• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepastian Hukum Dalam Eksekusi Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 14 PDT.PLW 2014 PN.STB)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kepastian Hukum Dalam Eksekusi Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika (Studi Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 14 PDT.PLW 2014 PN.STB)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konsep kepastian hukum mencakup sejumlah aspek yang saling mengkait. Salah

satu aspek dari kepastian hukum ialah perlindungan yang diberikan pada individu

terhadap kesewenang-wenangan individu lainnya, hakim, dan administrasi (pemerintah).

Adalah kepercayaan akan kepastian hukum yang seharusnya dapat dikaitkan individu

berkenaan dengan apa yang dapat diharapkan individu akan dilakukan penguasa,

termasuk juga kepercayaan akan konsistensi putusan-putusan hakim atau administrasi

(pemerintah).1

Herlien Budiono mengatakan bahwa kepastian hukum merupakan ciri yang tidak

dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai

kepastian akan kehilangan makna karena tidak dapat dijadikan sebagai pedoman perilaku

bagi semua orang. Apeldoorn mengatakan bahwa kepastian hukum memiliki dua segi

yaitu dapat ditentukannya hukum dalam hal yang konkret dan keamanan hukum. Hal ini

berarti pihak yang mencari keadilan ingin mengetahui apa yang menjadi hukum dalam

suatu hal tertentu sebelum ia memulai perkara dan perlindungan bagi para pihak dalam

kesewenangan hakim.2

Dalam penegakan hukum pidana, baik materiil maupun formil, para pihak yang

terkait perlu untuk memperhatikan kepastian hukum (rechtssicherheit), kemanfaatan

1

I.H. Hijmans, dalam Het recht der werkelijkheid, dalam Herlien Budiono, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia-Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-Asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung 2006, hal 208.

2

(2)

(zweckmassigkeit), dan keadilan (gerechtigkeit). Pengaturan yang terdapat di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana merupakan kaedah-kaedah umum karena diatur di dalam

suatu undang-undang. Sebagai kaedah umum, hal-hal yang diatur di dalam Kitab

Undang-Undang Hukum Pidana tidak diajukan kepada orang-orang atau pihak-pihak

tertentu, akan tetapi kepada siapa saja yang dikenai perumusan kaedah-kaedah umum.3

Mengenai kepastian hukum, siapapun akan setuju bahwa yang bersalah harus

dihukum. Seperti yang diatur dalam Pasal 193 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana, pengadilan menjatuhkan pidana kepada seorang terdakwa apabila

pengadilan berpendapat bahwa terdakwa telah bersalah yaitu melakukan tindak pidana

yang didakwakan kepadanya. Sesuai dengan tujuan dari Hukum Acara Pidana, untuk

menghukum seseorang yang bersalah, perlu dilakukan pembuktian untuk mendapatkan

kebenaran materiil mengenai perbuatan yang telah dilakukan oleh terdakwa.

Untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan kepada seorang terdakwa dan

untuk mendapatkan kebenaran materiil yang akan membawa hakim pada suatu keyakinan

bahwa terdakwa benar-benar bersalah, pengadilan mengadakan proses pemeriksaan yang

dikenal dengan nama pembuktian. Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana telah mengatur mengenai alat-alat bukti yang diakui sah di dalam

persidangan, yaitu berupa keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan

keterangan terdakwa.

Selain itu, untuk kepentingan pembuktian, kehadiran benda-benda yang

tersangkut dalam suatu tindak pidana juga sangat diperlukan. Benda-benda dimaksud

3

(3)

lazim dikenal dengan istilah “barang bukti”.4

Segala barang bukti diperlihatkan oleh

hakim ketua sidang kepada terdakwa dengan menanyakan apakah terdakwa mengenali

barang bukti tersebut dan apabila diperlukan juga diperlihatkan kepada saksi, sesuai

dengan yang diatur dalam Pasal 181 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana. Diperlihatkannya barang bukti tersebut untuk menjaga jangan sampai

barang bukti yang tidak ada sangkut pautnya dengan perkara terdakwa dijadikan barang

bukti, di samping kemungkinan tertukarnya barang bukti tersebut, sehingga jangan

sampai barang yang dijadikan barang bukti tidak dikenal oleh terdakwa/saksi.5

Sungguh disayangkan, meskipun kedudukan barang bukti sangat penting dalam

suatu proses pembuktian pada sistem peradilan pidana Indonesia, yaitu untuk mendukung

dan menguatkan alat bukti yang sah serta untuk memperoleh keyakinan hakim atas

kesalahan yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum kepada terdakwa,6 tidak ada satu pun

pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berlaku di Indonesia saat ini

yang memberikan defenisi apa sebenarnya yang dimaksud dengan barang bukti tersebut.

Menurut Andi Hamzah, barang bukti dalam perkara pidana yaitu barang mengenai mana

delik dilakukan (obyek delik) dan barang dengan mana delik dilakukan yaitu alat yang

dipakai untuk melakukan delik misalnya pisau yang dipakai menikam orang. Termasuk

juga barang bukti ialah hasil dari delik, misalnya uang negara yang dipakai (korupsi)

untuk membeli rumah pribadi, maka rumah pribadi itu merupakan barang bukti, atau

hasil delik.7

4

Ratna Nurul Afiah, Barang Bukti dalam Proses Pidana, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, 1989, hal 14.

5

(4)

Terkait uraian diatas, dalam proses persidangan majelis hakim juga sering

memutuskan barang bukti untuk dirampas, sehingga tentunya barang bukti tersebut

haruslah di eksekusi setelah perkara yang disidangkan telah selesai dan berkekuatan

hukum tetap dan dalam hal ini Kejaksaan berperan sebagai eksekutor. Kejaksaan adalah

salah satu institusi yang dimiliki oleh pemerintah yang fungsinya berkaitan dengan

kehakiman, dimana peranan kejaksaan sendiri adalah sebagai lembaga hukum yang

bertindak sebagai lembaga yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, dalam hal ini

melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan dan harus bebas dari pengaruh

kekuasaan lain. Adapun pengertian Hal tersebut sesuai dengan pengertian kejaksaan

berdasarkan ketentuan umum Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia.8

Untuk kewenangan kejaksaan di bidang pidana yang menyangkut tentang

eksekutor adalah merupakan tindakan dari pihak kejaksaan sebagai eksekutor (pelaksana)

yaitu melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap.

Barang bukti dalam tindak pidana sering diputuskan di pengadilan untuk

dirampas, tetapi ada hal yang berbeda di dalam tindak pidana narkotika. Dalam

Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika pada Pasal 101 dinyatakan sebagai

berikut:

(1) Narkotika, Prekursor Narkotika, dan alat atau barang yang digunakan di dalam tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika atau yang menyangkut Narkotika dan Prekursor Narkotika serta hasilnya dinyatakan dirampas untuk negara.

(2) Dalam hal alat atau barang yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah milik pihak ketiga yang beritikad baik, pemilik dapat mengajukan keberatan terhadap

8

(5)

perampasan tersebut kepada pengadilan yang bersangkutan dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah pengumuman putusan pengadilan tingkat pertama.

(3) Seluruh harta kekayaan atau harta benda yang merupakan hasil tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika dan tindak pidana pencucian uang dari tindak pidana Narkotika dan Prekursor Narkotika berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dirampas untuk negara dan digunakan untuk kepentingan:

a. pelaksanaan pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan peredaran gelap Narkotika dan Prekursor Narkotika; dan

b. upaya rehabilitasi medis dan sosial.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penggunaan harta kekayaan atau aset yang diperoleh dari hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bila merujuk pada Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Uraian dari ayat (2) pada Pasal diatas menunjukkan bahwa bila ada itikad baik dari pihak

ketiga yang memiliki alat atau barang yang dirampas, maka dapat mengajukan keberatan

terhadap perampasan ke pengadilan. Undang-undang ini mengakomodir kerugian pihak

ketiga yang memiliki alat atau barang tersebut, misalnya pelaku tindak pidana narkotika

meminjam mobil orang lain dan pelaku tersebut membawa narkotika dengan

menggunakan mobil pinjaman tersebut.

Melihat uraian tersebut, di wilayah hukum Pengadilan Negeri Stabat ada kasus

yang terkait dengan Pasal 101 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika.

Adapun putusan tersebut adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 1258

K/PID.SUS/2014, menolak kasasi dari pemohon kasasi/terdakwa yang bernama Kosim

Nasution. Bila merujuk putusan awalnya pada Putusan Pengadilan Negeri Stabat pada

Putusan Nomor 21/Pid.B/2014/PN-Sbt diputuskan bahwa 1 (satu) unit mobil Toyota

Avanza BK 1054 ZW dirampas untuk negara. Padahal Jaksa Penuntut Umum dalam

tuntutannya menyatakan barang bukti berupa 1 (satu) unit mobil Toyota Avanza BK 1054

(6)

Terkait putusan Mahkamah Agung tersebut, akhirnya Hidayati Zahra Bahri

pemilik sah mobil avanza yang dirampas dalam putusan Mahkamah Agung tersebut

melakukan perlawanan dengan mengajuikan gugatan secara perdata ke Pengadilan

Negeri Stabat. Hasil dari gugatan tersebut memenangkan Hidayati Zahra Bahri dan mobil

avanza miliknya dikembalikan sesuai dengan amar Putusan Nomor

14/PDT.PLW/2014/PN.STB.

Berangkat dari uraian tersebut, maka perlu dikaji dan dianalisis bagaimana

kepastian hukum dalam eksekusi barang bukti tindak pidana narkotika (Studi Terhadap

Putusan Mahkamah Agung No. 1258.K/PID.SUS/2014 dan Putusan No.

14/PDT.PLW/2014/PN.STB)

B. Perumusan Masalah

1. Bagaimana peran Jaksa dalam eksekusi putusan pidana?

2. Bagaimana pelaksanaan eksekusi barang bukti yang berkaitan dengan pihak ketiga dalam

tindak pidana narkotika di Pengadilan Negeri Stabat dan apa hambatan yang dihadapi dalam

pelaksanaan eksekusi tersebut?

3. Bagaimana pertimbangan hakim terhadap Putusan Mahkamah Agung No.

1258.K/Pid.Sus/2014 dan Putusan Perdata Pengadilan Negeri Stabat No.

14/Pdt.Plw/2014/PN.STB?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui dan menganalisis peran Jaksa dalam eksekusi putusan pidana?

2. Untuk mengetahui dan menganalisis pelaksanaan eksekusi barang bukti yang berkaitan

(7)

hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan eksekusi tersebutpengaturan hukum terkait

barang bukti tindak pidana dalam hukum positif Indonesia.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis pertimbangan hakim terhadap Putusan Mahkamah

Agung No. 1258.K/Pid.Sus/2014 dan Putusan Perdata Pengadilan Negeri Stabat No.

14/Pdt.Plw/2014/PN.STB.

D. Manfaat Penelitian

Adapun hasil penelitian ini di harapkan dapat berguna baik secara teoritis maupun secara

praktis.

1. Secara teoritis, diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan ilmu hukum pidana

terutama dibidang eksekusi barang bukti dalam tindak pidana narkotika dan mengkaji

kepastian hukum dalam eksekusi barang bukti tindak pidana narkotika.

2. Secara praktis, manfaat penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumbangan yang baik

terhadap penegak hukum dan masyarakat secara luas mengenai kepastian hukum dalam

eksekusi barang bukti tindak pidana narkotika.

E. Keaslian Penelitian

Bardasarkan penelitian dan penelusuran yang dilakukan, sudah ada penelitian

tentang narkotika. Tetapi dalam penelitian ini kasusnya tidak sama dan mempunyai

rumusan permasalahan yang berbeda karena penelitian ini mengkaji dan menganalisis

tentang Kepastian Hukum dalam Eksekusi Barang Bukti Tindak Pidana Narkotika (Studi

Terhadap Putusan Mahkamah Agung No. 1258.K/PID.SUS/2014 dan Putusan No.

14/PDT.PLW/2014/PN.STB).

(8)

Kerangka teori dalam penelitian hukum sangat diperlukan untuk membuat jelas

nilai-nilai oleh postulat-postulat hukum sampai kepada landasan filosofisnya yang

tertinggi.9 Kerangka teori dapat diartikan sebagai kerangka pemikiran atau butir-butir

pendapat, teori tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan yang menjadi bahan

perbandingan, pegangan yang mungkin disetujui atau tidak disetujui yang merupakan

masukan bersifat eksternal dalam penelitian ini.10

Teori yang menjadi grand theory dalam penelitan ini adalah teori kepastian

hukum. Gustav Radbruch terdapat dua macam pengertian kepastian yaitu, kepastian

hukum oleh karena hukum dan kepastian hukum dalam atau dari hukum. Hukum yang

berhasil menjamin banyak kepastian hukum dalam masyarakat adalah hukum yang

berguna.

Kepastian hukum oleh karena hukum, memberi dua tugas hukum yang lain, yaitu

menjamin keadilan hukum serta hukum harus tetap berguna. Sedangkan kepastian hukum

dalam hukum, tercapai apabila hukum tersebut sebanyak-banyaknya undang-undang.11

Adapun teori pendukung dalam penelitian ini adalah teori sistem hukum (legal system)

sebagai pisau analisis sebagai grand teori dalam penelitian ini, sebagaimana dijelaskan dibawah

ini.

Lawrence M. Friedman, dalam bukunya yang berjudul “ The Legal System A Social

Sciense Perspective”, menyebutkan bahwa sistem hukum terdiri atas perangkat struktur

hukum, substansi hukum (perundang-undangan) dan kultur hukum atau budaya hukum.

Sistem hukum harus memuat Substantive Law, Legal Structure, dan Legal Culture.

Tegaknya hukum tergantung kepada budaya hukum di masyarakat, sementara itu budaya

9

Satjipto Rahardjo,Ilmu Hukum, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991, hal 254.

10

M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV.Mandar Maju,Bandung, 1994, hal 80.

11

(9)

hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang

dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, posisi atau kedudukan

dan kepentingan-kepentingan.12

Struktur hukum (legal struktur) merupakan kerangka berfikir yang memberikan

defenisi dan bentuk bagi bekerjanya sistem yang ada dengan batasan yang telah

ditentukan, jadi struktur hukum dapat dikatakan sebagai institusi yang menjalankan

penegakan hukum dengan segala proses yang ada didalamnya.13

Substansi hukum (legal substance) merupakan aturan, norma dan pola perilaku

manusia yang berada di dalam sistem hukum. Substansi hukum (legal Substance) berarti

produk yang dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, baik berupa

keputusan yang telah dikeluarkan maupun aturan-aturan baru mau disusun. Substansi

hukum (legal substance) tidak hanya pada hukum yang tertulis (law in the book), tetapi

juga mencakup hukum yang hidup di masyarakat (the living law).14

Budaya hukum ( legal culture) merupakan sikap manusia terhadap hukum dan

sistem hukum. Sikap masyarakat ini meliputi kepercayaan, nilai-nilai, ide-ide serta

harapan masyarakat terhadap hukum dan sistem hukum.15 Budaya hukum juga

merupakan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum dilaksanakan, dihindari

atau bahkan bagaimana hukum disalahgunakan. Budaya hukum ( legal culture)

mempunyai peranan yang besar dalam sistem hukum. Tanpa budaya hukum (legal

12

Bismar Nasution, Ekonomi Mengkaji Ulang Hukum sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi, Disampaikan pada” Pidato Pengukuhan Guru Besar dalam Ilmu Hukum Ekonomi Universitas Sumatera Utara”,

Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Ekonomi USU, Medan 17 April 2004, hal 21.

13

(10)

culture) maka sistem hukum (legal system) akan kehilangan kekuatannya, seperti ikan

mati yang terdampar di keranjangnya, bukan ikan hidup yang berenang di lautan.16

Ketiga unsur sistem hukum tersebut berhubungan satu sama lain, dan mempunyai

peranan yang tidak dapat dipisahkan satu persatu. Ketiga unsur ini merupakan satu

kesatuan yang menggerakkan sistem hukum yang ada agar berjalan dengan lancar.

Sebagai perumpamaan, struktur hukum ( Legal struktur) merupakan mesin yang

menghasilkan sesuatu, substansi hukum ( legal substance) merupakan orang yang

memutuskan untuk menjalankam mesin serta membatasi penggunaan mesin. Apabila

satu dari ke tiga unsur sistem hukum ini tidak berfungsi, menyebabkan sub sistem lainnya

terganggu.17

Teori berikutnya yang menjadi Middle Theory dalam penelitian ini adalah teori

keadilan. Keadilan adalah pemenuhan keinginan individu dalam suatu tingkat

tertentu.Keadilan yang paling besar adalah pemenuhan keinginan sebanyak-banyaknya

orang.18 John Rawls mengemukakan bahwa pada awalnya terdapat 2 (dua) prinsip

keadilan sebagai berikut :

(i) pertama: prinsip yang mensyaratkan adanya kesamaan dalam hak-hak dan

kewajiban-kewajiban dasar/asasi; dan

(ii)kedua: prinsip yang mengakui bahwa perbedaan sosial dan ekonomi masih

merupakan sesuatu yang adil sepanjang perbedaan tersebut memberikan

keuntungan bagi setiap orang.19

16

Ibid, hal 7.

17

Ibid. 18

Jimly Asshiddiqie, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, Konstutusi Press (konpres), Jakarta, 2012, hal. 17.

19John Rawls, “A Theory of Justice(1972)” dalam Materi Kuliah Program Sarjana Hukum Filsafat Hukum

(11)

Dalam memilih prinsip keadilan yang digunakan, Rawls mengemukakan teori “posisi

asli” (original position), yang mana “posisi asli” merupakan suatu situasi awal yang wajar

dimana dapat dipastikan bahwa segala kesepakatan-kesepakatan mendasar yang dicapai

dalam komunitas tersebut adalah adil.20 Penulis dalam hal ini mengartikan bahwa

kesepakatan-kesepakatan mendasar yang dimaksud di atas adalah persetujuan-persetujuan

awal mengenai prinsip-prinsip keadilan yang diberlakukan dalam komunitas yang

bersangkutan. Sehingga dengan memperhatikan pengertian dari “posisi asli” tersebut, maka

dapat diduga bahwa pihak-pihak dalam “posisi asli” adalah sama, yaitu setiap pihak

mempunyai hak yang sama dalam memilih prinsip-prinsip keadilan, memberikan

usulan-usulan mengenai prinsip-prinsip keadilan, mengajukan alasan-alasan mengenai kesepakatan

mereka atas prinsip-prinsip keadilan dan lain-lainnya.21

Sebagaimana telah diungkapkan di atas, Rawls menyakini adanya2 (dua) prinsip

keadilan dalam ”posisi asli”, namun lebih lanjut dikembangkan menjadi sebagai berikut :

1. prinsip pertama: setiap orang mempunyai hak yang sama atas kebebasan mendasar yang

harmonis dengan kebebasan yang sama yang dimiliki oleh orang lain.

2. prinsip kedua: perbedaan-perbedaan sosial dan ekonomi akan dikelola sedemikian rupa

sehingga (i) perbedaan-perbedaan tersebut diharapkan dengan alasan yang wajar dapat

memberikan keuntungan bagi setiap orang dan (ii) perbedaan-perbedaan tersebut dapat

dipantau dari posisi-posisi dan jabatan-jabatan yang terbuka untuk umum.22

Prinsip keadilan yang pertama di atas mensyaratkan kebebasan yang sama pada setiap

warga negaranya, seperti: kebebasan politik (hak memberikan suara dan hak atas jabatan

20

Ibid., hal. 467.

21

Ibid., hal. 468.

22

(12)

publik), kebebasan berpendapat, kebebasan berpikir, kebebasan atas hak kepemilikan, dan

kebebasan atas penyitaan. Setiap warna negara dalam suatu komunitas yang adil mempunyai

hak-hak asasi yang sama.23 Namun penulis melihat bahwa meskipun dalam prinsip keadilan

yang pertama ini setiap warga negara mempunyai kebebasan dan hak-hak asasi yang sama,

pelaksanaan/perwujudan dari kebebasan dan hak-hak asasi setiap orang tersebut

mensyaratkan harmonisasi dengan pelaksanaan/perwujudan dari kebebasan dan hak-hak asasi

orang lainnya. Bila harmonisasi tersebut tercapai, maka di saat itulah dapat dikatakan

keadilan terwujud.

Sedangkan prinsip keadilan yang kedua di atas berlaku (i) terhadap pendistribusian

pendapatan dan kekayaan serta (ii) terhadap bentuk-bentuk organisasi yang membuat

perbedaan-perbedaan dalam kewenangan dan tanggung jawab atau rangkaian perintah.

Ketika distribusi kekayaan dan pendapatan tidak sama, maka hal ini harus diperuntukkan

demi keuntungan setiap orang dan, pada saat yang bersamaan, segala posisi yang mempunyai

kewenangan dan jabatan-jabatan yang dapat memberikan perintah, harus terbuka untuk

umum.24 Dalam hal ini penulis mencoba mengartikan bahwa setiap orang di dalam

komunitas yang memberlakukan prinsip keadilan yang kedua ini dapat mempunyai akses

langsung kepada posisi-posisi dan jabatan-jabatan yang mempunyai kewenangan atau dapat

memberikan perintah agar distribusi kekayaan dan pendapatan berbeda satu dengan lainnya,

sehingga dengan akses tersebut setiap orang dapat memastikan apakah perbedaan tersebut

diperuntukan bagi keuntungan setiap orang atau tidak.

23

Ibid., hal. 469.

24

(13)

John Rawls mengemukakan bahwa oleh karena tidak adanya ajaran/doktrin mengenai

religius, filosofis atau moral yang diakui oleh seluruh warga negara, maka konsep/dasar

mengenai keadilan yang diakui dalam suatu komunitas masyarakat yang demokrasi haruslah

merupakan suatu konsep yang disebut “konsep keadilan secara politis”.25

Rawls

mengasumsikan bahwa pandangan warga negara mengenai konsep keadilan dalam suatu

komunitas terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu:

(a) satu bagian dapat dilihat sebagai konsep/dasar mengenai keadilan secara politis

yang dikenal secara umum; dan

(b) bagian lain yang merupakan ajaran/doktrin lengkap mengenai keadilan.26

Sehubungan dengan asumsi di atas, Rawls menegaskan bahwa masing-masing warga

negara akan menentukan sendiri bagaimana cara mengkaitkan antara konsep/dasar mengenai

keadilan secara politis yang dikenal secara umum dengan cara pandang mereka

masing-masing atas ajaran/doktrin lengkap mengenai keadilan.27 Namun penulis memahami bahwa

di sisi lain Rawls juga menegaskan bahwa suatu komunitas dapat saja teratur secara baik

hanya dengan konsep/dasar mengenai keadilan secara politis (tanpa terikat pada

ajaran/doktrin lengkap mengenai keadilan), dengan syarat :

(i) pertama, warga negara-warga negara yang mengakui adanya ajaran/doktrin

lengkap tersebut, mempunyai kesepakatan (overlapping consensus) untuk tetap

mendukung adanya konsep/dasar mengenai keadilan yang mempengaruhi

keputusan politik mereka yang mendasar dalam komunitas tersebut; dan

25 John Rawls, “Political Liberalism (1993)” dalam

Materi Kuliah Program Sarjana Hukum Filsafat Hukum Jilid 1, Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008, hal. 477.

26

Ibid. hal.477

27

(14)

(ii)kedua, ajaran/doktrin lengkap tersebut tidak dapat menggali asas-asas keadilan

dalam komunitas tersebut.28

Teori Pembuktian, ada 4 yaitu :29

1. Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim belaka (conviction intime)

Hakim hanya cukup mendasarkan terbuktinya suatu keadaan berdasarkan atas

keyakinannya semata dengan tanpa terikat pada suatu peraturan hukum.

2. Pembuktian Menurut Undang-Undang yang Positif (Positief wettelijk bewijs theorie / formele

bewijstheorie)

Hakim terikat oleh alat bukti yang telah ditentukan dalam Undang-Undang, hakim

tidak dapat mengikuti keyakinannya. Meskipun hakim belum yakin tetapi seseorang telah

terbukti sesuai yang tertera dalam Undang-Undang, maka ia wajib menjatuhkan pidana.

Begitu sebaliknya.

3. Pembuktian Menurut Undang-Undang yang Negatif (Negatief Wettelijk bewijs theorie)

Hakim hanya boleh menjatuhkan pidana bila sedikitnya telah terdapat alat bukti

yang telah ditentukan Undang-Undang dan ditambah keyakinan hakim yang diperoleh

dari adanya alat-alat bukti tersebut. Wettelijk berarti : sistem ini berdasarkan

Undang-Undang. Negatief berarti : meskipun dalam suatu perkara telah terdapat cukup bukti

sesuai Undang-Undang, hakim belum boleh menjatuhkan pidana sebelum ia memperoleh

keyakinan tentang kesalahan terdakwa. KUHAP menganut sistem ini.

28

Ibid., hal. 477 dan 478.

29

(15)

4. Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim atas Alasan Logis (conviction raisonne/ Vrije

bewijstheorie)

Hakim tidak terikat pada alat bukti sebagaimana yang termaktub dalam

Undang-Undang, melainkan hakim secara bebas memakai alat bukti lain asalkan semua

berdasarkan alasan-alasan logis.

2. Konsepsi

Sebelum membahas mengenai penelitian ini, maka harus dahulu memahami

istilah-istilah yang muncul dalam penelitian ini. Perlu dibuat defenisi konsep tersebut

agar makna variabel yang diterapkan dalam topik ini tidak menimbulkan perbedaan

penafsiran.

Pada dasarnya prinsip kepastian hukum menekankan pada penegakan hukum

yang berdasarkan pembuktian secara formil, artinya suatu perbuatan baru dapat

dikategorikan sebagai pelanggaran hanya jika melanggar aturan tertulis tertentu.

Sebaliknya menurut prinsip keadilan, perbuatan yang tidak wajar, tercela, melanggar

kepatutan dan sebagainya dapat dianggap sebagai pelanggaran demi tegaknya keadilan

meskipun secara formal tidak ada undang-undang yang melarangnya.30

Dilema antara penegakan hukum yang mengedepankan pada prinsip kepastian

hukum ataukah rasa keadilan merupakan persoalan yang sudah ada sejak lama. Keduanya

sama-sama ada di dalam konsepsi Negara hukum. Prinsip kepastian hukum lebih

menonjol di dalam tradisi kawasan Eropa Kontinental dengan konsep Negara hukum

30 Mahfud M.D., “Kepastian Hukum Tabrak Keadilan,” dalam Fajar Laksono, Ed., Hukum Tak

(16)

rechstaat, sedangkan rasa keadilan lebih menonjol di dalam tradisi hukum kawasan

Anglo Saxon dengan konsep Negara hukum the rule of law.

Barang bukti adalah barang yang dipergunakan oleh terdakwa untuk melakukan

suatu tindakan atau barang sebagai hasil dari suatu tindak pidana. Kemudian barang ini

disita oleh penyidik untuk dijadikan sebagai bukti dalam persidangan.31

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana

Belanda yaitu strafbaar feit. Beberapa definisi strafbaarfeit menurut ahli-ahli hukum di

Indonesia, yaitu :

a. Wiryono Prodjodikoro mendefinisikan tindak pidana sebagai suatu perbuatan yang

pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana dan pelaku itu dapat dikatakan

merupakan “subjek” tindak pidana.32

b. E. Utrecht menerjemahkan strafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana yang sering

juga ia sebut dengan delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen, atau doen

-positif atau suatu melalaikan nalaten-negatif, maupun akibatnya (keadaan yang

ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu). Peristiwa pidana merupakan suatu

peristiwa hukum (rechtsfeit), yaitu peristiwa kemasyarakatan yang membawa akibat

yang diatur oleh hukum.33

Jadi suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi

unsur-unsur sebagai berikut:34

1. Harus merupakan suatu perbuatan manusia;

31

Yesmil Anwar & Adang, Sistem Peradilan Pidana, Widya Padjadjaran, Bandung, 2009, hal 316.

32

Wiryono Prodjodikoro, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Cetakan Ke-III, PT Eresco, Bandung, 1980, hal 1.

33

Utrecht, Rangkaian Kuliah Hukum Pidana I, Pustaka Mas, Surabaya, 2000, hal 251.

34

(17)

2. Perbuatan tersebut dilarang dan diberi ancaman hukuman baik oleh

undang-undang maupun peraturan perundang-undang-undang-undangan lainnya;

3. Perbuatan tersebut dilakukan oleh orang yang dapat bertanggung jawab artinya

dapat dipersalahkan karena melakukan perbuatan tersebut.

Peran Jaksa berdasarkan fungsi dan wewenang menurut Undang-Undang Kejaksaan No.

16 Tahun 2004, dalam Pasal 30 ayat (1) dikatakaa bahwa a. Melakukan penuntutuan; b.

Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang tidak memperoleh kekuatan

hukum tetap; c. Melakukan pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat; d. Melakuklan

penyelidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang; e. Melengkapi berkas

perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke

pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikordinasikan dengan penyidik.

Eksekusi adalah merupakan pelaksanaan Putusan Pengadilan yang telah mempunyai

kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) yang dijalankan secara paksa oleh karena pihak

yang kalah dalam perkara tidak mau mematuhi pelaksanaan acara Putusan Pengadilan. Dalam

Pasal 195 HIR/Pasal 207 RBG dikatakan : “Hal menjalankan Putusan Pnegadilan Negeri dalam

perkara yang pada tingkat pertama diperiksa oleh Pengadilan Negeri atas perintah dan tugas

Pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang pada tingkat pertama memeriksa perkara itu menurut

cara yanng diatur dalam pasal-pasal HIR”. Dengan demikian, pengertian eksekusi adalah

tindakan paksa yang dilakukan Pengadilan Negeri terhadap pihak yang kalah dalam perkara

supaya pihak yang kalah dalam perkara menjalankan Amar Putusan Pengadilan sebagaimana

mestinya.35

Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam menentukan

terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan

35

(18)

mengandung kepastian hukum, disamping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang

bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan

hakim yang berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pnegadilan

Tinggi/Mahkamah Agung.36

G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum

normatif. Penelitian hukum normatif ditujukan pada peraturan-peraturan tertulis atau

bahan-bahan hukum yang lain. Penelitian normatif juga disebut sebagai penelitian

hukum kepustakaan atau studi dokumen karena didasarkan pada data sekunder. Pada

penelitian ini penelitian mengacu pada data sekunder yang berkaitan dengan eksekusi

barang bukti tindak pidana narkotika.

2. Sumber Data Penelitian

Sumber data ada 2 yakni data sekunder dan primer, adapun data dalam penelitian

ini adalah data sekunder yang terdiri dari :

1. Bahan hukum primer, yang terdiri dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

ketentuan hukum tindak pidana narkotika.

2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan hukum primer,

misalnya, buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan, tulisan para ahli, makalah,

hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini;

36

(19)

3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang bersifat menunjang bahan hukum primer dan

sekunder untuk memberikan informasi tentang bahan-bahan sekunder, misalnya majalah,

surat kabar, kamus hukum, kamus Bahasa Indonesia dan website.

Selain itu, juga dilakukan penelitian lapangtan (field research) dimaksudkan untuk

memperoleh data primer yang tidak diperoleh dalam penelitian kepustakaan untuk mendukung

analisis permasalahan yang telah dirumuskan.

3. Pengumpulan Data

Langkah-langkah yang ditempuh dalam pengumpulan data ini terdiri dari 3 (tiga)

tahapan, meliputi :

(1) Studi kepustakaan, pengumpulan data ini dilakukan untuk memperoleh data sekunder yang

meliputi bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. Data yang

diperoleh digunakan sebagai dasar teori untuk menganalisis data primer yang diperoleh dari

penelitian lapangan.

(2) Wawancara, sebagai langkah awal dilakukan dengan penentuan responden dan

pengumpulan data primer. Pengumpulan data primer dengan cara wawancara berdasarkan

pedoman wawancara yang telah disusun dan disiapkan sebelumnya. Kemudian dilakukan

juga pengumpulan data sekunder yang ada pada lembaga hukum yang berkaitan dengan

penelitian ini. Adapun wawancara akan dilakukan kepada Hakim Pengadilan Negeri Stabat

dan Jaksa.

(3) Daftar Pertanyaan, dipergunakan untuk mendapatkan data yang luas dengan memperoleh

gambaran melalui penggunaan kuesioner, memperoleh pengetahuan yang mendalam dan

mampu untuk menjelaskan tersebut.

(20)

Analisis data dilakukan dengan model analisis kualitatif. Metode penelitian

kualitatif adalah metode yang bersifat interaktif, yaitu metode yang lebih menekankan

pada aspek pencarian makna dibalik emprisitas dari realitas sosial sehingga pemahaman

mendalam akan realitas sosial akan sangat diperhatikan, dan metode ini akan

menghasilkan data berupa pernyataan-pernyataan atau data yang dihasilkan berupa data

deskriptif mengenai subjek yang diteliti37.

37

Referensi

Dokumen terkait

Dari penjelasan tersebut, maka peneliti mengambil kesimpulan bahwa analisis yuridis Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak

Rincian Biaya Tetap untuk Tenaga Kerja PLTSa Kota. Bogor

Tunggal bahasa yang muncul pada tuturan masyarakat perumahan di Kota Purbalingga adalah bahasa Indonesia ragam nonformal dan bahasa Jawa ngoko. Sedangkan tunggal

ditunjukkan dari ibu-ibu yang sedang membatik, belum jadi pun menunjukkan keindahan harmoninya. Dalam scene ini, Laudya sebagai brand ambassador yang

Adapun komponen kebugaran jasmani meliputi : (1) Daya tahan jantung yaitu kemampuan jantung, paru menyuplai oksigen untuk kerja otot dalam waktu yang lama, (2) Kekuatan

Terkait dengan dihapusnya jabatan Kayim dan selanjutnya ditempatkannya di tempat tugas baru sebagai staf pada urusan dan seksi yang ada serta kekosongan karena purna

2. Memiliki perilaku jujur, disiplin, tanggung jawab, santun, peduli, dan percaya diri dalam berinteraksi dengan keluarga, teman, dan guru. Memahami pengetahuan

Menurut analisis penulis dari hasil menyimak dan wawancara dari narasumber Sigit Witjaksono (Njo Tjoen Hian) di Desa Babagan pada 2 Maret 2020, Rifa’i di Desa