• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMANFAATAN BARANG GADAI MENURUT PASAL 1150 KUH PERDATA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMANFAATAN BARANG GADAI MENURUT PASAL 1150 KUH PERDATA"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

43

PEMANFAATAN BARANG GADAI

MENURUT PASAL 1150 KUH PERDATA

A. Sejarah Singkat Tentang KUH Perdata

Berbicara sejarah KUH Perdata, sekurang-kurangnya harus diungkap

dua hal yaitu

1. Kodifikasi Hukum Perdata Belanda, tahun 1830

Sumber pokok Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah Kitab Undang-Undang Hukum Sipil (Burgerlijk Wetboek), disingkat KUHS (B.W.). KUHS sebagian besar adalah hukum perdata Perancis, yaitu Code Napoleon tahun 1811-1838; akibat pendudukan Perancis di Belanda, berlaku di Negeri Belanda sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Sipil yang resmi. Sebagian dari Code Napoleon ini adalah Code Civil, yang dalam penyusunannya mengambil karangan pengarang-pengarang bangsa Perancis tentang hukum Romawi (Corpus Juris Civilis), yang pada zaman dahulu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna. Juga unsur-unsur hukum kanoniek (hukum agama Katholik) dan hukum kebiasaan setempat mempengaruhinya.1

Peraturan-peraturan yang belum ada pada zaman Romawi, tidak dimasukkan dalam Code Civil, tetapi dalam kitab tersendiri ialah Code de Commerce. Setelah pendudukan Perancis berakhir, oleh pemerintah Belanda

1

CST Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1998, hlm. 209

(2)

dibentuk suatu panitia yang diketuai oleh Mr J.M. Kemper dan bertugas membuat rencana kodifikasi hukum perdata Belanda dengan menggunakan sebagai sumber sebagian besar "Code Napoleon" dan sebagian kecil hukum Belanda Kuno.

Meskipun penyusunan tersebut sudah selesai sebelumnya (5 Juli 1830) tetapi Hukum Perdata Belanda baru diresmikan pada 1 Oktober 1838. Pada tahun itu dikeluarkan:

1. Burgerlijk Wetboek (KUH Sipil).

2. Wetboek van Koophandel (KUH Dagang).

Berdasarkan asas konkordinasi, kodifikasi hukum perdata Belanda menjadi contoh bagi kodifikasi hukum perdata Eropa di Indonesia. Kodifikasi ini diumumkan pada tanggal 30-4-1847 Staatsblad (lembaran Negara) No. 23 dan mulai berlaku pada 1 Mei 1848 di Indonesia.

2. Kodifikasi Hukum Perdata di Indonesia, Tahun 1848

KUHS yang terlaksana dalam tahun 1848 itu adalah hasil panitia kodifikasi yang diketuai oleh Mr C.J Scholten van Oudhaarlem. Maksud daripada kodifikasi pada waktu itu untuk mengadakan persesuaian antara hukum dan keadaan di Indonesia dengan hukum dan keadaan di negeri Belanda. Di negeri Belanda aliran kodifikasi adalah aliran kodifikasi yang di Eropa berlangsung secara umum pada akhir abad ke-18; malah pada waktu itu sudah ada negara-negara yang telah selesai dengan kodifikasinya.2

2

(3)

Demikian antara lain Perancis, sesudah 10 tahun bekerja, dalam tahun 1804 telah menyelesaikan kodifikasinya, yaitu Code civil des Francais. Di negeri Belanda, setelah merdeka dari penjajahan Perancis, aliran kodifikasi diwujudkan tahun 1830 dalam KUHS (tertanggal 5 Juli 1830) dan akan mulai berlaku jam 12 malam tanggal 31 Januari 1831 (antara 31 Januari dan 1 Februari 1831).

Sesudah kodifikasi itu selesai, pemerintah Belanda mengangkat Mr C.C.Hagemann sebagai Presiden daripada Mahkamah Agung (Hooggerechtshof) di Hindia Belanda dengan catatan, supaya ia menyesuaikan peraturan-peraturan lama di Hindia Belanda dengan kodifikasi tadi. Dengan demikian ia diwajibkan mengadakan penyelidikan seperlunya, dan ia harus pula mengemukakan usul-usul kepada pemerintah Belanda. Teranglah, bahwa ia mendapat perintah istimewa untuk menjalankan persiapan daripada daripada kodifikasi di Indonesia.

Hagemann diangkat bulan Juli 1830, tapi sampai 1835 tidak dikerjakannya sesuatu apapun juga. Pemerintah Hindia Belanda, Gubernur Jenderal J. CH. Baud menegur Hagemann karena kelalaiannya itu. Pada bulan Agustus 1835 Hagemann 3 bulan kemudian, yaitu tanggal 19 Desember 1835, menjawab, bahwa ia mengakui belum mengerjakan sedikit pun tentang tugas itu. 3 Karena itu ia mengemukakan alasan, bahwa tak mungkinnya berbuat sesuatu itu adalah satu dan lain karena pengangkatannya dilakukan berkenaan dengan hal, bahwa setelah undang-undang baru Belanda itu dijalankan, di

3

Soediman Kartohadiprodjo, Pengantar Tata Hukum di Indonesia, Bandung: PT Ghalia Indonesia, 1982, hlm. 66

(4)

Indonesia peraturan-peraturan lama masih tetap berlaku, sedangkan sampai tahun 1835 itu kodifikasi Belanda tadi belum juga berlaku, keadaan mana disebabkan oleh pemberontakan Belgia.

"Kodifikasi itu adalah hasil daripada pekerjaan kebanyakan orang-orang Belgia, dan karena adanya revolusi itu, maka sekarang ini saya (kata Hagemann) belum dapat mengadakan persiapan," demikian Hagemann selanjutnya. Tepatkah jawaban ini? Pertimbangan Hagemann itu tidak masuk akal, sebab tanpa bergantung pada pisah tidaknya Belgia dari Belanda, Belanda akan tetap mengadakan kodifikasi. Hal ini berarti, di Indonesia juga akan ada kodifikasi. Jadi persiapan diperlukan juga. Tahun 1836 Hagemann pulang ke negeri Belanda; sebagai Ketua Mahkamah Agung ia diganti oleh Scholten van Oudhaarlen tersebut di atas.

Scholten van Oud-Haarlem tidak diberi tugas seperti Hagemann, tapi ia minta diberi tugas itu (tugas diberikan tanggal 24 September 1837), karena merasa bertanggung jawab atas usaha kodifikasi di Indonesia. la mengusulkan supaya dibentuk panitia. Pemerintah Hindia Belanda menyambut hasrat itu dengan baik dan dengan surat tanggal 31 Oktober 1837 Scholten van Oud Haarlem diangkat sebagai ketua panitia, dan Mr A.A. van Vloten serta Mr P. Meyer, masing-masing sebagai anggota panitia, dengan tugas menjalankan tindakan-tindakan persiapan, mengemukakan usul-usul tentang pembagian daripada peradilan di Indonesia dan lain-lain.

Panitia bekerja giat, tapi hasil yang diharapkan tidak ada, karena Scholten van Oud-Haarlem jatuh sakit dan kembali ke negeri Belanda atas

(5)

nasehat dokter. Juga van Vloten meninggalkan Jakarta, sehingga panitia tadi bubar dengan sendirinya.4

Dalam waktu yang singkat, yaitu dalam 1 tahun, panitia tadi dengan mengadakan kontak dengan pimpinan Javasche Bank dan Nederlandsche Handelmaatschappij telah dapat mengerjakan hukum dagang, dan atas pertimbangan instansi-instansi itu panitia pada tanggal 23 April 1838 menyampaikan laporan kepada pemerintah.

Dengan suratnya tanggal 23 Desember 1838 Scholten van Oud-Haarlem menganjurkan kepada Gubernur Jenderal, supaya diangkat panitia baru, tapi panitia itu jangan disuruh bekerja di Indonesia melainkan di negeri Belanda. la menyediakan diri sebagai anggota atau ketua panitia. Dengan advis baik surat itu diteruskan ke negeri Belanda. Pemerintah Belanda minta lebih dulu advis anggota Staten-General, J. Chr. Baud; hasilnya ialah dibentuknya panitia dengan Scholten van Oud-Haarlem sebagai ketua, sedangkan anggotanya adalah:

a. Mr I. Schneither (bekas Sekretaris Pemerintah Hindia Belanda).

b. Mr. I.F.H. van NES (bekas hakim pada Hooggerechtshof (HGH) dan bekas Residen Pasuruan).

Tugas panitia adalah:

c. merancang peraturan, agar aturan-aturan undang-undang Belanda dapat dijalankan;

d. mengemukakan usul-usul;

e. memperhatikan organisasi kehakiman (rechterlijke organisatie = R.O.); 5

4

(6)

Panitia itu berhasil membuat rancangan peraturan tentang susunan badan peradilan di Hindia Belanda (Reglement op de R.O.), yang walaupun sudah disahkan oleh pemerintah Belanda, mulai berlakunya ditangguhkan.

Rancangan disahkan itu dikirimkan kepada Gubernur Jenderal untuk mendapat advis. Gubernur Jenderal Merkus yang menerima peraturan itu kemudian minta advis dari J. van de Vinne Directeur's Lands Middelen en Domein.

Advis dari Van de Vinne adalah sangat jauh dari baik, dan perlawanan dari pihaknya demikian hebatnya, sehingga Scholten van Oud-Haarlem diminta mengadakan kontak dengan Van de Vinne. Hasil kontak itu ialah diubahnya rancangan tadi. Kemudian Van den Vinne diangkat menjadi "anggota Raad van State”.

Panitia menyelesaikan pula beberapa usul, antara lain tentang KUHS dan RO. Dalam Raad van State, Van de Vinne menyampaikan pandangannya tentang rancangan peraturan tadi, pandangan mana bersifat:

a. prinsipil b. umum c. politis

Ad a): Di sini keberatannya adalah sebagai berikut: 6

1. peraturan-peraturan tidak cocok dengan kepentingan berjuta-juta orang di Indonesia dan aturan-aturan yang ruwet (gecompliceerd) itu tidak akan difahami; lagi pula agama Islam tidak akan tunduk.,

2. gelijkgestelden (orang yang dipersamakan hak dengan orang Eropa) (lihat pasal 7 A.B.) tidak akan menyetujui undang-undang itu sedangkan orang

5

Soediman Kartohadiprodjo, op. cit, hlm. 69.

6

(7)

Indonesia Kristen keadaan dan pikirannya tidak beda pula dengan orang yang beragama lain.

3. peraturan-peraturan itu tidak cocok bagi orang Belanda peranakan, karena mereka itu pikirannya sama dengan pikiran orang Belanda.

4. Orang-orang Belanda totok jumlahnya sedikit, dan yang sudah sedikit itu kelakuannya tidak baik.

Ad b): Di sini keberatannya adalah sebagai berikut: penyelesaian dari panitia itu tidak baik, karena tidak lebih dulu minta ad vis ahli-ahli hukum di Indonesia.

Ad c): Di sini keberatannya adalah sebagai berikut: kekuasaan yang diberikan oleh peraturan-peraturan itu menjadikan Gubernur Jenderal berkedudukan sama dengan Raja dalam monarkhi konstitusional, sedangkan hendaknya janganlah demikian. Gubernur Jenderal harus mempunyai kekuasaan lebih banyak. Oleh karena itu, maka kekuasaan dalam KUHS itu janganlah diberikan juga kepada Ketua HGH, melainkan kepada Gubernur Jenderal saja.

Walaupun sengitnya reaksi itu, namun Scholten van Oud-Harlem sebagai jurist masih dapat mempertahankan pendiriannya, sehingga usulnya diterima menjadi undang-undang (KUHS dan RO).7

Sebagai telah diketahui, maka peraturan di Indonesia konkordan (dipersamakan) dengan peraturan di negeri Belanda. Asas konkordansi yang bagaimanakah, yang dipakai oleh KUHS di Indonesia?

Scholten van Oud-Haarlem menjawab: "Panitia mencari persamaan seerat-eratnya dengan peraturan di negeri Belanda, jadi yang diikuti adalah konkordansi sempit (enge concordantie)."

Pendirian ini ditentang oleh Menteri Kehakiman Mr De Jonge van Campens-Nieuwland dengan pernyataan sebagai berikut: "Mengapa peraturan-perundangan Indonesia harus mengekor peraturan-peraturan Belanda?

7

(8)

Keadaannya jauh berlainan, dan jika ternyata peraturan-perundangan itu tidak baik, untuk apa ia dipakai di Indonesia."

la berpendirian, bahwa peraturan-peraturan Belanda itu hendaklah baru diikuti, bila peraturan itu sesuai dengan keadaan di Indonesia. Pada waktu itu jabatan Menteri Jajahan dipegang oleh J. Chr. Baud; ia tidak menyetujui pendapat Menteri Kehakiman; diikutinya pendirian Scholten van Oud-Haarlem dengan alasan sebagai berikut: 8

"Tidaklah mungkin, bahwa peraturan-peraturan di Indonesia lebih baik dari peraturan-perundangan di negeri Belanda." Karena pendirian Baud yang wibawa itu serta kelemahan Kementerian Kehakiman karena tidak dapat menunjukan manakah hasil peraturan-perundangan dagang di negeri Belanda yang dianggap tidak baik, maka dapatlah ditarik kesimpulan, bahwa asas konkordansi itu adalah sempit (enge concordantie), jadi, peraturan-peraturan Belanda selalu diikuti oleh Hindia Belanda.

Hanya bila sangat perlu saja boleh menyimpang; konkordansi itu demikian eratnya, sehingga, walaupun peraturan Belanda nyata-nyata salah, namun peraturan Indonesia tidaklah boleh menyimpang. Oleh karena asas konkordansi itu, KUHS Belanda mendapat perhatian lebih besar untuk dipelajari jiwanya. Demikianlah KUHS Indonesia sekarang ini (yang mulai berlaku sejak 1 Mei 1848) dapat dikatakan suatu copy KUHS Belanda, sehingga untuk menyelidikinya perlulah dengan sendirinya menyelidiki KUHS Belanda.

8

(9)

B. Sistematika KUH Perdata

Hukum Perdata (Burgerlijkrecht) ialah rangkaian peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara orang yang satu dengan orang lain, dengan menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan.

Hukum perdata diatur dalam (bersumber pokok pada) Kitab Undang-Undang Hukum Sipil yang disingkat KUHS (Burgerlijk Wetboek, disingkat B.W.). KUHS itu terdiri atas 4 Buku, yaitu:9

1. Buku I, yang berjudul Perihal Orang (Van Personen), yang memuat Hukum Perorangan dan Hukum Kekeluargaan;

2. Buku II, yang berjudul Perihal Benda (Van Zaken), yang memuat Hukum Benda dan Hukum Waris;

3. Buku III, yang berjudul Perihal Perikatan (Van Verbintennissen), yang memuat Hukum Harta Kekayaan yang berkenaan dengan hak-hak dan kewajiban yang berlaku bagi orang-orang atau pihak-pihak tertentu,

4. Buku IV, yang berjudul Perihal Pembuktian dan Kadaluwarsa atau Lewat Waktu (Van Bewijs en Verjaring), yang memuat perihal alat-alat pembuktian dan akibat-akibat lewat waktu terhadap hubungan-hubungan hukum.

Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum, Hukum Perdata (yang termuat dalam KUHS) dapat dibagi dalam 4 bagian, yaitu:

1. Hukum Perorangan (Personenrecht) yang memuat antara lain: a. peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subyek hukum;

9

(10)

b. peraturan-peraturan tentang kecakapan untuk memiliki hak-hak dan untuk bertindak sendiri melaksanakan hak-haknya itu.

2. Hukum Keluarga (Familierecht) yang memuat antara lain:

a. perkawinan beserta hubungan dalam hukum harta kekayaan antara suami/istri;

b. hubungan antara orang tua dan anak-anaknya (kekuasaan orang tua- ouderlijkemacht);

c. perwalian (voogdij); d. pengampunan (curatele).10

3. Hukum Harta Kekayaan (Vermogensrecht), yang mengatur tentang hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilaikan dengan uang. Hukum Harta Kekayaan meliputi: (a). hak mutlak, yaitu hak-hak yang berlaku terhadap tiap orang; (b). hak perorangan, yaitu hak-hak yang hanya berlaku terhadap seorang atau suatu pihak tertentu saja.

4. Hukum Waris (Erfrecht), yang mengatur tentang benda atau kekayaan seorang jika ia meninggal dunia (mengatur akibat-akibat dari hubungan keluarga terhadap harta peninggalan seseorang).11

C. Ketentuan Gadai Menurut KUH Perdata

Dalam hubungannya dengan syarat-syarat gadai, ada baiknya bila lebih dahulu dijelaskan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian secara umum yang

10

Achmad Sanusi, Pengantar Ilmu Hukum dan Pengantar Tata Hukum Indonesia, Bandung: Tarsito, 1977, hlm. 120-121

11

Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, terj. Oetarid Sadino, Jakarta: Pradnya Paramita, 1983, hlm.237-238

(11)

terdapat dalam pasal 1320 KUH Perdata. Dalam pasal tersebut ditegaskan :

Untuk syarat syahnya persetujuan diperlukan empat syarat: 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu pendekatan; 3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang halal.12

Syarat pertama dan kedua dari pasal tersebut merupakan syarat subyektif, dimana abila syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian batal demi hukum, artinya sejak semula perjanjian itu batal. Sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat obyektif, dimana jika syarat itu tidak dipenuhi, perjanjian vernitige baar (dapat dibatalkan), artinya perjanjian (overeenk omst), baru dapat dibatalkan jika ada perbuatan hukum (reght handeling) dari pihak yang mengadakan perjanjian untuk membatalkannya. 13

Dalam konteksnya dengan gadai (pand), maka hak gadai itu pun diadakan dengan harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang berbeda-beda menurut jenis barangnya. Kalau yang digadaikan itu adalah benda bergerak yang berwujud dan surat piutang yang aan toonder (kepada si pembawa) maka syarat-syaratnya:

a) Harus ada perjanjian untuk memberi hak gadai ini (pand overenkomst) perjanjian ini bentuknya dalam KUHPerdata tidak disyaratkan apa-apa, oleh karenanya bentuk perjanjian pand itu dapat bebas tak terikat oleh suatu bentuk yang tertentu. Artinya perjanjian bisa diadakan secara

12

R. Subekti dan Tjitro Sudibio, Op.Cit Hlm 305.

13

R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. 5, Jakarta: PT. Pradnya Paramitha, 1989, hlm. 15. lihat juga R. Setiawan, Hukum Perikatan, Bandung: Sumur Bandung, 1989, hlm. 30. Bandingkan dengan Wirjono Prodjodioro, Hukum Perjanjian, Bandung: Sumur Bandung, 1975, hlm. 24.

(12)

tertulis ataupun secara lisan saja. Dan yang secara tertulis itu bisa diadakan dengan akte notaris (jadi merupakan akte authentiek), bisa juga diadakan dengan akte dibawah tangan saja.

b) Syarat yang kedua, barangnya yang digadaikan itu harus dilepaskan/berada di luar kekuasaan dari si pemberi gadai (inbezitstelling). Dengan perkataan lain barangnya itu harus berada dalam kekuasaan si pemegang gadai. Bahkan ada ketentuan dalam KUHPerdata bahwa gadai itu tidak sah jika bendanya dibiarkan tetap berada dalam kekuasaan si pemberi gadai.14

Syarat yang kedua inilah yang dalam praktek sering menimbulkan kesulitan untuk ditepati. Yaitu jika kebetulan barang yang digadaikan itu justru barang yang sangat dibutuhkan oleh si pemberi gadai, misalnya untuk mencari nafkah. Maka akan sangat sulit bagi si pemberi gadai jika barang yang penting untuk mencari nafkah itu justru harus berada di luar kekuasaannya.15

Selama gadai itu berlangsung si pemegang gadai mempuanyai beberapa hak:

a) Si pemegang gadai dalam hal si pemberi gadai (debitur) melakukan wanprestasi, yaitu tidak memenuhi kewajibannya, maka setelah jangka waktu yang telah ditentukan itu lampau, si pemegang gadai berhak untuk menjual benda yang digadaikan itu atas kekuasaan sendiri (eigenmachtigeverkoop) kemudian dari hasil penjualan itu diambil

14

Sri Soedewi Masjchoen Sofwam, Hukum Perdata: Hukum Benda, Cet. 4, Yogyakarta: Liberty 1981, hlm. 99.

15

(13)

sebagian untuk melunasi hutang debitur dan sisanya dikembalikan kepada debitur. Penjualan barang itu harus dilakukan dimuka umum, menurut kebiasaan-kebiasaan setempat dan berdasarkan atas syarat-syarat yang lazim berlaku.

b) Si pemegang gadai berhak untuk mendapatkan pengembalian ongkos-ongkos yang telah dikeluarkan untuk keselamatan barangnya.

c) Si pemegang gadai mempunyai hak untuk menahan barang itu (hak retentie); itu terjadi jika setelah adanya perjanjian gadai itu kemudian timbul perjanjian hutang yang kedua antara para pihak dan hutang yang kedua ini sudah dapat ditagih sebelum pembayaran hutang yang pertama, maka dalam keadaan yang demikian itu si pemegang gadai wenang untuk menahan benda itu sampai kedua macam hutang itu dilunasi.16

Sebaliknya seorang pemegang gadai memikul kewajiban-kewajiban yang berikut:

a) Bertanggungjawab untuk hilangnya atau merosotnya barang gadai, sekedar itu telah terjadi karena kelaliannya (Pasal 1157 ayat 1 KUH Perdata). b) Kewajiban untuk memberitahukan pemberi gadai, jika barang gadai dijual

(Pasal 1156 ayat 2 KUH Perdata). Kewajiban memberitahukan itu selambat-lambatnya pada hari yang berikutnya apabila ada suatu perhubungan pos harian ataupun suatu perhubungan telegrap, atau jika tidak demikian halnya, dengan pos yang berangkat pertama (Pasal 1156 ayat 2 KUH Perdata). Pemberitahuan dengan telegrap atau dengan surat

16

(14)

tercatat, berlaku sebagai pemberitahuan yang sah (Pasal 1156 ayat 3 KUH Perdata).

c) Bertanggungjawab terhadap hasil penjualan barang gadai (Pasal 1159 ayat 1 KUH Perdata).17

Adapun barang yang dapat digadaikan adalah semua benda bergerak: a) Benda bergerak yang berwujud.

b) Benda bergerak yang tak berwujud, yaitu yang berupa pelbagai hak untuk mendapatkan pembayaran uang, yaitu yang berwujud surat-surat piutang aan toonder (kepada si pembawa), aan order (atas tunjuk), op naam (atas nama).

Timbul persoalan apakah mengenai piutang yang masih akan ada itu dapat digadaikan? Menurut pendapat yang lazim sekarang gadai mengenai piutang yang masih akan ada itu dimungkinkan, asal hubungan hukum yang menimbulkan piutang sudah ada.18

Pendapat yang sama dengan keterangan di atas dikemukan oleh R. Subekti: yang dapat dijadikan obyek dari pandrecht, ialah segala benda yang bergerak yang bukan kepunyaannya orang yang menghutangkan sendiri. Sebaliknya tidaklah perlu benda itu harus kepunyaan orang yang berhutang, meskipun lazimnya orang yang berhutang itu juga yang memberikan tanggungan, tetapi itu tidak diharuskan.19

17

Mariam Darus Badruzaman, Bab-Bab Tentang Credit Verband Gadai dan Fidulia, Cet, PT Citra Aditya Bakti, 1991, hlm. 62.

18

Sri Soedewi Masjchoen Sofwam, Op. Cit, hlm. 98.

19

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. 15, Jakarta: PT Intermasa, 1980, hlm. 79-80.

(15)

Gadai dalam KUH Perdata merupakan hak kebendaan yang bersifat sebagai jaminan atas suatu hutang. Hak jaminan atas suatu hutang itu, diamping gadai yang obyeknya benda bergerak, juga dalam KUH Perdata ada hak kebendaan lainnya yang sama-sama sebagai jaminan atas suatu hutang yaitu hipotik. Karena itu antara gadai dan hipotik memiliki persamaan juga perbedaan.

Persamaanya hipotik dan gadai tersebut merupakan hak kebendaan maka juga mempunyai sifat-sifat dari hak kebendaan yaitu: selalu mengikuti bendanya (droit de suite) yang terjadi lebih dahulu didahulukan dalam pemenuhannya (droit de preference asas prioriteit) dapat dipindahkan dan lain-lain. Selain itu baik hipotik maupun gadai mempunyai kedudukan preferensi yaitu didahulukan dalam pemenuhannya melebihi kreditur-kreditur lainnya (pasal 1133 KUH Perdata).20

Adapun perbedaannya antara pand dan hypotheek dapat diringkaskan sebagai berikut:

1. Pandrecht harus disertai dengan penyerahan kekuasaan atas barang yang dijadikan tanggungan, hypotheek tidak.

2. Pandrecht hapus, jika barang yang dijadikan tanggungan berpindah ke tangan orang lain, tetapi hypotheek tetap terletak sebagai beban di atas benda yang dijadikan tanggungan meskipun benda ini dipindahkan kepada orang lain.

3. Perjanjian gadai dapat dibuat secara bebas, tak terikat pada bentuk

20

Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata; Hukum Benda, Yogyakarta: Liberty, 1974, hlm. 96

(16)

tertentu, artinya dapat dibuat secara tertulis (dengan akte authentik atau akte di bawah tangan) atau secara lisan saja. Sedang perjanjian hypotheek harus dibuat dengan akte authentik.

4. Pada gadai bendanya lazim hanya digadaikan satu kali, sedang pada hypotheek benda yang dipakai sebagai jaminan itu dapat di hypotheekkan lebih dari satu kali (dapat menjadi tanggungan lebih dari satu hutang). 5. Mengenai wewenang untuk menjual bendanya atas kekuasaan sendiri, hak

yang demikian pada gadai memang sudah diberikan oleh undang-undang, sedang pada hypotheek hak yang demikian harus diperjanjikan lebih dahulu.

6. Pada hypotheek disyaratkan bahwa orang yang meng hypotheekkan itu harus mempunyai kekuasaan atas bendanya, sedangkan pada gadai cukup asal orang yang menggadaikan itu cakap bertindak.

7. Pada gadai untuk jaminan adalah barang-barang bergerak, sedang pada hypotheek ialah pada barang-barang tak bergerak.21

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa obyek gadai dalam KUH Perdata hanya meliputi benda bergerak, sedangkan rahn dalam hukum Islam meliputi benda bergerak dan tidak bergerak.

D. Ketentuan Pasal 1150 KUH Perdata tentang Barang Gadai Oleh Rahin

Pemberian jaminan barang bergerak menurut hukum di Indonesia

21

Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cet. 15, Jakarta: PT Intermasa, 1980, hlm. 83. Cf. Subekti, Bunga Rampai Ilmu Hukum, Bandung: Alumni 1977, hlm 141. Lihat juga Mariam Darus Badruzaman, Bab-Bab Tentang Credit Verband Gadai dan Fidulia, Cet, 5, PT Citra Aditya Bakti, 1991, hlm.55-70.

(17)

dapat dilakukan dalam bentuk “pand” menurut BW, “boreg” atau “gadai” menurut hukum adat. “Boreg” menurut hukum adat ditujukan kepada pemberian jaminan yang barangnya diserahkan dalam kekuasaan si pemberi kredit.22

Hak gadai menurut KUH Perdata diatur dalam Buku II Bab XX Pasal 1150 - 1161.23

Pihak yang menggadaikan dinamakan “pemberi gadai” dan yang menerima gadai, dinamakan “penerima atau pemegang gadai”. Kadang-kadang dalam gadai terlibat tiga pihak, yaitu debitur (pihak yang berhutang), pemberi gadai, yaitu pihak yang menyerahkan benda gadai dan pemegang gadai yaitu kreditur yang menguasai benda gadai sebagai jaminan piutangnya.24

KUH Perdata merumuskan gadai sebagai berikut:

Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan.25

Menurut Mariam Darus Badruzaman rumusan gadai di atas belum dapat disimpulkan tentang sifat umum dari gadai. Untuk menemukan

22

Johannes Gunawan, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit (Termasuk Hak Tanggungan) Menurut Hukum Indonesia, Cet. 6, , Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996, hlm. 61.

23

Mariam Darus Badruzaman, Mencari Sistem Hukum Benda Nasional, Cet 2, PT Alumni Bandung, 1997, hlm. 89. Lihat juga Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak-Hak Atas Benda, Jakarta: Surungan, 1960, hlm. 176.

24

Mariam Darus Badruzaman, Bab-Bab Tentang Credit Verband Gadai dan Fidulia, Cet, 5, PT Citra Aditya Bakti, 1991, hlm. 55.

25

Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Cet. 19, Jakarta: Pradya Paramita, 1985, hlm. 270.

(18)

sifat umum gadai, sifat tadi harus dicari lagi di dalam ketentuan-ketentuan lain.26

Dari perumusan pasal 1150 KUH Perdata, bahwa para pihak yang terlibat dalam perjanjian gadai ada dua, yaitu pihak yang memberikan jaminan gadai, disebut pemberi gadai, sedangkan pihak lain kreditur " yang menerima jaminan, disebut penerima gadai. Karena jaminan tersebut umumnya dipegang oleh kreditur, maka ia disebut juga kreditur-pemegang-gadai. Tetapi tidak tertutup kemungkinan, bahwa atas persetujuan para pihak benda gadai dipegang oleh pihak ketiga (pasal 1152 ayat 1). Kalau barang gadai dipegang oleh pihak ketiga, maka pihak ketiga tersebut disebut pihak-ketiga-pemegang-gadai.27

Pasal 1156 berbicara tentang si berhutang atau "si pemberi gadai", yang berarti, bahwa orang dapat menggadaikan barangnya untuk" menjamin hutang orang lain, atau dibalik, orang dapat mempunyai hutang dengan jaminan gadai barangnya orang lain. Kalau debitur sendiri yang memberikan jaminan, maka ia disebut debitur-pemberi-gadai, sedang kalau benda jaminan adalah milik dan diberikan oleh pihak ketiga, maka di sana ada pihak-ketiga-pemberi-gadai.28

Perlu dibedakan antara pihak ketiga yang memberikan gadai atas nama debitur (pasal 1150) dalam hal demikian pemberi gadainya tetap debitur sendiri dan dalam hal pihak ketiga memberikan jaminan gadai atas namanya

26

Mariam Darus Badruzaman, op. cit, hlm. 56.

27

Satrio, Hukum Jaminan: Hak-Haka Jaminan Kebendaan, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1993, hlm. 98

28

(19)

sendiri, dalam hal mana ada pihak ketiga pemberi gadai (pasal 1154, 1156 B.W.). Adanya pihak ketiga sebagai pemberi gadai dapat juga muncul karena adanya pembelian benda gadai oleh pihak ketiga. Pihak ketiga yang memberikan jaminan disebut pihak ketiga pemberi gadai. la termasuk orang yang untuk orang lain bertanggung jawab atas suatu hutang (orang lain), tetapi tanggung jawabnya hanya terbatas sebesar benda gadai yang ia berikan, sedang untuk selebihnya menjadi tanggungan debitur sendiri. Pihak ketiga pemberi gadai tidak mempunyai hutang/schuld, karenanya ia bukan debitur; kreditur tak mempunyai hak tagih kepadanya, tetapi ia mempunyai tanggung jawab yuridis dengan benda gadainya. 29

Gadai di rumah gadai (Jawatan Pegadaian/pachthuis] mempunyai sifat/ciri yang berbeda. Pihak pegadaian dapat menanggung kerugian pada waktu eksekusi, yang berarti bahwa tanggung jawab debitur di sana hanyalah sebesar barang gadainya saja. Debitur tak dapat dipaksa untuk membayar jumlah yang disebut dalam surat hutang, tetapi ia berhak untuk menebusnya. Harta benda debitur yang lain tidak dapat diambil untuk pelunasan hutang gadai di rumah gadai

29

Referensi

Dokumen terkait

Munir dan Wahyu Ilahi, Manajemen Dakwah (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.. Organisasi juga dapat diartikan kedalam dua pengertian: Pengertian pertama dalam arti status atau bagan

JUDUL : Museum Seni Rupa Modern Surakarta TEMA DESAIN : Arsitektur Kontemporer.. FOKUS KAJIAN : Kejelasan

Proses pengelolaan risiko tsunami melalui penggunaan informasi kebencanaan merupakan hal yang penting dilakukan oleh pemerintah daerah dengan potensi bahaya tsunami yang tinggi

Keterangan : Pada layar login pelanggan / client ini, pelanggan harus memasukkan username dan password sesuai voucher yang diberikan oleh kasir, setelah itu pelanggan bisa

Diperoleh hasil bahwa terjadi rekondisi konsep awal alun-alun pada waktu tertentu yang disebabkan oleh kultur bahwa masjid dan alun- alun merupakan satu kesatuan, orientasi

Tidak hanya pada tokoh Tenggar, secara keseluruhan, akhir cerita masing- masing tokoh pada novel ini harus berakhir pada kejayaan konstruksi patriarkis di Indonesia

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola penggunaan diuretik pada pasien sirosis dengan asites di Instalasi Rawat Inap RSUD Kabupaten Sidoarjo yang ditandai

Berdasarkan gambar 3.3 posisi SWOT perusahaan ini terletak pada strategi SO yaitu merancang aplikasi KM agar knowledge yang dimilliki karyawan terdokumentasi dengan baik dan