PENATALAKSANAAN PTOSIS DENGAN TEKNIK RESEKSI APONEUROSIS LEVATOR MELALUI KULIT
OLEH :
ARYANI ATIYATUL AMRA NIP. 131 996 177
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN 2007
PENATALAKSANAAN PTOSIS DENGAN TEHNIK RESEKSI APONEUROSIS LEVATOR MELALUI KULIT
PENDAHULUAN
Ptosis palpebra (blefaroptosis) adalah turunnya kelopak mata atas di bawah kedudukan normal dan dapat menutupi aksis visual atau tidak, terjadinya dapat unilateral atau bilateral. Posisi kelopak mata atas yang normal adalah 2 mm di bawah limbus atas, atau terletak
antara limbus dan pusat pupil.1-12
Blefaroptosis bukan merupakan suatu diagnosa, tetapi merupakan suatu tanda adanya kelainan pada muskulus levator palpebra atau musculus muller yang berfungsi untuk mengangkat
palpebra superior.6
Ada dua sistem klasifikasi yang dipakai pada blefaroptosis, yang dikatagorikan berdasarkan onset terjadinya: kongenital dan didapat. Sedangkan berdasarkan etiologinya dapat dibagi: miogenik, aponeurotik, neurogenik, mekanikal dan traumatik. Tipe kongenital ptosis sering terjadi akibat dari muskulus levator yang tidak sempurna berkembang (miogenic cause), sedangkan ptosis didapat sering
disebabkan karena kelemahan atau disinsersi levator aponeurosis.1-12
Pemeriksaan fisik dilakukan pada pasien ptosis berdasarkan
empat ukuran klinis: fissura interpalpebra, margin reflek distan,
Derajat ptosis dapat ditentukan berdasarkan pemeriksaan aksi levator, ini sangat penting dalam menentukan perencanaan jenis
operasi yang akan dilakukan untuk koreksi ptosis.1-12
Ada tiga jenis operasi untuk koreksi ptosis yang sering dilakukan: 1. Reseksi aponeurosis levator melalui kulit.
2. Reseksi aponeurosis levator melalui konjungtiva. 3. Frontalis muscle suspension.1
Dalam sari kepustakaan ini penulis membahas teknik reseksi aponeurosis levator melalui kulit (trancutaneous), dengan pertimbangan tehnik ini lebih dianjurkan bagi dokter mata yang masih
pemula.3
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat diperlukan penjelasan (inform consent) pada pasien secara baik, termasuk
alternatif, potensial risiko dan manfaat operasi bagi pasien.1,2,3,4,7,8
ANATOMI PALPEBRA SUPERIOR
Palpebra superior terdiri dari enam lapisan: kulit, orbikularis, septum, tarsus, levator dan konjungtiva. Kulit merupakan lapisan anterior dengan jaringan subkutaneous. Posterior lapisan ini adalah muskulus orbikularis, yang dimulai dari muskulus frontalis yang meluas sampai margin palpebra yang dibagi dalam tiga bagian: tarsal orbikularis (anterior tarsus), septal orbikularis ( anterior septum orbital)
dan orbital orbikularis (di atas rima orbital) yang bagian atasnya
berhubungan langsung dengan muskulus frontalis superior.2,3
Septum orbita adalah jaringan fibrous yang berasal dari periostium yang berada di depan rima orbita bagian superior dan inferior. Pada palpebra superior, septum orbita bersatu dengan levator aponeurosis lebih-kurang 1-3 mm superior tarsus pada orang yang bukan etnis Asia. Lemak orbital terletak di belakang septum orbita dalam rongga preaponeorotik. Lemak orbita ini penting sebagai petunjuk dalam operasi, karena letaknya langsung dibelakang septum
orbita dan di depan aponeurosis levator.2,3
Tarsus palpebra superior merupakan jaringan ikat yang kokoh, tebal, yang berguna sebagai kerangka palpebra, tarsus superior pada bagian tengah palpebra vertikal berukuran 9-10 mm, dengan ketebalan lebih-kurang 1 mm. Arkade arteri marginal terletak 2 mm superior margin palpebra dekat dengan folikel silia dan anterior tarsus, sedangkan arkade arteri perifer berlokasi di superior tarsus antara
levator aponeurosis dengan muskulus muller.2,3
Muskulus levator pada orang dewasa panjangnya lebih-kurang 40 mm, sedangkan aponeurosis panjangnya 14-20 mm. Ligamentum transfersal superior (whitnalls ligament) adalah penebalan dari fasia muskulus levator yang berlokasi di daerah transisi muskulus levator
Ligamentum withnalls adalah muskulus levator yang bertransformasi, berstruktur seperti tendon yang berwarna putih berkilat. Levator aponeurosis membelah menjadi lamella anterior dan posterior pada lokasi kira-kira 10-12 mm di atas tarsus. Lamella posterior terdiri dari jaringan otot yang lembut yang diinervasi oleh saraf simpatis, disebut juga dengan muskulus mullers, yang analog dengan muskulus tarsal palpebra inferior. Muskulus muller kemudian berinsersi pada pinggir atas tarsus. Muskulus muller bagian posterior melekat erat dengan lapisan konjungtiva dan bagian anterior melekat dengan aponeurosis. Tidak ditemukan arkade pembuluh darah perifer pada anterior muskulus muller dekat dengan insersi pinggir superior tarsus.2,3
Septum orbita bersatu dengan aponeurosis pada bagian
superior lid-crease, tinggi lid-crease dapat berfariasi. Pada pinggir
inferior menyatu, lembaran mengecil pada jaringan superior melewati septum orbicularis masuk ke jaringan subkutaneous palpebra dan
memberi respon terhadap pembentukan lid crease. Pada sentral
lembaran aponeurosis ini mengangkat kulit yang longgar ke atas
lipatan lid crease ke atas crease, sehingga membentuk lipatan pada
palpebra superior, setengah anterior atas dari bentuk lempeng radiasi yang menyeluruh insersi septum yang menyeluruh pada muskulus pretarsal orbicularis dan kulit. Bagian bawah posterior dari lempeng
disisipkan dengan kuat ke bawah 7-8 mm dari anterior tarsus. Tempat
yang sangat kuat melekat 3 mm di atas margin palpebra.2,3
Perlekatan aponeurosis berfungsi untuk melekatkan sepanjang muskulus muller ke konjungtiva penting untuk sinkronisasi pergerakan struktur dari palpebra superior dan posisi dari sillia. Perlekatan pada tulang dari aponeurosis pada medial dan lateral horn. Lateral horn lebih kuat dari medial horn, lewat melalui glandula lakrimal kemudain terbagi dalam lobus palpebral dan orbital.Lateral horn melekat ke periorbita pada tuberkel orbita dan lateral kanthal tendon. Medial horn tipis, strukturnya lembut dan melekat secara lembut dengan bagian posterior dari medial kanthal tendon dan melengkung ke medial dan posterior dan masuk ke posterior lakrimal dan berhubungan dengan
periorbita pada dinding medial orbital.2,3
Konjungtiva pada lapisan posterior palpebra yang mengandung sel goblet yang mensekresi musin dan glandula lakrimal asesoris krause dan wolfring. Glandula lakrimal asesoris ditemukan pada jaringan sub-konjungtiva terutama pada palpebra superior diantara
Gambar 1: Potongan melintang palpebra superior.
(dikutip dari: American Academ Of Ophthalmology: Surgery of the Eyelid, Orbit, and Lacrimal
System in Ophthalmology Monograf 8, Volume 2, 1998, page 85).
Gambar 2: Tampak depan mata. ((dikutip dari: American Academy Of Ophthalmology: Surgery of the Eyelid, Orbit, and Lacrimal System in Ophthalmology Monograf 8,
KLASIFIKASI PTOSIS
Ptosis dapat dIklasifikasikan berdasarkan waktu terjadinya dan berdasarkan kelainan yang dijumpai, sebagian besar kasus ptosis kongenital akibat gangguan pembentukan jaringan muskulus levator. Sedangkan ptosis didapat terjadi akibat penurunan regangan atau disinsersi aponeurosis levator ( aponeurotic abnormality). Secara garis besar, maka blefaroptosis yang diakibatkan karena kelainan pembentukan jaringan muskulus levator disebut ptosis kongenital, sedangkan blefaroptosis akibat gangguan pada levator aponeurosis disebut ptosis didapat.
Berikut sistim klasifikasi yang spesifik dan akurat berdasarkan penyebab terjadinya ptosis termasuk:
Ptosis miogenik :
Kongenital: akibat dari gangguan pertumbuhan muskulus levator.
Didapat: ptosis ini jarang ditemukan, merupakan akibat dari
kelainan muskuler lokal atau menyeluruh, seperti distrofi muskuler, eksternal oftalmoplegia progresif kronik, miastenia grafis, atau distrofi okulofaringeal.
Ptosis aponeurotik:
Kongenital: akibat kegagalan insersi aponeurosis pada posisi
Didapat: akibat kelemahan, perlepasan, atau disinsersi aponeurosis levator dari kedudukan normal.
Ptosis neurogenik:
Kongenital: disebabkan karena adanaya defek neurogenik yang
terjadi pada saat perkembangan embrio. Ptosis ini jarang ditemukan dan sering berhubungan dengan kelumpuhan nervus kranial III kongenital, horner sindrom kongenital, atau Marcus Gunn jaw-winking sindrom.
Didapat: disebabkan karena putusnya hubungan persarafan
normal yang paling sering terjadi akibat sekunder dari kelumpuhan nervus kranial III didapat, sindrom horner atau miastenia grafis didapat.
Ptosis mekanikal:
Ptosis mekanikal biasanya terjadi akibat neoplasma yang
mendorong palpebra superior ke inferior, hal ini dapat disebabkan oleh kelainan kongenital seperti neuroma fleksiform, hemangioma, atau oleh neuplasma didapat seperti khalazion besar, basal sel atau squamous sel karsinoma. Edema setelah operasi atau trauma, yang dapat menyebabkan ptosis mekanikal sementara.
Ptosis traumatik:
Ptosis traumatik terjadi akibat trauma tajam dan tumpul pada muskulus atau aponeurosis levator. Seperti laserasi palpebra superior, prosedur bedah saraf orbital. Pada kasus ptosis troumatik dokter mata harus melakukan observasi selama 6 bulan sebelum melakukan koreksi ptosis, karena ptosis ini kadang-kadang dapat sembuh spontan.
Pseudoptosis:
Ada beberapa kondisi yang dapat menyebabkan pseudotosis, termasuk hipertropia, enoftalmos, mikroftalmos, anoftalmos, ptisis
bulbi, defek sulkus superior akibat trauma, atau kasus lainnya.1,2,3,5,7,8,10
PEMERIKSAAN SEBELUM OPERASI A. ANAMNESA
Anamnesa meliputi identitas pasien dan riwayat penyakit, dapat ditanyakan dari pasien sendiri atau anggota keluarga. Pasien kita suruh membawakan foto untuk memadukan riwayat permulaan ptosis. Terutama jika riwayatnya ptosis samar-samar atau tidak konsisten
B. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik awal pada pasien ptosis dimulai dengan empat ukuran klinik:
Fissura interpalpebra vertikal: Jarak antara margo palpebra superior dan inferior pada posisi penglihatan primer.
Gambar 5: ukuran fisura palpebra (dikutip dari: Kansky. JJ, Eyelid Ptosi in Clinical Ophthalmology A Systemic Approach, Sixth Edition, Butterworth-Heinemann Elsevier, 2005, Page 133).
Margin reflek distance (MRD): Penderita disuruh melihat pada posisi primer, kemudian diukur jarak antara margo palpebra superior dan reflek cahaya, normal 4 mm.
Gambar 4: Ukuran margin reflek distan. (Kansky. JJ, Eyelid Ptosis in Clinical Ophthalmology A Systemic
Approach, Sixth Edition, Butterworth - Heinemann Elsevier, 2005, Page 133).
Lid-crease palpebra superior: Jarak antara lipatan kulit palpebra superior dengan margin palpebra. akibat insersi jaringan muskulus
levator ke dalam kulit sehingga membentuk lid-crease. Disinsersi
aponeurosis levator membentuk lid-crease pada posisi tinggi, ganda,
dan asimetris. Lid-crease biasanya tinggi pada pasien ptosis
involusional. Pada ptosis kongenital biasanya samar-samar atau tidak
ada. Ciri khas lid-crease orang Asia biasanya rendah dan tidak jelas,
walaupun tidak ada ptosis.
Fungsi levator: Penderita diminta melihat ke bawah maksimal, pemeriksa memegang penggaris dan menempatkan titik nol pada margo palpebra superior, juga pemeriksa menekan otot frontal agar otot frontal tidak ikut mengangkat kelopak, lalu penderita diminta melihat ke atas maksimal dan dilihat margo palpebra superior ada pada titik berapa. Aksi levator normal 14-16 mm.
Gambar 3: ukuran aksi levator.(dikutip dari: Kansky. JJ,
Eyelid Ptosis in Clinical Ophthalmology A Systemic Approach, Sixth Edition, Butterworth – Heinemann Elsevier, 2005, Page 142.
Pemeriksaan fisik lainnya termasuk:
Lagoftalmos.
Posisi alis mata.
Tajam penglihata kedua mata.
Gerakan bola mata.
Sensibilitas kornea.
Tes schirmer.
Bell phenomen.
Tes tensilon.
Tes phenylephrin.1-12
PENENTUAN WAKTU OPERASI
Penentuan waktu operasi pada Ptosis kongenital unilateral, bila
refleks pupil tidak terlihat (MRD = nol atau minus) koreksi ptosis harus secepatnya dilakukan untuk mencegah ambliopia. Sedangkan pada ptosis bilateral, dapat ditunggu sampai umur 5 – 6 tahun.
Pada ptosis akibat trauma, koreksi dapat dilakukan setelah
observasi 6 bulan sampai 1 tahun.1,5
PEMILIHAN JENIS OPERASI
Perencanaan prosedur operasi koreksi ptosis terbagi dalam tiga bagian besar dan jenis operasi koreksinya harus berdasarkan kondisi
patologi. Ada tiga jenis prosedur operasi yang sering dilakukan untuk koreksi ptosis:
Reseksi aponeurosis levator melalui kulit.
Reseksi aponeurosis levator melalui konjungtiva.
Frontalis muscle suspension.1
Derajat atau jenis ptosis serta besarnya fungsi levator merupakan faktor yang dapat menentukan dalam memilih prosedur operasi. Pengalaman dan tingkat kenyamana operator juga merupakan faktor yang paling penting dalam menetukan jenis prosedur operasi blefaroplasti. Pada pasien dengan fungsi levator yang baik, koreksi umumnya langsung diarahkan ke aponeurosis levator. Apabila fungsi levator jelek atau tidak ada, maka tehnik yang dipilih frontalis muscle suspension.1,3,6,9,13
TEHNIK OPERASI RESEKSI APONEUROSIS LEVATOR MELALUI KULIT
Perhitungan besarnya reseksi levator aponeurosis = (margin
limbal distan mata normal - margin limbal distan mata ptosis) x 3. 6
Koreksi ptosis kongenital pada pasien anak atau bayi diharuskan
menggunakan anastesi umum. Sedangkan pada pasien remaja atau dewasa lebih dianjurkan menggunakan anastesi lokal.
Kira-kira 10-15 menit sebelum operasi, 1 cc lidocain 2% dengan 1: 100.000 atau 1: 200.000 epinefrin diinjeksi subkutis pada palpebra sepanjang garis insisi yang direncanakan, kemudian diberikan 1-2 tetes anastesi topikal setiap 2 menit untuk lima kali pemberian.
Lensa konta sklera berwarna dipasang pada permukaan okular
untuk mencegah kerusakan mata selama operasi.
Benang kromik 4-0 dijahit pada fornik superior serta menembus
rektus superior dan kemudian diikat, benang dibiarkan selama operasi berlangsung. Benang ini dapat membantu mengindentifikasi rektus superior selama operasi. Setelah selesai operasi , benang dipotong dekat dengan simpul dan dibiarkan untuk mencegah prolap forniks superior. Dengan benang silk 5-0 dibuat jahitan kendali pada palpebra superior 2 mm dari margin palpebra untuk menghindari arkade pembuluh darah. Benang kendali ini dibuat menembus ke semua struktur palpebra sampai posterior muskulus orbikularis, agar pada saat penarikan muskulus orbikularis juga ikut tertarik.
Gambar 6: jahitan pada fornik superior yang menembus rektus superior. (dikutip dari: American Academy Of Ophthalmology: Surgery of the Eyelid, Orbit, and Lacrimal System in Ophthalmology Monograf 8, Volume 2, 1998, page 101).
Pada ptosis monokular, garis lokasi insisi dibuat sesuai dengan
lid-crease palpebra mata normal. Marker insisi yang
direncanakan dapat ditandai dengan disposible skin marking
pen atau pewarna yang lazim digunakan seperti: brilliant green
4%, gentian violet atau metilen blue. Pada ptosis binokular
dengan lid-crease yang kurang atau tidak ada, garis insisi dibuat
lebih-kurang 8-10 mm di atas margin palpebra, dekat pinggir atas tarsus dan melancip ke lateral dan medial palpebra.
Gambar 7: Insisi kulit sepanjang garis lokasi insisi. (dikutip dari:
American Academy Of Ophthalmology: Surgery of the Eyelid, Orbit, and Lacrimal System in Ophthalmology Monograf 8, Volume 2, 1998, page 102).
Insisi muskulus orbikularis pada bagian tengah sampai
menembus ke permukaan fasia orbikularis posterior dengan gunting, diperluas ke medial dan lateral. Kemudian muskulus orbikularis pretarsal dipisahkan dengan muskulus orbikularis preseptal sepanjang insisi, dengan menegangkan kulit dan muskulus orbikularis terlebih dahulu.
Muskulus orbikularis pretarsal dibebaskan dengan permukaan
superior tarsus dengan cara diseksi tumpul. Diseksi tumpul ke inferior tidak boleh lebih 3-4 mm di atas garis bulu mata, untuk mencegah kerusakan akar bulu mata, yang mengakibatkan hilangnya bulu mata secara permanen. Kemudian orbikularis
preseptal dibebaskan dari septum orbita sampai lebih kurang 15 mm superior rima orbita.
Jika reseksi levator yang direncanakan berukuran sedang
sampai dengan lebar, maka orbikularis harus dibebaskan dari kulit lebih luas ke superior, yang di mulai dari pinggir insisi. Kemudian eksisi kulit berbentuk bulan sabit (crescent) sepanjang pinggir atas insisi. Tehnik ini sama seperti penatalaksanaan operasi blefaroplasti. Hal ini dapat mencegah kedutan pada kulit palpebra superior post-operasi, sehingga mendapatkan hasil kosmetik lebih sempurna.
Septum orbita dikondisikan pada posisi menegang, insisi pada
bagian tengah dengan gunting. Kemudian septum dibebaskan ke medial dan lateral dari aponeurosis levator dengan diseksi tumpul dan tajam. Ketika septum orbita dibuka lalu dijumpai rongga preaponeurotik, yang berada di belakang septum dan di depan muskulus levator aponeurosis. Lemak yang berada dalam rongga ini dapat menjulur dan menyebar ke anterior, biasanya akibat dorongan bola mata yang akan prolap melalui rongga ini. merupakan anatomi penting sebagai petunjuk kepada ahli mata bahwa lapisan berikutnya setelah lamak ini adalah aponeurosis levator.
Gambar 8: menggunting pada bagian tengah Untuk membuka septum orbita.
(dikutip dari: American Academy Of Ophthalmology: Surgery of the Eyelid, Orbit, and Lacrimal System in Ophthalmology Monograf 8, Volume 2, 1998, page 102).
Jika levator aponeurosis lengket, dibuat insisi lubang kancing (buttenhole) pada pinggir medial dan lateral levator aponeurosis dekat pinggir atas tarsus. Kemudian dibuat terowongan di bawah aponeurosis sejajar pinggir atas tarsus
tanpa menembus muskulus muller atau konjungtiva, secara diseksi tumpul dengan menggunakan gunting. Kemudian klem ptosis atau hemostat dimasukkan dalam terowongan ini, dilakukan insisi aponeurosis pada pinggir distal klem, setelah itu
Diseksi aponeurosis ini dapat juga dilakukan tanpa menggunakan klem, pada ujung insersi inferior dari aponeurosis dapat dipegang dengan forsep saja. Dengan diseksi tumpul, permukaan dalam aponeurosis dibebaskan dari muskulus muller dan konjungtiva ke superior sampai batas ligamen transfersal (withnall ligament). Jika perlu, dibuat dua buah insisi vertikal dengan gunting dimulai dari ujung aponeurosis yang bebas dengan ukuran lebih-kurang 2/3 luas aponeurosis. Metode pemisahan aponeurosis seperti ini sangat direkomendasikan sekarang.
Gambar 9: Insisi lubang kancing (buttonhole): (dikutip dari: American Academy Of Ophthalmology: Surgery of the Eyelid, Orbit, and Lacrimal System in Ophthalmology Monograf 8, Volume 2, 1998, page 102. .
Gambar 10: Klem ptosis dimasukkan ke dalam lubang melalui subaponeurosis.
(dikutip dari: American Academy Of Ophthalmology: Surgery of the Eyelid,Orbit, and Lacrimal System in Ophthalmology
Monograf 8, Volume 2, 1998, page 102).
Gambar 11: Potongan melintang, klem ptosis diantara Aponeurosis dan muskulus muller.
(dikutip dari: American Academy Of Ophthalmology: Surgery of the Eyelid, Orbit,and Lacrimal System in
Jika operator melakukan diseksi aponeurosis dengan metode biasa, dapat
dilakukan dengan membuat insisi lubang kancing (buttonhole) di bagian medial dan lateral aponeurosis levator pada pinggir atas
tarsus sampai menembus konjungtiva tarsal. Klem ptosis atau
hemostat dimasukkan melalui lubang insisi bagian medial dan dikeluarkan lewat lobang insisi bagian lateral. Klem menjepit konjungtiva di bagian posterior, muskulus muller dan levator aponeurosis bagian anterior, klem kemudian ditutup dan dikunci. Jaringan yang dijepit tadi kemudian dipisahkan secara diseksi tajam dari permukaan anterior tarsus.
Kemudian konjungtiva tarsal dimunculkan dengan mengangkat klem ke
atas. Untuk membantu memisahkan konjungtiva dengan muskulus muller dilakukan injeksi subkonjungtiva dengan normal saline atau lidokain dengan spuit G 25. Selanjutnya konjungtiva dibebaskan dari permukaan posterior muskulus muller dan levator bagian belakang dalam orbita dengan diseksi secara hati-hati. Kemudian potong konjungtiva pada bagian bawah dari klem dan jahit konjungtiva ke pinggir superior tarsus dengan benang kromik catgut 6-0 secara kontiniu.
Gambar 12: Diseksi konjungtiva dari muskulus muller. (dikutip dari: American Academy Of Ophthalmology: Surgery of the Eyelid, Orbit, and Lacrimal System in Ophthalmology Monograf 8, V olume 2, 1998, page 105.
Gambar 13: Konjungtiva dijahit ke pinggir tarsus jika
digunakan tehnik full- thickness.
(dikutip dari: American Academy Of Ophthalmology: Surgery of the Eyelid, Orbit, and Lacrimal System in Ophthalmology Monograf 8, Volume 2, 1998, page 105).
Gambar 14: Konjungtiva dipisahkan dari muskulus muller dengan diseksi tumpul.
(dikutip dari: American Academy Of Ophthalmology: Surgery of the Eyelid, Orbit, and Lacrimal System in Ophthalmology Monograf 8, Volume 2, 1998, 105).
Klem diputar ke bawah dan levator aponeurosis dibebaskan
tumpul ini sampai ke superior untuk dapat memberikan jumlah reseksi levator aponeurosis sepanjang yang diperlukan.
Pisahkan medial dan lateral horn aponeurosis levator dengan
gunting sampai ke muskulus levator, supaya lebih mudah untuk menarik levator aponeurosis ke pinggir tarsus bagian superior pada saat menjahit kembali, jika memerlukan reseksi levator yang lebih panjang.
Gambar 15: Gunting ke arah vertikal untuk memotong horns medial dan lateral.
(dikutip dari: American Academy Of Ophthalmology: Surgery of the Eyelid, Orbit, and Lacrimal System in Ophthalmology Monograf 8, Volume 2, 1998, page 106).
tarsus secara horizontal, satu jahitan di tengah, dua lainnya pada masing-masing pinggir dengan jarak 7-9 mm pada orang dewasa dan anak-anak 11 tahun atau lebih, sedangkan pada anak 4-10 tahun 6-7 mm, jahitan itu diteruskan ke aponeurosis levator dari permukaan posterior ke anterior pada bagian distal klem dengan jaraknya sesuai panjang rencana reseksi. Jika dibuat reseksi 14 mm, maka dijahit pada posisi 14 mm dari ujung proksimal aponeurosis levator. Apabila jumlah reseksi tidak dapat diperhitungkan, jahitan pada aponeurosis levator dapat disesuaikan dengan kebutuhan untuk mengangkat margin palpebra sesuai dengan yang diinginkan. Jahitan disimpul
dengan slip knot, kemudian klem dibuka dari aponeurosis
levator, kelengkungan dan ukuran margin palpebra dapat dievaluasi pada mata dengan memegang forsep kemudian dijepit dan pastikan pandangan pada posisi primer. Jika kelengkungan atau batas atas kornea tidak memuaskan, satu atau lebih jahitan dapat dilepas dan reposisi ke atas atau ke bawah seperlunya. Ketika kurva dari pelpebra superior dan ukurannya mencukupi, simpul diikat kembali kemudian dipotong. Muskulus levator bagian distal dari simpul direseseksi dengan gunting lebih kurang 2 mm distal dari simpul.
Gambar 16: Jahitan pada batas reseksi yang diinginkan. (dikutip dari: American Academy Of Ophthalmology: Surgery of the Eyelid, Orbit, and Lacrimal System in Ophthalmology Monograf 8, Volume 2, 1998, page 107).
Gambar 17: Levator dijahit kembali ke pinggir tarsus kemudian dipotong pada garis putus- putus 2-3 mm dari jahitan.
(dikutip dari: American Academy Of Ophthalmology: Surgery of the Eyelid, Orbit, and Lacrimal System in Ophthalmology Monograf 8, Volume 2, 1998, page 107).
Pada pasien usia remaja atau dewasa kulit ditutup dengan benang marseline 6-0 atau silk 7-0 secara terputus, dan jahitan dibuka selama 5-6 hari. Sedangkan pada pasien anak, kulit harus ditutup dengan benang yang dapat diabsorbsi (cat-gut 6-0), tiga jahitan kulit yang dalam (satu ditengah dan dua lainnya lebih-kurang 6 mm tiap-tiap pinggir dari jahitan tengah) hingga
terjahit levator aponeurosis untuk membentuk lid-crease . Tiga
jahitan untuk membentuk lid-crease ini dibuka setelah 2 minggu.
Buat jahitan frost di atas bantalan kasa (catton pegs), pada
palpebra inferior dan alis mata.
Gambar 18: Untuk mencegah nekrosis kulit, jahitan Frost dibuat diatas bantalan catton.Jahitan 3,5, dan 7 dijahit lebih dalam
sampai ke aponeurosis levator supaya terbentuk lid-crease.
(dikutip dari: American Academy Of Ophthalmology: Surgery of the Eyelid, Orbit, and Lacrimal System in Ophthalmology Monograf 8, Volume 2, 1998, page 107).
Selanjutnya oleskan antibiotik salap mata, kemudian tutup
dengan kain kasa.3,5,6,10,11,13
PERAWATAN SETELAH OPERASI
Pada prosedur reseksi levator, sering mengalami lagoftalmos, maka digunakan jahitan Frost untuk menarik palpebra inferior ke atas supaya melindungi kornea. Oleskan antibiotik salap pada mata kemudian tutup dengan kain kasa dan dibiarkan selama 24 jam.
Antibiotik-steroid salap mata dapat dipakai pada jahitan palpebra dan bola mata saat selesai operasi untuk mencegah dehidrasi kornea. Pada umumnya salap mata perlu diberikan selama 1-2 minggu untuk menjaga kestabilan palpebra hingga sembuh dengan sempurna. Jika dijumpai adanya tanda-tanda dehidrasi permukaan kornea atau defek
epitel yang menetap, jahitan Frost dapat dibiarkan sampai terjadi
penyembuhan. Pada hari ke 5-7 setelah operasi, jahitan dapat dibuka dan pasien diharuskan untuk kontrol ulang. Apabila lagopthalmus masih terlihat berat dan pasien tidak dapat menutup mata sama sekali, palpebra dapat ditarik dengan plester pada malam hari. Setelah stabil,
evaluasi terhadap hasil akhir operasi dalam waktu 1-2 bulan.1,3,8,9,12,13
KOMPLIKASI SETELAH OPERASI
ini dapat dicegah dengan mengukur jumlah reseksi aponeurosis levator yang tepat sebelum ujung aponeurosis dipotong dan dijahit pada pinggir tarsus. Koreksi ulang apabila dijumpai underkoreksi dapat dilakukan dalam minggu pertama setelah operasi atau pada saat pasien masih dirawat di rumah sakit. Dalam hal ini harus dapat dibedakan underkoreksi karena edema setelah operasi dengan underkoreksi yang sebenarnya. Komplikasi lainnya yang mungkin terjadi adalah: overkoreksi, kontour palpebra yang tidak simetris atau tidak sempurna, berparut pada bekas insisi, luka operasi yang tidak
sembuh, eyelid-crease yang tidak simetris, prolap konjungtiva, eversi
tarsal, dan lagoftalmos yang dapat menyebabkan keratitis eksposur. Lagoftalmos yang terjadi setelah operasi ptosis biasanya terjadi pada pasien dengan fungsi levator yang kurang. Kondisi ini biasanya tidak menetap, dalam hal ini memerlukan pengobatan dengan artifisial tear
DAFTAR PUSTAKA
1. American Academy Of Ophthalmology: Orbit, Eyelids, and Lacrimal System in Basic and Clinical Science Course, Section 7, 2005-2006, page 205-219.
2. Kansky. JJ, Eyelid Ptosis in Clinical Ophthalmology A Systemic Approach, Sixth Edition, Butterworth- Heinemann Elsevier, 2005, Page 133-142.
3. American Academy Of Ophthalmology: Surgery of the Eyelid, Orbit, and Lacrimal System in Ophthalmology Monograf 8, Volume 2, 1998, page 84-131.
4. American Academy Of Ophthalmology: Surgery of the Eyelid, Orbit, and Lacrimal System in Ophthalmology Monograf 8, Volume 1, 1998, page 86.
5. Perdami, Penanganan Ptosis Palpebra dalam: Kumpulan Makalah Kursus Okuloplastik, Palembang, 29-30 Agustus 1991, Halaman 1-10.
6. Perdami, Penatalaksanaan Blefaroptosis dalam: Prosedur Diagnostik dan Penatalaksanaan Bedah Pastik Mata dan Rekonstruksi, Jakarta 2003, halaman 1-8.
7. Jacques C.M, Joseph S.G, Neuromuskular anomalies in Color Atlas And Text of Ocular Plastic Surgery, Mosby-wolfe, 1996, Page 83-94.
8. W. Jackson Iliff, Elba M. Pacheco, Ptosis Surgery in Duene's Clinical Ophthalmology, Volume 5, Chapter 72, Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia 2004, Page 1-17.
9. Collin J.R.O, Ptosis in: A Manual of Systematic Eyelid Surgery, Second Edition, Churchill Livingstone, 1999, Page 41-71.
10. John Harry K, Joseph ACW, Blepharoptosis in: An Atlas of Ophthalmic Surgery, Third Edition, J.B. Lippincott Philadelphia Toronto, 1991, Page 161-209.
11. Arthur J.S, Surgical Techniques for Congenital and Acquired Ptosis, in: Ophthalmic Plastic and Reconstructive surgery, Rochester, Minnesota, 2000, Page 164-204.
12. Ptosis Surgery in:
http://www.emedicine.com/blepharoplasty/topic 739.htm. Last