusahaan telah banyak dilakukan oleh para peneliti dengan berbagai ukuran rasio keuangan maupun model analisis yang dapat digunakan dalam

Bastiana (Saksi-I) adalah masih gadis dan saat ini Saksi-I masih tercatat sebagai salah satu murid sebuah SMU. Bahwa benar, pada hari Sabtu tanggal 08 Januari 2011 Terdakwa

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024) 8508081, Fax. Prodi Asal : Pendidikan

Pendekatan pembelajaran berbasis masalah dirancang untuk membantu siswa mengembangkan kemampuan penalaran, keterampilan menyelesaikan masalah, dan keterampilan

Pada kegiatan pembelajaran anak usia dini, penggunaan media pembelajaran menjadi sesuatu hal yang penting terhadap pencapaian tujuan dari pembelajaran untuk

Tripodal extraction reagent with three phosphoric acid groups, together with the corresponding monopodal molecule has been prepared to investigate some metals extraction behavior,

Program ini merupakan penerus dari Program Karya Alternatif Mahasiswa yang dibentuk pada tahun 1997, yang lalu berganti menjadi Program Kreativitas Mahasiswa tahun 2001

rendah (ketinggian bangunan sampai dengan 12 meter) di lokasi sesuai dengan fungsi jalan lokal/lingkungan, Pelaku pembangunan wajib menyediakan lahan pada lahan