• Tidak ada hasil yang ditemukan

neurodevelopmental yang terjadi pada anak antara lain Attention Deficit-

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "neurodevelopmental yang terjadi pada anak antara lain Attention Deficit-"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

2 Gangguan neurodevelopmental merupakan permasalahan yang banyak dialami anak usia sekolah dasar pada saat ini. Contoh gangguan neurodevelopmental yang terjadi pada anak antara lain Attention Deficit-Hyperactivity Disorder (ADHD), autism, kesulitan belajar, disabilitas intelektual (lebih sering dikenal dengan retardasi mental), gangguan perilaku, cerebral palsy dan gangguan pada penglihatan dan pendengaran. Berdasarkan survei terhadap orangtua yang dilakukan di Amerika Serikat pada tahun 2006 sampai 2008, kurang lebih 15% anak berusia 3 sampai 17 tahun mengalami gangguan neurodevelopmental (Boyle dkk., 2011). Prevalensi yang cukup besar diantara gangguan tersebut adalah ADHD dan kesulitan belajar. Menurut National Collaborating Centre for Mental Health (2009) masalah ADHD mencapai puncak pada usia anak sekolah sekitar 7-12 tahun, misalnya dengan munculnya kesulitan belajar dan kesulitan untuk fokus terhadap pelajaran yang diberikan.

Di Indonesia sendiri, penelitian tentang prevalensi ADHD sudah pernah dilakukan, namun belum ditemukan prevalensi ADHD untuk Indonesia secara umum (Kartinah, 2010). Penelitian mengenai prevalensi baru dilakukan sebatas pada kota atau provinsi tertentu. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Saputro (2004) ditemukan bahwa prevalensi ADHD pada anak usia sekolah di Kota Jakarta sebesar 26,2%. Di Sumatera, yakni di kecamatan Padang Timur ditemukan prevalensi sebesar 8% (Novriana, Yanis & Masri, 2014). Penelitian di provinsi lain, yang dilakukan di Kota Yogyakarta menemukan bahwa prevalensi ADHD pada siswa sekolah dasar di Kota Yogyakarta adalah 5,47% (Hayati, 2014), di Kecamatan Cangkringan, Sleman 7,48% (Christina, 2012), dan di Banguntapan,

(2)

3 Bantul 3,5% (Dewi, 2011), dengan proporsi jenis kelamin laki-laki dibandingkan dengan perempuan adalah 4:1. Penelitian yang dilakukan oleh Wimbarti, Dewi dan Khoirot (2016) menemukan prevalensi ADHD di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Sleman adalah sebesar 8,09%.

ADHD merupakan gangguan kesehatan mental yang saat ini banyak dialami oleh anak usia sekolah. Barkley (2006) mengemukakan, ADHD merupakan salah satu kasus yang paling sering dirujuk ke psikolog sekolah. ADHD tidak hanya sekedar satu atau bahkan dua gejala seperti yang tergambar pada namanya (Chandler, 2010). Barkley (2006) mendefinisikan ADHD sebagai label diagnostik untuk anak yang menampilkan permasalahan yang signifikan pada atensi, dan biasanya disertai dengan impulsivitas atau aktivitas yang berlebihan. American Psychiatric Association (APA, 2013) juga memberikan definisi serupa mengenai ADHD sebagai gangguan perkembangan neuro yang ditandai dengan terganggunya tingkat inatensi, disorganisasi dan/atau hiperaktif-impulsif.

Inatensi dan disorganisasi muncul dalam bentuk ketidakmampuan untuk tetap bertahan dalam satu tugas, kurang mampu mendengarkan, dan kerap kehilangan barang, yang tidak sesuai dengan tahap perkembangan. Hiperaktif-impulsif muncul dalam bentuk aktivitas berlebihan, tampak gelisah, tidak dapat duduk diam, mengganggu aktivitas orang lain dan kesulitan untuk menunggu giliran, dimana gejala ini terlihat berlebihan untuk tahap perkembangan di usia anak tersebut. Di Indonesia, gangguan ini lebih dikenal dengan Gangguan Pemusatan Perhatian dan Hiperaktivitas (GPPH).

(3)

4 Tidak ada faktor tunggal dalam menyebabkan ADHD. Faktor yang dinilai berperan besar sebagai penyebab ADHD adalah faktor genetik sebesar 2%-9% (Kerig & Wenar, 2006; Brock, Jimerson & Hansen, 2009; Santrock, 2011; Papalia, 2015). Selain faktor genetik, beberapa penelitian lain menunjukkan bahwa kemampuan yang kurang di fungsi eksekutif menjadi penyebab utama munculnya gangguan perilaku ADHD (Barkley, 1997, 2006; Castellanos dkk., 2006; Wilcutt dkk., 2005). Fungsi eksekutif merupakan proses kognitif yang penting untuk mencapai perilaku kompleks yang mengarah pada tujuan, termasuk pengetahuan metakognitif mengenai strategi dan tugas, atensi, sistem memori, proses regulasi diri seperti melakukan perencanaan dan monitoring (Johnson & Reid, 2011). Jika melihat lebih dalam lagi, yakni ke bagian otak, yaitu prefrontal cortex adalah bagian yang mengalami gangguan dan menyebabkan menurunnya fungsi eksekutif (Assef, Capovilla & Capovilla, 2007; Thompson-schill, Ramscar & Chrysikou, 2009).

Penelitian-penelitian neuropsikologis semakin membuktikan bahwa ADHD berhubungan dengan ketidaknormalan dari prefrontal cortex dan atau proyeksi-proyeksinya pada struktur subkortikal. Lobus frontalis adalah salah satu daerah otak yang paling sering diteliti dalam ADHD (Fuster, 1989). Penelitian yang menggunakan alat untuk melihat pencitraan struktur otak menemukan bahwa ukuran lobus frontalis kanan pada individu dengan ADHD lebih kecil dari ukuran normal (Castellanos dkk., 1996). Jaringan yang fungsinya terganggu (lesi) pada orbito frontal mengakibatkan disinhibisi sosial maupun impulsivitas, dan lesi pada dorso-lateral mempengaruhi kemampuan organisasional, perencanaan, memori

(4)

5 kerja, maupun perhatian. Bagian cingulate cortex memainkan peran penting dalam aspek motivasi perhatian dan dalam merespon seleksi maupun inhibisi. Bagian-bagian inilah, menurut penelitian tersebut, yang dapat menimbulkan munculnya gejala ADHD.

Permasalahan akademik, perilaku dan emosi seringkali menjadi permasalahan yang menyertai anak ADHD. Kegagalan dalam memproses stimulus menyebabkan anak ADHD memiliki keterbatasan dalam menyesuaikan perilaku mereka (Delfos, 2004). Permasalahan perilaku berdampak terhadap relasi sosial anak ADHD. Anak ADHD sering bermasalah dalam hubungan sosial dengan teman sebaya karena mereka lebih agresif, cenderung mendominasi, terlalu banyak berbicara dan memiliki kelemahan dalam berkomunikasi sosial. Seirngkali anak ADHD dilabel sebagai anak yang bandel atau sulit diatur dan tampak sebagai anak yang menunjukkan perilaku agresif. Hal ini didukung oleh beberapa penelitian yang menemukan bahwa anak ADHD menunjukkan perilaku yang agresif (Becker dkk., 2012; Connor dkk., 2010; Kitchens, Rosen & Braaten, 1999).

Perilaku agresif merupakan perilaku yang bertujuan untuk menyakiti orang lain yang dapat dilakukan dengan berbagai cara (Baron & Branscombe, 2012; Dodge, Coie & Lynam, 2006; Essa, 2014; Hudley, 2008). Beberapa ahli memiliki perbedaan dalam mengelompokkan perilaku agresi. Ada yang membaginya menjadi overt (tampak) dan covert aggression (tidak tampak), ada yang membaginya menjadi agresi verbal dan non verbal, ada juga yang mengelompokan menjadi reaktif dan proaktif, serta ada juga yang membaginya

(5)

6 menjadi agresi fisik, verbal dan relasional (Shechtman, 2009). Penelitian ini lebih mengacu kepada bentuk agresi fisik, verbal dan relasional.

Connor, Steeber & McBurnett (2010) dalam penelitiannya menemukan bahwa permasalahan perilaku yang biasa diasosiasikan dengan ADHD adalah perilaku menentang yang ditunjukkan dengan ketidakpatuhan terhadap orang dewasa, mengganggu jalannya suatu aktivitas, argumentatif, mudah emosi, melakukan kekerasan verbal, serta agresif fisik. Penelitian mengenai perilaku agresif anak ADHD juga dilakukan oleh Kitchens dkk. (1999). Penelitiannya menemukan bahwa anak ADHD lebih mudah marah, depresi dan agresif bila dibandingkan dengan anak non ADHD. Sama seperti yang ditemukan oleh Connor dkk. (2010) bahwa dari semua pengukuran perilaku agresif, didapati bahwa anak ADHD lebih agresif dibandingkan kelompok kontrol dalam penelitian tersebut. Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Harty dkk. (2009) mendukung penemuan penelitian sebelumnya pada individu yang terdiagnosa ADHD pada masa kanak-kanak, akan melakukan agresi fisik bila ADHD komorbid dengan Conduct Disorder, sedangkan agresi verbal lebih banyak terlihat pada individu yang terdiagnosa ADHD dengan komorbid Oppositional Defiant Disorder.

Bila ditinjau berdasarkan jenis kelamin, laki-laki cenderung lebih agresif daripada perempuan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Khumas, Hastjarjo & Wimbarti (1997) yang menemukan bahwa anak laki-laki lebih cenderung mengembangkan fantasi agresi dibandingkan anak perempuan. Fantasi agresi dapat berkembangan menjadi perilaku agresif pada anak. Pada anak

(6)

7 ADHD, hal serupa juga ditemukan. Banaschewski (2015) dan Zuccheti dkk. (2015) menyebutkan bahwa anak ADHD dengan predominan hiperaktif-impulsif, yang didominasi oleh anak berjenis kelamin laki-laki, lebih cenderung menunjukkan perilaku yang agresif, sedangkan anak ADHD predominan inatensi cenderung dialami oleh siswa berjenis kelamin perempuan dan hal tersebut lebih berdampak kepada performa akademik yang buruk. Secara biologis, adanya hormon testosteron pada anak laki-laki menyebabkan mereka lebih menunjukkan perilaku agresif dibandingkan anak perempuan. Selain itu, didapati juga bahwa anak ADHD lebih senang menggunakan kekuatan fisik untuk menghadapi sesuatu dibandingkan berpikir dan mencari pemecahan masalah (Chandler, 2010).

Loney & Milich (1982) menyebutkan bahwa perilaku agresif merupakan wujud dari defisit fungsi sosial pada anak ADHD. Bagwell dkk. (2001) memprediksikan kombinasi agresivitas dan ADHD pada masa kanak-kanak akan membuat anak mengalami kesulitan sosial dalam jangka panjang. Anak yang memiliki perilaku agresif biasanya ditolak secara sosial, bahkan tidak jarang diberi hukuman. Hal tersebut justru membuat anak-anak tersebut menjadi bertambah marah, lebih memberontak dan lebih agresif (Shechtman, 2009). Anak ADHD seringkali dengan cepat dijauhi atau ditolak atau diabaikan oleh teman-teman seusia mereka karena menunjukkan sejumlah perilaku agresif dan perilaku tidak patuh (Davidson, Neale & Kring, 2006; White & Kistner, 2011). Hal ini juga ditemukan oleh Hoza dkk. (2000) bahwa anak ADHD sangat lemah dalam kemampuan sosial serta menunjukkan rasa frustrasi dan putus asa dalam membangun interaksi dengan anak lain. Anak ADHD memiliki risiko yang tinggi

(7)

8 untuk mengalami gangguan dalam perkembangan yang mempengaruhi banyak domain dari kehidupan, seperti fungsi interpersonal, keluarga dan sekolah (Colomer dkk., 2013).

Perilaku agresif yang ditunjukkan berpengaruh kepada bagaimana anak ADHD berelasi sosial dengan teman sebayanya (Ekornas dkk., 2011). Dalam domain sosial, berdasarkan beberapa penelitian, memang ditemukan bahwa anak ADHD jarang memiliki teman dekat dan lebih sering ditolak di kelasnya (Bagwell dkk., 2001; Hodgens, Cole & Boldizar, 2000; Hoza dkk., 2005). Penelitian longitudinal yang dilakukan oleh Mrug dkk. (2012) bahkan menemukan bahwa penolakan dari teman sebaya terhadap anak yang mengalami ADHD saat duduk di sekolah dasar akan berdampak negatif 4 sampai 5 tahun kemudian, misalnya saja saat memasuki masa remaja mereka akan lebih sering terlibat dalam kenakalan remaja, menjadi perokok berat dan akan mengalami masalah kecemasan.

Masalah dengan teman sebaya memang tidak ditemui pada semua anak ADHD namun kecenderungan impulsif, kesulitan menguasai diri sendiri, serta rasa toleransi frustrasi yang rendah kerap dialami sehingga tidak mengherankan mereka memiliki permasalahan dalam kehidupan sosial, kesulitan bermain dengan aturan dan aktivitas yang lainnya yang tidak hanya terbatas di sekolah namun juga di lingkungan sosialnya (Baihaqi & Sugiarmin, 2008). Peneliti dan clinician memiliki hipotesis bahwa perilaku negatif berhubungan dengan gejala awal ADHD kemungkinan besar berdampak pada hubungan teman sebaya yang kurang baik pada anak ADHD (Linnea dkk., 2012). Pada anak laki-laki, gejala hiperaktivitas menyebabkan konflik dengan teman sebaya sedangkan pada

(8)

9 perempuan lebih disebabkan oleh gejala inatensi (Zuccheti dkk., 2015). Ketidakstabilan emosi, agresi dan perilaku sebagai hal yang memediasi gejala ADHD dengan konflik teman sebaya.

Salah satu penyebab anak ADHD memiliki masalah dalam berperilaku sehingga berdampak kepada relasi sosialnya adalah karena adanya positive illusory bias (Mikami, Calhoun & Abikoff, 2010; Rizzo, Steinhausen & Dreschler, 2010; Wiener dkk., 2012). Akumulasi berbagai pengalaman negatif pada aspek-aspek sosial, perilaku serta akademis pada anak ADHD berdampak kepada persepsi diri dan harga diri mereka yang muncul dalam bentuk coping yang maladaptif dan tingkat ketidaksetujuan yang tinggi terhadap kritik yang diberikan orang lain (Rizzo, 2011). Kaiser dkk. (2008) dan Hoza dkk. (2010) menemukan bahwa estimasi diri berlebih pada anak ADHD erat kaitannya dengan masalah perilaku dan meningkatnya perilaku agresif. Anak ADHD seringkali menilai terlalu tinggi performa mereka pada suatu tugas atau situasi dimana mereka sebenarnya paling bermasalah (Hoza dkk., 2004).

Positive illusory bias (PIB) adalah kesenjangan antara penilaian tentang diri mengenai kompetensi diri dengan kompetensi secara aktual, dimana anak ADHD punya kecenderungan yang menganggap penilaian tentang dirinya lebih tinggi dari kemampuan sesungguhnya (Hoza dkk., 2002). Owens dkk. (2007) dalam penelitiannya mendefinisikan PIB sebagai fenomena dimana seseorang memiliki persepsi diri yang terlalu positif bila dibandingkan dengan indikator eksternal dari kompetensi yang sesungguhnya, yang dalam kasus ini terjadi pada anak ADHD. Secara sederhana PIB didefiniskan sebagai estimasi berlebih

(9)

10 terhadap diri sendiri dimana penilaian terhadap diri lebih tinggi dari kompetensi yang ditunjukkan secara nyata. Fenomena PIB sendiri sebenarnya dapat ditemukan dalam populasi umum, namun dampak negatif dari adanya PIB ini memang lebih banyak ditemukan pada anak yang mengalami ADHD (Mooney, 2015).

PIB berangkat dari teori konsep diri milik Harter (1999). Konsep diri merupakan konstruk multidimensional yang berkaitan dengan kompetensi yang dipersepsikan sepanjang masa kanak-kanak sampai dewasa . Istilah konsep diri merupakan payung dari istilah “diri” yang lain. Konsep diri secara umum dipandang sebagai kesadaran karakteristik pribadi seseorang, atribut, dan keterbatasan-keterbatasan, serta kualitas disukai atau tidak disukai orang lain. Dalam perkembangan konsep diri, terdapat berbagai tahap yang terdiri dari dari self-knowledge, self-awareness, dan self-evaluation. Ketiga hal ini dikaitkan dengan persepsi diri. Pada masa kanak-kanak awal, seseorang diajarkan untuk mulai mengenal diri (self-knowledge) dan pada tahapan perkembangan berikutnya akan meningkat kepada self-awareness dan self-evaluation. Semakin tinggi usia, seseorang semakin bisa menyadari kelemahan dan kelebihan diri serta melakukan evaluasi terhadap umpan balik yang diterimanya (Harter, 1999). Temuan penelitian yang dilakukan oleh Adler dkk. (2008) menemukan bahwa persepsi diri pada orang dewasa lebih akurat dibandingkan ketika masih anak-anak. Jadi seharusnya PIB saat masa dewasa menurun.

Beberapa penelitian menunjukkan bukti bahwa PIB memang ditemukan pada anak dengan ADHD (Evangelista dkk., 2008; Owens dkk., 2007; Fefer,

(10)

11 2013; Siu, Yan & Ho, 2016). Penelitian yang dilakukan Evangelista dkk. (2008) menemukan bahwa anak ADHD menganggap diri mereka jauh lebih baik dari anak lain dalam segala bidang, bila dibandingkan dengan anak non ADHD. Fefer (2013) melakukan penelitian terhadap remaja ADHD dan mendapati hal serupa, dimana terjadi kesenjangan skor antara persepsi diri dan penilaian guru pada bidang akademik dan sosial yang menunjukkan bahwa anak ADHD memang memiliki PIB. Penelitian lain juga menemukan bahwa anak ADHD seringkali mengalami kegagalan dalam menilai kompetensi diri mereka sendiri, dalam hal ini menilai terlalu tinggi, pada bidang akademik, sosial dan perilaku (DuPaul, 2010; Mrug dkk., 2001; Pelham dkk., 2005).

Memang belum banyak penjelasan mengenai penyebab kemunculan PIB pada anak ADHD, namun penjelasan yang paling memungkinkan adalah karena adanya defisit executive function (Hoza dkk., 2001; Owens & Hoza, 2003; Owens dkk., 2007). Defisit executive function (EF) sendiri sebenarnya menjadi ciri yang khas pada anak ADHD. Penelitian yang dilakukan oleh McQuade dkk. (2011) menemukan bahwa cognitive deficit, dalam hal ini EF, berperan dalam menimbulkan PIB pada anak ADHD. Fungsi kognitif yang diteliti menjadi mediator PIB dengan ADHD adalah executive processes, working memory, broad attention dan cognitive fluency. Ada EF yang memiliki fungsi untuk merencanakan dan meregulasi perilaku agar sesuai dengan tujuan, yang pada anak ADHD didapati mengalami defisit. Barkley (2006) menyatakan bahwa defisit pada inhibisi dan fungsi eksekutif pada anak ADHD mungkin berpengaruh pada anak ADHD yang berdampak pada kemampuannya untuk menilai secara akurat

(11)

12 kompetensi dan performa diri sendiri, dengan menggunakan informasi berdasarkan umpan balik dari orang-orang di sekitarnya.

Hasil penelitian mengenai hubungan EF dan PIB pun masih bervariasi sampai saat ini. Penelitian Chad dan Martinussen (2015) menemukan bahwa kemampuan EF, khususnya working memory berhubungan dengan kemampuan individu dalam performa dalam melakukan sebuah tugas dan juga evaluasi terhadap tugas tersebut. Anak yang memiliki defisit pada working memory akan memiliki kecenderungan untuk terindikasi PIB, yang ditunjukkan dengan kurangnya usaha untuk melakukan perbaikan terhadap tugas yang dikerjakan. Money (2015) menemukan bahwa PIB masing-masing domain memiliki hubungan yang signifikan terhadap defisit EF. PIB akademik berkaitan dengan conceptual flexibility, PIB sosial berkaitan dengan monitoring, dan PIB perilaku berkaitan dengan working memory.

Penelitian lain yang mendukung hal ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Samango-Sprouse (2007) yang dalam literatur neuropsikologisnya menyebutkan bahwa defisit pada fungsi eksekutif diasosiasikan dengan ketidakakuratan dalam melakukan persepsi diri. Menurut Barkley (1997) tidak hanya satu dari fungsi eksekutif yang dapat berkontribusi terhadap munculnya PIB. Biasanya gangguan yang terjadi selama proses eksekutif itulah yang dapat berdampak pada kurangnya kemampuan individu untuk secara akurat mempersepsi kompetensi mereka berdasarkan umpan balik yang diberikan lingkungannya.

(12)

13 Selain hal tersebut, ditemukan penyebab lain dari adanya PIB pada anak ADHD lebih disebabkan oleh self protection yang digunakan sebagai cara coping anak ADHD (Diener & Milich, 1997). PIB dianggap sebagai cara coping anak ADHD. Mereka mengatasi berbagai kekurangan mereka dengan membentuk persepsi diri yang jauh lebih tinggi dari penilaian orang lain atau kompetensi sesungguhnya yang mereka miliki. Hal ini dilakukan karena anak ADHD menolak kelemahan-kelemahan dirinya dengan membangun persepsi yang positif.

Anak ADHD yang memiliki PIB akan menaksir terlalu tinggi kompetensi mereka, padahal kenyataan di lapangan belum tentu demikian, sehingga hal ini dapat berdampak pada munculnya perilaku agresif (Jiang & Johnston, 2014). Anak-anak yang menunjukkan perilaku agresif cenderung memiliki bias dalam pemikirannya dimana mereka meyakini apa yang mereka pikirkan dibandingkan dengan apa yang sebenarnya terjadi dalam situasi sosialnya (Hudley, 2008). PIB sendiri erat kaitannya dengan bagaimana seseorang menerima umpan balik dari orang-orang disekitarnya. Adanya PIB menghalangi seseorang untuk menerima umpan balik mengenai dirinya atau resisten terhadap saran, kurang memiliki motivasi untuk berubah, serta tidak menyadari kelemahan yang dimiliki.

Baumeister dkk. (1996) mengemukakan bahwa persepsi diri yang terlalu tinggi dapat mengarah kepada perilaku agresif. Mereka meyakini bahwa respon agresif dilakukan guna menghindari pandangan untuk melakukan sesuatu yang lebih adaptif. Hasil penelitian Sallee (2013) mendukung pernyataan bahwa penilaian diri yang terlalu tinggi dapat menyebabkan munculnya perilaku agresi dari waktu ke waktu. Penelitian yang dilakukan Sallee juga menemukan bahwa

(13)

14 penilaian berlebih pada relasi diri dengan teman sebaya memiliki dampak negatif, meningkatkan agresivitas dan bersifat maladaptif.

Owens dkk. (2007) menyebutkan bahwa penelitian mengenai PIB sudah mulai dikembangkan sejak 15 tahun terakhir. Walaupun sudah dikembangkan semenjak 15 tahun terakhir, jumlahnya tidak terlalu banyak. PIB mulai diteliti tahun 1983 oleh Taylor, tahun 1985 oleh Harter dan dilanjutkan oleh Hoza, dkk. tahun 1993 (Golden, 2009). Penelitian PIB selama ini banyak dilakukan di Barat namun belum ada penelitian serupa yang dilakukan di Indonesia, begitu pula penelitian mengenai PIB pada anak ADHD. Mikami dkk. (2010) mengemukakan bahwa kehadiran PIB pada anak ADHD dapat berdampak kepada kurangnya keefektifan intervensi. Oleh karena itu dirasa perlu untuk melakukan penelitian mengenai PIB pada anak ADHD, khususnya di Indonesia.

Gambar 1. Hubungan antar variabel

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan positive illusory bias pada anak ADHD dan non ADHD serta melihat perbedaan perilaku agresif berdasarkan status gangguan yang dialami anak dan jenis positive illusory bias. Manfaat penelitian ini secara teoretik diharapkan dapat menambah

Variabel bebas Status gangguan (ADHD dan non ADHD)

Jenis positive illusory bias(PIB)

Perilaku agresif Variabel tergantung

(14)

15 kontribusi pada keilmuan psikologi pendidikan dan perkembangan. Manfaat untuk praktisi di bidang psikologi adalah memahami indikasi PIB pada anak ADHD sehingga menjadi bahan pertimbangan saat melakukan intervensi saat pada anak ADHD. Berdasarkan latar belakang masalah dan tinjauan pustaka, terdapat dua hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini, yaitu:

Ha1 : terdapat perbedaan frekuensi anak ADHD dan non ADHD yang mengalami positive illusory bias

Ha2 : perilaku agresif antara anak ADHD lebih tinggi dari anak non ADHD sesuai dengan jenis positive illusory bias yang dimiliki.

METODE Identifikasi Variabel Penelitian

Hipotesis pertama yang diajukan dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan frekuensi anak ADHD dan non ADHD yang mengalami positive illusory bias. Variabel bebas untuk hipotesis ini adalah status gangguan dan variabel tergantungnya adalah positive illusory bias. Hipotesis kedua yang diajukan dalam penelitian ini adalah perilaku agresif anak ADHD lebih tinggi dari anak non ADHD sesuai dengan jenis positive illusory bias yang dimiliki. Variabel bebas untuk hipotesis ini adalah status gangguan dan jenis positive ilusory bias, sedangkan variabel tergantungnya adalah perilaku agresif.

Definisi Operasional Variabel Penelitian

Status gangguan adalah kondisi perkembangan yang dialami anak. Dalam penelitian ini status gangguan dibagi menjadi dua yaitu anak dengan gangguan perkembangan yaitu ADHD dan anak tanpa gangguan perkembangan yang

Gambar

Gambar 1. Hubungan antar variabel

Referensi

Dokumen terkait

dia HP adalah segalanya dalam berkomunikasi dan melakukan transaksi. Atminah salah satu Nasabah Bank BNI Syariah Kudus dan menggunakan layanan E-Banking yaitu SMS

Latar Belakang: Balita merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang pesat, pada masa ini balita sangat rentan mengalami masalah kesulitan makan dikarenakan

Hasil dari perancangan infrastrukur pasar integrasi diperoleh yaitu sebagai langkah memandirikan bahan pangan pada suatu kawasan permukiman, menjaga keseimbangan pasokan bahan

Jadi dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran take and give adalah suatu proses pembelajaran memberi dan menerima yang

Dengan menerapkan model pembelajaran inquiry siswa akan memperoleh pengetahuan melekat lebih lama karena perolehan pengetahuan berdasarkan pada penemuannya sendiri

Hipotesis yang diajukan dalam Penelitian Tindakan Kelas ini adalah “jika model pembelajaran kooperatif tipe group investigation ini diterapkan pada mata pelajaran

Sekarang saya ingin meninjau bersama Anda tiga ca- ra atau metode dasar mengenai memperoleh air hi- dup dari reservoir tulisan suci: (1) membaca tulisan suci dari awal hingga

Membolehkan penyertaan rakyat yang lebih fleksibel dan terbuka di Vietnam dan Laos supaya mereka boleh mengambil bahagian dalam sistem kerajaan tanpa sebarang sekatan sebagai