• Tidak ada hasil yang ditemukan

Makalah Mendeteksi Fraud dan Profiling

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Makalah Mendeteksi Fraud dan Profiling"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

DISUSUN OLEH: KELOMPOK V RAHMI (A311157..)

PRAYOGA WIBOWO (A31115749)

JURUSAN AKUNTANSI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS HASANUDDIN

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah tentang Mendeteksi Fraud dan Profiling dengan baik untuk memenuhi tugas mata kuliah Audit Forensik, meskipun banyak kekurangan didalamnya.

Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai etika profesional dan regulasi sendiri. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah penulis buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.

Semoga makalah ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis maupun orang yang membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan saya memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.

Makassar, 25 September 2016

(3)

DAFTAR ISI Kata Pengantar i Daftar Isi ii BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang 1 B. Rumusan Masalah 1

BAB II TEORI ETIKA 2

A. Pengertian Etika 2

B. Mengapa Mempelajari Etika 2

C. Pertanyaan Untuk Menilai Suatu Tindakan: Dasar Teori Etika 3

D. Teori Etika Kontemporer 5

BAB III ETIKA PROFESIONAL 10

A. Pekerjaan dan Profesi 10

B. Ciri yang Melekat Pada Profesi 10

C. Kode Etik Profesi 11

D. Profesi Akuntan Publik 12

E. Etika Profesi Akuntansi 13

BAB IV PENUTUP 17

(4)

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

Mencegah fraud adalah bagian dari fraud audit yang bersifat proaktif, sedangkan mendeteksi fraud adalah bagian dari fraud audit yang bersifat investigatif. Orang awam mengharapkan suatu audit umum yang dapat mendeteksi segala macam fraud. Di sisi lain, akuntan publik berupaya memasang pagar-pagar yang membatasi tanggung jawabnya, khususnya mengenai penemuan atau pengungkapan fraud.

Dalam upaya menemukan dan memberantas kecurangan, kita perlu mengetahui profil pelaku. Profil berbeda dengan foto yang menggambarkan fisik seseorang. Profil memberi gambaran mengenai berbagai ciri (traits) dari suatu kelompok orang.

Melihat pentingnya kedua pokok bahasan tersebut maka kami disini menyusun makalah dengan harapan lebih memahami bagaimana cara pendeteksian fraud dan profil-profil para pelaku fraud, korban fraud bahkan fraud itu sendiri.

(5)

BAB II

MATERI PEMBELAJARAN I

Pada bagian ini akan membahas secara umum bagaimana pendeteksian terhadap kejadian fraud.

A. PENGANTAR

Tindakan yang dilakukan untuk mengetahui bahwa suatu kasus kecurangan memang benar terjadi, siapa pelakunya, siapa korbannya, serta apa yang menyebabkan kecurangan itu terjadi. Karena ketika seorang pelaku melakukan tindakan kecurangan pastilah ada alasan atau pendorong yang mengakibatkannya melakukan tindak kecurangan. Kunci utama pada pendeteksian fraud adalah untuk dapat melihat adanya kesalahan dan ketidakberesan.

Fraud (kecurangan) pada hakekatnya tersembunyi dan pelakunya pada umumnya juga akan menyembunyikan jejaknya. Oleh karena itu, pendeteksian fraud juga tidak dapat dilakukan langsung dengan melihat jejak yang ditinggalkannya. Pendeteksian fraud dilakukan dengan mengidentifikasi tanda- tanda atau gejala terjadinya, kemudian dianalisis apakah tanda-tanda itu dapat menunjukkan identifikasi awal terjadinya fraud.

Menurut Karyono dalam bukunya berjudul Fornsic Fraud (2013 : 92-94) terdapat beberapa langkah dalam mendeteksi fraud. Langkah awal dari pendeteksian fraud ialah memahami aktivitas organisasi dan mengenal serta memahami seluruh sektor usaha. Pada pemahaman itu diidentifikasi apakah organisasi telah menerapkan pengendalian intern yang andal baik dalam rancangan struktur pengendalian maupun dalam pelaksanaan. Langkah selanjutnya adalah dengan memahami tanda-tanda penyebab terjadinya fraud. Tanda-tanda penyebab terjadinya fraud berupa berbagai keanehan, keganjilan, dan penyimpangan dari keadaan yang seharusnya serta kelemahan dalam pengendalian intern.

Pendeteksian fraud terhadap gejala dan tanda-tanda fraud dapat pula dilakukan terhadap kondisi atau situasi tertentu yang disebut bendera merah (red flags) yaitu suatu kondisi yang memberi isyarat dini terjadinya fraud (fraud warning signs).

Dalam pendeteksian fraud, auditor independen mempunyai tanggung jawab untuk melakukan deteksi atas kecurangan yang terjadi. Tidak hanya auditor independen, akan tetapi auditor intern maupun auditor pemerintah juga memiliki tanggung jawab untuk mendeteksi fraud. Tanggung jawab auditor independen untuk mendeteksi fraud diatur di dalam standar profesinya. Dalam standar Profesional Akuntan Publik diatur tentang tanggung jawab auditor independen untuk mendeteksi kekeliruan, ketidakberesan, dan pelanggaran hukum.

(6)

Pada standar tersebut, tidak ada jaminan penuh bahwa hasil auditor independen akan dapat mendeteksi kekeliruan, ketidakberesan, dan pelanggaran hukum. Akan tetapi, diatur keharusan bagi para auditor untuk dapat menemukan risiko bahwa suatu kekeliruan, ketidakberesan, dan pelanggaran hukum yang mungkin menyebabkan laporan keuangan berisi salah satu material. Tanggung jawab yang dimiliki auditor untuk mendeteksi kekeliruan dan ketidakberesan mengharuskan auditor untuk memahami karakteristik dan kerumitan yang terkait dengan berbagai karakteristik tersebut, kemudian dirancang prosedur audit yang cocok dan hasilnya dievaluasi.

B. KESENJANGAN ANTARA KENYATAN DAN HARAPAN

Sejak permulaan, profesi audit yang dijalankan oleh akuntan publik menolak mengambil tanggungjawab dalam menemukan fraud. Dalam bulan November 1974, AICPA menunjuk suatu komisi independen yang dikenal dengan nama “the Cohen Commission” yang diberi nama berdasarkan ketua komisinya. Komisi Cohen pada awal tahun 1978 melaporkan bahwa terdapat kesenjangan antara harapan atau kebutuhan masyarakat dengan apa yang seharusnya dapat diharapkan dari auditor untuk memenuhinya.

Gagasan bahwa audit umum tidak dirancang untuk mengungkapkan kecuraan sampai pasca Sarbanes Oxley tercermin dari praktik audit yang peduli dengan kecurangan yang menyebabkan laporan keuangan tidak disajikan dengan wajar. Para auditor ini sangat kwatir dengan penyajian kembali laporan keuangan, terutama apabila dilakukan oleh KAP saingannya di tahun berikutnya.

Yang kurang diperhatikan oleh auditor independen adalah kategori fraud berupa pencurian atau kehilangan aset, contohnya adalah apabila persediaan menggunakan metode fisik bukan perpetual, selama persediaan awal dan akhir sudah benar maka angka persediaan dan harga pokok penjualan dapat dianggap wajar meskipun mungkin sebenarnya ada yang dicuri.

Akhir-akhir ini the Treadway Commission dan SOX berfokus pada fraudulent financial reporting (kesengajaan atau keceobohan dalam menyusun laporan keuangan yang menyebabkan informasi didalamnya menjadi menyesatkan secara material). Penyebab dari fraudulent financial reporting ini adalah:

1. Keserakahan

2. Adanya tekanan yang dirasakan oleh manajemen untuk menunjukkan prestasi.

Dalam banyak konstruksi kejahatan korporasi dimana bentuk perseroan terbatas yang dipilih, direksinya malah menjadi boneka. Tidak jarang direksi terdiri dari mantan pejabat militer

(7)

dan sipil yang KTP-nya dipinjam untuk membuat akte, padahal mereka tidak mengerti bisnis sama sekali. Fraudulent financial reporting ini dimanfaatkan untuk “mengelola” pinjaman bank. Contoh dari fraudulent financial report tersaji di tabel dibawah ini:

(8)

N o

Perusahaan Tanggal

Terungkap

Sangkaan Fraud

1 Xerox Juni 2000 Pemalsuan data keuangan

2 Enron Oktober 2001 Mendongkrak laba dan menyembunyikan utang 3 Kmart Januari 2002 Akuntansi Kmart memberikan gambaran

menyesatkan tentang kesehatan keuangan 4 Qwest Comm.

Int.

Februari 2002 Mendongkrak omzet dan akuntansi tidak wajar untuk kontrak jangka panjang

5 Worldcom Maret 2002 Arus kas didongkrak dengan mencatat oprating expenses menjadi capital expenses

6 Adelphia Comm.

April 2002 Adanya pinjaman pribadi yang dicatat atas nama perusahaan, laba didongkrak dengan menaikan capital expenditures dan menyembunyikan hutang 7 Tyco Mei 2002 Penggelapan pajak dan penggunaan akuntansi

tidak wajar dalam merger

8 Duke Energy Juli 2002 Terdapat 23 perdagangan berulang-ulang untuk transaksi yang sama untuk meningkatkan volume perdagangan dan omzet

(9)

C. MENGENALKAN STANDAR AUDIT UNTUK MENEMUKAN FRAUD

Kalau auditor independen bekerja tanpa standar audit, ia menempatkan dirinya dalam posisi yang sangat lemah. Terutama ketika ia memberikan audit yang diharapkan menemukan fraud. Maka diperlukan fraud-specific examination.

Para praktisi harus tahu apa yang mereka harapkan dari standar untuk pemeriksaan yang secara spesifik ditujukan untuk menemukan fraud. Sekurang – kurangnya para praktisi harus menyadari hal – hal berikut:

1. Mereka tidak bisa memberikan jaminan bahwa mereka bisa menemukan fraud. Klien dapat membatasi upaya menemukan fraud di atas jumlah tertentu dengan pengertian bahwa potensi menemukan fraud ini tergantung kepada waktu dan keahlian yang digunakan.

2. Seluruh pekerjaan didasarkan atas standar audit

3. Jumlah fee bergantung pada luasnya upaya pemeriksaan yang ditetapkan klien

4. Praktisi bersedia untuk memperluas jasanya dari tahap proactive review ke tahap pendalaman apabila ada indikasi terjadinya fraud. Tentunya dengan tambahan fee

D. AUDIT UMUM DAN PEMERIKSAAN FRAUD

Masih banyak orang beranggapan bahwa suatu perusahaan atau instansi pemerintah yang telah diaudit/diperiksa laporan keuangannya maka otomatis akan terbebas dari fraud. Padahal terdapat perbedaan antara audit secara umum dengan pemeriksaan fraud yang tergambar pada tabel berikut ini:

Permasalahan Auditing Fraud Examination

Timing Recurring

(Audit dilakukan secara teratur, berkala dan berulang)

Non-recurring

(Pemeriksaan fraud hanya dilakukan ketika timbul indikasi)

Scope General

(Lingkupnya adalah pemeriksaan umum atas data keuangan)

Spesific

(Pemeriksaan fraud difokuskan pada dugaan, tuduhan dan sangkaan yang spesifik)

Objective Opinion

(Tujuannya memberikan

Affix blame

(10)

opini atas kewajaran laporan keuangan)

apakah fraud benar-benar terjadi dan siapa yang bertanggungjawab) Relationship Non-adversarial

(Sifatnya tidak bermusuhan)

Adversarial

(Karena harus menentukan siapa yang bersalah maka sifatnya bermusuhan)

Methodology Audit techniques

(Dilakukan terutama yang menyangkut masalah data keuangan)

Fraud examination techniques (Dilakukan dengan memeriksan dokumen, telaah data eksternal dan wawancara)

Presumption Professional skepticism (Auditor melaksanakan

tugasnya dengan

berdasarkan skeptis secara profesional)

Proof

(Pemeriksa fraud berupaya mengumpulkan bukti untuk mendukung atau membantah dugaan, tuduhan atau sangkaan)

(11)

E. TANDA-TANDA TERJADINYA FRAUD

Fraud dapat sedini mungkin terdeteksi jika manajemen atau internal auditor jeli melihat tanda-tanda fraud tersebut. Tanda-tanda fraud tersebut beberapa diantaranya yaitu :

1. Terdapat perbedaan angka laporan keuangan yang mencolok dengan tahun tahun sebelumnya.

2. Tidak ada pembagian tugas dan tanggung jawab yang jelas. 3. Seseorang menangani hampir semua transaksi yang penting. 4. Transaksi yang tidak didukung oleh bukti yang memadai. 5. Perkembangan perusahaan yang sulit.

Dari penjelasan di atas, dapat diketahui dengan jelas tanda-tanda fraud dapat dilihat dari perbedaan angka laporan keuangan yang mencolok dari tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena adanya manipulasi laporan keuangan yang dilakukan oleh pelaku untuk menutupi fraud sehingga timbul perbedaan angka-angka. Pembagian tugas dan tanggung jawab yang tidak jelas juga dapat memicu seseorang melakukan fraud karena karyawan dapat bertindak semena-mena.

Sebagian besar bukti-bukti kecurangan merupakan bukti-bukti tidak sifatnya langsung. Petunjuk adanya kecurangan biasanya ditunjukkan oleh munculnya gejala-gejala (symptoms) seperti adanya perubahan gaya hidup atau perilaku seseorang, dokumentasi yang mencurigakan, keluhan dari pelanggan ataupun kecurigaan dari rekan sekerja. Pada awalnya, kecurangan ini akan tercermin melalui timbulnya karakteristik tertentu, baik yang merupakan kondisi / keadaan lingkungan, maupun perilaku seseorang. Karakterikstik yang bersifat kondisi / situasi tertentu, perilaku / kondisi seseorang personal tersebut dinamakan Red flag (Fraud indicators).

Meskipun timbulnya red flag tersebut tidak selalu merupakan indikasi adanya kecurangan, namun red flag ini biasanya selalu muncul di setiap kasus kecurangan yang terjadi.

Pemahaman dan analisis lebih lanjut terhadap Red flag tersebut dapat membantu langkah selanjutnya untuk memperoleh bukti awal atau mendeteksi adanya kecurangan.

F. PELAJARAN DARI REPORT TO THE NATIONS

Pada bab 6 telah disajikan ringkasan dari laporan ACFE yang secara singkat dokenal sebagai Report to the Nation. Laporan ini memberikan banyak petunjuk untuk menegah maupun mendeteksi fraud. Beberapa pelajaran dari laporan tersebut mengenai deteksi fraud adalah:

1. Rata – rata (median) berlangsungnya fraud sebelum dideteksi adalah lebih dari satu tahun, yakni antara 17 sampai 30 bulan

(12)

2. Hampir separuh fraud (46,2% tahun 2008) diketahui karena ada yang membocorkan. 20% di 2008 terungkap secara kebetulan.

3. 51,7% fraud yang dilakukan oleh pemilik, terungkap karena bocoran. 57,7% bocoran datang dari karyawan.

Data diatas adalah untuk Amerika Serikat, untuk Indonesia sendiri belum terdapat penelitian berskala nasional mengenai pengungkapan fraud akan tetapi kalau temuan di Report to the Nation adalah petunjuk maka dapat disimpulkan terdapat kabar baik dan buruk.

Kabar baiknya ialah bahwa dengan desain sistem yang tepat maka sistem whistleblower akan berjalan secara efektif untuk memberitahukan mengenai fraud yang akan, sedang atau telah terjadi.

Berita buruknya adalah dinegara maju seperti Amerika Serikat saja butuh waktu lebih dari satu tahun sampai tiga tahun dalam mendeteksi fraud dan beberapa terdeteksi secara kebetulan.

Mengapa internal auditor atau eksternal auditor tidak merupakan penemu utama dalam mendeteksi fraud? Hallinan mengatakan bahwa “if you don’t find often, you often don’t find it”. Hallinan memberi contoh bahwa kajian mengenai dokter di rumah sakit terkemuka di Amerika Serikat, dokter-dokter memeriksa kembali hasil rontgen para penderita yang menderita kanker paru-paru. Dalam rontgen berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun sebelumnya, dalam 90% kasus, kanker tersebut sudah nyata jelas namun lolos dari hasil pengamatan radiologist.

Contoh lain diberikan oleh Hallinan yaitu mengenai gagalnya para pemeriksa di bandara. Dalam tahun 2002 sebuah tes menunjukkan bahwa mereka tidak menemukan satu diantara empat senjata yang ditaruh didalam koper atau tas. Tes serupa dua tahun kemudian dibandara Newark menunjukkan hasil yang sama dimana 25% senjata tidak terdeteksi. Ditahun 2006, 60% bahan peledak yang disembunyikan oleh agen yang sedang menyamar tidak terdeteksi di bandara O’Hare di Chicago dan di bandara Los Angles mencapai 75% tidak terdeteksi.

G. TEKNIK PEMERIKSAAN FRAUD

Ada bermacam-macam teknik audit investigasi dalam mengungkapkan fraud, teknik tersebut antara lain adalah:

1. Penggunaan teknik-teknik audit yang lebih mendalam dan luas

2. Pemanfaatan teknik audit infestigatif dalam kejahatan terorganisir dan penyelundupan pajak penghasilan

3. Penelusuran jejak-jejak arus uang

4. Penerapan teknik analisis dalam bidang hukum

(13)

6. Penggunaan computer forensic 7. Penggunaan teknik interograsi 8. Penggunaan operasi penyamaran 9. Pemanfaatan Whistleblower

H. MENDETEKSI FRAUD BERDASAR PADA FRAUD TREE

1. Financial Statement Fraud

Kecurangan dalam penyajian laporan keuangan umumnya dapat dideteksi melalui analisis laporan keuangan sebagai berikut:

a. Analisis vertikal, sebuah teknik yang digunakan untuk menganalisis hubungan antara item-item dalam laporan laba rugi, neraca, atau laporan arus kas dengan menggambarkannya dalam persentase.

Sebagai contoh, adanya kenaikan persentase piutang dagang dengan total piutang dari rata-rata 28% menjadi 52% dilain pihak adanya penurunan persentase penjualan kredit dengan total penjualan dari 20% menjadi 17% dapat menjadi indikasi awal adanya fraud.

b. Analisis horizontal, yaitu teknik untuk menganalisis persentase- persentase perubahan item laporan keuangan selama beberapa periode laporan. Sebagai contoh adanya kenaikan penjualan sebesar 80% dibanding tahun sebelumnya sedangkan harga pokok mengalami kenaikan 140%. Dengan asumsi tidak ada perubahan lainnya dalam unsur-unsur penjualan dan pembelian, maka dapat menjadi indikator awal terjadinya fraud.

c. Analisis rasio, yaitu alat untuk mengukur hubungan antara nilai-nilai item dalam

laporan keuangan. Sebagai contoh adalah current ratio, bila nilainya turun tanpa sebab yang diketahui dapat menjadi indikasi awal adanya fraud.

2. Asset Missappropriation

Teknik untuk mendeteksi terjadinya fraud dalam pencurian aset sangatlah banyak tekniknya. Dengan memahami pengendalian internal maka seorang pemeriksa fraud akan lebih mudah menemukan titik-titik lemah yang memungkinkan terjadinya fraud. Beberapa teknik yang dapat digunakan adalah:

a. Analytical review

Suatu review atas berbagai akun yang mungkin menunjukkan ketidak biasaan atau kegiatan-kegiatan yang tidak diharapkan. Sebagai contoh adalah perbandingan antara pembelian barang persediaan dengan penjualan bersihnya yang dapat mengindikasikan adanya pembelian yang terlalu tinggi atau terlalu rendah biala

(14)

dibandingkan dengan tingkat penjualannya. Metode analitis lainnya adalah perbandingan pembelian persediaan bahan baku dengan tahun sekarang yang mungkin mengindikasikan adanya kecurangan overbilling scheme atau kecurangan pembelian ganda.

b. Statistical sampling

Sebagaimana persediaan, dokumen dasar pembelian dapat diuji secara sampling untuk menentukan ketidakbiasaan (irregularities), metode deteksi ini akan efektif jika ada kecurigaan terhadap satu attributnya, misalnya pemasok fiktif. Suatu daftar alamat PO BOX akan mengungkapkan adanya pemasok fiktif

c. Vendor or outsider complaints

Komplain / keluhan dari konsumen, pemasok, atau pihak lain merupakan alat deteksi yang baik yang dapat mengarahkan auditor untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut.

d. Site visit – observation

Observasi ke lokasi biasanya dapat mengungkapkan ada tidaknya pengendalian intern di lokasi-lokasi tersebut. Observasi terhadap bagaimana transaksi akuntansi dilaksanakan kadangkala akan memberi peringatan pada CFE akan adanya daerah-daerah yang mempunyai potensi bermasalah

Dalam banyak kasus kecurangan, khususnya kasus pencurian dan penggelapan aset, biasanya terdapat tiga faktor, yaitu:

a. ada satu tekanan pada seseorang, seperti kebutuhan keuangan.

b. adanya kesempatan untuk melakukan kecurangan dan menyembunyikan kecurangan yang dilakukan.

c. adanya cara pembenaran perilaku tersebut yang sesuai dengan tingkatan integritas pelakunya.

Metode-metode tersebut akan sangat efektif bila digunakan secara kombinasi. Dengan melakukan gabungan teknis, setiap metode deteksi akan menunjukkan anomalies/gejala penyimpangan yang dapat diinvestigasi lebih lanjut untuk menentukan ada tidaknya kecurangan. Selain itu, metode-metode tersebut akan menunjukkan kelemahan-kelemahan dalam pengendalian intern dan mengingatkan/memberi peringatan pada auditor akan adanya potensi terjadinya kecurangan di masa mendatang. 3. Korupsi

Sebagian besar kecurangan ini dapat dideteksi melalui keluhan dari rekan kerja yang jujur, laporan dari rekan, atau pemasok yang tidak puas dan menyampaikan

(15)

komplain ke perusahaan. Atas sangkaan terjadinya kecurangan ini kemudian dilakukan analisis terhadap tersangka atau transaksinya.

Pendeteksian atas kecurangan ini dapat dilihat dari karakteristik (Red flag) si penerima maupun si pemberi. Orang-orang yang menerima dana korupsi ataupun penggelapan dana pada umumnya mempunyai karakteristik (red flag) sebagai berikut:

a. The Big Spender b. The Gift taker c. The Odd couple d. The Rule breaker e. The Complainer f. The Genuine need

Sedangkan orang yang melakukan pembayaran mempunyai karakteristik (red flag) sebagai berikut:

a. The Sleaze factor

b. The too Succesful bidder c. Poor quality, higher prices d. The one-person operation

BAB III

MATERI PEMBELAJARAN II

Pada bagian ini akan membahas secara umum tiga profil, yakni profil pelaku fraud, profil korban fraud, dan profil dari fraud itu sendiri.

A. DEFINISI PROFILING

Dalam upaya menemukan dan memberantas kecurangan, kita perlu mengetahui profil pelaku. Profil berbeda dengan foto yang menggambarkan fisik seseorang. Profil memberi gambaran mengenai berbagai ciri (traits) dari suatu kelompok orang, seperti: rentan umur, jenjang pendidikan, kelompok sosial (kelas atas, menengah, bawah), bahkan kelompok etnis, dan seterusnya.

Menurut Mulyani (1983) profil adalah pandangan sisi, garis besar, atau biografi dari diri seseorang atau kelompok yang memiliki usia yang sama. Sedangkan menurut Alwi (2005) profil adalah pandangan mengenai seseorang.

Upaya untuk mengertahui profil disebut profiling, dimulai dengan mengidentifikasi factor keturunan, segi bentuk fisik tubuh sampai dengan ciri psikologi dan psikiatris.

(16)

Pengertian profiling dalam praktek hukum dikarakteristikkan seberapa jauh tindak kriminal berlangsung sehigga penegak hukum dapat dengan mudah menangkap para pelaku kriminal. Profiling pelaku fraud bertujuan untuk memudahkan penangkapan pelaku.

B. PROFIL PELAKU FRAUD

Profiling adalah upaya untuk mengidentifikasi profil. Profiling dalam memberantas kejahatan bukanlah upaya baru. Menurut FBI yang dimaksud dengan profiling adalah ‘menggambaran seorang tersangka yang dicari berdasarkan jenis – jenis kejahatan yang biasa dilakukan oleh segolongan orang dari kultur atau ras tertentu‘. Misalnya untuk kasus pembunuhan FBI mengidentifikasi pelaku berdasarkan statistik di semua negara bagian bahwa:

a. orang kulit hitam biasanya membunuh orang dengan berkelompok (keroyokan) dibanding orang kulit putih yang perorangan,

b. orang kulit putih lebih banyak membunuh didalam rumah dibanding orang kulit hitam diluar rumah atau orang kulit putih lebih banyak membunuh menggunakan pisau dibanding kulit hitam.

c. Jika digolongkan berdasarkan ras/kultur misalnya orang kulit putih dari ras hispanik, italia, irlandia sedangkan orang kulit hitam dibedakan dengan jamaican, cuban atau native African.

Jika Casere Lambroso,mengamati para penjahat dari faktor keturunan sebagai penentu tingkah laku kriminal, maka ACFE atau Association of Certified Fraud Examiners di Amerika Serikat melakukan profiling penjahat kerah putih di Amerika Serikat sebagi berikut:

Profil Penjahat Kerah Putih di Amerika Serikat

1. Laki-laki, kulit putih, berpendidikan S1 2. Suka mengambil risiko

3. Egois

4. Rasa ingin tau yang tinggi

5. Keinginan untuk melanggar ketentuan dan sedapat mungkin mencari jalan pintas 6. Bekerja sepanjang hari untuk memberika kesan bahwa ia pekerja keras.

7. Di bawah tekanan dan penyendiri, meskipun pada saat yang sama ia mempunyai hubungan kerja yang erat dengan pemasok tertentu.

8. Termotivasi oleh ketamakan dan hadiah-hadiah yang bersifat materi,menghamburkan uang secara teratur.

9. Berada dalam kesulitan keuangan seperti memiliki utang yang banyak

(17)

atasannya korup.

11. Menganggap auditor, inspektur atau atasannya sebagai musuh.

Gambaran diatas dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Dalam profilong tersebut secara spesifik disebutkan bahwa profil pelaku kejahatan kerah putih adalah orang berkulit putih. Untuk dapat melakukan kejahatan kerah putih, seseorang mesti menduduki jabatan “kerah putih”. Dan melalui berbagai program pemerintah disana, kelompok minoritas seperti etnis Afro American dan Latino, mulai memperoleh peluang menduduki jabatan kerah putih. Sebaliknya, profil pelaku kejahatan perampokan, pembunuhan dan kejahatan lain dengan kekerasan menunjuk kepada kelompok etnis minoritas yang tidak berpendidikan dan tidak mempunyai lapangan kerja..

b. Pelaku kejahatan kerah putih di Amerika Serikat berasal dari kelompok berpenghasilan menengah ke atas, mereka sering dihubungkan dengan ketamakan.

c. Sejalan dengan argumen yang menjelaskan profil etnis dan kelompok penghasilan menengah ke atas, kita dapat memaklumi profil pendidikan mereka.

George A. Manning, seorang akuntan forensik dari kantor pajak Amerika Serikat menulis tentang profile dari organisasi yang melakukan kejahatan yang terorganisasi. Dimana pelaku kejahatan ini lazimnya merupakan penyelundup pajak. Dalam masyarakat dengan beraneka ragam etnis seperti di Amerika Serikat, profiling dilakukan dari segi budaya atau kebiasaan etnis yang bersangkutan. Berikut beberapa ciri penjahat dari etnis Asia yang dikemukakan Manning:

a. Para penjahat di Asia menyepelekan dan tidak menganggap penegak hukum sebagai abdi masyarakat. Menurutnya di Asia penegak hukum berfungsi untuk melindungi para penguuasa dan pertai meraka bukan untuk melindungi masayarakat

b. Mereka menciptakan “mata uang bawah tanah” dengan mempertukarkan komoditas. Mata uang bawah tanah ini memungkinkan mereka menghilangkan jejak dokumen dan melakukan penyelundupan pajak. Biasanya mereka menanamkan uang mereka dalam emas, permata, intan dan berlian daripada menggunakan jasa perbankan.

c. Menyelenggarakan “perkumpulan simpan pinjam” yang sangat informal. Terdiri atas 10-20 orang, umumnya wanita. Terjadi tawar menawar untuk penggunaan uang dalam

(18)

periode tertentu, pemenangnya adalah penawar tertinggi. Di Indonesia dikenal dengan sebutan arisan.

d. Kebanyakan orang Asia yakin bahwa setiap pejabat dapat dibeli, tindakan penyuapan sangat biasa di Asia karena mereka menggangapnya sebagai way of life. Suap dimulai dari jumlah yang kecil seperti free lunches dan terus meningkat sampai jumlah yang sangat besar.

Terkait dengan poin terakhir, beberapa kebijakan KPK berkaitan dengan hal tersebut yang wajib diikutu oleh pimpinan KPK :

a. Memberitahukan kepada pimpinan lain mengenai pertemuan dengan pihak lain.

b. Menolak dibayari makan, biaya akomodasi dan bentuk kesenangan lain oleh siapa pun. c. Membatasi pertemuan di ruang publik.

d. Memberitahukan kepada pimpinan lain mengenai keluarga, kawan, dan pihak lain yang secara intensif masih berkomunikasi.

Jika dibandingkan dengan profiling yang dilakukan terhadap profil pelaku korupsi di Indonesia ditemukan bahwa penerima suap (bribe) adalah pejabat, pegawai negeri sipil dan militer, di pemerintah pusat atau daerah sedangkan profil pemberi suap adalah pengusaha. Hal ini dikuatkan dengan hasil riset yang dilakukan oleh Lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW), menyatakan bahwa profil korupsi terbanyak berasal dari kalangan pejabat atau pegawai kementerian dan pemerintah daerah. Pada penelitian yang dilakukan tahun 2015 kurun waktu semester 1, ICW telah mengidentifikasi 10 latar belakang pekerjaan yang paling banyak melakukan tindak pidana korupsi.

a. Urutan teratas sebanyak 212 pelaku berlatar pejabat negara yang paling banyak terjerat korupsi

b. Pada urutan selanjutnya yang paling banyak melakukan korupsi adalah pegawai swasta, mulai dari tingkat direktur, komisaris dan pegawai sebanyak 97 orang.

c. Selanjutnya, latar belakang kepala daerah seperti kepala desa, camat, dan lurah menempati posisi ketiga dengan jumlah pelaku mencapai 28 orang.

d. Sedangkan posisi selanjutnya secara berurutan ialah kepala daerah 27 orang, kepala dinas 26 orang, anggota DPR/DPRD/DPD 24 orang, pejabat atau pegawai lembaga negara lain 12 orang, direktur/pejabat/pegawai BUMN atau BUMD 10 orang.

e. Dua posisi terakhir ialah kelompok masyarakat dengan pelaku sebanyak 10 orang, dan pejabat atau pegawai bank juga 10 orang.

Profiling sangat penting dan bermanfaat, bagi para pemeriksa menjadi sebuah kebutuhan agar mampu mendeteksi secara dini sumber-sumber permasalahan. Bagi para

(19)

pejabat perbendaharaan, sebagai langkah awal mengetahui profil para pelaksana kegiatan yang dapat digunakan sebagai alat control atas kewenangan yang diembannya. hanya kita perlu memahami makna dari profil yang dihasilkan.

Di pasar uang dan pasar modal, profil pelaku fraud sering kali mengagumkan. Kebanyakan dari mereka cerdas, mempunyai track record yang luar biasa, pekerja keras dan cenderung menjadi informal leader dengan kharisma yang melampaui wewenang yang diberikan jabatan, contohnya Nick Lesson dalam kasus Barings Bank merupakan profil pelaku fraud yang bersifat spekulatif di bursa valuta asing.

C. PROFIL KORBAN FRAUD

Profiling umumnya dilakukan terhadap pelaku kejahatan tetapi juga dapat dilakukan untuk korban kejahatan. Berikut berbagai pengertian korban yang dikemukakan oleh para ahli maupun sumber dari konvensi-konvensi adalah sebagai berikut:

1. Arik Gosita

Korban adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan, kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan hak asasi pihak yang dirugikan.

2. Muladi

Korban (Victim) adalah orang-orang yang baik secara individu maupunkolektif telah menderita kerugian termasuk kerugian fisik atau mental, emosional, ekonomi atau gangguan subtansial terhadap hak-haknya yang fundamental, melalui perbuatan atau komisi yang melanggar hukum pidana di masing-masing negara, termasuk penyalahgunaan kekuasaan.

3. Undang-Undang Nomor 27 tahun 2004 tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi. Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang mengalami penderitaan baik fisik, mental, maupun emosional. Kerugian ekonomi atau mengalmi pengabdian, pengurangan atau perampasan hak-hak dasarnya, sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat, termasuk korban adalah ahli warisnya.

4. Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban, yang dimaksud dengan korban adalah “seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”

5. kamus Crime Dictionary yang dikutip seorang ahli (Abdussalam, 2010:5) bahwa Victim adalah “orang yang telah mendapat penderitaan fisik atau penderitaan mental, kerugian harta benda atau mengakibatkan mati atas perbuatan atau usaha pelanggaran ringan

(20)

dilakukan oleh pelaku tindak pidana dan lainnya”. Disini jelas yang dimaksud “orang yang mendapat penderitaan fisik dan seterusnya” itu adalah korban dari pelanggaran atau tindak pidana.

6. Resolosi Majelis Umum PBB No. 40/34 Tahun 1985 adalah orang-orang, baik secara individual maupun kolektif, yang menderita kerugian akibat perbuatan atau tidak berbuat yang menlanggar hukum pidana yang berlaku disuatu negara, termasuk peraturan yang melarang penyalahgunaan kekuasaan.

Pada dasarnya korban tidak hanya orang-perorangan atau kelompok yang secara langsung menderita akibat dari perbuatan-perbuatan yang menimbulkan kerugian/ penderitaan bagi diri/ kelompoknya, bahkan lebih luas lagi termasuk di dalamnya keluarga dekat atau tanggungan langsung dari korban. iranya untuk korban institusi, masyarakat, bangsa, dan Negara dikaitkan maraknya kejahatan baik kualits maupun kuantitas dapat ditambahkan, antara lain sebagai berikut:

1. Dalam perkara korupsi dapat menjadi korban tindak pidana korupsi berupa kerugian keuangan Negara dan perekonomian Negara, kualitas kehidupan, ruaknya insfrasturktur dan sebagainya.

2. Dalam tindak pidana terorisme, dapat mengalami korban jiwa masyarakat, keresahan masyarakat, kerusakan infrastuktur, terusiknya ketenangan, kerugian materiil, dan imateriil lainnya.

3. Dalam tindak pidana narkotika, dapat menjadi korban rusaknya generasi muda, menurunya kualitas hidup masyarakat, dan sebagainya.

4. Dalam tindak pidana perusakan lingkungan hidup, pembabatan hutan dan illegal logging, dapat menyebabkan rusaknya, lingkungan, tanah tandus, banjir bandang, serta merusak infrastuktur dan penderitaan rakyat yang berkepanjangan.

Profiling terhadap pelaku kejahatan dimaksudkan untuk memudahkan menangkap pelaku, maka profiling terhadap korban kejahatan dimaksudkan untuk memudahkan target penyebaran informasi. Ini adalah bagian dari disiplin ilmu yang disebut viktimologi.

Viktimologi adalah ilmu yang mempelajari tentang korban (victim = korban) termasuk hubungan antara korban dan pelaku, serta interaksi antara korban dan sistem peradilan - yaitu, polisi, pengadilan, dan hubungan antara pihak-pihak yang terkait - serta didalamnya juga menyangkut hubungan korban dengan kelompok -kelompok sosial lainnya dan institusi lain seperti media, kalangan bisnis, dan gerakan sosial.

(21)

Viktimologi juga membahas peranan dan kedudukan korban dalam suatu tindakan kejahatan di masyarakat, serta bagaimana reaksi masyarakat terhadap korban kejahatan. Proses dimana seseorang menjadi korban kejahatan disebut dengan "viktimisasi".

Dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, Stephen Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat empat ciri-ciri korban:

1. Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap menjadi korban. Untuk tipe ini, kesalahan ada pada pelaku

2. Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang merangsang orang lain untuk melakukan kejahatan. Untuk tipe ini, korban dinyatakan turut mempunyai andil dalam terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban. 3. Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban. Anak-anak, orang tua,

orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin, golongan minotitas dan sebagainya merupakan orang-orang yang mudah menjadi korban. korban dalam hal ini tidak dapat disalahkan tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab.

4. Korban karena ia sendiri merupakan pelaku. inilah yang dikatakan sebagai kejahatan tanpa korban. Pelacuran, perjudian, zina, merupakan beberapa kejahatan yang tergolong kejahatan tanpa korban. pihak yang bersalah adalah korban karena ia juga sebagai pelaku. Surat kabar sering memberitakan orang yang mudah menjadi korban kejahatan tertentu. Di Indonesia sendiri dalam beberapa waktu sempat ramai dengan berbagai macam aksi penipuan berkedok “hadiah” yang meminta korban membayar sejumlah uang tertentu, dan juga berbagai bentuk yang lain yang umumnya cenderung mirip.

D. PROFILING PERBUATAN FRAUD (KEJAHATAN,FRAUD, DAN LAIN-LAIN)

Profiling dapat dilakukan dalam upaya mengenal perbuatannya atau cara melaksanakan perbuatannya (modus operandi). Modus operandi berasal Dari bahasa Latin kata modus berarti “cara, metode” dan operandi adalah "bekerja". Modus operandi adalah cara operasi orang perorang atau kelompok penjahat dalam menjalankan rencana kejahatannya.

Upaya untuk mengelompokan perbuatan fraud berdasarkan tipe atau jenis disebut profil fraud atau tipologi fraud. Berbagai lembaga besar seperti Bank Indonesia, Dirjen Pajak, PPATK mengumpulkan tipologi fraud yang ada di wilayahnya, untuk mengantisipasi jenis fraud yang muncul dalam wilayah lembaga tersebut. Direktorat Jenderal Pajak mengkompilasi tipologi kejahatan perpajakan. Bank Indonesia melakukan hal yang sama

(22)

untuk kejahatan perbankan. PPATK melakukannya untuk kasus-kasus pencurian uang, dan pakar-pakar hukum pidana mengompilasi kasus-kasus tindak pidana berdasarkan konsep hukum yang ditetapkan agar memudahkan mereka dalam menyiapkan argument untuk kasus serupa.

Jenis tipologi yang akan dibahas pada makalah ini adalah tipologi fraud yang dilakukan oleh PPATK yaitu tipologi pencucian uang. Dikutip dari www.hukumonline.com menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2006 PPATK mengklaim terdapat 430 kasus yang termasuk dalam kategori tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan UU No. 15 Tahun 2002, dengan rincian berikut: No Kasus Jumlah 1 Korupsi 177 2 Penipuan 157 3 Kejahatan Perbankan 27 4 Pemalsuan Dokumen 19 5 Teroris 5 6 Penggelapan Pajak 4 7 Perjudian 3 8 Penyuapan 7 9 Narkotika 3 10 Pornografi anak 1

11 Pemalsuan Uang Rupiah 4

12 Pencurian 1

13 Pembalakan 4

14 Tidak teridentifikasi/dll 18

Total 430

Pencucian uang dapat dilakukan dengan modus operandi yang sangat beragam, mulai dari menyimpan uang di bank hingga membeli rumah mewah atau saham. Namun, pada dasarnya seluruh modus tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis tipologi, yang tidak selalu terjadi secara bertahap, tetapi dapat dilakukan secara bersamaan. Ketiga tahapan tipologi tersebut yaitu: penempatan (placement ), pemisahan/pelapisan (layering), dan penggabungan (integration). Sebagaimana diilunstrasikan pada gambar berikut:

(23)

1. Penempatan (placement ) adalah upaya menempatkan dana yang dihasilkan dari suatu

kegiatan tindak pidana ke dalam sistem keuangan. Penempatan (placement) adalah tahapan pertama dalam pencucian uang, yaitu ketika harta hasil tindak pidana pertama kali masuk ke dalam sistem keuangan atau berubah bentuk. Dengan perkembangan teknologi sistem keuangan, setelah mendapatkan harta hasil tindak pidana, pelaku kejahatan memiliki banyak sekali pilihan untuk melakukan proses penempatan (placement) harta kekayaannya. Beberapa modus penempatan tersebut di antaranya: 1) Menempatkan uang dalam sistem perbankan

2) Menyelundupkan uang atau harta hasil tindak pidana ke negara lain 3) Melakukan konversi harta hasil tindak pidana

4) Melakukan penempatan secara elektronik

5) Memecah-mecah transaksi dalam jumlah yang lebih kecil (structuring) 6) Menggunakan beberapa pihak lain dalam melakukan transaksi (smurfing) Modus-modus diatas dijelaskan sebagai berikut:

1. Penempatan: Menempatkan Uang dalam Sistem Perbankan

Penerima suap misalnya, dapat melakukan penempatan hasil suapnya dengan menyimpannya di bank. Baik menggunakan namanya sendiri atau orang lain.

Tidak jarang pula hal ini kemudian diikuti dengan pengajuan kredit atau pembiayaan. Kemudian menyetorkan uang pada penyedia jasa keuangan sebagai pembayaran kredit untuk mengaburkan audit trail.

(24)

Pelaku kejahatan dapat juga melakukan penempatan dengan melakukan pembawaan tunai melewati negara. Penerima suap tersebut, misalnya bisa membawa harta hasil suapnya ke negara lain, kemudian ditukarkan dengan mata uang yang berbeda. Pembawaan tunai ini dapat dilakukan dengan memperlakukannya sebagai barang-barang ekspedisi atau dengan terlebih dahulu dikonversi ke dalam bentuk barang-barang berharga seperti emas atau perhiasan. Sehingga pembawaan hasil kejahatan ke negara lain tersebut bisa dilakukan banyak cara, baik itu melalui ekspedisi, maupun dibawa secara sendiri dengan kendaraan pribadi.

Karakteristik lainnya adalah dengan membawa harta hasil tindak pidana tersebut ke negara-negara yang tidak memiliki pengaturan mata uang yang ketat.

3. Penempatan: Melakukan Transfer Secara Elektronik

Penempatan juga dilakukan dengan cara melakukan transfer secara elektronik. Dengan dilakukan secara elektronik transfer uang dapat dilakukan hanya dalam hitungan menit ke manapun, termasuk melintasi berbagai negara. Kecepatan proses peralihan harta atau aset dan lintas batas negara dan yurisdiksi membuat proses penelusuran aset menjadi sangat rumit.

Sebagai contoh, pelaku tindak pidana dapat mengirimkan uang melalui jasa pengiriman uang (alternative remittance) yang secara elektronik langsung terkirim ke lembaga pengiriman uang di luar negeri. Rekanan pelaku cukup membawa identitasnya ke lembaga pengiriman uang yang menerima uangnya di luar negeri. Dalam transaksi atau kegiatan transfer tersebut, uang tidak perlu berpindah secara fisik.

4. Penempatan: Melakukan Konversi Harta Hasil Tindak Pidana

Salah satu modus penempatan yang lazim dilakukan adalah dengan melakukan konversi harta hasil tindak pidana. Konversi ini dilakukan umumnya dengan cara merubah bentuk asal harta hasil tindak pidana, misalnya dengan melakukan pembelian atau merubah mata uangnya.

Tahapan ini umumnya juga dilakukan dengan melibatkan orang lain. Misalnya, penerima suap akan menyerahkan uang yang diterimanya kepada orang yang ia percayai. Baik itu rekanan, anak buah, keluarga, atau pihak lain.

Rekan yang menerima uang tunai hasil suap tersebut kemudian melakukan pembelian barang-barang berharga. Baik itu emas, mobil mewah, rumah, atau bahkan barang

(25)

berharga lain seperti lukisan atau barang antik. Penerima suap tadi kemudian menerima uang yang telah berubah menjadi barang tadi seolah-olah sebagai pemberian. Sehingga asal-usul harta kekayaan menjadi lebih samar.

2. Pemisahan atau pelapisan (layering)

Layering adalah tahapan kedua dari perbuatan pencucian uang. Dalam tahapan ini, uang hasil tindak pidana dipindahkan, disebarkan, dan disamarkan untuk menyembunyikan asal usulnya. Dalam kegiatan ini terdapat proses pemindahan dana dari beberapa rekening atau lokasi tertentu sebagai hasil placement ke tempat lain melalui serangkaian transaksi yang kompleks dan didesain untuk menyamarkan dan menghilangkan jejak sumber dana tersebut. Beberapa modus layering tersebut di antaranya:

1) Transfer dana secara elektronik

Setelah ditempatkan dalam sistem perbankan, pelaku tindak pidana dapat mudah melakukan transfer terhadap asetnya tersebut ke mana pun yang ia kehendaki. Apabila transfer tersebut dilakukan secara elektronik, ia dapat memindahkan asetnya dengan segera, lintas batas negara, dan berkali-kali, melewati berbagai rekening yang ia kendalikan, rekanannya, atau bahkan rekening dengan identitas palsu hingga sulit ditelusuri lagi asal usulnya.

2) Transfer melalui kegiatan perbankan lepas pantai (offshore banking)

Offshore banking menyediakan layanan pembukaan rekening koran untuk penduduk luar negeri. Dengan menempatkan dana pada suatu bank, yang selanjutnya ditransfer ke rekening Offshore Banking, pelaku tindak pidana dapat seolah-olah menjauhkan harta hasil tindak pidannya dengan dirinya.

Offshore Banking cenderung memiliki jaringan bank yang luas sehingga memberikan kemudahan bagi pelaku tindak pidana untuk melakukan proses pencucian uang. 3) Transaksi menggunakan perusahaan boneka (shell corporation)

Perusahaan boneka (shell company) adalah perusahaan yang didirikan secara formal berdasarkan aturan hukum yang berlaku, namun tidak digunakan untuk melakukan kegiatan usaha. Perusahaan boneka didirikan hanya untuk melakukan transaksi fiktif atau menyimpan aset pendirinya atau orang lain untuk menyamarkan kepemilikan sebenarnya terhadap aset tersebut.

Modus yang digunakan dengan perusahaan boneka misalnya diawali dengan pendirian perusahaan virtual di luar negeri. Perusahaan virtual ini kemudian membuat rekening koran di beberapa bank. Pelaku tindak pidana dapat meminta beberapa orang rekanannya untuk menjadi smurf untuk mentransfer uang hasil tindak pidana ke

(26)

dalam rekening bank perusahaan virtual, sehingga seolah-olah merupakan transaksi pembelian saham.

3. Penggabungan (Integration)

Integration (penggunaan harta hasil tindak pidana) adalah upaya menggunakan harta kekayaan yang telah tampak sah, baik untuk dinikmati langsung, diinvestasikan ke dalam berbagai bentuk kejayaan material maupun keuangan, dipergunakan untuk membiayai kegiatan bisnis yang sah, ataupun untuk membiayai kembali kegiatan tindak pidana. Modus integration dalam pencucian uang dapat dilakukan dengan beberapa cara, di antaranya:

1) Melakukan investasi pada suatu kegiatan usaha

Investasi pada suatu kegiatan usaha merupakan salah satu proses integrasi yang lazim dilakukan. Melalui investasi tersebut, pelaku tindak pidana menggunakan harta hasil kejahatan yang telah dicuci untuk membiayai suatu kegiatan bisnis. Setelah diinvestasikan, uang yang ia peroleh dari kegiatan usaha tersebut dianggap sebagai pendapatan usahanya

2) Penjualan dan pembelian aset

Dalam melakukan integrasi harta hasil tindak pidana dalam sistem keuangan, pelaku pencucian uang umumnya diawali dengan penempatan yaitu dengan sebelumnya menempatkan harta hasil tindak pidananya dalam perbankan atau sebagai aset perusahaan boneka yang didirikan.

Perusahaan boneka tersebut kemudian dibuat seolah-olah melakukan transaksi pembelian aset properti seperti gedung, dengan harga yang dinaikkan (marked up). Hasil penjualan aset tersebut kemudian dianggap sebagai pendapatan dari transaksi yang sah.

3) Pembiayaan korporasi

Pembiayaan korporasi melibatkan proses pencucian uang yang sangat rumit meliputi proses penempatan dan pemisahan yang juga luar biasa canggih. Misalnya, pelaku tindak pidana mendirikan perusahaan boneka di luar negeri. Pelaku kemudian menyimpan harta hasil tindak pidana di dalam perbankan sebagai harta kekayaan perusahaan boneka. Menggunakan harta tersebut, kemudian perusahaan boneka bertindak sebagai perusahaan pembiayaan menyediakan skema investasi atau pembiayaan kepada perusahaan lain yang memiliki kegiatan usaha yang sah.

(27)

Berikut ini adalah topologi kasus tindak pidana pencucian uang terkait tindak pidana korupsi (penyuapan) dengan terpidana Rudi Rubiandini yang kutip dari laporan hasil riset topologi semester 1 tahun 2015 Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

Terdakwa Rudi Rubiandini (RR) selaku pegawai negeri/penyelenggara negara yaitu Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) pada waktu antara bulan Februari 2013 hingga 13 Agustus 2013 menerima hadiah: 1. melalui Deviardi berupa uang dari Widodo Ratanachaitong (WR) dan PT KOPL

Indonesia yang diserahkan melalui Simon Gunawan Tanjaya (SGT) sejumlah SGD200.000 dan USD900.000 dan uang sejumlah USD522.500 melalui Deviardi dari Artha Meris Simbolon (AMS) selaku Presiden Direktur PT Kaltim Parna Industri (PT KPI) dengan maksud agar melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya terkait pelaksanaan lelang terbatas Minyak Mentah dan Kondensat Bagian Negara di SKK Migas serta memberikan rekomendasi/persetujuan untuk menurunkan Formula Harga Gas kepada Menteri energi dan Sumber Daya Mineral 2. serta menerima uang melalui Deviardi dari Yohanes Widjonarko (YW) sebagai Wakil

Kepala SKK Migas sejumlah SGD600.000 serta menerima uang melalui Deviardi dari Gerhard Rumesser (GR) sebagai Deputi Pengendalian Dukungan Bisnis SKK Migas sejumlah USD200.000

3. serta menerima uang melalui Deviardi dari Iwan Ratman (IR) sebagai Kepala Divisi Penunjang Operasi SKK Migas sejumlah USD50.000 terkait karena jabatan terdakwa selaku Kepala SKK Migas.

Modus operansi terdakwa RR bersama dengan Deviardi secara keseluruhan yaitu menitipkan USD772.500 dan SGD800.000, membelanjakan dan membayarkan sejumlah Rp3,6 miliar, menempatkan uang USD300.000, mengalihkan Rp300 juta, menukarkan mata uang asing Rp2,9 miliar, bertujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan Terdakwa yang diketahui berasal dari tindak pidana korupsi atau patut diduga sebagai hasil dari tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan tugas dan jabatan terdakwa selaku Kepala SKK Migas. Berikut rician modus operandi pencucian uang yang dilakukan RR:

1. RR menempatkan uang dari WR pada Safe Deposit Box (SDB) milik terdakwa sejumlah USD200.000 dan uang sejumlah USD100.000 pada brankas di ruangan kerja milik terdakwa.

(28)

2. RR mengalihkan dengan cara meminta Asep Toni (sopir) menyetorkan uang secara tunai ke rekening atas nama RG (Rp100 juta), ERRS (Rp50 juta), RA (Rp50 juta), RB (Rp50 juta).

3. RR meminta Deviardi (pelatif golf) untuk menyetorkan uang ke RH (Rp100 juta).

4. RR menitipkan uang pada SDB milik Deviardi sejumlah USD522.500 dari AMS, USD50.000 dari IR, USD200.000 dari GR, SGD600.000 dari YW dan uang sejumlah SGD200.000 dari GR dimasukkan ke rekening bank atas nama Deviardi di Singapura. 5. RR meminta Deviardi membelanjakan 1 unit mobil Volvo seharga Rp1,6 Miliar dengan

cara menukarkan USD50,000 di money changer lalu ditransfer ke Bank sebagai pembayaran uang muka dengan kepemilikan atas nama Deviardi.

6. RR meminta Deviardi melakukan pelunasan pembelian 1 unit rumah di Tebet Jakarta Selatan seharga Rp2 Miliar dengan cara menukarkan SGD di money changer lalu disetorkan tunai ke bank.

7. Deviardi atas permintaan RR juga membeli 1 jam tangan Rolex dan 1 jam tangan Citizen ECHO Drive dan 1 unit sedan Camry.

8. RR membayarkan biaya pernikahan anaknya kepada MW Organizer sebesar Rp405 juta dengan cara menukarkan USD di money changer lalu disetorkan tunai ke Bank.

9. RR meminta Deviardi untuk menukarkan SGD lalu mentransfer uang tersebut kepada YRA (Rp700 juta).

10. RR meminta Trikusuma Lydia (pegawai SKK Migas) menukarkan SGD70.000 di money changer lalu ditransfer ke rekening RG sejumlah Rp500 juta dan sisanya Rp47 juta diserahkan kepada

11. RR serta menukarkan SGD20.000 lalu ditransfer ke rekening IA dengan sisa Rp106 juta diserahkan kepada RR.

12. RR meminta Asep Toni menukarkan SGD 9x di money changer setara dengan Rp1,5 miliar dan Rp300 juta hasil dari penukaran tersebut disetorkan ke beberapa bank.

13. Uang yang masih tersisa dalam Safe Deposit Box sejumlah USD60.000 dan SGD252.000 dan pada rekening milik Deviardi sejumlah Rp1 miliar disita oleh KPK.

Atas kasus ini Pengedilan Negeri Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menetapkan Rudi Rubiandini (RR) telah melakukan tindak pidana korupsi dan pencucian uang atau melanggar pasal 12 huruf ajo pasal 11 UU Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah UU nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jo pasal 3 UU RI nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang j.o pasal 55 ayat 1 ke-1 jo pasal 65 ayat 1 KUHP, dihukum dengan penjara 7 tahun dan denda 200.000.000 subsider 3 bulan.

(29)
(30)

BAB IV PENUTUP

Dalam melaksanakan audit masih terdapat kesenjangan antara harapan dan kenyataan dimana masyarakat umum berharap bahwa dengan dilakukan audit untuk laporan keuangan maka semua fraud yang ada dapat dilacak dan ditangani sedangkan pada kenyataanya audit sendiri tidak mengambil tanggungjawab untuk menghulangkan semua fraud.

Dalam mendeteksi fraud, kita dapat berpegangan pada fraud tree yang membagi fraud menjadi tiga jenis yaitu laporan keuangan yang menyesatkan, pencurian aset dan korupsi. Dalam fraud laporan keuangan yang menyesatkan kita dapat menggunakan analisis vertical, horizontal serta rasio. Dalam analisis fraud pencurian aset kita dapat menggunakan teknik Analytical review, Statistical sampling, Vendor or outsider complaints dan Site visit – observation. Dalam fraud berjenis korupsi kita dapat memperhatikan gejala-gejala yang ada (red flags).

(31)

DAFTAR PUSTAKA

Association of Certified Fraud Examiner. (2015). Report to the nation on occupational fraud and abuse. Austin: Association of Certified Fraud Examiner.

Karyono. (2013). Forensic Fraud. Yogyakarta: CV Andi Offset.

Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan. (2008). Fraud Auditing. Bogor: Pelatihan Pengawasan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

Tuanakotta, T. (2010). Akuntansi Forensik & Audit Investigatif. Jakarta: Salemba Empat. Vona, L. W. (2011). The Fraud Audit. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Referensi

Dokumen terkait

Pasal 2 UU TPPU mensyaratkan 25 jenis tindak pidana (predicate crime) yang dikategorikan sebagai tindak pidana utama dalam tindak pidana pencucian uang berupa harta

Upaya untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang ini, dikenal sebagai pencucian uang

Dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal- usul Harta Kekayaan yang diketahuinya, atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana

Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan. Setiap Orang yang

Dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal- usul Harta Kekayaan yang diketahuinya, atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana

(3) Seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana Narkotika dan

Selain hasil dari tindak pidana korupsi, pencucian uang juga termasuk harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana lainnya yang diancam dengan pidana 4

pencucian uang merupakan upaya pelaku kejahatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan hasil tindak pidana kedalam sistem keuangan khususnya dalam