• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENDAHULUAN. Munculnya paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable. development) adalah titik awal kesadaran masyarakat dunia untuk mengelola

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENDAHULUAN. Munculnya paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable. development) adalah titik awal kesadaran masyarakat dunia untuk mengelola"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Munculnya paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah titik awal kesadaran masyarakat dunia untuk mengelola sumberdaya alam secara lestari dan menggunakan produk yang ramah lingkungan (environmental friendly) untuk menjamin kehidupan yang baik secara lintas generasi. Masyarakat juga tumbuh kesadarannya untuk melakukan penyelamatan bumi dan lingkungan hidup dari proses degradasi. Kesadaran masyarakat akan pentingnya aspek lingkungan hidup dan keanekaragaman hayati melahirkan komitmen bersama yang puncaknya dilakukan pada saat pertemuan KTT Bumi di Rio De Janeiro Brazil tahun 1992. Pertemuan tersebut telah melahirkan kesepakatan penting antar negara yang disebut sebagai Agenda 21. Pada tahun itu pula 50 negara telah meratifikasi konvensi Rio tersebut. Di daratan Eropa Agenda 21 dibahas dalam proses Helsinki yang menghasilkan Deklarasi Helsinki (Helsinki Declaration of the Ministrial Conference on the Protection of Forests in Europe).

Implementasi Agenda 21 di bidang pengelolaan sumberdaya hutan adalah bertumpu pada bagaimana mengupayakan pembangunan ekonomi lebih berkarakter sustainable atau berkelanjutan (Hadiwinata dan Pakpahan, 2004). Pasar meresponnya sebagai standard yang harus dijalankan oleh unit usaha kehutanan yang mengekspor produk kayunya dengan tiga prinsip utama yaitu keberlanjutan fungsi ekonomi, fungsi lingkungan, dan fungsi sosial yang dikenal dengan Tripple Bottom Line, yaitu Profit, Planet, People. Jembatan yang menghubungkan antara kepentingan konsumen kayu (pengimpor) dengan

(2)

industri kayu (pengekspor) adalah sertifikasi hutan lestari, dimana kayu yang bersertifikat ditandai oleh label yang dikenal dengan ekolabel (eco-label).

Sebelum KTT di Rio Brazil, tahun 1990, International Tropical Timber Organization (ITTO) mencanangkan bahwa pada tahun pada tahun 2000 semua perdagangan kayu tropis harus berasal dari hutan yang dikelola dengan azas kelestarian. Target tahun 2000 tersebut didukung oleh tiga panduan ITTO yang telah dikembangkan oleh anggota-angotanya termasuk Indonesia yaitu: 1) Guidelines and Criteria for Sustainable Forest Management of Natural Tropical Forest; 2) Guidelines for the Establishment and Sustainable Management of Planted Tropical Forest; dan 3) Guidelines for the Conservation of Biodiversity on Tropical Production Forest. Semua panduan telah disediakan sebagai perangkat pokok untuk standar dan kriteria yang disepakati secara internasional.

Sertifikasi Hutan Lestari merupakan jaminan bahwa sumber bahan kayu yang digunakan oleh industri berasal dari hutan yang dikelola secara bertanggung jawab. Sertifikat hutan lestari juga menjadi sarana untuk menjembatani kepentingan produsen dan konsumen. Sertifikasi hutan lestari dapat dikatagorikan menjadi tiga bagian penting yaitu:

1. Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL), penilaian untuk membuktikan apakah hutan dikelola secara lestari. Sertifikasi PHL meliputi sertifikasi pada pengelolaan hutan alam, hutan tanaman, dan hutan yang dikelola oleh rakyat.

2. Sertifikasi Produk Kehutanan, penilaian untuk membuktikan apakah produk-produk kehutanan yang diolah mengikuti kaidah lingkungan (environmentally friendly) dan tidak menyebabkan efek negatif terhadap lingkungan

(3)

3. Sertifikasi Lacak Balak (Chain of Custody/ CoC), penilaian untuk membuktikan apakah suatu produk kayu mampu ditelusuri sampai ke areal sumber bahan baku yang dikelola secara lestari.

Sertifikasi CoC yang menempatkan logo ekolabel pada produknya menjadikan ikon yang sangat penting untuk dapat memasuki pasar yang kompetitif dan memperkenalkan produk yang ramah lingkungan.

Van Dam (2005) mengutip pernyataan Leff bahwa geopolitik globalisasi berpusat pada keunggulan pasar dan kapasitas kewiraswastaan untuk menuntun dan dan mancapai tujuan-tujuan berkelanjutan. Pasar meliputi suatu kapasitas menginternalisasikan biaya-biaya lingkungan dan menyerap aktivitas-aktivitas produktif dari modal alam dan pelayanan-pelayanan lingkungan. Sampai sekarang bidang-bidang tradisional tepat guna dan pengelolaan warisan komunal dan barang-barang yang berlaku di luar pasar akan di transfer ke dalam peluang-peluang bisnis baru, yang juga melibatkan organisasi yang bergerak di bidang lingkungan.

Salah satu organisasi internasional berbasis lingkungan World Wide Fund for Nature (WWF) Indonesia1 telah melakukan berbagai upaya untuk mempromosikan Pengelolaan Hutan Lestari di tingkat unit manajemen hutan dan industri perkayuan dengan mengikutsertakan mereka ke dalam jaringan perdagangan (pasar) internasional. Program WWF Indonesia ini dikenal dengan program ’NUSA HIJAU” yang merupakan bagian dari jaringan perdagangan kayu

1

World Wide Fund For Nature (WWF) adalah sebuah organisasi yang bekerja di lebih 90 negara dan dukung oleh hampir 5 juta pendukung di seluruh dunia. WWF bergerak di bidang konservasi dengan misi menghentikan degradasi lingkungan sumberdaya alam dan membangun kondisi di masa mendatang yang lebih baik. WWF melakukan konservasi keanekaragaman hayati, memastikan penggunaan sumberdaya alam terbaharui tetap lestari, dan promosi terhadap konsumsi penggunaan produk ramah lingkungan.

(4)

global (Global Forest and Trade Network ) yang disingkat GFTN. Nusa Hijau adalah nama Indonesia untuk Indonesia Forest and Trade Network (IFTN). Keanggotaan IFTN terbuka bagi para manager kehutanan (forest managers), manajer industri hasil hutan (processor), serta pemilik/pengelola hutan rakyat yang ingin memperbaiki dan mengembangkan pengelolaan areal hutannya serta meningkatkan akses pasar. Program Nusa Hijau adalah suatu usaha praktis untuk memenuhi permintaan akan kayu bersertifikat hutan lestari dari Indonesia melalui kerja sama dalam jaringan pasar yang tersebar di seluruh dunia.

Program Nusa Hijau membina para manager kehutanan dan prosesor produk hutan agar mereka dapat meningkatkan daya saing industri hasil hutan dengan memenuhi standar pasar Internasional. Standar pasar yang dikehendaki adalah standar ekolabel kehutanan atau standar pengelolaan hutan lestari. Dalam pengertian ini, standar yang dipergunakan oleh Nusa Hijau adalah: 1) Standar Pengelolaan Hutan Lestari pada sumber bahan baku, yang meliputi standar pengelolaan hutan alam, hutan tanaman, dan hutan rakyat, serta 2). Standar Lacak Balak (Chain of Custody disingkat CoC) yang akan melekatkan logo pada produk kayu olahan.

WWF telah membentuk Indonesia Forest and Trade Network (IFTN) satu dari 30 negara anggota lainnya yang tersebar di seluruh dunia, untuk menyediakan jembatan antara perusahaan yang mempunyai komitmen menjalankan dan mendukung pengelolaan hutan yang bertanggung jawab dengan pasarnya. GFTN menciptakan kondisi pasar yang mendukung konservasi hutan di dunia serta pada saat yang sama menyediakan keuntungan ekonomi dan sosial bagi industri dan

(5)

masyarakat yang bergantung hidupnya pada hutan. 2 Menurut Rainforest.net (2006), ada 5 retailer kayu terbesar di dunia (the top 5 Wood Buyers) yang menjadi anggota GFTN, yaitu: 1). Home Depot (USA) menguasai 1000 toko (stores) di wilayah US, Kanada, dan Chile, dengan sales 38.4 Milyar USD, 2). Lowe’s dengan jaringan 640 toko di 40 Negara Bagian AS, nilai sales nya 15.9 Milyar USD, 3). IKEA, berbasis di Swedia menguasai 159 stores di 29 negara dengan sales 8.5 Milyar USD, 4). Kimberly-Clark USA, dengan nilai sales 14 Milyar USD, dan 5). Procter & Gamble USA dengan sales 40 Milyar USD untuk beragam produk termasuk kayu.

Konsumen Eropa dan Amerika yang peduli lingkungan (eco-sensitive) sebagian besar memiliki kesadaran pentingnya penyelamatan lingkungan di negara-negara penghasil kayu, sehingga asal-usul kayu merupakan faktor penting untuk mengetahui apakah hutan dikelola dengan memenuhi kaidah lingkungan. Pasar yang sensitive menjadi relung pasar (niche market) bagi produk eco-label dimana terdapat pengecualian harga sebagai akibat kompetisi, tekanan NGO, maupun kebijakan pemerintah. Munculnya niche market dapat menyebabkan suatu produk dihargai lebih tinggi dari harga normal karena kebijakan harga premium (premium price) yang diciptakan oleh pasar itu sendiri. Menurut Kotabe dan Helsen (2004), pengendali harga pasar luar negeri (Foreign Market Pricing) ditentukan oleh: permintaan pelanggan, kompetisi termasuk non-price competition, jalur distribusi, dan kebijakan pemerintah.

GFTN adalah organisasi yang anggota-anggotanya mempunyai komitmen untuk memproduksi, memproses, memperdagangkan dan menggunakan produk

2

Eco-sensitive adalah istilah untukmemberi gambaran negara-negara dan kondisi pasarnya yang peduli pada penggunaan produk yang ramah lingkungan dan mendukung gagasan ekolabel

(6)

hasil hutan yang berasal dari hutan yang dikelola dengan baik serta mendukung proses sertifikasi. Sampai bulan Juni 2005 GFTN mempunyai lebih kurang 400 perusahaan yang tersebar di 30 negara ditambah komitmen negara produsen seperti: Brazil, Nicaragua, Ghana, Indonesia, Malaysia, dan Rusia untuk merealisasikan target 12,9 juta hektar areal hutan dapat disertifikasi. Sekitar 30 milyar dolar AS nilai produk hutan telah diperdagangkan oleh anggota GFTN setiap tahun.

Dalam konteks strategi memperoleh keberterimaan pasar yang tinggi GFTN lebih mengakui standar sertifikasi FSC 3 (Forest Stewardship Council) sebagai pemain utama yang memiliki jaringan pasar yang luas di dunia dibandingkan dengan standar yang lain. FSC menjadi merek global karena merupakan pemain dunia yang didukung oleh beberapa NGO Internasional yang mampu mengendalikan keinginan konsumen 4. Kotabe dan Helsen (2004), menjelaskan beberapa pengertian merek global adalah: 1) memiliki identitas yang konsisten dengan pelanggan secara lintas dunia, 2) memiliki visi yang lebih baik daripada merek lokal, 3) nilai sebuah merek global biasanya dibedakan oleh kesepakatan besar antar negara dan antar pihak yang berpengaruh. Penjelasan Kotabe dapat dijadikan argumen bahwa FSC sebagai merek dagang sertifikasi ecolabel memiliki kekuatan besar karena: dukungan internasional terutama dari kalangan NGOs, standard yang dapat diterima oleh sebagian besar negara, dan tetap konsisten di bidang kehutanan.

3

FSC atau Forest Stewardship Council adalah sebuah organisasi pengembang standard sertifikasi ekolabel di bidang kehutanan yang didukung oleh NGO International seperti Green Peace, WWF International, dan Friends of the Earth. Standard FSC yang bersifat generik mudah diterima oleh negara-negara produsen kayu dan kemudian dikembangkan menjadi FSC National Inisiatif. 4

NGO International seperti Green Peace merupakan pressure group yang sering melakukan upaya-upaya tekanan dan protes kepada buyers agar mereka menolak membeli kayu yang tidak bersertifikat

(7)

Kendala yang sedang dihadapi oleh negara-negara penghasil kayu adalah sulitnya mencapai standar pengelolaan hutan lestari baik di sumber bahan baku (hutan) maupun di industri kehutanan. Ini berarti pula bahwa gap antara fakta dan standard yang seharusnya masih besar. Oleh karena itu program Nusa Hijau mengembangkan konsep pendekatan bertahap sertifikasi ekolabel (Step-wise Approach towards Certification). Sertifikasi bertahap dilakukan dengan target waktu antara 4 s.d 5 tahun sampai mereka (yang telah menjadi anggota) memperoleh sertifikat ekolabel bagi unit manajemen hutan, dan telah menggunakan bahan baku ekolabel minimum 70% bagi industri hasil hutan. Di antara waktu 4-5 tahun tersebut Unit Manajemen hutan dan industri dapat dipromosikan secara bertahap atas pencapaian kemajuannya melalui jaringan perdagangan GFTN melalui skema hubungan bisnis ke bisnis.

Beberapa industri kayu dan pengelola hutan telah menjadi anggota Nusa Hijau dan masuk ke dalam jaringan GFTN dan sebagian lagi masih dalam proses menjadi anggota. Selain perusahaan-perusahaan yang telah secara resmi bergabung dalam program Nusa Hijau, GFTN-WWF (2006) menyatakan bahwa sudah ada sekitar 34 perusahaan yang berpotensi bergabung dan masih dalam tahap penjajakan. Sekitar 50 persen di antaranya adalah perusahaan-perusahaan pengolah kayu, sedangkan sisanya adalah pengelola hutan. Daftar Anggota Nusa Hijau yang secara resmi telah menandatangani perjanjian kerjasama (MOU) dengan WWF dapat dijelaskan pada Tabel 1 dan Tabel 2. Terdapat delapan perusahaan dengan katagori pengelola hutan dan limabelas perusahaan dengan katagori prosesor (industri). Data-data perusahaan tersebut adalah hasil pembaruan (update) sampai bulan Januari 2007.

(8)

Tabel 1. Daftar Anggota Nusa Hijau (Indonesian Forest Trade Network) Menurut Klasifikasi Pengelola Hutan Tahun 2007

NAMA PERUSAHAAN LUAS (HA) LOKASI KONTAK/ WEBSITE PT. Sumalindo Lestari Jaya II 267,000 Kalimantan Timur www.sumalindo.com Perhutani (KPH Bojonegoro)

50,000 Jawa Timur www.perhutani.co.id Perhutani (KPH Banyuwangi

Utara) 33,799 Jawa Timur www.perhutani.co.id Perhutani (KPH Jatirogo)

18,700 Jawa Timur www.perhutani.co.id Perhutani (KPH Madiun)

27,500 Jawa Timur www.perhutani.co.id Perhutani (KPH Saradan)

38,000 Jawa Timur www.perhutani.co.id

PT. Inhutani II 60,000 Kalimantan Selatan

Hadi Siswoyo (Forest Manager). T: +62-21-829-0572.

PT Sari Bumi Kusuma 267,000 Kalimantan Tengah Nana Suparna: nsuparna@cbn.net.id

Sumber: WWF Asia Pasific Forest Programme and GFTN diunduh dari situs

www.forestandtradeasia.org, (2007).

Tabel 2 menggambarkan keanggotaan Nusa Hijau pada industri perkayuan di seluruh Indonesia yang telah menjalani penilaian (Baseline Appraisal).

Tabel 2. Daftar Anggota Nusa Hijau (Indonesian Forest Trade Network) Menurut Klasifikasi Industri Pengolah Hasil Hutan (Prosesor) Tahun 2007

NAMA

PERUSAHAAN BISNIS UTAMA LOKASI KONTAK/WEBSITE

PT. Bangun Sarana Wreksa Garden Furniture Manufacturer Malang, Jawa Timur Jacob Pongantung – bsw@indo.net.id PT. Falak Jaya Furnitama Garden Furniture Manufacturer Tangerang – Jawa Barat Bintari: falakjaya@cbn.net.id ; www.falakjaya.com

PT. Diraja Surya Garden Furniture

Manufacturer Jawa Timur Lukito Salim PT. Masterwood Indonesia Outdoor Furniture Manufacturer Tangerang – Jawa Barat Shiany L. Shianny@masterwood.indo.co m www.masterwood.indo.com

(9)

Tabel 2. Daftar Anggota Nusa Hijau (Indonesian Forest Trade Network) Menurut Klasifikasi Industri Pengolah Hasil Hutan (Prosesor) Tahun 2007 (lanjutan)

NAMA

PERUSAHAAN BISNIS UTAMA LOKASI KONTAK/WEBSITE

PT. KWaS Indoor Furniture

Manufacturer Jogjakarta, Java

Agung or Laily

indesign@indosat.net.id PT Intertrend Utama Garden Furniture Jawa timur

Lanny D

marketing@intertrendfurniture.co. id

CV Rimba Sentosa Garden Furniture Sukoharjo, Jawa tengah PT Indo Furnitama Raya (IFURA) Indoor dan Outdoor Furniture Tangerang, Jawa barat Abdul Rahman: amang@ifura.com PT Bangkit Jaya

Semesta Outdoor Furniture

Tangerang, Jawa Barat

Daniel Ciam:

marketing@bankit.co.id PT Inatai Golden

Furniture Garden Furniture Jakarta

Ahmad Komar Tauhidi : marketing38@inatai.com

PT Kayu Permata Doors dan

Moulding Bekasi, Jawa Barat

Bhakti Sadeli;

info@permatadoor.com PT Marcelindo Jaya

Pratama Outdoor Furniture

Semarang, Jawa Tengah

Seno Budiono; mjpfurn@idola.net.id PT Rimba Mutiara

Kusuma Outdoor Furniture Tangerang, Banten

Eddy Widodo;

Eddywidodo@yahoo.com

PT Sari Bumi Kusuma Plywood,

Moulding Pontianak, Kalbar Nana Suparna

PT Seng Fong

Solidwooden Flooring & Housing

Jawa Timur Patricia Fong

Sumber: WWF Asia Pasific Forest Programme and GFTN diunduh dari situs

www.forestandtradeasia.org, (2007).

Salah satu faktor pendorong yang ingin dilihat melalui studi ini adalah bagaimana pandangan para industri pengolahan kayu (Processor) terhadap Program Nusa Hijau. Selain itu penting pula diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan untuk menjadi anggota Nusa Hijau dan menerapkan sertifikat ekolabel melalui program pendekatan bertahap. Segmen

(10)

pengguna program Nusa Hijau yang berminat terhadap program Nusa Hijau sangat tergantung pada sejauh mana industri pengolah kayu memiliki kepentingan untuk menggunakan standar GFTN untuk memenuhi tuntutan pasar ekspor.

Kepentingan-kepentingan perusahaan mebel juga akan ditunjukkan dengan perilaku mereka terhadap pasar, teknologi yang dipakai, disain produk, dan pemilihan bahan baku kayu, sebagai salah satu komponen penetapan Rekomendasi program Nusa Hijau WWF Indonesia di masa mendatang. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap perilaku konsumen untuk mengambil keputusan mendapatkan barang yang dikehendakinya ditentukan oleh: pengaruh lingkungan, perbedaan individu dan kegiatan pemasaran yang dilakukan oleh produsen (Sumarwan, 2003).

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana preferensi industri mebel (prosesor) terhadap program Nusa Hijau WWF (Indonesia Forest and Trade Network)

2. Faktor-faktor apa saja yang mendorong industri mebel (prosesor) untuk mengambil keputusan menjadi anggota Nusa Hijau WWF (Indonesia Forest Trade and Network)

3. Bagaimana rumusan rekomendasi pemasaran yang diperlukan oleh WWF Indonesia untuk mempromosikan program Nusa Hijau.

1.3. Tujuan Penelitian

1. Menganalisis preferensi industri mebel terhadap program Nusa Hijau WWF

(11)

2. Mengkaji faktor-faktor yang mendorong industri mebel (prosesor) untuk mengambilan keputusan menjadi anggota Nusa Hijau WWF (Indonesia Forest Trade and Network)

3. Merumuskan rekomendasi pemasaran yang diperlukan oleh WWF Indonesia untuk mengembangkan program Nusa Hijau.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Memberikan masukan kepada WWF Indonesia sebagai lembaga yang membangun program Nusa Hijau (Indonesia Forest Trade and Network) guna mendorong upaya perbaikan kualitas pengelolaan hutan dan industri kehutanan di Indonesia, mengurangi perdagangan kayu ilegal, serta meningkatkan minat pengelola hutan dan industri kehutanan bergabung dalam jaringan perdagangan global produk kehutanan dan meningkatkan akses pasar.

2. Memberikan masukan kepada pengambil kebijakan (pemerintah) untuk mendorong penyusunan kebijakan dan peraturan perundangan yang kondusif bagi tercapainya pengelolaan hutan yang bertanggung jawab 3. Mendorong lembaga akreditasi dan lembaga sertifikasi hutan di Indonesia

menerapkan sertifikasi pengelolaan hutan secara intensif untuk memenuhi kebutuhan pasar kayu bersertifikat

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini akan menganalisis bagaimana pandangan kalangan pebisnis kehutanan khususnya industri pengolah kayu (prosesor) dan bagaimana preferensi mereka terhadap program Nusa Hijau - WWF dengan menganalisis atribut-atribut yang ada pada program sertifikasi bertahap Nusa Hijau - WWF. Oleh karena

(12)

itu, responden penelitian yang diharapkan dapat memberikan pandangannya dibatasi untuk para Pengambil Keputusan Industri Perkayuan yang mengolah mebel (furniture) di daerah Jepara Jawa Tengah yang tergabung dalam Asosiasi Mebel Indonesia (ASMINDO) KOMDA Jepara. Responden yang dipilih adalah mereka yang telah mendapat program sosialisasi mengenai program Nusa Hijau WWF yang direkomendasikan oleh ASMINDO Komda Jepara.

Gambar

Tabel 1. Daftar Anggota Nusa Hijau (Indonesian Forest Trade Network) Menurut   Klasifikasi Pengelola Hutan Tahun 2007
Tabel 2. Daftar Anggota Nusa Hijau (Indonesian Forest Trade Network) Menurut  Klasifikasi Industri Pengolah Hasil  Hutan (Prosesor) Tahun 2007  (lanjutan)

Referensi

Dokumen terkait

Kewarganegaraan menurut Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 tahun 2006 adalah segala ihwal yang berhubungan dengan warga negara. Hak

Perancangan dari objek ini mempunyai fungsi untul merancang sebuah sirkuit balap bertaraf Internasional dengan lisensi grade 1 agar dapat digunakan untuk menggelar

Pajak penghasilan terkait pos-pos yang akan direklasifikasi ke laba rugi 212 PENGHASILAN KOMPREHENSIF LAIN TAHUN BERJALAN - NET PAJAK PENGHASILAN TERKAIT (1,058). TOTAL LABA

[r]

Pada dasarnya penyelesaian industrial melalui mediasi adalah wajib, manakala para pihak tidak memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbiter setelah instansi yang

Skripsi dengan judul “Pelaksanaan Penyaluran Hibah Daerah Oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Pati Kepada Kelompok Usaha Bersama” betujuan

Skripsi dengan judul “Analisis Pendapat Imam Syafi’i Tentang Hibah Yang Dapat Diperhitungkan Sebagai Warisan”, disusun sebagai kelengkapan guna memenuhi sebagian

Kedua Setiap dosen harus melaksanakan tugas pengajaran sesuai dengan ketentuan ITB yang telah ditetapkan dalam jadwal kegiatan akademik untuk pengajaran Semester