• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II MUT AH DAN NUSYUZ DALAM HUKUM ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II MUT AH DAN NUSYUZ DALAM HUKUM ISLAM"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

13

2.1. Mut’ah Menurut Hukum Islam

2.1.1. Pengertian Mut’ah

Kata mut’ah dengan dhammah min (mut’ah) atau kasrah

(mit’ah) akar kata dari al-mata’, yaitu sesuatu yang disenangi.

Maksudnya, materi yang diserahkan suami kepada istri yang dipisahkan dari kehidupannya sebab talak atau semakna dengannya. (Azzam, Hawwas 2011,). Mut’ah dapat juga dikatakan sebagai pemberian suami kepada istri yang diceraikannya sebagai suatu kompensasi. (Syarifuddin 2006, 301)

Mut’ah menurut pasal 1 huruf j Kompilasi Hukum Islam

adalah “Pemberian bekas suami kepada istri yang dijatuhi talak berupa benda atau uang dan lainnya”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia mut’ah adalah sesuatu (uang, barang, dsb) yang diberikan suami kepada istri yang diceraikannya sebagai bekal hidup (penghibur hati) bekas istrinya.

Sedangkan menurut Ensiklopedi Hukum Islam secara harfiah mut’ah berarti barang yang sedikit atau barang yang menyenangkan. Kata mut’ah sering dipergunakan untuk sebutan bagi suatu barang atau uang pemberian suami kepada istrinya yang ditalak sebelum dicampuri terlebih dahulu sesuai dengan kesanggupan dan keikhlasan suami, seperti tertulis dalam al-Qur’an surah al-baqarah ayat 236 dan surah al-Ahzab ayat 49. (Ensiklopedi Islam 2011, 311)

Menurut Prof. Dr. Wahbah az-zuhaili mut’ah adalah pakaian atau harta yang diberikan oleh suami kepada istri yang dia ceraikan yang melebihi mahar atau sebagai ganti mahar

(2)

sebagaimana dalam kondisi perempuan mufawwidah1 untuk

menghibur hati si perempuan, dan untuk mengganti rasa sakit akibat perpisahan. (Zuhaili 2011, 473)

Mazhab Maliki mengartikannya sebagai kebaikan untuk perempuan yang diceraikanya ketika terjadi perceraian dalam kadar sesuai dengan jumlah sedikit dan banyaknya harta suami. (Zuhaili 2011, 473)

Dapat disimpulkan bahwasanya mut’ah adalah pemberian mantan suami kepada mantan istri baik berupa uang atau barang sebagai penghibur bagi mantan istri yang telah diceraikan dengan talak.

2.1.2. Dasar Hukum Mut’ah

Banyak ayat al-Qur’an yang menjelaskan tentang mut’ah

diantaranya, al-Qur’an surah al-Baqarah (2) : 236























































Dan hendaklah kamu berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut cara yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.

Para mufasir berbeda pendapat dalam menakwilkan ayat ini. Sebagian mereka mengatakan “wajib bagi suami yang menceraikan istrinya untuk memberikan mut’ah kepadanya, sebagaimana ia wajib membayar hutangnya. Mut’ah wajib diberikan kepada setiap istri apapun kondisinya. (Thabari 2008, 122)

(3)

Menurut pengarang kitab tafsir ath-thabari yaitu Abu Ja’far Muhammad bin Jarir ath-thabari sepertinya orang yang berpendapat bahwa mut’ah tidak wajib beralasan kutipan ayat tersebut “haqqan

alal muhsinin” (ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikkan)

dan firman Allah “haqqan alal muttaqin” (sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa) sebab jika wajib niscaya tidak dikhususkan bagi orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang baik saja, tetapi umum bagi semua orang. Adapun ulama yang mewajibkan mut’ah kecuali atas istri yang telah diberikan maharnya, mereka beralasan pada firman Allah “walilmuthallaqati mata’un bil

ma’ruf haqqan alal muttaqin” (kepada wanita-wanita yang diceraikan

hendaklah diberikan oleh suaminya mut’ah menurut yang ma’ruf

sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa) (Q.S al-Baqarah :2/241), bahwa baginya setengah mahar, karena menurut mereka bahwa mut’ah ditetapkan oleh Allah pada ayat sebelumnya untuk istri yang belum diberikan maharnya. (Thabari 2008, 131)

Pendapat yang paling tepat menurut Abu ja’far ath-thabari adalah yang mengatakan, bahwa setiap istri yang dicerai suaminya berhak mendapatkan mut’ah. Karena Allah telah berfirman

walilmuthallaqati mata’un bil ma’ruf haqqan alal muttaqin”. Allah

menjadikan mut’ah hak bagi istri yang diceraikan suaminya, tidak terbatas pada istri tertentu saja, dan siapa pun tidak berhak mengalihkan hukum yang zhahir ini kepada yang bathin kecuali dengan alasan yang benar. Menurutnya (Abu Ja’far) mut’ah bagi wanita yang diceraikan suaminya adalah hak dan kewajiban, hak bagi istri dan kewajiban bagi suami, seperti mahar dan hutang yang harus dibayar atau digantikan dengan sesuatu yang berkedudukan sama atau dengan pembebasan diri, jika tidak maka barang perbendaharaan suami boleh disita. Karena firman Allah “wamatti’u hunna” “dan hendaklah kalian berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka”,

(4)

hal ini bermakna Allah memerintahkan kepada suami agar memberinya mut’ah, dan perintah Allah berarti wajib kecuali Allah menjelaskan itu sebagai sunnah dan anjuran. (Thabari 2008, 134)

Ayat lain yang juga dapat dijadikan dasar hukum mut’ah adalah al-Baqarah :2/241 sebagai berikut :







































“Dan bagi perempuan-perempuan (istri-istri) yang diceraikan hendaklah diberi mut’ah menurut cara yang ma’ruf (baik). Sebagai suatu kewajiban bagi orang-orang yang bertaqwa.”

Yang dimaksud oleh Allah dengan firman-Nya ini adalah kepada wanita-wanita yang diceraikan hendaklah diberikan mut’ah

(pemberian) oleh suaminya, maksudnya adalah sesuatu yang dapat menyenangkannya berupa baju, pakaian, nafkah, pelayan, atau lainnya yang dapat menghibur hatinya. (Thabari 2008, 268)

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur tentang mut’ah. Namun, dalam Kompilasi Hukum Islam pasal 149 ayat 1 menerangkan:

Bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al-dukhul.

Pasal 158 sampai dengan pasal 160 Kompilasi Hukum Islam juga mengatur tentang mut’ah.

Pasal 158 Mut’ah wajib diberikan oleh bekas suami dengan syarat:

a. Belum ditetapkan mahar bagi istri ba’da al-dukhul.

b. Perceraian itu atas kehendak suami.

Pasal 159 Mut’ah sunnat diberikan oleh bekas suami tanpa syarat tersebut pada pasal 158.

(5)

Besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami.

2.1.3 Hukum Mut’ah

Ulama berbeda pendapat tentang kewajiban memberi mut’ah

terhadap isteri. Golongan Zahiriyah berpendapat bahwa mut’ah itu hukumnya wajib. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa mut’ah

hukumnya sunnah, karena kata haqqan ala al-muttaqin di ujung ayat tersebut menunjukkan hukumnya tidaklah wajib. Golongan lain mengatakan bahwa kewajiban mut’ah itu berlaku dalam kedaan tertentu. Hanafiyah berpendapat bahwa hukum wajib berlaku untuk suami yang menalak istrinya sebelum digauli dan sebelumnya jumlah mahar tidak ditentukan. (Syarifuddin 2006, 302). Sebagian ulama berpendapat bahwa mut’ah dalam kondisi tersebut tidak wajib, ia hanya sunnah. Demikian pendapat Malik, Al-Laits, Ibnu Abi Layla, dan Imam Asy-Syafi’i dalam pendapat yang lama (qaul qadim). (Azzam, Hawwas 2011, 208)

Mayoritas Ulama beralasan sebagai berikut : Pertama, firman Allah dalam al-Qur’an surah al-Baqarah : 236-237 :































































































Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu

(6)

berikan suatu mut’ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.









































































































































Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu. Kecuali jika mereka (membebaskan) atau (dibebaskan) rleh orang yang akad nikah ada di tangannya. Pembebasan itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah kamu lupa kebaikan di antara kamu. Sungguh, Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.

Ayat pertama menjelaskan hukum wanita bercerai sebelum bercampur dan belum ditentukan maharnya, ia wajib diberi mut’ah. Ayat kedua, menjelaskan hukum wanita bercerai sebelum bercampur dan telah ditentukan maharnya, hukumnya ia wajib diberi separuh mahar yang ditentukan. Metode pemahaman dua ayat di atas, firman Allah ayat pertama : “dan berilah mut’ah mereka” adalah suatu perintah. Perintah pada hakikat berlaku untuk kewajiban selama tidak ada tanda-tanda yang menyertainya (qarinah) yang memalingkan kewajiban tersebut kepada makna lain, yakni sunnah atau anjuran dan atau lainnya. Ketika tidak didapatkan qarinah, perintah disini kembali

(7)

kepada hakikatnya, yaitu wajib. Jadi, mut’ah wajib bagi wanita yang tercerai sebelum dicampuri dan belum dipastikan maharnya. (Azzam, Hawwas 2011, 208)

Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili menjelaskan tentang hukum

mut’ah dengan menguraikan pendapat-pendapat Imam mazhab.

Mazhab Hanafi berpendapat mut’ah disunnahkan bagi setiap perempuan yang diceraikan kecuali perempuan mufawwidah , yaitu perempuan yang kawin tanpa mahar dan diceraikan sebelum terjadi persetubuhan. Atau perempuan yang ditentukan mahar untuknya berupa mahar fasid atau ditentukan mahar setelah akad. (Zuhaili 2011, 286)

Menurut mazhab Maliki, sesungguhnya mut’ah disunnahkan untuk setiap perempuan yang ditalak, berdasarkan firman Allah SWT, surah al-Baqarah 241 dan al-Baqarah 236. Sesungguhnya Allah SWT mengikat perintah untuk memberikan mut’ah dengan ketaqwaan dan kebaikan. Sedangkan kewajiban tidak terikat dengan kedua perkara ini. Menurut mazhab ini, ada tiga jenis perempuan yang ditalak; perempuan yang ditalak sebelum digauli dan sebelum ditentukan mahar (perempuan mufawwidah) memiliki hak mut’ah, dan tidak memiliki hak mahar. Perempuan yang ditalak sebelum digauli dan setelah disebutkan mahar maupun setelahnya , memiliki hak mut’ah. Tidak ada hak mut’ah pada setiap perpisahan yang dipilih oleh perempuan, seperti perempuan yang terkena penyakit penyakit gila, kusta, dan lepra, juga pada perpisahan akibat pembatalan, ataupun akibat khulu’, ataupun akibat li’an. (Zuhaili 2011, 286)

Mazhab Syafi’i memiliki pendapat yang bertentangan dengan mazhab Maliki. Mereka berpendapat, mut’ah wajib untuk setiap perempuan yang diceraikan, baik perceraian tersebut sebelum terjadi persetubuhan maupun setelahnya. Kecuali perempuan yang diceraikan sebelum digauli yang telah ditentukan mahar untuknya,

(8)

maka dia hanya cukup mendapatkan setengah bagian mahar. Mut’ah

harus diberikan kepada perempuan yang diceraikan sebelum digauli jika dia tidak wajib mendapatkan setengah bagian mahar. (Zuhaili 2011, 287)

Mazhab Hambali sependapat dengan mazhab Hanafi secara

general, yaitu mut’ah wajib bagi setiap suami yang merdeka dan

budak, orang Muslim dan ahli dzimmah, untuk setiap istri mufawwidah

yang ditalak sebelum digauli dan sebelum ditetapkan mahar untuknya, berdasarkan ayat yang tadi telah disebutkan,”…maka berilah mereka mut’ah.” Dan tidak bertentangan dengan firman-Nya, “Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” Karena pelaksanaan kewajiban merupakan kebaikan, maka bagi perempuan mufawwidah tidak lain selain mut’ah.

Menurut mazhab ini mut’ah disunahkan bagi setiap perempuan yang diceraikan yang selain mufawwidah yang tidak ditetapkan mahar untuknya, berdasarkan firman Allah SWT, “kepada wanita-wanita yang diceraikan (hendaklah diberikan oleh suaminya) mut’ah

menurut yang makruf.” (al-BAqarah: 241). Dan tidak diwajibkan karena Allah SWT membagi perempuan yang ditalak kepada dua bagian. Mut’ah diwajibkan untuk perempuan yang tidak ditetapkan mahar untuk mereka, dan bagi perempuan setengah yang dberikan setengah mahar musamma. (Zuhaili 2011, 288)

Tidak ada mut’ah bagi perempuan yang ditinggal mati karena nash al-qur’an tidak menyebutkanya, dan yang disebutkan hanyalah perempuan yang ditalak. Mut’ah gugur dalam setiap objek yang membuat mahar gugur didalmnya, seperti tindakan kemurtadan dan penyusuanya yang membuat batal pernikahanya. Karena hal ini menempati posisi setengah mahar musamma, maka jatuh disetiap disetiap objek yang membu at mahar jatuh. Mut’ah wajib untuk perempuan mufawwidah di setiap objek yang membuat mahar

(9)

musamma dibagi menjadi dua, seperti kemurtadan si suami, diqiaskan dengan perceraian. Mut’ah tidak diwajibkan pada perpisahan yang membuat jatuh mahar musamma, seperti perbedaan agama, dan pembatan akibat susuan, dan sejenisnya jika datang dari pihak perempuan karena mut’ah menempati posisi setengah mahar

musamma, maka jatuh di semua objek jatuhnya mahar musamma.

Orang yang diwajibkan memberikan bagian setengah mahar kepada si istri, tidak wajib memberikan mut’ah untuknya. Tidak ada mut’ah bagi perempuan yang maharnya telah ditentukan setelah terjadi persetubuhan, atau perempuan mufawwidah setelah terjadi persetubuhan. Akan tetapi, disunahkan mut’ah untuknya. Disunahkan juga bagi orang yang menetukan mahar yang fasid untuk si perempuan, seperti minuman keras dan mahar yang tidak diketahui. Kemudian si perempuan ditalak sebelum terjadi persetubuhan. (Zuhaili 2011, 288)

Diantara pendapat-pendapat tersebut yang lebih kuat menurut Wahbah az-Zuhaili adalah pendapat mazhab Syafi’i karena dalil yang diigunakannya lebih kuat, serta untuk menghibur diri perempuan, dan meringankan rasa sakit akibat perpisahan. Dan untuk menemukan motivasi untuk kembali kepada istri jika bukan talak tiga. (Zuhaili 2011, 288)

2.1.4 Ukuran Mut’ah

Ukuran mut’ah tidak diterangkan dalam syara’, mut’ah berada di antara sesuatu yang memerlukan ijtihad maka wajib dikembalikan kepada hakim sebagaimana hal-hal lain yang memerlukan ijtihad. Ukuran mut’ah berbeda-beda sesuai dengan perbedaan zaman dan tempat. Mut’ah yang layak dan rasional pada suatu zaman terkadang tidak layak pada zaman lain. Demikian juga mut’ah yang layak di suatu tempat terkadang tidak layak di tempat lain. (Muhammad Hawwas 2011, 211)

(10)

Tidak ada nash dalam menetapkan kadar dan jenis mut’ah, sehingga para fuqoha’ melakukan ijtihad dalam menentukan kadarnya. Mazhab Hanafi memutuskan bahwa kadar mut’ah adalah tiga buah baju, rompi (pakaian yang dikenakan perempuan di atas baju), kerudung, jubah yang dipergunakan oleh perempuan untuk menutupi tubuhnya dari bagian kepala sampai kaki. Al-mataa’ adalah nama barang menurut tradisi. Karena untuk mewajibkan pakaian memiliki penilian dalam asal syari’at, yaitu pakaian yang diwajibkan untuk si istri pada saatnya berlangsungnya ikatan suami-istri dan disaat masa

iddah. Pakaian yang paling minim yang dikenakan oleh seorang

perempuan dan yang menutupi tubuhnya ketika sedang pergi keluar adalah tiga buah pakaian. Ketiga buah pakaian ini tidak melebihi setengah bagian mahar mitsil jika suami adalah orang kaya, karena pakaian ini adalah pengganti mahar mitsil. Juga tidak kurang dari lima dirham jika suami adalah orang miskin. (Zuhaili 2011, 289)

Jika suami-istri saling bersengketa mengenai kadarnya, qadhi menilainya dengan hasil ijtihadnya sesuai dengan kelayakan kondisi dengann memperhatikan kondisi kedua suami-istri, sebagaimana yang dikatakan oleh mazhab Hanafi, yang berupa kaya, miskin, nasab, dan sifat. Yang difatwakan bahwa sesungguhnya mut’ah dianggap sesuai dengan kondisi suami istri, seperti nafkah. Jadi jika keduanya adalah orang kaya, si istri berhak mendapatkan sesuatu yang lebih tinggi dari pakaian. Jika keduanya adalah orang miskin, maka sesuatu yang lebih rendah. Jika kondisi keduanya berbeda, maka yang pertengahan. (Zuhaili 2011, 289)

Mazhab Syafi’i berpendapat bahwa mut’ah tidak memiliki ukuran tertentu, tetapi disunahkan jangan sampai mut’ah kurang dari tiga puluh dirham atau yang sehargai dengan itu Mereka mengambil dalil dari hadis yang diriwayatkan dari Abi Majlas berkata: “aku berkata kepada Ibnu Umar: “Berikan kepadaku tentang mut’ah, ia pun

(11)

memberikan kepadaku tentang ukuran mut’ah dan aku orang yang dimudahkan. Ia berkata : “Berikan pakaian begini, berikan pakaian begini, dan berikan pakaian begini,” Abi Majlaz berkata: “cukuplah, aku dapati kira-kira seharga 30 dirham.” Beliau berkata : “Perkiraan 30 dirham”. (Muhammad Azzam, Sayyed Hawwas 2011, 210). Ini merupakan perkara yang paling rendah yang disunahkan, yang paling tinggi adalah pembantu dan yang paling pertengahannya adalah baju. Disunahkan jangan sampai mencapai setengah bagian mahar mitsil. (Zuhaili 2011, 289)

Ulama Hanabilah berpendapat, bahwa mut’ah yang paling tinggi diberi pembantu, yang pertengahan diberi pakaian, dan yang paling rendah diberi pakaian yang cukup untuk shalat, yaitu baju kurung dan kerudung.. (Muhammad Hawwas 2011, 211)

Mazhab Maliki dan Hambali berpendapat, mut’ah dilihat dari kondisi kaya dan miskinnya suami. Orang yang kaya sesuai dengan kadarnya dan orang yang miskin juga sesuai dengan kadarnya. Berdasarkan ayat yang tadi telah disebutkan yang mengungkapkan tentang kondisi mut’ah berdasarkan kondisi si suami. Tingkatan yang paling tingginya adalah pembantu, maksudnya nilai pembantu pada zaman mereka jika si suami adalah orang kaya. Yang paling rendah adalah jika si suami adalah orang miskin maka mut’ah yang diberikan adalah pakaian lengkap yang dapat digunakan untuk shalat, atau pakaian yang paling rendah, yang berupa rompi dan kerudung, atau yang sejenisnya. Maksudnya yang paling rendah adalah tiga buah pakaian sebagaimana yang dikatakan oleh Mazhab Hanafi, yang terdiri dari rompi (baju), kerudung yang menutupi kepalanya, dan jubah. Berdasarkan perkataan Ibnu Abbas, “Mut’ah yang paling tinggi adalah pembantu, kemudian yang setelahnya adalah nafkah, dan kemudian yang lebih rendahnya adalah pakaian.” Secara zahir, yang rajah adalah pendapat ini. (Zuhaili 2011, 289)

(12)

2.2. Nusyuz dalam Hukum Islam

2.2.1. Pengertian Nusyuz

An-nasyz atau an-nasyaz berarti tempat yang tinggi, yaitu

sikap tidak acuh dari salah seorang di antara suami istri. Arti kata nusyuz dalam pemakaiannya berkembang menjadi durhaka

(al-isyan) atau tidak patuh sebagai lawan kata dari qunut

(senantiasa patuh). Ibnu Manzur ahli Bahasa Arab dalam Lisan

al-Arab (Ensiklopedi Bahasa Arab) mendifinisikan sebagai

kebencian salah satu pihak (suami atau istri) terhadap pasangannya. Wahbah az-Zuhaili, mengartikan nusyuz sebagai ketidakpatuhan salah satu pasangan terhadap apa yang seharusnya dipatuhi dan/atau rasa benci terhadap pasangannya. (Ensiklopedi Hukum Islam 2000, 1353)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) nusyuz

adalah perbuatan tidak taat dan membangkang seorang istri terhadap suami tanpa (tanpa alasan) yang tidak dibenarkan oleh hukum Islam.

Ensiklopedi Hukum Islam menjelaskan apabila terjadi pembangkangan terhadap sesuatu yang memang tidak wajib dipatuhi, maka sikap itu tidak dapat dikategorikan sebagai

nusyuz. Misalnya perintah suami agar istri berbuat maksiat, atau

melakukan hal-hal yang melanggar syariat. Demikian juga apabila istri meminta sesuatu diluar batas kemampuan suami, jika suami tidak dapat memenuhi permintaan tersebut maka hal tersebut tidak dapat dikategorikan nusyuz. (Ensiklopedi Hukum Islam 2000, 1353)

2.2.2. Macam-macam Nusyuz

2.2.2.1.Nusyuz istri

Nusyuz adalah kata yang berasal dari Bahasa Arab yang secara

(13)

diartikan dengan : “kedurhakaan istri terhadap suami dalam hal menjalankan apa-apa yang diwajibkan Allah atasnya.” (Syarifuddin 2006, 191)

Beberapa hal yang harus dilakukan istri terhadap suaminya, seperti berkata lemah lembut dan tidak mengeras di hadapan suami, melaksanakan apa yang disuruh suami dan meninggalkan apa yang dicegah suaminya, selama yang demikian tidak menyalahi norma agama; meminta izin kepada suami waktu berpergian keluar rumah, menjaga suami, harta suami dan harta kekayaannya; dan lain-lain sebagaimana kewajiban yang ditetapkan agama. (Syarifuddin 2006, 191)

Adakalanya istri tidak menjalankan apa yang semestinya dilakukan istri terhadap suaminya, seperti tidak ta’at pada perintah suami, membangkang, berkata kasar dan lain sebagainya. Apabila hal itu terjadi hendaklah suami mencari penyebab terjadinya perbuatan tersebut. Agar diketahui dimana letak kesalahan yang mesti diperbaiki. Namun, sekiranya hal tersebut tidak dapat memperbaiki sikap istri maka dapat dilakukan langkah-langkah dalam mengatasi istri yang nusyuz. (Subki 2010, 302)

Berkenaan dengan nusyuz KHI menegaskan pada pasal 84 : 1)Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan

kewajiban-kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 Ayat (1) kecuali dengan alasan yang sah.

2)Selama istri dalam nusyuz kewajiban suami terhadap istrinya tersebut pada Pasal 80 Ayat (1) huruf a tidak berlaku kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.

3)Kewajiban suami tersebut pada Ayat (2) di atas berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz.

4)Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri harus didasarkan atas bukti yang sah.

2.2.2.2. Nusyuz suami

Nusyuz suami mengandung arti pendurhakaan suami kepada

Allah karena meninggalkan kewajibannya terhadap istrinya. Nusyuz

(14)

istrinya, baik meninggalkan kewajiban yang bersifat materi atau

nafaqah atau meninggalkan kewajiban yang bersifat nonmateri

diantaranya mu’asyarah bil ma’ruf atau menggauli istrinya dengan baik. Yang terakhir ini mengandung arti yang luas, yaitu segala sesuatu yang dapat disebut menggauli istrinya dengan cara buruk, seperti berlaku kasar, menyakiti fisik dan mental, tidak melakukan hubungan badanuyah dalam waktu tertentu dan tindakan lain yang bertentangan dengan asas pergaulan baik. (Syarifuddin 2006, 193)

Ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan nusyuz suami terdapat dalam surah an-Nisa’: 4/128 sebagai berikut Apabila suami melalaikan kewajibannya dan istrinya berulang kali mengingatkannya namun tetap tidak ada perubahan, maka al-Qur’an seperti yang terdapat dalam surah an-Nisa’: 4/128 menganjurkan perdamaian dengan cara istri istri diminta untuk lebih sabar menghadapi suaminya dan merelakan hak-haknya dikurangi untuk sementara waktu, tujuannya agar tidak terjadi perceraian. (Syarifuddin 2006, 193)

2.2.3. Cara Mengatasi Nusyuz

Dengan terbaginya nusyuz kepada dua macam, maka cara untuk mengatasi nusyuz-pun terbagi kepada dua macam. Yaitu cara mengatasi nusyuz istri dan cara mengatasi nusyuz suami.

Allah SWT menetapkan beberapa cara menghadapi kemungkinan nusyuz-nya seorang istri, sebagaimana dinyatakan-Nya dalam surat an-Nisa’ ayat 34 :

















































(15)



























Istri-istri yang kamu khawatirkan akan berlaku nusyuz, maka beri pengajaranlah mereka dan berpisahlah dari tempat tidur dan pukullah mereka. Jika mereka sudah menaatimu janganlah kamu cari-cari jalan atasnya. Sesungguhnya Allah Maha Tahu lagi Maha Besar.

Para ulama berbeda pendapat mengenai ayat al-Qur’an surah an-Nisa’ ayat 34 di atas apakah menetapkan secara berurutan atau tidak. Sekelompok pakar mengatakan bahwa sesungguhnya ayat tersebut menghendaki berurutan. Penyebab timbulnya perbedaan para ulama adalah perbedaan mereka dalam memahami ayat. Bagi yang memahami tidak adanya tuntutan berurutan mengatakan sesungguhnya huruf wawu dalam bahasa Arab tidak mengahuruskan berurutan, akan tetapi untuk mengumpulkan secara mutlak. Maka bagi suami untuk mengambil salah satu hukuman yang sesuai dengan keadaannya (kedurhakaan istri). Baginya juga mengumpulkan antara keduanya. (Subki 2010, 316)

Bagi yang memilih wajib berurutan mengatakan bahwa ayat ini jelas menunjukan urutan. Ayat datang secara bertahap dari lemah ke kuat kemudian pada yang lebih kuat. Oleh karena itu, Allah memulai dengan nasihat, kemudian lebih tinggi lagi yaitu berpisah tempat tidur. Lalu lebih tinggi lagi darinya yaitu dengan memukul. Berdasarkan hal tersebut berlakunya penjelasan dan keharusan secara tertib. Jika tujuan telah berhasil denga cara yang lebih ringan maka haruslah mencukupkan dengannya, tidak boleh mendahulukan cara yang lebih keras. (Subki 2010, 316)

Tiga tahapan penyembuhan nusyuz istri secara berurutan yang harus dilalui sebagaimana dijelaskan dalam ayat tersebut di atas:

(16)

1. Bila terlihat tanda-tanda bahwa istri akan nusyuz, suami harus memberikan peringatan dan pengajaran kepada istrinya dengan menjelaskan bahwa tindakannya itu adalah salah menurut agama dan menimbulkan risiko ia dapat kehilangan haknya. Bila dengan pengajaran itu si istri yang baik, masalah sudah terselesaikan dan tidak boleh diteruskan.

2. Bila istri tidak memperlihatkan sikapnya dan memang secara nyata nusyuz itu telah terjadi dengan perhitungan yang objektif, suami melakukan usaha berikutnya yaitu pisah tempat tidur, dalam arti menghentikan hubungan seksual. Menurut ulama

hijrah dalam ayat itu juga berarti meninggalkan komunikasi

dengan istri. Bila cara ini yang ditempuh, tidak boleh lebih dari tiga hari. Hal ini didasarkan kepada sebuah hadis Nabi dari Abu Hurairah :

ةثلاث قىف هاخأ رجهي نأ نلسلم ليح لا

مايأ

Tidak boleh seseorang muslim tidak bersapaan dengan temannya lebih dari tiga hari

Dalam tahap ini yang boleh dilakukan hanyalah pisah ranjang dan tidak boleh memukulnya, berdasarkan zahir ayat di atas. Namun menurut salah satu riwayat dari Imam Ahmad sudah boleh memukulnya dengan pukulan yang tidak menyakitkan karena dalam tahap ini sudah jelas kedurhakaan tersebut. Bila dengan usaha pisah ranjang ini istri telah kembali taat, persoalan sudah selesai dan tidak boleh dilanjutkan ke tahap berikutnya. 3. Bila dengan pisah ranjang istri belum memperlihatkan adanya

perbaikan, bahkan tetap dalam keadaan nusyuz, maka suami boleh memukul istrinya dengan pukulan yang tidak menyakiti. Pukulan dalam tahap ini adalah bentuk ta’dib atau edukatif, bukan atas dasar kebencian. Suami dilarang memukul dengan pukulan yang

(17)

menyakiti sebagaimana bunyi hadis Nabi dari Abdullah bin Zar’ah menurut riwayat al-Bukhari yang bunyinya:

لا نلس و هيلع للها ىلص للها لىسر لاق

َ

ثمّ دبعلا دلج هتأرهإ نكدحأ دليج

اهعهايج

Rasulullah SAW bersabda : seseorang tidak boleh memukul istrinya sebagaimana memukul budak kemudian ditidurinya.

Bila dengan pukulan ringan tersebut istri telah kembali kepada keadaan semula maka masalah telah terselesaikan. Namun bila dengan langkah ketiga ini masalah belum dapat diselesaikan baru dibolehkan suami menempuh jalan lain yang lebih lanjut, termasuk perceraian, firman Allah yang berbunyi :











 





 



Jika dia sudah taat kepadamu janganlah kamu mencari-cari jalan untuknya.

Mengandung arti suami tidak boleh menempuh cara apa pun selain dari itu termasuk menceraikannya. Dari pemahaman terhadap ayat di atas jelaslah bahwa Allah tidak menghendaki adanya perceraian kecuali setelah tidak menemukan cara lain untuk mencegahnya. (Syarifuddin 2006, 193)

Adapun cara yang dapat dilakukan apabila suami nusyuz, dijelaskan dalam firman Allah dalam surah an-Nisa’ (4) ayat 128 :



























































(18)



























































Jika istri khawatir suaminya akan berlaku nusyuz dan berpaling, tidak ada salahnya jika keduanya melakukan perdamaian dalam bentuk perdamaian yang menyelesaikan. Berdamai itu adalah cara yang paling baik. Hawa nafsu manusia tampil dalam bentuk pelit. Bila kamu berbuat baik dan bertawa maka sesungguhnya Allah Maha Tahu atas apa yang kamu perbuat.

Ayat ini menjelaskan bahwa kebaikan memelihara sebab ikatan pernikahan itu lebih baik dan lebih utama daripada berpisah dan bercerai, karena ikatan ini termasuk ikatan yang kuat dan lebih baik untuk dipelihara dan lebih pantas untuk dipenuhi. Setelah disebutkan ayat tentang baiknya perbaikan ketika hal ini terjadi, termasuk bagian yang mengingatkannya akan adanya sifat yang tidak diterima jiwa kemanusiaan, yaitu kikir. Sifat ini tersembunyi di dalam jiwa masing-masing suami istri sebagaimana juga dalam jiwa setiap manusia. (Subki 2010, 320)

Maksud dari peringatan pada watak kemanusiaan ini adalah posisi yang dituntut untuk bertoleransi dan membiarkan lebih banyak daripada posisi lainnya, yakni dorongan dari masing-masing suami istri untuk menerima apa yang diperoleh satu sama lain dalam bergaul meskipun hal itu bukan haknya. Berusaha mengalahkan sifat tercela secara syara’ sehingga memungkinkan jiwanya untuk mencurahkan tambahan atas kewajiban atau kesabaran terhadap sesuatu yang muncul di luar hak yang mesti

(19)

diperoleh hal ini akan melanggengkan hubungan kekeluargaan yang kokoh dan terpelihara. (Subki 2010, 320)

2.2.4. Pengaruh Nusyuz terhadap Hak Istri Menurut Hukum Islam

Nusyuz yaitu maksiat yang dilakukan istri atas hak suaminya

dalam hal-hal yang mewajibkanya melakukan akad nikah. Nafkah istri dianggap gugur jika ia melakukan nusyuz. Meski dengan menolak bersentuhan tanpa uzur, yang menjadi pembukaan untuk melakukan senggama. Karena, nafkah itu sebagai pengganti kesenangan yang diperoleh. Jika istri menolak disentuh maka ia tidak berhak untuk mendapat nafkah dari suaminya. Ulama Hanafiyah berkata, “nafkah yang gugur karena nusyuz dan mati adalah nafkah yang wajib, bukan nafkah yang diutang menurut pendapat yang ashah.” Jika istri menolak ajakan suami karena ada uzur, meskipun berupa luka kecil disekitar kemaluan, atau sedang mengalami pembengkakan maka nafkahnya tidak gugur. Hal-hal yang dianggap uzur antara lain sakit yang membahayakan jika melakukan senggama, atau terlalu besarnya kemaluan suami sehingga kemaluan istri tidak sanggup untuk menahanya. Adapun jika istri keluar rumah tanpa izin suami, atau berperggian tanpa izin, atau melakukan ibadah haji tanpa izin maka itu juga termasuk nusyuz, kecuali dalam keadaan darurat atau ada uzur, seperti misalnya rumahnya hampir roboh, atau keluar rumah untuk ziarah atau menengok ayahnya yang sedang sakit maka keluarnya dianggap uzur dan tidak termasuk nusyuz. (Zuhaili 2011, 105)

Adapun jika keluarnya istri dari rumah itu atas izin suaminya maka Ulama Syafi’iyyah membuat perincian sebagai berikut : jika perginya itu bersama suami atau karena memenuhi kebutuhan suami maka nafkahnya tidak gugur. Namun jika untuk memenuhi kebutuhannya sendiri maka nafkahnya gugur menurut qaul yang

(20)

berkunjung ke rumah tetangga, sanak saudara takziah, ataupun melihat orang sakit ketika suami sedang tidak ada di rumah maka secara adat hal itu tidak termasuk nusyuz sehingga nafkahnya tidak gugur. (Zuhaili 2011, 105)

Hak Istri merupakan kewajiban bagi suami. Berkenaan dengan kewajiban suami Kompilasi Hukum Islam mengaturnya dalam pasal 80:

1)Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga yang penting-penting diputuskan oleh suami istri bersama.

2)Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya. 3)Suami wajib memberi pendidikan agama kepada istrinya dan

memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa.

4)Sesuai dengan penghasilan suaminya menanggung : a. Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri.

b. Biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi istri dan anak.

c. Biaya pendidikan bagi anak.

5)Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada ayat (4) huruf a dan b di atas mulai berlaku sesudah ada tamkin sempurna dari istrinya.

6)Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap dirinya sebagaimana tersebut pada ayat (4) huruf a dan b.

7)Kewajiban suami sebagaimana dimaksud ayat (5) gugur apabila istri nusyuz.

Kewajiban seorang istri ditentukan dalam pasal 83 Kompilasi Hukum Islam, yaitu kewajiban utama seorang istri ialah berbakti lahir dan bathin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan oleh hukum Islam, serta istri berkewajiban menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya. Jika istri, tanpa alasan yang sah, tidak melaksanakan kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam pasal 84 Kompilasi Hukum Islam tersebut, maka si istri, menurut pasal 84 Kompilasi Hukum Islam dianggap nusyuz. Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami

(21)

terhadap istrinya tidak berlaku, kecuali hal-hal untuk kepentingan anakanya, kewajiban suami tersebut berlaku kembali sesudah istri tidak nusyuz. Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri, harus didasarkan atas bukti yang sah. (Syaifuddin, Turatmiyah dan Yahanan 2013, 396-397)

Menurut jumhur ulama berkenaan dengan akibat hukum perbuatan nusyuz istri adalah mereka sepakat bahwa istri yang tidak taat kepada suaminya tanpa ada alasan yang dapat dibenarkan secara

syara’ atau secara aqli maka istri dianggap nusyuz dan tidak berhak

mendapatkan nafkah. Apabila suami beristri lebih dari satu (poligami) maka terhadap istri yang nusyuz selain tidak wajib memberikan nafkah juga tidak wajib memberikan gilirannya. Tetapi ia wajib memberikan tempat tinggal. (Basyir 1995, 81)

Referensi

Dokumen terkait

Penggunaan pupuk organik makin meningkat seiring dengan berkembangnya pertanian organik. Pangan organik makin diminati sejalan dengan meningkatnya kesadaran masyarakat

mendukung perkembangan sektor industri manufaktur bukan migas adalah: industri alat angkutan/mesin dan peralatan, industri makanan dan. minuman/tembakau, industri

Variabel Lingkungan Kerja dan Motivasi Intrinsik secara simultan dan parsial mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kinerja pegawai bagian sekretariat pada

Dalam kajian ini, tumpuan diberikan kepada hubungan kesebaban jangka pendek dalam sistem yang terdiri daripada lima pemboleh ubah, iaitu indeks komposit Bursa Malaysia, harga emas,

Sapi Jepang coklat memiliki kualitas daging yang lebih rendah namun memiliki angka pertumbuhan dan efisiensi penggunaan pakan yang lebih tinggi dibandingkan dengan

Hubungan antara Pengajaran dengan Kesadaran Mahasiswa terhadap Hak dan Kewajibannya ebagai Warga negara (Kelompok Kontrol) ... Hubungan antara Pengajaran dengan

1. Sistem reward artinya ganjaran, hadiah, penghargaan atau imbalan yang diterima atas prestasi kerja. Dalam konsep manajemen, reward merupakan salah satu alat