BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Kajian InduktifPenelitian mengenai beban kerja mental sebelumnya sudah banyak dilakukan. Beberapa peneliti menghubungkan variabel yang berpengaruh terhadap beban mental. Variabel berpengaruh tersebut antara lain shift kerja (Simanjuntak & Situmorang, 2010) (Budiman dkk, 2013), aktivitas pekerjaan (Mutia, 2014), musik (Caprianingsih, 2015), kualitas tidur (Marizki dkk, 2014), kinerja karyawan (Asdyanti, 2012), dan kondisi perjalanan pengemudi bus (Muslimah dkk, 2015). Dari beberapa contoh variabel diatas ditujukan untuk mengurangi beban kerja mental yang dialami oleh operator, seperti penggunaan musik pada saat bekerja dapat menurunkan beban kerja mental para pekerja di Batik Putra Laweyan (Caprianingsih, 2015). Sementara variabel yang lain ditujukan supaya analisis beban kerja mental dapat lebih mendalam. Dengan adanya variabel tersebut membuat penelitian mengenai beban kerja mental menjadi lebih terfokus sehingga tujuan penelitian dapat tercapai.
Penelitian ini mencoba untuk menganalisis beban kerja mental pada operator PPKA (Pengatur Perjalanan Kereta Api dengan menggunakan pengukuran subjektif yaitu metode NASA TLX dan RSME. Beban kerja mental operator PPKA akan dihubungkan dengan shift kerja yang ditetapkan oleh perusahaan. Sebelumnya sudah ada beberapa penelitian terdahulu memiliki kesamaan dalam penggunaan metode NASA TLX, seperti yang dilakukan oleh Hoonakker et al, (2011) yang melakukan pengukuran beban kerja pada perawat bagian ICU. Selain itu, budiman dkk (2013) juga melakukan pengukuran beban kerja pada operator Air Traffic Control Bandara xyz. Penelitian tersebut menyebutkan pembagian shift kerja memiliki pengaruh terhadap beban kerja operator. Hasil penelitian yang sama juga ditunjukkan oleh Darma dkk, (2014) dalam menganalisis tingkat stress pegawai bagian Unit Pelaksana Teknis Stasiun Kereta Api Bandung. Dalam penelitian lain yang dilakukan oleh Ramadhan dkk (2014), pengukuran beban kerja mental dengan metode NASA-TLX dilakukan untuk menentukan jumlah operator yang
dibutuhkan oleh perusahaan. Hasilnya menunjukkan bahwa beban mental operator menjadi berkurang setelah dilakukan penambahan jumlah operator.
Sementara itu, pengukuran beban kerja mental secara subjektif dengan menggunakan metode RSME masih sangat sedikit. Penelitian tersebut baru dilakukan oleh Widyanti, dkk (2010) yang melakukan pengukuran beban kerja mental dalam
searching task. Hasilnya menunjukkan pengukuran beban kerja mental dengan metode
NASA TLX dengan RSME sejalan dalam hal performansi (waktu reaksi dan faktor kesalahan. Pada tahun 2013, Widyanti dkk kembali melakukan penelitian mengenai metode RSME dengan membandingkan titik acuan yang ada pada RSME diadaptasikan dengan orang Indonesia. Hasilnya menunjukkan terdapat perbedaan nilai yang mendasar antara RSME adaptasi dengan RSME asli. Namun penelitian ini akan tetap menggunakan RSME asli karena RSME adaptasi belum meyakinkan dalam hal validitas dan reliabilitas. Sebelumnya sudah ada penelitian yang dilakukan terhadap PPKA seperti Risnawati dkk, (2013); Indrawan dkk, (2014) dan Rahmawati dkk, (2014). Penelitian yang membahas beban mental yang terdapat pada PPKA dilakukan oleh Indrawan dkk, (2014), sedangkan yang lainnya membahas mengenai perbaikan display yang terdapat di stasiun kerja PPKA (Risnawati dkk, 2013) dan tingkat keandalan PPKA setelah dibangun
double track (Rahmawati dkk, 2014). Sementara itu, pembahasan beban mental yang
dilakukan dikaitkan dengan kegagalan kognitif (Indrawan dkk, 2014) pada bagian Unit Pelaksana Teknis (UPT), PPKA, dan Administrasi. Kegagalan kognitif diukur menggunakan Cognitive Failure Questionnaire dengan variabel daya ingat, gangguan pengalih perhatian, dan kekeliruan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa PPKA memiliki tingkat kegagalan kognitif yang tinggi dibandingkan UPT dan administrasi. Hal ini disebabkan oleh tugas PPKA yang menuntut untuk tidak boleh melakukan kesalahan dalam mengatur kereta api karena berdampak langsung terhadap kecelakaan. Namun dalam penelitian tersebut tidak membahas lebih lanjut penyebab dari tingginya tingkat kegagalan kognitif PPKA. Berikut pada tabel 2.1 adalah perbandingan penelitian terdahulu dengan penelitian sekarang :
Tabel 2.1 Perbandingan Penelitian Terdahulu
No Judul Peneliti Objek Metode
1 Pengukuran Beban Kerja
Fisiologis dan Psikologis Pada Operator Pemetikan Teh dan Operator Produksi Teh Hijau
Mutia, Mega. 2014
Operator
pemetikan teh dan produksi teh
NASA-TLX
2 Analisis Pengaruh Shift
Kerja Terhadap Beban Kerja Mental Dengan Metode Subjective Workload Assessment Technique (SWAT) Simanjuntak, Risma., & Situmorang, Dedi. 2010 Karyawan PT. Sari Husada SWAT
3 Analisa Beban Kerja
Operator Air Traffic
Control Dengan Menggunakan Metode NASA-TLX Budiman, Jerry., Pujangkoro, S.A., & Anizar. 2013 Operator Air Traffic Control NASA-TLX 4 Pengaruh Musik
Terhadap Beban Kerja Mental Pekerja Batik Tulis dan Cap Di Batik Putra Laweyan Caprianingsih, Farinda Ewin. 2015 Pekerja Home Industri Batik Putra Laweyan NASA-TLX
5 Evaluasi Beban Kerja
Mental dan Kualitas Tidur Operator Call Center Menggunakan Metode Heart Rate Variability dan Sleep Quality Index
Mariziki, Ivia., Wahyuning, C.S., & Desrianty, Arie. 2014 Operator Pelayanan Call Center HRV dan Sleep Quantity Index 6 Analisis Hubungan
Beban Kerja Mental
Dengan Kinerja Karyawan Departemen
Contract Category Management Di Chevron
Indoasia Business Unit
Asdyanti, Raldina. 2011 Karyawan Departemen Contract Category Management Penelitian Kuantitatif
7 Evaluasi Beban Kerja
Fisik dan Mental Pengemudi Bus AKDP Rute Solo Semarang
Muslimah, Etika., Nandhiroh, Siti., & Akriyanto, L.A. 2015
Pengemudi bus AKDP Rute Solo-Semarang
No Judul Peneliti Objek Metode
8 Measuring Workload of
ICU Nurses with a Questionnaire Survey: the NASA Task Load Index (TLX)
Hoonakker,
Peter., Carayon, Pascale., Gurses, A.P., et al. 2011
ICU Nurses NASA-TLX
9 Analisis Tingkat Stress
Pekerja Operasional Di Stasiun Kereta Api Bandung Berdasarkan Aktivitas a-Amilase dan NASA-TLX (Task Load Index) Darma, Teguh., S.W, Caecilia., P.L, Gita. 2014 Unit Pelaksana Teknis Aktivitas a-Amilase dan NASA-TLX
10 Analisa Beban Kerja Dengan Menggunakan Work Sampling Dan NASA-TLX Untuk Menentukan Jumlah Operator
Ramadhan,
Rahadian., Tama, I.P., & Efranto, R.Y. 2014 Operator Pelaksana Mesin Work Sampling dan NASA-TLX
11 Pengukuran Beban Kerja Mental Dalam Searching Task Dengan Metode Rating Scale Mental Effort (RSME) Widyanti, Ari., Johnson, Addie., & De Waard, D. 2010 Mahasiswa S1 Teknik Industri ITB Heart Rate Variability, NASA-TLX, RSME 12 Adaptation of the Rating
Scale Mental Effort (RSME) for Use In Indonesia Adaptation of the Rating Scale Mental Effort (RSME) for Use In Indonesia Widyanti, Ari., Johnson, Addie., & De Waard, D. 2013 Mahasiswa S2 Teknik Industri ITB RSME 13 Rancangan Perbaikan Display Berdasarkan Cooper Harper Rating Scale Pada Stasiun Kerja Pengatur Perjalanan Kereta Risnawati, E., Desrianty, A., Helianty, Y. 2013 Perangkat display pada PPKA Cooper Harper Rating Scale 14 Evaluasi Performansi Kognitif Kru Darat PT Kereta Api Indonesia DAOP II Bandung Dengan Menggunakan Indrawan, Febri., Wahyuning, C.S., & Liansari, G.P. 2014 Unit Pelaksana Teknis (UPT), PPKA, administrasi Cognitive Failure Questionnaire dan DirectRT
No Judul Peneliti Objek Metode Cognitive Failure Questionnaire dan DirectRT 15 Analisis Tingkat Keandalan Operator Pengendali Kereta Api Pasca Pembangunan Jalur Ganda Lintasan Kereta Api (Double Track)
Rahmawati, B.D., Sriyanto., & Budiawan, Wiwik. 2014 Operator pengendali kereta Human Eror Assessment and Reduction Technique (HEART)
USULAN Penelitian ini akan menggunakan metode NASA-TLX
dan RSME dengan objek penelitian beban kerja mental pada operator PPKA.
2.2 Kajian Deduktif
2.2.1 Beban Kerja
Dari sudut pandang ergonomi, setiap beban kerja yang diterima oleh seseorang harus sesuai atau seimbang baik terhadap kemampuan fisik, kemampuan kognitif maupun keterbatasan manusia yang menerima beban tersebut. Menurut Suma'mur (1984) dalam Tarwaka (2015) bahwa kemampuan kerja seorang tenaga kerja berbeda dari satu kepada yang lainnya dan sangat tergantung dari keterampilan, kesegaran jasmani, keadaan gizi, jenis kelamin, usia dan ukuran tubuh dari pekerja yang bersangkutan.
Beban kerja (workload) dapat didefinisikan sebagai suatu perbedaan antara kapasitas atau kemampuan pekerja dengan tuntutan pekerjaan yang harus dihadapi (Meshkati, 1988). Mengingat kerja manusia bersifat mental dan fisik, maka masing-masing mempunyai tingkat pembebanan yang berbeda-beda. Tingkat pembebanan yang terlalu tinggi memungkinkan pemakaian energi yang berlebihan dan terjadi ”overstres”, sebalknya intensitas pembebanan yang terlalu rendah memungkinkan rasa bosan dan kejenuhan atau ”understres”. Oleh karena itu perlu diupayakan tingkat intensitas pembebanan yang optimum yang ada diantara kedua batas yang ekstrim tadi dan tentunya berbeda antara individu yang satu dengan yang lainnya. Pekerjaan seperti operator yang bertugas memantau panel control pada suatu ruang operasi otomatisasi, termasuk pekerjaan yang mempunyai kadar mental yang tinggi. Sebaliknya pada pekerja yang melakukan aktivitas angkat dan angkut secara manual, intensitas pembebanan secara fisik tinggi dengan intensitas pembebanan secara mental mungkin sangat rendah (Tarwaka, 2015).
Sedangkan menurut Hart & Staveland (1988) dalam Tarwaka (2015), bahwa beban kerja merupakan sesuatu yang muncul dari interaksi antara tuntutan tugas-tugas lingkungan kerja dimana digunakan sebagai tempat kerja, keterampilan, perilaku dan persepsi dari pekerja. Beban kerja kadang-kadang juga dapat didefinisikan secara operasional pada berbagai faktor seperti tuntutan tugas atau upaya-upaya yang dilakukan untuk mengukuran pekerjaan. Bagaimanapun juga, bukanlah hal yang bijaksana jika hanya mempertimbangkan beban kerja dari satu aspek saja, selama faktor-faktor yang lain mempunyai inter-relasi pada cara-cara yang komplek.
Pada umumnya, tingkat intensitas pembebanan kerja optimum akan dapat dicapai, apabila ada tekanan dan ketegangan yang berlebihan baik secara fisik maupun mental. Yang dimaksud dengan tekanan disini adalah berkenaan dengan beberapa aspek dari aktivitas manusia, tugas-tugas, organisasi, dan dari lingkungannya yang terjadi akibat adanya reaksi individu pekerja karena tidak mendapatkan keinginan yang sesuai. Sedangkan ketegangan adalah merupakan konsekuensi logis yang harus diterima oleh individu yang bersangkutan sebagai dari tekanan yang diterima.
Menurut Rodhal (1989), Adiputra (1998), dan Manuaba (2000) dalam Tarwaka (2015) bahwa secara umum hubungan antara beban kerja dan kapasitas kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor yang sangat komplek, baik faktor internal maupun faktor eksternal. 1) Beban kerja oleh karena faktor eksternal.
Faktor eksternal beban kerja adalah beban kerja yang berasal dari luar tubuh pekerja. Yang termasuk beban kerja eksternal adalah tugas (task) itu sendiri, organisasi dan lingkungan kerja. Ketiga aspek ini sering disebut sebagai stressor.
a. Tugas-tugas (tasks) yang dilakukan baik yang bersifat fisik seperti, stasiun kerja, tata ruang tempat kerja, alat dan sarana kerja, kondisi atau medan kerja, sikap kerja, cara angkat-angkut, beban yang diangkat-angkut, alat bantu kerja, serana informasi termasuk display dan control, alur kerja, dll. Sedangkan tugas-tugas yang bersifat mental seperti; kompleksitas pekerjaan atau tingkat kesulitan pekerjaan yang mempengaruhi tingkat emosi pekerja, tanggung jawab terhadap pekerjaan, dll.
b. Organisasi kerja yang dapat mempengaruhi beban kerj seperti; lamanya waktu kerja, waktu istirahat, kerja bergilir, kerja malam, sistem pengupahan, sistem kerja, music kerja, model struktur organisasi, pelimpahan tugas, tanggung jawab dan wewenang, dll.
c. Lingkungan kerja yang dapat memberikan beban tambahan kepada pekerja adalah:
• Lingkungan kerja fisika seperti: mikroklimat (suhu udara ambien, kelembapan udara, kecepatan rambat udara, suhu radiasi), intensitas penerangan, intensitas kebisingan, vibrasi mekanis, dan tekanan udara.
• Lingkungan kerja kimiawi seperti: debu, gas-gas pencemar udara, uap logam, fume dalam udara, dll.
• Lingkungan kerja biologis seperti: bakteri, virus dan parasit, jamur, serangga, dll.
• Lingkungan kerja psikologis seperti: pemilihan dan penempatan tenaga kerja, hubungan antara pekerja dengan pekerja, pekerja dengan atasan, pekerja dengan keluarga dan pekerja dengan lingkungan social yang berdampak kepada performansi kerja di tempat kerja.
2) Beban kerja oleh karena faktor internal.
Faktor internal beban kerja adalah faktor yang berasal dari dalam tubuh itu sendiri sebagai akibat adanya reaksi dari beban kerja eksternal. Reaksi tubuh tersebut dikenal sebagai strain. Berat ringannya strain dapat dinilai baik secara objektif maupun subjektif. Penilaian secara objektif yaitu melalui perubahan reaksi fisiologis. Sedangkan penilaian subjektif dapat dilakukan melalui perubahan reaksi psikologis dan perubahan perilaku. Karena itu strain secara subjektif berkaitan erat dengan harapan, keinginan, kepuasan, dan penilaian subjektif lainnya. Secara lebih ringkas faktor beban kerja internal meliputi:
• Faktor somatis terdiri dari jenis kelamin, umur, ukuran tubuh, status gizi, kondisi kesehatan.
• Faktor psikis terdiri dari motivasi, persepsi, kepercayaan, keinginan dan kepuasan.
Selanjutnya Hart & Staveland (1988) dalam Tarwaka (2015), menjelaskan bahwa tiga faktor utama yang menentukan beban kerja adalah tuntutan tugas, usaha dan performansi.
1) Faktor tuntutan tugas (Task Demands).
Argumentasi berkaitan dengan faktor ini adalah bahwa beban kerja dapat ditentukan dari analisa tugas-tugas yang dilakukan oleh pekerja. Bagaimanapun juga, perbedaan-perbedaan secara individu harus selalu diperhitungkan. Sebagai contoh; seorang pekerja baru dan seorang pekerja yang sudah mempunyai keahlian, secara jelas akan mempunyai tingkat perbedaan pengalaman terhadap beban kerja pada saat akan menghasilkan dari segi nilai ekonomi maupun otomatisasi “motor program” sehingga
tidak memerlukan upaya yang berlebihan atau tidak menjadikan beban kerja tambahan. Seorang sopir yang telah banyak pengalaman mungkit tidak menyadari kalau dia telah mengeluarkan upaya untuk memindahkan gear, sejak tindakannya tersebut telah didelegasikan ke suatu motor programnya.
2) Usaha atau tenaga (Effort)
Jumlah effort yang dikeluarkan pada suatu pekerjaan mungkin merupakan suatu bentuk intuitif secara alamiah terhadap beban kerja. Bagaimanapun juga, sejak terjadinya peningkatan tuntutan tugas, secara individu mungkin tidak dapat meningkatkan tingkat effort.
3) Performansi
Sebagian besar studi tentang beban kerja mempunyai perhatian dengan tingkat performansi yang akan dicapai. Bagaimanapun juga, pengukuran performansi sendirian tidaklah akan dapat menyajikan suatu matrik beban kerja yang lengkap. Sebagai contoh, secara individu seseorang mungkin akan dapat mengimbangi tuntutan tugas yang meningkat dengan meningkatkan tingkat effort untuk mempertahankan performansi.
2.2.2 Beban Kerja Mental
Dewasa ini aktivitas mental lebih banyak didominasi oleh pekerja-pekerja kantor, supervisor, dan pimpinan sebagai pengambil keputusan dengan tanggung jawab yang lebih besar, pekerja di bidang teknik informasi, pekerja dengan menggunakan teknologi tinggi, pekerjaan dengan kesiapsiagaan tinggi, pekerjaan yang bersifat monotoni dll. Menurut Grandjean (1993) dalam Tarwaka (2015) setiap aktivitas mental akan selalu melibatkan unsur persepsi, interprestasi, dan proses mental dari suatu informasi yang diterima oleh organ sensoris untuk diambil suatu keputusan atau proses mengingat informasi yang lampau. Yang menjadi masalah pada manusia adalah kemampuan untuk memanggil kembali atau mengingat informasi yang disimpan. Proses mengingat kembali ini sebagian besar menjadi masalah bagi orang tua. Seperti kita tahu bahwa orang tua kebanyakan mengalami penurunan daya ingat.
Ada beberapa tujuan praktikal dimana beban kerja mental dapat diaplikasikan (Hancock, 1988 dalam Tarwaka, 2015) :
1. Untuk mengalokasikan fungsi-fungsi dan tugas-tugas ke dan dari operator berdasarkan pada beban kerja yang telah diprediksikan.
2. Membandingkan peralatan alternatif dan desain-desain tugas dalam rangka beban kerja yang dipengaruhinya.
3. Untuk memilih operator yang mungkin mempunyai sumber kapasitas yang lebih tinggi untuk melaksanakan tugas yang mempunyai pengaruh beban tugas yang tinggi.
4. Memonitor operator-operator dari peralatan yang kompleks beradaptasi terhadap tugas yang sulit atau kondisi-kondisi multi tugas dalam merespon penurunan dan peningkatan dalam beban kerja mental.
Menurut Hancock & Meshkati (1988), dampak yang ditimbulkan akibat beban mental yang berlebih antara lain:
1. Kebingungan, frustasi dan kegelisahan
2. Stres yang muncul dan berkaitan dengan kebingungan, frustasi dan kegelisahan. 3. Stres yang tinggi dan intens berkaitan dengan kebingungan, frustasi dan
kegelisahan sehingga stress membutuhkan suatu pengendalian yang sangat besar. Evaluasi beban kerja mental merupakan poin penting di dalam penelitian dan pengembangan hubungan antara manusia-mesin, mencari tingkat kenyamanan, kepuasan, efisiensi dan keselamatan yang lebih baik di tempat kerja, sebagaimana halnya yang menjadi target capaian implementasi ergonomi. Dengan maksud untuk menjamin keselamatan, kesehatan, kenyamanan dan efisiensi dan produktivitas jangka panjang bagi pekerja, maka perlu menyeimbangkan tuntutan tugas sehingga pekerja tidak mengalami baik overstres maupun understres pada pekerjaannya.
Secara umum, Meshkati, Hancock & Rahimi (1992) dalam Tarwaka (2015) mengelompokkan metode pengukuran beban kerja mental menjadi tiga kategori yaitu: 1) Pengukuran secara subjektif (subjective method)
Metode pengukuran beban kerja mental secara subjektif yang telah banyak digunakan diantaranya adalah:
• Subjective Workload Assessment Technique (SWAT) • NASA Task Load Index (TLX)
• Bourdon Wierma Test
• Modified Cooper Harper Scale
2) Pengukuran secara psikologis atau beomekanis (Phsyological and biomechanical
method)
Metode pengukuran beban kerja mental secara fisiologis/biomekanis, diantaranya adalah:
• Metode pengukuran aktivitas otak dengan menggunakan signal
(Event-Related Potentials – ERPs): P300
• Metode pengukuran denyut jantung (Heart Rate)
• Metode pengukuran dengut jantung pada aktivitas yang bervariasi (Heart Rate
Variability – HRV)
• Metode dengan menggunakan respon pada pupil mata (Pupillary Response) • Pengukuran selang waktu kedipan mata (Eye Blink)
3) Pengukuran berdasarkan performansi (performance-based)
• Metode pengukuran tugas primer atau tugas utama. Pada metode ini yang diukur biasanya meliputi waktu reaksi (Reaction Time- RT), Akurasi (Accuracy).
• Metode pengukuran tugas sekunder. Pada metode ini yang diukur biasanya meliputi produksi interval (Interval Production), estimasi waktu (time
estimation)
Pada konteks pengukuran beban kerja mental berdasarkan performansi ini, tugas primer merupakan tugas dimana beban kerja berada dibawah pertimbangan utama, sementara itu, tugas sekunder merupakan tugas yang ditambahkan untuk menentukan jumlah ‘spare mental capacity’ yang tersedia pada saat pekerja melakukan tugas primer.
2.2.3 NASA-TLX (Task Load Index)
Metode NASA-TLX dikembangkan oleh Sandra G. Hart dari NASA-Ames Research Center dan Lowell E. Staveland dari San Jose State University pada tahun 1981. Metode ini berupa kuesioner yang dikembangkan berdasarkan munculnya kebutuhan pengukuran subjektif yang lebih mudah namun lebih sensitif pada pengukuran beban kerja. Hart &
Staveland (1988) dalam Hendrawan,dkk (2008) menjelaskan beberapa pengembangan metode NASA-TLX antara lain:
a. Kerangka Konseptual
Beban kerja timbul dari interaksi antara kebutuhan tugas dan pekerjaan, kondisi kerja, tingkah laku, dan persepsi pekerja (teknisi). Tujuan kerangka konseptual adalah menghindari variable yang tidak berhubungan dengan beban kerja subjektif. Dalam kerangka konseptual, sumber-sumber yang berbeda dan hal-hal yang dapat mengubah beban kerja disebutkan satu demi satu dan dihubungkan.
b. Informasi yang diperoleh dari peringkat (Rating) subjektif
Peringkat subjektif merupakan metode yang paling sesuai untuk mengukur beban kerja mental dan memberikan indikator yang umumnya paling valid dan sensitif. Peringkat subjektif merupakan satu-satunya metode yang memberikan informasi mengenai pengaruh tugas secara subjektif terhadap pekerja atau teknisi dan menggabungkan pengaruh dari kontributor beban kerja.
c. Pembuatan skala rating beban kerja
• Memilih kumpulan sub-skala yang paling tepat
• Menentukan bagaimana menggabungkan sub-skala tersebut untuk memperoleh nilai beban kerja yang sensitif terhadap pekerja atau teknisi dan menggabungkan pengaruh dari kontributor beban kerja yang berbeda, baik diantara tugas maupun diantara pemberi peringkat.
• Menentukan prosedur terbaik untuk memperoleh nilai terbaik untuk memperoleh nilai numeric untuk subskala tersebut.
d. Pemilihan sub-skala
Ada tiga subskala dalam penelitian, yaitu skala yang berhubungan dengan tugas, dan skala yang berhubungan dengan tingkah laku (usaha fisik, usaha mental, performansi), skala yang berhubungan dengan subjek (frustasi, stress, dan kelelahan). Hart dan Staveland (1988) dalam Hendrawan,dkk (2008) menjelaskan beberapa subskala yang terdapat pada NASA-TLX antara lain :
• Skala yang berhubungan dengan tugas peringkat yang diberikan pada kesulitan tugas memberikan informasi langsung terhadap persepsi kebutuhan subjek yang
diberikan pada kesulitan tugas memberikan informasi langsung terhadap persepsi kebutuhan subjek yang dibedakan oleh tugas. Tekanan waktu dinyatakan sebagai faktor utama dalam definisi dan model beban kerja yang paling operasional, dikuantitatifkan dengan membandingkan waktu yang diperlukan untuk serangkaian tugas dalam eksperimen.
• Skala yang berhubungan dengan tingkah laku faktor usaha fisik manipulasi eksperimen dengan faktor kebutuhan fisik sebagai komponen kerja utama. Hasil eksperimen menunjukkan bahwa faktor usaha fisik memiliki korelasi yang tinggi tapi tidak memberi kontribusi yang signifikan terhadap beban kerja semuanya. Faktor usaha mental merupakan contributor penting pada beban kerja pada saat jumlah tugas operasional menungkat karena tanggung jawab pekerja berpindah-pindah dari pengendalian fisik langsung menjadi pengawasan. Peringkat usaha mental berkorelasi dengan peringkat beban kerja keseluruhan dalam setiap kategori eksperimen dan merupakan faktor kedua yang paling tinggi korelasinya dengan beban kerja keseluruhan.
• Skala yang berhubungan dengan subjek frustasi merupakan beban kerja ketiga yang paling relevan. Peringkat frustasi berkorelasi dengan peringkat beban kerja keseluruhan secara signifikan pada semua kategori eksperimen. Peringkat stress mewakili manipulasi yang mempengaruhi peringkat beban kerja keseluruhan dan merupakan skala yang paling independen.
Hart & Staveland (1988) menjelaskan langkah-langkah dalam pengukuran beban kerja mental dengan menggunakan metode NASA-TLX, yaitu:
1. Penjelasan dimensi beban kerja mental yang akan diukur.
Adapun dimensi beban kerja mental pada NASA-TLX adalah sebagai berikut : a. kebutuhan mental (Mental Demand) : tuntutan aktivitas mental dan perseptual
yang dibutuhkan dalam pekerjaan (contoh: berpikir, memutuskan, menghitung, mengingat, melihat, mencari).
b. kebutuhan fisik (Physical Demand) : Aktivitas fisik yang dibutuhkan dalam pekerjaan (contoh : mendorong, menarik, memutar, mengontrol, menjalankan, dan lainnya).
c. kebutuhan waktu (Temporal Demand) : Tekanan waktu yang dirasakan selama pekerjaan atau elemen pekrjaan berlangsung.
d. Performansi (Own Performance) : Keberhasilan di dalam mencapai target pekerjaan.
e. Usaha (Effort) : Usaha yang dikeluarkan secara mental dan fisik yang dibutuhkan untuk mencapai level performansi pekerja.
f. Tingkat stress (Frustation Level) : rasa tidak aman, putus asa, tersinggung, stress, dan terganggu dibanding dengan perasaan aman, puas, cocok, nyaman, dan kepuasan diri yang dirasakan selama mengerjakan pekerjaan tersebut.
2. Pembobotan
Pada bagian ini responden diminta untuk memilih salah satu dari dua dimensi yang dirasakan lebih dominan menimbulkan beban kerja mental terhadap pekerjaan tersebut. Kuesioner yang diberikan berupa perbandingan berpasangan yang berjumlah 15 perbandingan berpasangan. Dari kuesioner ini dihitung jumlah tally dari setiap indikator yang dirasakan paling berpengaruh. Jumlah tally ini kemudian akan menjadi bobot untuk tiap indikator beban mental.
3. Pemberian Rating
Pada bagian ini respondin diminta memberikan penilaian/rating terhadap keenam dimensi beban mental. Rating yang diberikan adalah subjektif tergantung pada beban mental yang dirasakan oleh responden tersebut. Rating yang diberikan adalah subjektif tergantung beban mental yang dirasakan oleh responden tersebut. Untuk mendapatkan skor akhir beban mental NASA-TLX, bobot dan rating untuk setiap indikator dikalikan kemudian dijumlahkan dan dibagi dengan 15 (jumlah perbandingan berpasangan).
4. Interprestasi Hasil Nilai Skor
Berdasarkan penjelasan Hart dan Staveland (1988) dalam Budiman dkk, (2013) pada teori NASA-TLX, skor beban kerja yang diperoleh dapat diinterprestasikan sebagai berikut:
• Nilai skor > 60, menyatakan beban pekerjaan berat berlebihan (overload). • Nilai skor 40 – 60 menyatakan beban pekerjaan optimal (optimal load). • Nilai skor < 40 menyatakan beban pekerjaan rendah (underload).
2.2.4 RSME (Rating Scale Mental Effort)
Rating Scale Mental Effort (RSME) merupakan metode yang menggunakan skala
rating/skor dari pekerjaan mental. RSME merupakan metode pengukuran beban kerja subjektif dengan skala tunggal yang dikembangkan oleh Zijlstra dkk (Zijlstra & Van Doorn, 1985; Zijlstra & Meijman, 1989; Zijlstra, 1993; de Waard, 1996) dalam Tarwaka (2015). Pada metode RSME terdiri dari garis dengan panjang 150 mm ditandai dengan sembilan titik acuan deskriptif label dengan 150 poin pada setiap interval 1 cm. RSME telah banyak digunakan di negara-negara Barat (misalnya, Eropa dan Amerika Utara). RSME ini hanya mengukur “usaha mental” dari responden sehingga dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari satu menit. Cara menggunakan RSME ini adalah responden harus memilih salah satu dari skala 0-150 dengan deskripsi pada beberapa titik acuan yang sesuai dengan jumlah usaha mental yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas (Widyanti dkk, 2013). Berikut adalah pembagian sembilan titik acuan deskriptif berdasarkan skalanya :
1. Usaha yang dilakukan sangat besar sekali pada skala 112. 2. Usaha yang dilakukan sangat besar pada skala 102. 3. Usaha yang dilakukan besar pada skala 85.
4. Usaha yang dilakukan cukup besar pada skala 71. 5. Usaha yang dilakukan agak besar pada skala 57. 6. Usaha yang dilakukan kecil pada skala 38
7. Usaha yang dilakukan sangat kecil pada skala 26. 8. Hampir tidak ada usaha pada skala 13.
Berikut pada gambar 2.1 adalah skala RSME beserta deskripsi pada masing-masing titik acuan :
2.2.5 Pengujian Hipotesis Komparatif
Menguji hipotesis komparatif berarti menguji parameter populasi yang berbentuk perbandingan melalui ukuran sampel yang juga berbentuk perbandingan. Hal ini juga dapat berarti menguji kemampuan generalisasi (signifikansi hasil penelitian) yang berupa perbandingan keadaan variabel dari dua sampel atau lebih. Bila Ho dalam pengujian diterima berarti nilai perbandingan dua sampel atau lebih tersebut dapat digeneralisasikan untuk seluruh populasi dimana sampel-sampel diambil dengan taraf kesalahan tertentu.
Desain penelitian masih menggunakan variabel mandiri, (satu variabel seperti halnya dalam penelitian deskriptif, tetapi variabel tersebut berada pada populasi dan sampel yang berbeda, atau pada populasi dan sampel yang sama tetapi pada waktu yang berbeda. Terdapat dua model komparasi, yaitu komparasi antara dua sampel dan komparasi antara lebih dari dua sampel yang sering disebut komparasi k sampel. Selanjutnya setiap model komparasi sampel dibagi menjadi dua jenis yaitu sampel yang berkorelasi dan sampel yang tidak berkorelasi disebut dengan sampel independen.
Sampel yang berkorelasi biasanya terdapat dalam desain penelitian eksperimen. Sebagai contoh dalam membuat perbandingan kemampuan kerja pegawai sebelum dilatih dengan yang sudah dilatih, membandingkan nilai pretest dan postest dan membandingkan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol (pegawai yang diberi latihan dan yang tidak). Sampel independen adalah sampel yang berkaitan satu sama lain, misalnya akan membandingkan kemampuan kerja lulusan SMU dan SMK, membandingkan penghasilan petani, nelayan dan sebagainya (Sugiyono, 2007).
Dalam pengujian hipotesis komparatif dua sampel atau lebih, (membuat generalisasi) terdapat berbagai teknik statistik yang dapat digunakan. Teknik statistik mana yang akan digunakan tergantung pada bentuk komparasi dan macam data. Untuk data interval dan ratio digunakan statistik parametris dan untuk data nominal/diskrit dapat digunakan statistik non parametris. Berikut tabel 2.2 adalah pedoman untuk memilih teknik statistik yang sesuai :
Tabel 2.2 Pengujian Statistik Hipotesis Komparatif MACAM
DATA
BENTUK KOMPARASI
Dua Sampel k Sampel
Korelasi Independen Korelasi Independen Interval Ratio t-test dua sampel parametrik t-test dua sampel parametrik One Way Anova parametrik Two Way Anova
One Way Anova parametrik Two Way Anova
Nominal Mc Nemar Fisher Exact
Chi Kuadrat Two sampel
Chi Kuadrat for k sampel Cochran Q
Chi Kuadrat for k sampel
Ordinal Sign test
Wilcoxon Matched Pairs Median Test Mann – Whitney U test Kolmogorov Smirnov Wald – Wolfowitz Friedman Two Way Anova Median Extension Kruskal-Walls One Way Anova
Sumber : Sugiyono, 2007;120
Pengujian statistik yang dilakukan pada penelitian ini adalah menggunakan sampel berkorelasi dan sampel independen, sehingga pengujian yang dapat digunakan adalah sebagai berikut :
1. Sampel Berpasangan (Korelasi)
Dua atau lebih kelompok data dikatakan berpasangan apabila data berasal dari subyek yang sama atau subyek yang berbeda yang terlah dilakukan matching. Pada sampel berpasangan (korelasi), apabila kelompok data memenuhi asumsi varians data dan normalitas data, maka pengujian dilakukan dengan pendekatan statistik parametrik. Untuk dua kelompok data menggunakan uji – t 2 sampel berpasangan, sedangkan untuk lebih dari dua kelompok data (k-sampel) menggunakan uji Wilcoxon. Namun apabila dua asumsi tersebut tidak terpenuhi,
maka pengujian dilakukan dengan pendekatan statistik non-parametrik. Untuk dua kelompok data menggunakan uji Two Way Anova, sedangkan untuk lebih dari dua kelompok data menggunakan uji Friedman (Sugiyono, 2007).
2. Sampel Independen
Dua atau lebih kelompok data dikatakan tidak berpasangan apabila data berasal dari subyek yang berbeda tanpa prosedur matching. Pada sampel independen ini, apabila kelompok data memenuhi asumsi homogenitas varians data dan normalitas data, maka pengujian dilakukan dengan pendekatan statistik parametrik. Untuk dua kelompok data menggunakan uji – t 2 sampel independen, sedangkan untuk lebih dari dua kelompok data (k-sampel) menggunakan uji Two
Way Anova. Namun Apabila dua asumsi tersebut tidak terpenuhi, maka pengujian
dilakukan dengan pendekatan statistik non-parametrik. Untuk dua kelompok data menggunakan uji Mann – Whitney, sedangkan untuk lebih dari dua kelompok data (k-sampel) menggunakan uji Kruskall – Wallis (Hendrawan dkk, 2008).