• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROBLEMATIKA PEMBIAYAAN MURABAHAH KEPEMILIKAN RUMAH PADA BANK BANK SYARIAH MANDIRI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROBLEMATIKA PEMBIAYAAN MURABAHAH KEPEMILIKAN RUMAH PADA BANK BANK SYARIAH MANDIRI"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

PROBLEMATIKA PEMBIAYAAN MURABAHAH KEPEMILIKAN RUMAH

PADA BANK BANK SYARIAH MANDIRI

Muhammad Ali Fauzi

Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sebelas Maret Email: notarisalifauzi@gmail.com

Mohammad Adnan, Burhanudin Harahap Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Abstract

manage to be made in detail regarding on the mastery of a land rights, according to Islamic law position of the bank as the owner of the house is valid, while based on positif law there is The position of Islamic banks as sellers and customers as the buyer in the purchase agreement murabaha still discredited even can not use as evidence of transfer of rights to land. This study agreement the object of rights to land and home. The theory is used to analyze in this research The method used in this research is normative with legislation approach, jurisprudence muamalah approach, and positif law approach.

Keywords: Murabaha, Ownership, Islamic Bank. Abstrak

Penerapan akad jual beli murabahah pembiayaan kepemilikan rumah menimbulkan persoalan hukum berkaitan dengan aturan jual beli hak atas tanah yang harus dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, mendasarkan bukti kepemilikan pada sertipikat. Hukum Islam tidak mengatur untuk dibuat secara rinci mengenai bentuk penguasaan terhadap suatu hak atas tanah, berdasarkan hukum Islam kedudukan bank sebagai pemilik atas tanah sudah sah, sedangkan syariah. Kedudukan bank syariah sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli dalam jual beli murabahah masih diragukan keabsahannya, akta murabahah tidak bisa gunakan sebagai alat bukti peralihan hak atas tanah Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan, mempelajari dan menganalisis serta menemukan konsep hukum dalam proses penerapan pembiayaan murabahah kepemilikan rumah di bank syariah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif dengan, pendekatan perundang-undangan, prinsip-prinsip syariah, dan hukum positif.

Kata kunci: Murabahah, Kepemilikan, Bank syariah

A. Pendahuluan

Bank Syariah merupakan bank yang kegiatan usahanya mengacu pada hukum Islam, dan dalam kegiatannya tidak membebankan

bunga maupun tidak membayar bunga kepada nasabah. Imbalan yang diterima oleh bank syariah maupun yang dibayarkan kepada nasabah tergantung dari akad dan

(2)

perjanjian antara nasabah dan bank. Perjanjian (akad) yang terdapat di perbankan syariah harus tunduk pada syarat dan rukun akad sebagaimana dalam syariah Islam (Ismail, 2011 : 32).

Sumber-sumber hukum yang dapat dijadikan landasan sebagai landasan yuridis perbankan syariah di Indonesia dapat normatif dan hukum positif. Hukum normatif berarti landasan hukum yang bersumber pada norma Islam yaitu Al-Qur’an dan Hadits. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) termasuk kategori normatif, termasuk Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES). Hukum Positif berarti landasan hukum yang bersumber pada undang tentang perbankan, undang-undang Bank Indonesia, peraturan Bank Indonesia (PBI) atau landasan hukum lainnya yang dapat dikategorikan sebagai hukum positif. (Ahmad Dahlan, 2012 : 85)

Pengertian murabahah dalam praktik di istilahkan dengan bai’al murabahah lil al Amir bi as syiraa’, yaitu permintaan seseorang atau pembeli terhadap orang lain untuk membelikan barang dengan ciri-ciri yang ditentukan. Untuk singkatnya bentuk ini dinamakan murabahah permintaan pemesanan pembeli. Murabahah permintaan pemesanan ini merupakan dasar kesepakatan dari terjadinya transaksi jual beli barang dan permintaan pesanan tersebut dianggap bersifat lazim (pasti/mengikat) bagi pemesan. Mekanismenya adalah nasabah memesan pada bank syariah untuk membelikan rumah dari pengembang perumahan. Atas dasar pesanan dari nasabah tersebut pihak bank syariah membeli rumah tersebut dari pengembang perumahan dan kemudian bank syariah (bertindak sebagai penjual) menjual rumah tersebut kepada nasabah (pembeli) dengan dibuatkan perjanjian murabahah secara notariil, pembayaran dilakukan dengan cara angsuran dengan harga yang lebih tinggi

dari harga beli bank syariah dari pengembang perumahan.

Proses pembiayaan pemilikan rumah yang menggunakan mekanisme jual beli murabahah sebagaimana tersebut dalam uraian di atas, menimbulkan persoalan yang berkaitan dengan adanya aturan jual beli dan pendaftaran peralihan hak atas tanah yang harus dilakukan dengan akta jual beli di hadapan pejabat pembuat akta tanah dengan bukti kepemilikan sertipikat hak atas tanah dan rumah tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah. Persoalan hukum tersebut sampai kini masih terus berlangsung terutama dalam kaitan dengan perjanjian murabahah dengan obyek benda tetap atau tanah, khususya tentang status kepemilikan hak atas tanah/rumah yang menjadi obyek dalam pembiayaan murabahah tersebut.

Kedudukan status kepemilikan rumah dalam pembiayaan atas dasar murabahah menjadi penting karena pada dasarnya akad murabahah merupakan akad dengan prinsip jual beli, sedangkan apabila bank syariah tidak memiliki rumah yang dibutuhkan nasabah dan peralihan hak atas tanah/rumah yang menjadi obyek murabahah langsung dari pengembang kepada nasabah melalui akta jual beli Pejabat Pembuat akta tanah, maka akad yang seperti ini tidak dapat disebut akad murabahah karena tidak ada unsur jual beli di dalamnya.

Akad jual beli murabahah merupakan akad dengan prinsip jual beli, oleh karena itu syarat-syaratnya juga harus sesuai dengan jual beli dalam hukum Islam, akad jual beli dalam hukum Islam dapat diartikan sebagai memindahkan kepemilikan (hak milik) dengan ganti (mendapat bayaran) yang dapat dibenarkan (sah menurut hukum) dan salah satu rukun dan syarat jual beli adalah adanya syarat yang mewajibkan benda harus berada di tangan penjual. Dalam penjelasan pasal 19 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor

(3)

21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah akad murabahah diartikan sebagai akad pembiayaan suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai keuntungan yang disepakati, pembiayaan murabahah sendiri dikategorikan sebagai pembiayaan yang didasarkan pada transaksi jual beli dan bentuknya berupa piutang murabahah.

Fatwa DSN MUI Nomor 04/DSN-MUI/ IV/2000 tentang murabahah mewajibkan bank syariah untuk memiliki barang dalam transaksi murabahah. Dalam angka 4 pada bagian pertama tentang ketentuan umum murabahah dalam bank syariah yang menegaskan bahwa bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba. Ketentuan dalam angka 4 tersebut menegaskan adanya kewajiban bagi bank syariah untuk benar-benar membelikan barang nasabah dan bukan hanya sekedar menyediakan dana pembiayaan.

Pada pasal 116 ayat (2) Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah ditegaskan bahwa penjual harus membeli barang yang diperlukan pembeli atas nama penjual sendiri dan pembelian ini harus bebas riba, kemudian pada pasal 119 ditegaskan apabila penjual hendak mewakilkan kepada pembeli untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip sudah menjadi milik penjual.

Kepemilikan barang oleh bank syariah merupakan hal yang paling esensial dalam akad murabahah, hal ini terkait dengan kedudukan bank syariah sebagai penjual dan nasabah sebagai pihak pembeli. Pada dasarnya jual beli adalah tindakan memindahkan hak milik, apabila bank syariah tidak memiliki barang yang akan dijual kepada nasabah maka tidak akan terjadi pemindahan hak milik sehingga tidak dapat digolongkan dalam akad murabahah, karena akad murabahah

adalah akad yang berdasar pada prinsip jual beli sehingga harus ada unsur pemindahan kepemilikan barang di dalamnya.

Pada pembiayaan jual beli murabahah kepemilikan rumah yang obyeknya adalah hak atas tanah/rumah, sertipikat hak atas tanah tidak tertulis atas nama bank syariah, bank syariah tidak pernah melakukan jual beli dan membalik nama sertipikat hak atas tanah/rumah menjadi atas nama bank syariah baru kemudian membuat jual beli dengan akta jual beli PPAT kepada nasabah. Bank syariah dan notaris/PPAT dalam proses pembiayaan murabahah kepemilikan rumah, membuat akad jual beli terhadap sertifikat hak atas tanah/rumah langsung dari pengembang kepada nasabah, baru kemudian dibuat akad murabahah antara bank syariah dan nasabah, ini artinya pada saat dibuat perjanjian murabahah secara hukum obyek rumah sudah menjadi milik nasabah, bank syariah menjual rumah yang sudah menjadi milik nasabah secara hukum positif.

Praktek jual beli murabahah yang demikian menimbulkan kerancuan mengenai status kepemilikan tanah dan rumah oleh bank syariah, dan juga menimbulkan persoalan dalam akad murabahah pembiayaan kepemilikan rumah, bank dianggap tidak memiliki rumah tersebut, dan bahkan bank syariah menjual rumah yang sudah menjadi milik nasabah kepada nasabah sendiri, hal tersebut dianggap meyimpang dari konsep jual beli murabahah yang sesungguhnya dimana bank syariah seharusnya tetap berkewajiban untuk menyediakan rumah kebutuhan nasabah. Dari berbagai peraturan perundangan-undangan yang penulis analisis, dan juga dari pengalaman praktek penulis sendiri selaku Notaris dan PPAT, penulis berusaha menggali permasalahan penerapan murabahah dalam pembiayaan kepemilikan rumah pada bank syariah. Atas dasar latar belakang tersebut, maka permasalahannya, yaitu

(4)

bagaimana proses penerapan murabahah dalam pembiayaan kepemilikan rumah dikaitkan dengan hukum positif pada Bank Syariah Mandiri?

B. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif, dengan metode deskriptif analitis. Adapun jenis data yang digunakan adalah data sekunder yang meliputi bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier. Data diumpulkan dengan studi dokumen dari data yang terkumpul dianalisis menggunakan metode analisis kualitatif dan content analysis.

C. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Proses akad pembiayaan murabahah kepemilikan rumah di Bank Syariah Mandiri cabang Madiun menerapkan beberapa akad yang secara berurutan sebagai berikut : 1. akad wakalah.

Akad wakalah adalah akad yang dibuat antara Bank Syariah bertindak sebagai pemberi kuasa (muwakil) dan nasabah sebagai penerima kuasa/wakil, khusus untuk dan atas nama bank syariah mandiri /muwakil melakukan tindakan-tindakan dengan memenuhi ketentuan dan persyaratan, yaitu bank syariah membeli tanah dan rumah dari developer dengan menunjuk nasabah sebagai wakilnya (akad wakalah), sehingga tanah dan rumah tersebut biasanya sesuai dengan keinginan nasabah.

Langkah pemberian akad wakalah ini menjadikan bank terkadang kurang hati-hati dalam menerapkan akad wakalah dalam pembelian barang, karena Peraturan Bank Indonesia No.7/46/PBI/2005 tentang murabahah yang dijelaskan pada pasal 9 ayat (1) huruf d telah menetapkan bahwa jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah, maka akad jual beli murabahah

harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank.

Dengan adanya akad wakalah, posisi bank bukan lagi sebagai perantara pembeli dari pemasok dan menjualnya kepada nas abah, melainkan hanya sebagai pemberi pinjaman modal kepada nasabah. Dengan kata lain bank hanya memperjualbelikan modal saja, bukan barang yang dibutuhkan oleh nasabah. Sedangkan pihak bank syariah nantinya menuntut untuk mendapatkan keuntungan atau (margin) hasil pembelian barang yang dilakukan oleh nasabah.

2. Akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.

Jual beli menurut hukum pertanahan nas ional ada la h perbuatan hukum pemindahan hak yang mempunyai 3 (tiga) sifat, yaitu: (Boedi Harsono, 2005 :330) a. Bersifat terang, maksudnya perbuatan

hukum tersebut dilakukan dihadapan PPAT sehingga bukan perbuatan hukum yang gelap atau yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi.

b. Bersifat tunai, maksudnya bahwa dengan dilakukannya perbuatan hukum tersebut, hak atas tanah yang bersangkutan berpindah kepada pihak lain yang disertai dengan pembayarannya.

c. Bersifat riil, maksudnya bahwa a k t a j u a l b e l i t e r s e b u t t e l a h ditandatangani oleh para pihak yang menunjukkan secara nyata atau riil telah dilakukannya perbuatan hukum jual beli. Akta tersebut membuktikan, bahwa benar telah dilakukannya perbuatan hukum pemindahan. Terdapat perbedaan mengenai konsep kepemilikan benda tetap menurut hukum nasional di Indonesia dan hukum Islam. Menurut hukum nasional Indonesia, hak penguasaan atas benda tetap memerlukan

(5)

bukti kepemilikan, sehingga pemegang benda tetap belum tentu sebagai pemilik, karena sebagai pemilik harus mempunyai bukti kepemilikan, dan bukti kepemilikan peralihannya, penyerahan benda tetap dilakukan secara hukum atau balik nama.

Berdasarkan hukum tanah nasional, serti

sebagai bukti kepemilikan tanah, dalam Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa :

sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) huruf c Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) untuk hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan yang masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan.

Lebih lanjut, pada pasal 32 ayat (1) beserta penjelasannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang menyatakan bahwa:

Sertifikat merupakan tanda bukti hak yang juga berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, dalam arti selama tidak dapat dibuktikan lain adalah benar.

Dalam komparisi akta jual beli ini, pihak developer atau pemegang hak atas tanah sesuai tertulis di sertipikat bertindak sebagai penjual, dan nasabah sebagai pihak pembeli. Selama ini tidak ditemukan klausula dalam komparisi maupun pasal-pasal yang dalam akta jual beli menjelaskan keterkaitan antara jual beli PPAT dengan akad murabahah, dengan demikian seharusnya ada pasal dan atau klausula untuk membuat penyesuaian dengan penambahan klausula baru dalam

pasal tambahan, sebagai tindak lanjut atas pembiayaan murabahah kepemilikan rumah.

Dalam hukum Islam, istilah jual beli hak atas tanah atau rumah yang harus dilakukan di hadapan PPAT sebagaimana Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah tidak diatur dan tidak dinyatakan secara rinci, tetapi yang digunakan dalam muamalat adalah sesuai dengan kebiasaan (urf) dalam masyarakat. Kegiatan muamalah diserahkan pada manusia dengan proses ijtihad, seperti sabda nabi Muhammad S.A.W.: “antum a’lamu bi umuuri dunyakum”, yang artinya kalian lebih mengetahui urusan dunia kalian dan dalam hukum muamalah menyatakan bahwa “segala sesuatunya boleh dilakukan, kecuali ada larangan dari Al-Qur’an dan sunnah (Adiwarman A. Karim, 2013:9).” Dalam peralihan hak atas tanah atau rumah juga tidak diatur dalam ketentuan syariah, oleh karena itu tata cara peralihan hak atas tanah atau rumah harus berpedoman pada ketentuan yang berlaku pada hukum konvensional sebagai ketentuan publik yang mengikat ketentuan perbankan syariah di Indonesia.

Dalam hal pelaksanaan peralihan hak atas tanah tersebut para pihak harus melakukannya di hadapan pejabat yang berwenang dalam hal ini adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pasal 29 ayat 1 dan 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 1998, perjanjian jual beli belum memindahkan hak milik yang ada di tangan penjual, pemindahan hak milik baru terjadi pada saat dilakukannya suatu perbuatan hukum yang dinamakan “penyerahan” (levering) secara yuridis. Jenis-jenis penyerahan berbeda-beda menurut macamnya benda yang akan diserahkan.

(6)

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ada tiga macam penyerahan yuridis, yaitu : (1) penyerahan barang bergerak, dilakukan dengan penyerahan nyata atau menyerahkan kekuasaan atas barangnya, (2) penyerahan barang tak bergerak terjadi dengan pembuatan akta jualbelinya, dan (3) penyerahan piutang atas nama dilakukan dengan pembuatan sebuah akta yang diberitahukan kepada si berhutang yaitu akta cessie.

3. Akad murabahah.

Untuk mengetahui pelaksanaan proses penerapan akad pembiayaan murabahah kepemilikan rumah pada bank syariah mandiri, maka penulis menganalisa tiap-tiap bagian dalam akad murabahah, yang terdiri dari :

a. Awal akad murabahah

Dalam pembiayaan murabahah pada bagian awal akta terdapat lafal Basmallah, judul akta, nomor akta dan terjemahan dari surah Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi “Dan Allah SWT telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba”, setelah itu baru di cantumkan, waktu, hari, tanggal, bulan, dan tahun, nama lengkap dan tempat kedudukan notaris. Penghadap nasabah dalam hal ini melakukan perbuatan hukum bertindak untuk dan atas nama diri sendiri dan telah mendapatkan persetujuan dari istrinya untuk melakukan tindakan hukum tersebut, penghadap pihak bank syariah yang diwakili oleh kepala cabang. b. Isi akad murabahah

Isi dari akta dalam akad perjanjian murabahah berisi ketentuan ketentuan yang dijadikan kesepakatan para pihak dan ketentuan yang dibuat oleh bank dalam pembiayaan murabahah, diantaranya mengenai pengertian umum yang terdiri dari:

1) Pengertian-pengertian umum dalam akta akad murabahah 2) Barang, harga, diskon,

biaya-biaya lain dan cara pembayaran 3) Jaminan yang diberikan atas

pembiayaan murabahah

4) Cidera janji dan penyelesaian perselisihan

5) Ketentuan-ketentuan lain

P e n g a t u r a n m u r a b a h a h d i dasarkan pada dengan fatwa DSN nomor : 04/DSN-MUI/IV/2000 tentang ketentuan umum murabahah dalam bank syariah ditetapkan antara lain :

1) Bank membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian ini harus sah dan bebas riba.

2) B a n k k e m u d i a n m e n j u a l barang tersebut kepada nasabah (pemesan) dengan harga jual senilai harga beli ditambah keuntungannya, dalam kaitan ini bank harus memberitahu secara jujur harga produk barang kepada nasabah berikut biaya yang diperlukan.

3) Nasabah membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu yang telah disepakati.

4) Jika bank hendak mewakilkan kepada nasabah untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahah harus dilakukan setelah barang secara prinsip menjadi milik bank syariah. Dalam pelaksanaan penerapan a k a d p e m b i a y a a n m u r a b a h a h kepemilikan rumah pada bank syariah mandiri belum sepenuhnya dilaksanakan sesuai dengan prinsip syariah sebagaimana di atur dalam

(7)

pasal 2 Undang undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, seperti yang tertuang dalam isi akad pembiayaan murabahah sebagai berikut:

(1) P a s a l 2 a k a d m u r a b a h a h mengatur tentang pembiayaan dan penggunaannya, pengaturan tersebut tidak konsisten dengan tujuan jual beli murabahah, k a r e n a i s i a k t a t e r s e b u t kesepakatan yang terjadi bukan jual beli murabahah akan tetapi pemberian fasilitas pembiayaan bank syariah kepada nasabah dengan isi sebagai berikut : a. bank berjanji dan dengan

ini mengikatkan diri untuk menyediakan fasilitas pem-biayaan kepada nasabah yang akan digunakan untuk pem-belian rumah dengan menye-butkan secara jelas jumlah biaya yang dibutuhkan untuk pembelian rumah tersebut. b. Sesuai dengan permintaan

nasabah, bank telah menye-diakan pembiayaan untuk pembelian rumah tersebut sebesar jumlah dana yang dibutuhkan nasabah dan atas penyediaan pembiayaan tersebut bank mengenakan margin keuntungan dan den-gan ini nasabah mengakui dengan sebenarnya dan se-cara sah telah dibiayai oleh bank sejumlah nilai pembiay-aan diitambah dengan margin keuntungan tersebut.

(2) Isi akta tidak mengatur tentang po ko k pe rja nj ia n jua l b el i murabahah, yaitu kesepakatan tentang harga dan obyek jual beli murabahah tersebut, juga

tida k me nyeb utkan ada nya k e s e p a k a t a n b a n k s y a ri a h mengikatkan diri untuk menjual rumah dan menyerahkannya kepada nasabah, dan nasabah berjanji dan mengikatkan diri untuk membeli dan menerima rumah tersebut dari bank syariah. (3) Pasal 7 akad murabahah yang

m e n g a t u r t e n t a n g b a r a n g jaminan, menyebutkan bahwa barang jaminan tersebut telah menjadi milik nasabah, dengan penyebutan kalimat “...jaminan telah menjadi milik nasabah berdasarkan Akta Jual Beli yang dibuat dihadapan Saya, selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah di Madiun, tanggal 31-10-2012 (tiga puluh satu Oktober tahun dua ribu dua belas) nomor ; 1119/2012”. Penyebutan bahwa barang jaminan tersebut telah menjadi milik nasabah tersebut, tidak konsisten karena isi akta murabahah adalah jual beli antara bank syariah dengan nasabah. (4) P e n a n d a t a n g a n a n a k a d

murabahah ini dilakukan setelah penandatanganan akta jual beli PPAT, hal ini dapat dilihat dari bunyi ketentuan pasal 7 akad murabahah tentan g b arang jaminan, yang menyebutkan bahwa : “...jaminan telah menjadi milik nasabah berdasarkan Akta Jual Beli yang dibuat dihadapan Saya, selaku Pejabat Pembuat Akta Tanah di Madiun, tanggal 31-10-2012 (tiga puluh satu Oktober tahun dua ribu dua belas) nomor ; 1119/2012”. Dari bunyi ketentuan pasal tersebut dapat diketahui bahwa pada saat ditandatangani akta murabahah,

(8)

obyek murabahah bukan milik developer, dan juga bukan milik bank syariah, akan tetapi sudah menjadi milik nasabah sendiri. c. Akhir akta murabahah dibuat sesuai

ketentuan pasal 38 ayat (4) UUJN, mengatur tentang akhir atau penutup akta.

Sehingga menurut hemat penulis, yang terjadi sebenarnya adalah bank syariah menjual tanah dan rumah yang secara hukum positif sudah menjadi milik nasabah kepada nasabah sendiri atau kepada pemiliknya sendiri secara hukum positif.

Penulis juga mecermati hal-hal subtansi dan isinya terkesan saling bertentangan yaitu :

1) Antara akta jual beli PPAT dan akta jual beli murabahah.

Hal-hal yang bertentangan dapat diuraikan antara lain sebagai berikut :

a. Kedudukan penjual, dalam akta jual beli PPAT penjual adalah developer atau pe-milik tanah sesuai sertipikat sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli, sedangkan dalam akta murabahah pen-jual adalah bank syariah dan nasabah sebagai pembeli. b. Pelaksanaan jual beli akta

PPAT dilakukan terlebih dahulu sebelum akta mura-bahah, hal ini bertentangan dengan tujuan dibuatnya akta jual beli PPAT yaitu sebagai bentuk penyerahan obyek murabahah dari pemasok atau developer kepada nasa-bah.

c. Dalam pasal tentang jaminan disebutkan secara rinci dan t e g a s b a h w a o b y e k y a n g dimurabahahkan telah menjadi milik nasabah berdasarkan akta jual beli PPAT, dengan demikian obyek murabahah secara tegas tidak pernah atau bukan milik b an k s y ar ia h pa d a s a at d i murabahahkan dengan nasabah. d. Jumlah harga jual beli dalam

akta jual beli PPAT dan jumlah harga atau jumlah pembiayaan akta murabahah tidak sama nominalnya, hal ini menimbulkan pertentangan dan tidak konsisten terhadap jumlah pembiayaan atau jumlah hutang dalam murabahah. e. Pembayaran dan pelunasan harga

jual beli dalam akta jual beli PPAT dilangsungkan dengan cara tunai lunas, sedangkan dalam akta murabahah pembayaran dilangsungkan dengan angsuran. 2) Antara hukum Islam dan hukum

positif.

Pengaturan yang bertentangan antara lain sebagai berikut :

a) Konsep kepemilikan tanah dan rumah.

B e r d a s a r k a n h u k u m I s l a m k e p e m i l i k a n b a n k syariah atas tanah dan rumah yang berada diatasnya adalah kepemilikan yang sempurna. Sebab kepemilikan sempurna oleh bank syariah adalah karena adanya akad yang mengalihkan kepemilikan yaitu jual beli, bank syariah telah membeli rumah dengan cara memberi wakalah kepada nasabah untuk membeli rumah dari penjual/developer.

(9)

Isi wakalah, yaitu bank yang memberikan kuasa kepada n a s a b a h u n tu k m e l a k u k a n pembelian rumah, maka setelah nasabah (wakil) melaksanakan apa yang diwa kilkan yaitu membeli rumah dari penjual/ developer, hak kepemilikan atas rumah tersebut adalah sah milik bank syariah (sebagai muwakkil). Sehingga dengan bank syariah memberi wakalah kepada nasabah untuk membeli rumah dari penjual/developer berdasarkan hukum Islam telah terjadi jual beli antara penjual/ developer dengan bank syariah, karena nasabah membeli rumah tersebut untuk dan atas nama bank syariah. Wakalah dalam Islam sah, artinya rumah adalah milik bank syariah, melalui wakalah telah terjadi jual beli antara bank syariah dengan penjual/developer sehingga dengan adanya wakalah menunjukkan bahwa bank syariah sebagai pemilik rumah tersebut.

Karakteristik kepemilikan sempurna ini adalah hak kepe-milikan tidak terbatas dengan waktu tertentu yang berakhir seiring dengan batas waktunya, karena hak kepemilikan tidak t e r b a t a s i o l e h w a k t u d a n tempat serta pemilik punya hak menggunakan, mendayagunakan d a n m e n g e l o l a a p a y a n g dimilikinya. Sehingga dengan kepemilikan sempurna atas rumah ini, bank syariah syariah menjual rumah tersebut rumah tersebut kepada nasabah dengan harga pokok dan margin keuntungan jual beli, selanjutnya nasabah membayar harga pokok dan

margin keuntungan jual beli kepada bank syariah selama jangka waktu tertentu

B e r d a s a r k a n h u k u m positif, sertifikat merupakan alat yang digunakan sebagai bukti kepemilikan tanah, hal ini tercantum dalam Pasal 1 angka (20) Peraturan pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah, lebih lanjut dalam pasal 32 ayat (1) dalam penjelasannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang pendaftaran tanah dinyatakan bahwa:

bukti hak yang juga berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat, dalam arti selama tidak dapat dibuktikan lain tersebut adalah benar. Berdasarkan hukum positif, tidak ada bukti tertulis seperti sertifikat atas tanah tercantum n a m a b a n k s y a r i a h y a n g membuktikan bahwa bank syariah merupakan pemilik atas rumah, karena pada pelaksanaannya sertifikat atas tanah langsung diatas namakan kepada nasabah, dengan demikian secara yuridis nasabah adalah pemilik sah atas tanah.

b) Konsep jual beli tanah dan rumah. Berdasarkan hukum positif sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, maka jual beli tanah hanya boleh dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah. Pasal 37 Ayat (1) menyebutkan bahwa setiap peralihan hak atas tanah

(10)

dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan melalui lelang, dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dengan cara dibuatkan a kta PPAT y an g d ika ta ka n sebagai akta otentik. Dalam hukum positif, perjanjian jual beli tanah hanya boleh dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagai buktinya untuk mendaftarkan peralihan hak atas tanahnya di Kantor Pertanahan.

Sed ang kan be rd as arka n hukum Islam, jual beli terhadap hak atas tanah adalah persetujuan suatu kontrak yang dilakukan oleh penjual dan pembeli untuk saling bertukar antara barang de n ga n a l at tu ka r te rt en tu sehingga terjadilah proses serah terima yang benar menurut hukum perdagangan. Konsep jual beli adalah kesepakatan, dalam jual beli harus ada sikap saling merelakan.

Sayyid sabiq mengatakan, pada dasarnya kesepakatan dan sikap saling merelakan merupakan hakekat dalam perjanjian jual beli diantara para pihak, yaitu penjual dan pembeli yang dikuatkan adanya akad, yaitu ijab dan kabul. Pertukannya dapat berupa barang dengan barang atau barang dengan uang, bergantung pada kondisi sosial dan kesepakatan, dewasa ini jual beli lebih umum menukarkan barang dengan uang, tentu saja pemberlakuannya lebih

diakui seluruh aktivitas jual beli di dunia.

M a k a d a p a t d i a m b i l kesimpulan suatu pengertian jual beli secara bahasa merupakan pertukaran antara barang yang dimiliki oleh seseorang dengan barang yang dimiliki orang lain, yang keduanya saling melakukan tu kar me nu kar ba ran g da n beralihnya kepemilikan tersebut diantara keduanya dengan lafaz yang diucapkan keduanya tanpa terputus dan mampunyai makna saling ridho.

Melihat uraian jual beli di atas, berdasarkan Al Qur’an dan Al-Hadis jual beli tersebut diperbolehkan selama tidak ada bertentangan dengan Al-Quran dan Hadis Rasulullah, dan merupakan landasan bagi umat Islam dalam melakukan jual beli harus mengikuti ketentuan-k e t e n t u a n y a n g b e r l a ketentuan-k u . Di an ta ran ya me la ks a nak an p r i n s i p s a l i n g m e re l a k a n , menghadirkan saksi apabila jual beli dilakukan secara kredit, dan melakukan akad dengan ijab kabul yang benar

D. Kesimpulan

Proses penerapan murabahah dalam pembiayaan kepemilikan rumah dikaitkan dengan hukum positif pada Bank Syariah Mandiri dalam prakteknya bank syariah melakukan jual beli murabahah atas rumah yang secara hukum positif sudah menjadi milik nasabah, karena sebelumnya nasabah sudah membeli rumah terlebih dahulu secara langsung dari developer, dengan akta jual beli PPAT, baru kemudian dilakukan penandatangan akta murabahah. Dengan demikian pada saat dibuat akad murabahah

(11)

kepemilikan rumah sudah menjadi milik nasabah, sehingga murabahah kepemilikan rumah belum menerapkan prinsip-prinsip sebagaimana diatur dalam fatwa DSN Nomor 04/DSN-MUI/IV/2000 ketentuan murabahah pada perbankan syariah.

E. Saran

Perlu dilakukan penambahan akad jual beli bawah tangan dan perubahan kronologi penandatangan akad, yaitu melakukan jual beli secara dibawah tangan terlebih dahulu antara Bank Syariah Mandiri dengan devoloper sebelum dilakukan perjanjian murabahah, se hingga pa da s aat dibua t perjanjian murabahah kepemilikan rumah oleh Bank Syairah Mandiri telah sah berdasarkan hukum syariah Islam, kemudian ditandatangani akta murabahah baru kemudian dilakukan penandatangan akta jual beli PPAT, supaya bisa memenuhi ketentuan prinsip syariah dan ketentuan hukum positif. Kemudian membuat pasal tambahan dalam perjanjian murabahah maupun dalam akta jual beli PPAT, sehingga masing-masing akta tersebut ada keterkaitan antara satu dengan yang lain.

Daftar Pustaka

Ade Saptono, 2007, Pokok-pokok Metodologi Penelitian Hukum, Surabaya, Unesa University Press

Adiwarman A. Karim, 2013, Bank Islam : Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta ctk. Kesembilan, PT Raja Grafindo Persada

Ahmad Dahlan, 2012, Bank Syariah :Teroritik, Praktik, Kritik, Yogyakarta, ctk. Pertama, Teras

Boedi Harsono, 2005, Hukum Agraria Indonesia, sejarah Pembentukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta, ctk. Kesepuluh, Djambatan

Departeman Agama RI, 2006, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Surabaya, CV. Pustaka Agung Harapan

Ismail, 2011, Perbankan Syariah, Jakarta, ctk. Pertama, Kencana Prenada Media Group

Lupita Maxellia. 2014. Tinjauan Yuridis tentang Kebatalan dan Pembatalan Akta Notaris dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Jurnal Privat Law Vol II No. 4 Maret – Juni 2014.

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Peraturan Jabatan PPAT

Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah

Peraturan Bank Indonesia No.7/46/PBI/2005 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2009,

Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta, ctk.kesebelas,

UU nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah

Referensi

Dokumen terkait

Nada-nada yang terdapat dalam tangga nada Bes minor dalam finger board (1 oktaf).

Halaman Profil User (sekolah) Dalam halaman data RAPBS user yang merupakan halaman yang dapat digunakan dalam melakukan penyusunan data pengajuan barang yang

Tabel 5.10-1 : Sungai-Sungai Yang Mengairi Daerah Irigasi di Kabupaten Bima Tahun 2019.. No Nama Sungai Daerah Irigasi Kecamatan Debit (M3) Luas

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Terapi Tertawa

Tabel 1 menunjukkan tiga isolat (Swn-1, Ksn, dan Psr-2) diperoleh dari jenis pisang Ambon dengan lokasi yang berbeda, dan tiga isolat lainnya (Swn-2, Psr-1, dan Psr-3) diperoleh

Analisis data mencakup kerapatan jenis, kerapatan jenis relatif, frekuensi jenis, frekuensi jenis relatif, penutupan jenis, penutupan jenis relatif serta indeks

Perangkat pembelajaran berbasis inkuiri terbimbing yang dikembangkan dan telah divalidasi oleh para ahli menunjukkan hasil yaitu bahwa validasi silabus, RPP, LKS,

Berdasarkan persepsi pelajar tahun tiga ijazah sarjana muda dan diploma secara statistiknya terdapat perbezaan yang bererti bagi tempoh penempatan klinikal, jumlah ideal