• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN GUNA PENCAPAIAN SWASEMBADA GARAM*

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN GUNA PENCAPAIAN SWASEMBADA GARAM*"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

1 PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN GUNA PENCAPAIAN

SWASEMBADA GARAM*1

Garam adalah sebuah komoditas yang seringkali terlupakan dan dipandang bukan merupakan komoditas yang popular dalam kebijakan pemerintah. Padahal apabila dilihat lebih jauh garam merupakan komoditas pelengkap yang tidak saja diperlukan bagi kebutuhan konsumsi namun juga untuk kebutuhan industri. Tercatat kebutuhan garam dalam negeri untuk kebutuhan konsumsi dan industri pada tahun 2010 sebesar 2,985 juta ton, dimana produksi garam dalam negeri sebesar 1,4 juta ton. Sedangkan sisanya sebesar 1,585 juta ton masih dipenuhi dari impor. Kebutuhan tersebut diperkirakan terus meningkat dimana pada 2011 ini diperkirakan mencapai 3,402 juta ton yang terdiri atas 1,6 juta ton garam untuk keperluan konsumsi dan 1,802 juta ton garam untuk keperluan industri. Sedangkan produksi garam nasional tahun ini diperkirakan hanya mencapai 1,3 juta ton. Sementara itu, produksi garam nasional yang menggunakan metode

solar evaporation adalah produksi yang murni memanfaatkan panas matahari.

Sehingga dengan demikian keberadaan panas matahari dan penataan lahan pegaraman menjadi faktor dominan dalam produksi garam nasional. Pemerintah saat ini menerapkan strategi intensifikasi, revitalisasi dan ekstensifikasi guna terus meningkatkan produksi garam nasional. Seluruh strategi yang diterapkan tersebut pada ujung-ujungnya adalah tetap diperlukan pengelolaan sumberdaya lahan yang baik.

Kata kunci: Pengelolaan, Lahan, Garam

Pengantar

Oleh: Ihsannudin

Prodi Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura ihsannudin@yahoo.com

Abstrak

Garam adalah sebuah komoditas yang seringkali terlupakan dan dipandang bukan merupakan komoditas yang popular dalam kebijakan pemerintah. Padahal apabila dilihat lebih jauh garam merupakan komoditas pelengkap yang tidak saja

1

Artikel Ini Telah Dipresentasikan Pada Seminar Nasional Reformasi Pertanian Terintegrasi menuju Kedaulatan Pangan, 20 Oktober 2011 Hotel Sahid Surabaya, dan Dimuat Dalam Prosiding Seminar Nasional: Reformasisi Pertanian Terintegrasi Menuju Kedaulatan Pangan, 20 Oktober 2011, ISBN 978-602-19131-0-9 Halaman 55 - 59

(2)

2 diperlukan bagi kebutuhan konsumsi namun juga untuk kebutuhan industri. Sehingga dengan demikian kebutuhan akan garam dapat diklasifikasikan menjadi kebutuhan untuk konsumsi dan kebutuhan untuk industri. Tercatat kebutuhan garam dalam negeri untuk kebutuhan konsumsi dan industri pada tahun 2010 sebesar 2,985 juta ton. Sedangkan produksi garam baik oleh rakyat maupun oleh PT. Garam (sebagai satu-satuya BUMN yang memperoduksi garam) adalah sebesar 1,4 juta ton. Sedangkan sisanya sebesar 1,585 juta ton masih dipenuhi dari impor. Kebutuhan tersebut diperkirakan terus meningkat dimana pada 2011 ini diperkirakan mencapai 3,402 juta ton yang terdiri atas 1,6 juta ton garam untuk keperluan konsumsi dan 1,802 juta ton garam untuk keperluan industri. Sedangkan produksi garam nasional tahun ini diperkirakan hanya mencapai 1,3 juta ton. Sehingga kekurangan dari kebutuhan tersebut pastinya akan dipenuhi dari import.

Hal ini tentu sangat ironis mengingat Indonesia adalah negara maritim yang kaya dengan sumberdaya dan memiliki sejarah kejayaan akan garam ini. Tidak mengherankan jika kemudian Pemerintah melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan mencetuskan pencapaian swasembada garam konsumsi pada 2012 dan garam industri pada 2015. Awal pencetusan swasembada garam adalah dilatarbelakangi tujuan (1) memenuhi kebutuhan garam nasional baik garam konsumsi maupun garam industri yang belum bisa terpenuhi. Perlu diingat bahwa pemenuhan kebutuhan garam ini bukan saja berkaitan dengan kuantitas namun juga dengan kualitas (terutama yang diperlukan industri). (2) menghentikan atau paling tidak mengurangi jumlah import garam nasional yang sedikitnya menyerap devisa sekitar $100 juta per tahun. (3) adanya manfaat efek ganda (multiplier effect) dari usaha pegaraman yang sangat tinggi. Efek ganda ini terkait dengan berjalannya kegiatan ekonomi (baik pada aktivitas di lahan, transportasi, pemasaran maupun industri), (4) mendukung pencapaian kualitas kesehatan masyarakat (pemenuhan kebutuhan garam konsumsi beriodium penduduk yang masih 72,81%).

(3)

3 Beberapa hal yang menjadi penghambat itu terjadi mulai dari sektor hulu hingga hilir dalam usaha pegaraman. Jika dikaji lebih mendalam permasalahan-permasalahan pegaraman ini salah satunya adalah permasalahan-permasalahan teknis produktivitas dan kualitas garam masih rendah yang dikarenakan: teknologi yang dipergunakan masih sederhana, adanya degradasi kuantitas dan kualitas lahan, iklim dan skala usaha.Maka pemerintah dalam paparannya mengungkapkan terdapat 5 isu strategis dalam mewujudkan swasembada garam. Salah satu isu strtategis itu yang terkait dengan upaya produksi secara secara langsung diungapkan bahwa infrastruktur dan fasilitas produksi rendah, pengelolaan lahan potensial pegaraman masih 20.089 Ha dari lahan potensial seluas 34.731 Ha. Sehingga dengan demikian masih terdapat 14.642 Ha lahan yang belum berproduksi.

Maka, dalam upaya pemecahan permasalahan guna mencapai swasembada garam ini dilakukan dengan meningkatkan kualitas dan kuantitas produksi dengan cara intensifikasi, revitalisasi dan ekstensifikasi lahan pegaraman. Cara atau strategi ini perlu dilakukan secara bijaksana dengan melihat kondisi yang ada di lapangan.

Produksi Garam

Dalam teori ekonomi produksi disebutkan bahwa produksi suatu komoditas dapat didorong oleh kekuatan-kekuatan tertentu. Ada empat kekuatan yang berinteraksi dalam menentukan tindakan-tindakan memaksimumkan keuntungan, yaitu pengetahuan teknis, permintaan produk, suplai faktor (input), dan suplai modal (capital) (Soekartawi. 1993).

Sebagaimana halnya dengan produksi pada pertanian atau kelautan yang sangat tergantung pada alam, maka produksi garam ini juga memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap variabel alam. Variable-variabel teknis yang berpengaruh terhadap produksi garam (Purbani, 2008) adalah mutu air laut, keadaan cuaca, porositas tanah, pengaturan aliran air, cara pungutan, dan air

(4)

4 bittern. Model yang perlu dikembangkan untuk meningkatkan mutu garam rakyat adalah dengan model pengendapan Kalsium, Magnesium dan Sulfat yang terkandung dalam air laut sebelum garam NaCl-nya dikristalisasikan (Abu. 2002). Peningkatan mutu dan produksi garam dapat dilakukan dengan cara rekyasa kimiawi maupun rekayasa biologi (Segal, dkk. 2009; Conghe, dkk. 2011).

Bahan baku utama pembuatan garam adalah air laut, dimana diperlukan teknik-teknik khusus agar mineral-mineral yang kurang dikehendaki dapat dipisahkan. Mineral yang cukup banyak di dalam garam yang berasal dari air laut adalah Natrium, Magnesium, Kalsium, Klorida dan Sulfat. Apabila Kalsium dan Magnesium dapat dipisahkan, maka Sulfat-nya juga akan terikut sehingga diharapkan garam yang dihasilkan mengandung kadar NaCl > 95%.

Untuk proses pembuatan garam dibutuhkan lahan yang dekat dengan laut, mempunyai porositas tanah rendah atau tanahnya tidak berpasir. Sumber air laut yang digunakan harus bersih/tidak terkontaminasi dengan air limbah kota. Selain itu topografi dan sifat fisik tanah serta iklim sangat berpengaruh pada proses pembuatan garam evaporasi.

Teknologi pembuatan garam yang umum dilakukan adalah dengan metode penguapan air laut/evaporasi dengan tenaga surya. Cara lain adalah dengan metode penguapan air laut/brine/air garam dengan bahan bakar, elektrodialisis (ion exchange membrane) dan dengan metode penambangan garam dari batuan garam (rock salt). Namun sebagian besar yang dilakukan di Indonesia adalah dengan metode penguapan air laut. Sementara metode yang dipakai dalam produksi garam tergantung pada iklim (musim kemarau) dan penyediaan air. Dikenal ada 3 (tiga) metode, yaitu:

1. Metode Portugis atau PT. Garam (Persero)

Metode ini dapat dilaksanakan apabila penyediaan air (volume dan konsentrasinya) memadai dan iklim (musim kemarau) pada daerah tersebut cukup panjang (di atas 5 bulan) serta relatif tidak ada gangguan hujan. Pada metode ini, garam yang di hasilkan kualitasnya pada umumnya sangat baik.

(5)

5 2. Metode Maduris

Metode ini dilaksanakan apabila penyediaan air (volume dan konsentrasinya) kurang memadai dan iklim (musim kemarau) pada daerah tersebut relatife pendek (kurang dari 5 bulan) serta sering ada gangguan hujan. Pada metode ini, garam yang di hasilkan kualitasnya pada umumnya kurang baik. Lay out pegaraman yang cocok untuk metode ini adalah Trap sistem (bertangga) yaitu lahan peminihan letaknya tepat di atas Meja – meja.

3. Metode Campuran / Tussen

Metode ini adalah gabungan / campuran dari 2 (dua) metode terdahulu (Portugis dan Maduris) yang dilaksanakan apabila iklim (musim kemarau) tidak menentu kadang - kadang cerah kadang – kadang ada gangguan hujan. Pada metode ini, garam yang di hasilkan kualitasnya pada umumnya kurang baik. Lay out pegaraman yang cocok untuk metode ini adalah Trap sistem (bertangga) yaitu lahan peminihan letaknya tepat di atas Meja – meja.

Ada beberapa syarat untuk konstruksi pembuatan lahan garam yang baik. Diantaranya menyangkut iklim dan cuaca yang intinya memerlukan penyinaran maksimal. Kondisi air laut yang diperlukan adalah air laut dengan salinitas tinggi dengan bebas kontaminasi air sungai. Sementara untuk topografi diinginkan kondisi topografi landai dengan kemiringan kecil. Sementara terkait dengan sifat fisis tanah yang memiliki permeabilitas yang rendah, saluran air yang baik dan bebas dari gangguan tanaman maupun hewan. Terakhir adalah luasan lahan minimal lahan pegaraman adalah 2-5 Ha bagi skala perorangan dan 4000 Ha bagi perusahaan besar guna mengoptimalkan pembagian peruntukan untuk bozem, peminihan dan meja garam dalam tahapan produksi garam.

Penataan Lahan Pegaraman

Berkaitan dengan lahan pegaraman yang dimiliki oleh pegaram masih terdapat beberapa permasalahan yang perlu dipecahkan. Masih banyak pengelolaan pegaram rakyat yang memiliki luasan kurang dari 2 Ha, bahkan juga

(6)

6 luasan lahan pegaram yang terpisah-pisah. Di Madura sendiri sebagai pemasok garam 60% dari produksi nasional sebagian besar (70%) mantong atau petani garam penggarap masih mengelola lahan dengan luasan kurang dari 2 Ha. Kondisi pegaram semakin termarjinalkan pada sisi yang juga dimaknai telah terjadi polarisasi dalam penguasaan lahan garam dan dominasi modal produksi kapitalis. Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap produksi garam yang dihasilkan karena tidak akan optimumnya pembuatan bozem, peminihan dan meja kristalisasi garam. Belum lagi kepemilikan lahan pegaraman yang terpencar-pencar sehingga menyulitkan untuk mengintegrasikan proses pembuatan garam. Dalam hal ini perlu ada upaya guna mengintegrasikan lahan dari tiap pegaram dengan mengadopsi konsep “corporate farming” atau pembentukan kelompok atau usaha bersamamelalui konsolidasi tanah yang akan memanfaatkan bozem atau bisa juga peminihan dan fasilitas pendukung usaha pegaraman lainnya secara bersama-sama. Tentu saja hal ini memerlukan beberapa pemikiran komprehensif lebih lanjut dalam implementasinya terkait dengan kondisi sosial budaya yang telah ada sebelumnya.

Terkait dengan permasalahan terbebasnya lahan pegaraman dari gangguan baik sampah, tanaman, hewan maupun manusia nampaknya hal ini perlu mendapatkan perhatian. Beberapa wilayah pegaraman di Madura telah mengalami alih fungsi lahan menjadi pemukiman maupun aktifitas ekonomi yang lain. Hal ini perlu ada perlindungan terhadap eksistensi lahan pegaraman dari pengalih fungsian. Regulasi yang konsisten dan koordinasi yang sinergis antar berbagai pihak sangat diperlukan untuk terciptanya lahan pegaraman yang eksisting.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah sarana dan prasarana terkait dengan produksi garam ini. Hambatan yang cukup dominan dalam penataan lahan pegaraman adalah tidak terintegrasinya fasilitas pegaraman. Jauhnya lahan pegaraman dari akses transportasi, kondisi kanal yang mengalami pendangkalan menambah permasalahan yang ada pada lahan pegaraman.

(7)

7 Upaya Peningkatan Produksi

Hal yang perlu digaris bawahi adalah selama ini produksi garam masih sangat tergantung pada musim. Variabilitas produksi yang mencerminkan risiko usaha pegaraman masih tergolong inggi. Sehingga perlu ada perhatian lebih dalam hal produksi garam itu sendiri. Pemerintah telah merumuskan 3 strategi dalam upaya pencapaian swasembada garam ini. Strategi yang dimaksud adalah intensifikasi, revitalisasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dilakukan dengan mengintensifkan lahan garam seluas 12.500 Ha. Upaya yang perlu dilakukan dalam intensifikasi ini adalah peningkatan kualitas dan kuantitas kapasitas produksi dengan luasan yang ada. Hal tersebut dapat dilakukan dengan teknologi zat aditif guna mempercepat koagulasi garam. Hal lain yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan pembagian jumlah luasan bozem, peminihan dan meja garam secara optimal. Mengingat bahwa luasan lahan pegaraman yang dikelola oleh pegaram rakyat ini sebagian besar kurang dari 2 Ha maka perlu dilakukan konsolidasi lahan untuk sedianya dapat menyediakan minimal bozem yang dapat dipergunakan secara bersama-sama. Sehingga nantinya pegaram tinggal memberikan perlakuan pada peminihan dan meja garam. Hal tersebut sangat memungkinkan untuk dilakukan mengingat pemerintah memiliki regulasi yang mengatur tentang konsolidasi tanah.

Sementara revitalisasi dilakukan dengan mengaktifkan kembali lahan garam seluas 1.536 Ha. Revitaliasasi lahan garam dapat dilakukan pada lahan-lahan pegaraman yang sementara ini tidak digunakan untuk proses produksi garam (terlantar). Strategi ini sebenarnya pemerintah telah memiliki regulasinya dengan berupa penataan tanah-tanah terlantar. Sehingga tanah sebagai sumberdaya yang ada dapat dimanfaatkan secara optimal dalam melakukan aktifitas produksi garam guna pencapaian kesejahteraan. Filosofi sederhananya adalah bahwa sebagaimana yang diamanatkan undang-undang dsar 1945 bahwa sebenarnya air, tanah dan kekayaan yang terkandung didalamnya adalah milik Negara yang dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Sehingga

(8)

8 sudah semestinya jika masih banyak lahan-lahan yang terlantar maka Negara berhak mengatur dan merevitalisasikannya untuk kemakmuran rakyat. Meski demikian perlu ada upaya lebih lanjut untuk dapat menentukan dan mendayagunakan tanah terlantar dengan baik.

Terakhir, terkait dengan ekstensifikasi, maka perlu dilakukan dengan perluasan lahan pegaraman pada lahan yang memang secara teknis berpotensi dapat dijadikan sebagai lahan pegaraman. Meski demikian perlu diingat bahwa meski Indonesia memiliki garis pantai yang panjang namun tidak semuanya layak dijadikan sebagai lahan pegaraman. Ada kondisi-kondisi tertentu yang merupakan syarat dapat dilakukannya produksi garam. Sehingga untuk dapat memanfaatkan lahan potensial yang tercatat seluas 14.642 ha baik yang dimiliki oleh rakyat maupun PT garam perlu penelaahan yang mendalam. Hal lain yang patut dicatat adalah perluasan lahan pegaraman ini jangan sampai bersinggungan dengan kepentingan lain yang pada akhirnya justru menimbulkan konflik kepentingan bagi sektor lainnya.

Kesimpulan

Produksi garam yang sangat bergantung dengan faktor alam maka perlu disikapi dengan bijaksana. Manusia tidak dapat melawan kondisi alam namun perlu berpikir untuk mensikapinya secara bijaksana. Produksi garam yang murni menggunakan evaporasi hendaknya dapat dilakukan dengan cara merekayasan kondisi lahan pegaraman dengan menempatkan jumlah bozem, peminihan dan meja garam secara optimal. Penataan lahan yang baik, pemanfaatan kembalai lahan terlantar serta perluasana lahan dengan tetap memperhatikan faktor teknis dan kepentingan lainnya adalah hal yang mutlak dilakukan.

(9)

9 REFERENSI

Abu. 2002. Buku Panduan Pembuatan Garam Bermutu. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Non Hayati. BRKP. Jakarta

Bappenas. Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2006-2010. Bappenas

Conghe Song, Brian L White, Benjamin W Heumann. Hyperspectral remote

sensing of salinity stress on red (Rhizophora mangle) and white (Laguncularia racemosa) mangroves on Galapagos Islands . Remote

Sensing Letters. Abingdon: Sep 2011. Vol. 2, Iss. 3; pg. 221

Detikfinance.com. Indonesia Sulit Produksi 1,3 Juta Ton Garam 'Anti Gondok'. Diakses pada Minggu 31/7/2011

Detikfinance.com. Minggu, Formalin Pada Ikan Asin Dikurangi, Permintaan

Garam Melonjak. Diakses pada

Rochwulaningsih, Yety. 2009. Petani Garam dalam Jeratan Kapitalisme:

Analisis Kasus Petani Garam di Rembang Jawa Tengah. Jurnal

unair.ac.id

14/08/2011

Ihsannudin. 2011. Perilaku Petani terhadap Usaha Pegaraman Rakyat Madura. Laporan Penelitian Dosen Muda. Universitas trunojoyo Madura

Kantor Berita Antara 18 Mei 2010 pada laman www.antaranew.com

Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2010. Program Swasembada Garam

Nasional. Makalah disampaikan pada Seminar Garam Nasional. Hotel

Sultan Jakarta. 18 Mei 2010.

Maulida, Diah. 2010. Merekonstruksi Garam Rakyat: dalam Perspektif Teknis,

Sosial Ekonomi dan Kelembagaan, Makalah Disampaiakan pada

Seminar Nasional Garam Dalam Rangka Dies Natalis ke-9 Universitas Trunojoyo Madura, 5 Juli 2010

PP No 11 Tahun 2010 Tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar dan Peraturan Kepala BPN No. 4 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Penertiban Tanah Terlantar

Purbani, Dini. 2009. Proses Pembentukan Kristalisasi Garam. Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumberdaya Nonhayati Badan Riset Kelautan dan Perikanan Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta

(10)

10 Segal, Richard D. Waite , Anya M. dan Hamilton, David P. 2009. Nutrient

limitation of phytoplankton in Solar Salt Ponds in Shark Bay, Western

Australia. Hydrobiologia (2009) 626:97–109

Soekartawi, Rusmadi dan Rafi Damaijati. 1993. Resiko dan Ketidakpastian dalam

Referensi

Dokumen terkait

Maka pada penelitian ini digunakan konsep sensor RP LIDAR untuk membangun alat pendeteksi koordinat benda dengan harga yang relatif murah.. Konsep sensor RP LIDAR

Variabel consumer behavior tidak mengakibatkan faktor psikologis mempengaruhi purchasing decision secara tidak langsung, ditunjukkan dari nilai pengaruh langsung lebih besar

Pemahaman inilah yang mendasari penelitian ini, yaitu bahwa iklan rokok Surya Pro Mild merupakan salah satu bentuk representasi dari realitas politik di Indonesia, khususnya

orang tua untuk mendengarkan atau menampung pendapat, keinginan atau keluhan anak, dan juga kesadaran orang tua dalam memberikan hukuman kepada anak bila

Rabu/ 22/12/10 Sindrom pasca trauma pada keluarga Tn.A berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga dalam mengambil keputusan mengenai tindakan yang tepat atas kecemasan atau trauma

Analisis Efisiensi Relatif dan Perilaku Petani terhadap Risiko Usahatani Bawang Merah di Kabupaten Bantul (Tesis).. Universitas

Berkaitan dengan pengembangan biodiesel berbasis minyak jarak pagar, maka pengembangan arang briket yang memanfaatkan bungkil sisa pengepresan biji jarak

Jika kita membaca sebuah riwayat dari salah seorang imam, maka kita tidak tahu apakah sang imam mengucapkan sabdanya dalam keadaan taqiyah atau tidak hal ini penting