• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN NUTRISI DALAM SIKLUS REPRODUKSI ABALON

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERANAN NUTRISI DALAM SIKLUS REPRODUKSI ABALON"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

1) Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Hasanuddin, Makassar

Oseana, Volume XXX, Nomor 3, 2005 : 1 - 7 ISSN 0216-1877

PERANAN NUTRISI DALAM SIKLUS REPRODUKSI ABALON

Oleh

Magdalena Litaay 1)

ABSTRACT

NUTRITIONAL ROLES IN THE REPRODUCTIVE CYCLE OF ABALONE.

Aba-lone (Haliotis spp) is nowdays recognized as one of important economic species.

High demand of this commodity has given abalone aquaculture a plausible alterna-tive to develop. Up to date, wild broodstock is extensively used in abalone culture where the selection of breeders is based on external characteristics such as size of animal and gonad features. However, selection on these criterias to some extent could not guarantee their reproductive performance. Knowledge on biochemical profiles of gonad especially during maturation as early stage of organisms are needed to support development in artificial food in aquaculture. This paper describes some aspects on role of nutrition in reproduction and early development of abalone.

PENDAHULUAN

Abalon merupakan kelompok moluska laut, di Indonesia yang dikenal “kerang mata tujuh” atau “siput lapar kenyang” dimana beberapa jenis merupakan komoditi ekonomis. Permintaan dunia akan abalon meningkat sejalan dengan meningkatnya kebutuhan akan variasi sumber protein serta perkembangan industri perhiasan dan akuarium. Selama ini mayoritas industri abalon masih didominasi oleh produk alam, hanya sebagian kecil dari produksi berasal dari industri budidaya. Namun demikian peningkatan kebutuhan dunia akan komoditi ini dalam dua dasawarsa terakhir telah memicu perkembangan budidaya abalon di mana-mana. Jepang, Taiwan, Amerika Serikat dan Australia adalah negara-negara yang telah

mengem-bangkan budidaya abalon skala besar untuk tujuan konsumsi dalam negerinya, ataupun untuk diekspor. Pada saat ini, usaha budidaya abalon ditujukan untuk memenuhi kebutuhan restoran dengan rata-rata ukuran coctail.

KARAKTER REPRODUKSI DAN KUALITAS TELUR

Produksi dari kebanyakan budidaya abalon tergantung dari induk yang diambil dari alam. Untuk abalon dari alam, karakter reproduksi terutama induk betina tidaklah mudah dievaluasi hanya berdasar kondisi eksternal. Selain berdasarkan pengalaman, ketidakmampuan menentukan induk yang “baik” atau “ jelek” pada tahapan tertentu dapat merugikan industri budidaya abalon. Dari

(2)

beberapa penelitian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa kemampuan reproduksi kelompok ini pada dasarnya ditentukan oleh kualitas telur terutama ukuran dan komposisi biokimianya.

Pilihan induk siap memijah dalam budidaya abalon berdasarkan penampakan eksternal dari hewan dewasa, dimana kriteria utama yang digunakan adalah : ukuran, warna dan bentuk gonad (HAW, 1989; SETYONO, 2004). Namun demikian hewan pilihan berdasarkan kriteria tersebut tetap memperlihatkan variabilitas reproduksi. Misalnya variasi yang cukup besar pada tingkat fertilitas telur, persentase keberhasilan penetasan dan keberhasilan menempel pada substrat. Pada abalon yang berukuran besar dengan telur yang berdiameter rata-rata 250

µ

m diharapkan memperlihatkan karakter reproduksi yang baik (dari berbagai sumber). Variabel kualitas telur merupakan salah satu faktor pembatas pada keberhasilan produksi massal dari benih atau nener ikan dan spesies kultur lainnya untuk tumbuh mencapai ukuran pasar (KTORSVIK et al. 1990). Observasi tentang kualitas telur dalam hubungannya dengan keberhasilan larva yang dihasilkan akan memberikan kontribusi pada ilmu pengetahuan dan merupakan alat untuk identifikasi awal kualitas induk.

Hasil penelitian pada abalon bibir hitam

(Haliotis rubra) dan abalone bibir hijau

(Haliotis laevigata) menunjukkan bahwa

kualitas telur yang dicirikan sebagai diameter kuning telur dan rasio antara kuning telur dan total diameter telur dapat digunakan sebagai indikator kualitas reproduksi. Sebagai contoh pada H. rubra, hubungan antara diameter kuning telur (DKT) dan fertilitas (F) digambarkan dengan persamaan : F = - 9028.77 + 97.557 DKT - 0.261 DKT2 (R2 = 0.92, p < 0.001), sedangkan hubungan antara F dengan rasio kuning telur dan total diameter telur (RKT) dijabarkan dengan persamaan : F = - 2862.67 + 6786.67 RKT - 3891 RKT2 (R2 = 0.77, p < 0.01) (LITAAY, 2004).

NUTRISI DALAM REPRODUKSI HEWAN LAUT

Nutrisi adalah faktor utama yang berperan dalam pematangan seksual, sehingga dapat mempengaruhi reproduksi hewan di alam ataupun dalam lingkup budidaya. Di alam, nutrisi yang tersedia bervariasi dan tergantung pada tingkat tropik. Kondisi ini secara alami merupakan salah satu faktor eksternal penting bagi siklus reproduksi. Dalam budidaya, lingkungan fisik dan nutrisi induk dapat dimanipulasi untuk mempercepat pematangan gonad dan proses pembentukan gamet ( game-togenesis). Keberhasilan pengkondisian induk tergantung pada penyediaan kondisi di

hatchery yang mendekati kondisi di alam selama siklus reproduksi alami, yaitu dengan cara manipulasi air laut dan penyediaan makanan yang memadai.

Perbedaan jenis memperlihatkan komposisi biokimia yang beragam pada tingkat perkembangan yang berbeda tergantung pada proses dan tuntutan energi dari telur. Selain konsekuensi perbedaan jenis, kualitas nutrisi induk betina berpengaruh langsung pada perkembangan embrio dan larva untuk melewati tahapan ketergantungan pada cadangan energi

endogen (RAINUZZO et al. 1997). UTTING & MILLICAN (1998) menernukan bahwa diameter dari telur moluska berhubungan dengan suhu dan ketersediaan makanan. Pada hewan laut lainnya seperti pada ikan, keberhasilan fertilisasi, penetasan dan ketahanan hidup dari embrio dan alevin merupakan indikator biologi. Disamping itu, ukuran telur, volume kantong kuning telur, dan ukuran alevin pada penetasan merupakan indikator morfologi dari kualitas telur (SRIVASTAVA & BROWN, 1991).

Reproduksi menyangkut mobilisasi in-ternal, biosintesis dan bioakumulasi dari materi yang berasal dari induk untuk dideposit pada telur yang akan dibuahi. Pada saat dibuahi, dengan informasi genetik dari sperma yang berasal dari induk jantan, keseluruhan isi dari

(3)

telur harus mendukung perkembangan embrio dan tahapan awal larva lesitotrofik. Pemahaman antara interaksi nutrisi-reproduksi dan penentuan nutrisi yang diperlukan untuk keberhasilan maturasi dan pemijahan diperlukan untuk memproduksi hewan budidaya terutama produksi moluska pasca larva pada skala besar untuk operasi industri yang lebih luas. Selanjutnya, penentuan peranan dari nutrisi spesifik (sumber-sumber diet alami) dalam lingkup reproduksi, dan perubahan dalam dinamika deposit, mobilisasi dan utilisasi atau pemanfaatan nutrisi akan mempermudah pemahaman fisiologi reproduksi dan strategi siklus reproduksi.

Nutrisi menunjukkan nutrien dasar (komponen biokimia) yang diperlukan untuk mendukung semua sistem metabolik untuk menjalankan fungsinya masing-masing. Nutrien diantaranya protein, rasio RNA-DNA, asam-asam amino, lemak dan asam lemak berperan dalam keberhasilan perkembangan embrio (FYHN, 1989; SOIVIO et al. 1989; BROMAGE, 1995). Kekurangan dari salah satu faktor di atas akan berpengaruh pada perkembangan telur (SRIVASTAVA & BROWN, 1991). Lemak adalah komponen utama dari biomembran dan cadangan makanan utama dalam perkembangan ikan dan embrio invertebrata. Lemak juga merupakan salah satu unsur utama,dari komponen diet induk yang mempengaruhi komposisi telur. Lemak juga menyediakan asam lemak esensial. Selain lemak, protein yang berasal dari sirkulasi maternal akan merupakan sumber asam-asam amino dan juga sebagai sumber energi untuk perkernbangan embrio (SARGENT, I995).

PROFIL “KARKAS” PADA SIKLUS REPRODUKSI ABALON

Seperti telah dijelaskan di atas bahwa terdapat perubahan komponen biokimia selama proses perkembangan embrio dan larva. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

perubahan komposisi biokimia pada gonad dan kelenjar pencernaan (digestive gland) terjadi sejalan dengan siklus reproduksi. Penumpukan lemak dan protein di gonad terjadi menjelang pemijahan telah diamati pada berbagai moluska (JAECKLE & MANAHAN, 1989a; WHYTE et al. 1990; SOUDANT et al. 1999; UTTING & MILLICAN, 1998; LITAAY, 2004). Profil karkas dalam kelenjar pencernaan menunjukkan pola yang berlawanan dengan yang terlihat pada gonad. Pada pengamatan siklus reproduksi beberapa abalon terlihat bahwa akumulasi pada gonad terjadi sejalan dengan proses pematangan ovari dan menurun setelah pemijahan (WEBBER, 1990 dan LITAAY, 2004). Sementara kandungan lemak pada kelenjar pencernaan H. rubra menurun menjelang pematangan gamet. Indeks reproduksi, indeks pematangan gonad (GSI = gonad index) memperlihatkan kecenderungan yang terbalik dengan indeks hepatosomatik (HSI = hepatosomatic index). Dalam siklus reproduksi

H. rubra ataupun pada moluska lain, GSI

meningkat sejalan dengan proses maturasi, sedangkan HSI sebaliknya (LODEIROS et al.

2001).

Kenaikan berat gonad menjelang pemijahan disebabkan oleh bertambahnya ukuran oosit sejalan dengan penimbunan nutrien dalam proses pematangan tersebut. Komposisi “karkas” terutama lemak disimpan sebagai sumber nutrisi yang akan dipakai untuk perkembangan embrio. BERTHELEIN et al.

(2000) menemukan jaringan lain seperti otot yang diketahui sebagai salah satu gudang pro-tein yang bukan merupakan sumber energi utama selama siklus reproduksi. Peneliti ini juga menambahkan bahwa glikogen dan lemak yang tersimpan dalam kelenjar pencernaan, gonad dan daerah mantel selama periode musim dingin merupakan sumber utama energi pendukung siklus reproduksi. Hal serupa juga telah diteliti pula pada kekerangan oyster dan abalon lainnya (CAREFOOT et al., 2000).

(4)

PERANAN ASAM LEMAK DAN ASAM AMINO DALAM

SIKLUS REPRODUKSI

Telah disebutkan di atas bahwa dalam komposisi karkas, dua nutrien organik penting yaitu asam lemak dan asam amino. Asam lemak adalah struktur atau penyusun fundamental dari lemak. Komposisi dan jumlah asam lemak yang terdapat dalam hewan laut bervariasi menurut lokasi (organ), proses fisiologis dan tahapan dalam siklus reproduksi. Proporsi kelompok asam lemak tertentu terkadang juga dipengaruhi oleh jenis kelamin. Contohnya, asam lemak tidak jenuh tunggal dan asam lemak jenuh terkadang ditemukan dalam jumlah besar (sekitar 80% dari total asam lemak) dalam telur dan larva abalon

H. rubra (LITAAY, 2004).

DUNSTAN et al. (1996) menemukan kelompok asam lemak asam lemak tidak jenuh tunggal merupakan asam lemak dominan dalam otot juvenil abalon H. rubra dan H. laevigata

dewasa. Asam lemak lain yang terdapat dalam jumlah besar selain kelompok di atas adalah asam arakidonat (20 : 4n-6), asam alfa linolenat

(18 : n-3) dan asam eikosapentaenoat (20 : 5n-3). Kelompok asam lemak terakhir terdapat dalam jumlah besar dalam telur dan menurun jumlahnya pada larva yang menetap di dasar. Jumlah besar dari asam dokosapentaenoat

(22 : 5n-3) pada hewan laut merupakan hal yang tidak umum (DUNSTAN et al., 1996; MAI et al., 1996). Menurut FLORETO et al. (1996). BAUTISTA-TERUEL et al (2001) dan SU et al.

(2004), asam lemak 18 : 4n-3, 20 : 5n-3 dan 22 : 5n-3 merupakan asam lemak utama dari tissue abalon, meskipun kelompok asam lemak ini umumnya ditemukan dalam jumlah yang sedikit dalam makanan alami alga. Selain asam lemak tersebut di atas, menambahkan bahwa asam lemak 20 : 4n-6 terdapat juga dalam jumlah signifikan pada gonad dan kelenjar pencernaan abalon H. laevigata (NELSON et al., 2002).

Jumlah dominan kelompok “asam lemak rantai panjang” dalam tubuh organisme yang

tidak terdapat dalam makanan, menerangkan adanya mekanisme sintesis dari diet asam lemak seri n-3 dari asam lemak serf lebih rendah (FLORETO et al., 1996). Bahkan asam lemak tertentu dapat disintesis dari karbohidrat (DURAZO-BELTRAN et al., 2003).

Asam lemak rangkap ganda (PUFA) dengan atom karbon 20 dan 22 atau yang memiliki lebih dari tiga ikatan rangkap telah diketahui berperan penting dalam reproduksi, mempertahankan kelangsungan hidup dan pertumbuhan moluska. Asam lemak 20 : Sn-3, 20 : 4n-6 dan 22 : 6n-3 (asam dokosaheksaenoat) berperan dalam gametogenesis dan embriogenesis moluska (SOUDANT et al. 1999) dan juga merupakan komponen utama membran fosfolipid dan sebagai prekusor prostaglandin dan asam eikosaenoat lainnya (SARGENT, 1995). Diet yang diperkaya dengan “asam lemak tidak jenuh ikatan rangkap” (PUFA = poly

un-saturated fatty acid) dan “asam lemak tidak

jenuh rantai panjang” (XUFA = highly unsat-urated fatty acid) n-3 dan n-6 berdampak positif pada proses reproduksi dan perkembangan larva abalon (MAI et al., 1995; BAUTISTA TERUEL

et al., 2001; NELSON et al., 2002). Selanjutnya

MAI et al. (1996) mengemukakan bahwa

kelompok asam lemak PUFA n-3 dan n-6 juga berperan penting dalam pertumbuhan juvenil abalon disk (H. discuss hannai) dan H.

tuberculata. Namum peneliti ini juga

menambahkan bahwa percepatan pertumbuhan lebih dipengaruhi oleh kelompok asam lernak n-3. Dengan demikian berkurangnya n-3 selama proses perkembangan larva abalon rnerupakan indikasi pemanfaatan sumber energi ini pada tahapan larva tidak makan (non feeding).

Asam amino merupakan komponen penting penyusun protein dan umumnya dibedakan atas asam amino esensial dan non esensial. Variasi dalam asam amino total dalam pool asam amino bebas telah diamati pada beberapa invertebrata laut. Namun demikian pada beberapa kasus tidak terdapat perubahan pada profil beberapa asam amino esensial dalam

(5)

pool asam amino. Seperti halnya asam lemak, komposisi (jenis dan jumlah) asam amino pada hewan laut juga dipengaruhi oleh jenis, lokasi (organ), proses fisiologis dan tahapan dalam daur hidup organisme.

Pada organ moluska laut, asam amino tertentu dapat ditemukan dalam jumlah dominan. Sebagai contoh, taurine, asam amino ini terdapat sekitar 79,5% dalam total asam amino dalam otot abalon disk (WATANABE et al., 1993; HATAE

et al., 1995) dan dalam telur dan larva H. rubra

(LITAAY, 2004). Taurin dikenal sebagai asam amino non esensial berperan penting osmoregulasi invertebrata laut dan sejumlah metabolisme energi secara anaerobik melalui pembentukan produk akhir glikolisis, tauropine, (SATO et al., 1991).

Dalam siklus reproduksi, beberapa basil penelitian pada moluska laut menunjukkan terjadinya fluktuasi pada profil asam amino selama proses pematangan gonad dan fase awal pertumbuhan lesitotrofik. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya kenaikan proporsi asam amino tertentu pada larva yang bersifat

lesitotrofik, yang pada tahapan ini seharusnya memanfaatkan energi endogen (JAECKLE & MANAHAN, 1989a, 1989b; LITAAY, 2004). Peneliti-peneliti di atas menyimpulkan bahwa diperkirakan abalon memiliki kemampuan mengabsorbsi asam amino terlarut dalam air laut untuk mendukung aktivitas hidup mereka.

Hasil penelitian intensif pada ikan laut menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara lemak dan asam amino dalam metabolisme bahan organik dalam tubuh (ZHU et al. 1997). Mekanisme yang sama juga mungkin terjadi pada invertebrata laut. Selain itu seperti penjelasan sebelumnya, abalon mempunyai kemampuan untuk menyerap bahan organik terlarut dalam air laut dan memiliki kemampuan mensintesis asam lemak dari karbohidrat (DURAZO-BELTRAN et al. 2003). Dengan demikian profil asam lemak dan asam amino dalam siklus reproduksi abalon berhubungan dengan proses fisiologis, tahapan dalam siklus

reproduksi dan mekanisme perilaku biokimia bahan organik dalam tubuh organisme.

DAFTAR PUSTAKA

BAUTISTA TERUEL, N.; O.M. MILLAMENA and A.C. YERMIN 2001. Reproductive performance of hatchery-bred donkey’s ear abalone, Haliotis asinina, Linne, fed natural and artificial diets. Aquaculture Res. 32 (Suppl. 1) : 249-254.

BERTHELEIN, C.; K. KELLNER and M. MATHIEU 2000. Storage metabolism in the Pacific Oyster (Crassostrea gigas) in relation to summer mortalities and re-productive cycle (West Coast France).

Comp. Biocem. Physiol. B 125: 359-369. BROMAGE, N.R. 1995. Origin and function of egg lipids: Nutritional implications. In: Broodstock Management and egg and Larval Quality, N.R. Bromage and R.J. Roberts (eds). Blackwell, Oxford. CAREFOOT, T.H.; B.E. TAYLOR and D.A

DONOVAN 1998. Seasonality in diges-tive size and metabolism in relation to reproduction in Haliotis kam-tschatkana. J Shellfish Res.17: 713-716. DURAZO-BELTRAN, D.; L.R. D’ABRAMO; J.F. TOROVAQUES; C. VASQUES -PELAEZ and M.T. VIANA 2003. Effect of tryglycerols in formulated diets on growth and fatty acid composition in tis-sue of green abalone (Haliotis fulgens).

Aquaculture 224: 257-270.

DUNSTAN, G.A.; H.J. BAILLIE; S.M. BARRETT and J.K. VOLKMAN 1996. Effect of diet on the lipid composition of wild and cultured abalone. Aquaculture

10 : 115-127.

FLORETO, E.A.T.; T. SHIN-ICHI and K. SHUNSUKE 1996. The effects of sea-weed diets on the lipid and fatty acids of the Japanese disc abalone Haliotis discus hannai. Fish. Sci. 62 : 582-588.

(6)

FYHN, H.J. 1989. First feeding of marine fish larvae: Are free amino acids the source of energy? Aquaculture 80 : 110-120. HAHN, K.O. (ed) 1989. Handbook of Culture of

Abalone and Other Marine Gastro-pods.CRC Press, Baco Raton, Florida. 348 pp.

HATAE, K.; H. NAKAI; A. SHIMADA; T. MURAKAMI; K. TAKADA; Y. SHIROJO and SWATABE 1995. Aba-lone (Haritis discus): seasonal variations in chemical composition and textural properties. J. Food Sci. 60 : 32-39. JAECKLE, W. B. and D.T. MANAHAN 1989a.

Growth and energy balance during the development of a lecithotrophic mollus-can larva (H. rufescens). Biol Bull. 177 : 237- 246.

JAECKLE, W. B. and D.T. MANAHAN 1989b. Feeding by a “nonfeeding” larva: up-take of dissolved amino acids from sea-water by lecithotrophic larvae of the gastropod Haliotis rufescens. Mar. Biol.

103 : 87-94.

KJORSVIK, E.A.; MANGOR-JENSEN and I. HOLMEFJORD 1990. Egg quality in fishes. Adv. Mar. Biol. 26: 71-113. LITAAY, M. 2004. Reproductive performance

and egg and larval quality of the blacklip abalone Haliotis rubra L. Ph.D Thesis. Deakin University. Australia: 179 pp. LODEIROS, C.J.; J.J. RENGEL; H.E.

GURDER-LEY; O. NUSETTI and J.H. HIMMEL-MAN 2001. Biochemical composition and energy allocation in the tropical scallop Lyropecten (Nodipecten)

nodosus during the months leading up

to and following the development of gonads. Aquaculture 199: 63-72. MAI, K.; J.P. MERCER and J. DONLON 1995.

Comparative studies on the nutrition of two species of abalone, Haliotis

tuberculata L. and Haliotis discuss

hannai Ino. III. Response of abalone to various levels of dietary lipid. Aquacul-ture 134 : 65-80.

MAI, K.; J.P. MERCER and J. DONLON 1996. Comparative studies on the nutrition of two species of abalone, Haliotis

tuberculata L. and Haliotis discus

hannai Ino. V. The role of polyunsatu-rated fatty acids of macroalgae in aba-lone nutrition. Aquaculture 139: 77-89 NELSON, M.M.; D.L. LEIGHTON; C.F.

PHLEGNER and D.P. NICHOLS 2002. Comparison of growth and lipid compo-sition in the green abalone, Haliotis fulgens, provided specific macroalgal di-ets. Comp Biochem. Physiol. 131 B : 695-712.

RAINUZZO, JR.; K.I. RETAN and Y. OLSEN 1997. The significance of lipids at early stages of marine fish : a review. Aqua-culture 155: 103-115.

SARGENT, JR 1995. Origin and functions of egg lipids: Nutritional implications. In

Broodstock Management and Egg and Larval Quality, N.R. Bromage & R.J. Roberts (eds). Blackwell, Oxford: 353-372.

SATO, M.; M. TAKEUCHI; N. KANNO; E. NAGASIHA and Y. SATO 1991. Characterisation and physiological role of tauropine dehydrogenase and lactate dehyrogenase from muscle of abalone,

Haliotis discus hannai. Tohoku J. Agr. Res. 41: 83-95.

SETYONO, D.E.D. 2004. Abalone (Haliotis asi-nina L.) : 2. Factors affect gonad matu-ration. Oseana XXIX (4) : 9-15.

SOIVIO, A.; M. NIEMISTO and M. BACKSTORM 1989. Fatty acid compo-sition of Coregonus muskun Pallas : changes during incubations, hatching, feeding and starvation. Aquaculture 79: 163-168.

SOUDANT, P.; K. VAN RYCKEGHEM; J. MARTY; J. MOAL; F.F. SAMAIN and P. SORGELOOS 1999. Comparison of the lipid classes and fatty acid composition between a reproductive cycle in nature

(7)

and a standard hatchery conditioning of the Pacific oyster Crassostrea gigas.

Comp. Biochem. Physiol. B123 : 209-222. SRIVASTAVA, R.K. and A. BROWN 1991. The biochemical characteristics and hatch-ing performance of cultured and wild Atlantic salmon (Salmo salar) eggs.

Can. J. Zool. 69 2436-2441.

SU, X.Q.; K.N. ANTONAS and D. LI 2004. Com-parison of n-3 polyunsaturated fatty acid contents of wild and cultured Austra-lian abalone. Int. Journal Food Science & Nutrition 55 :149-154.

UTTING, S.D. and P.F. MILLICAN 1998. The role of diet in hatchery conditioning of

Pecten maximus L : a review. Aquacul-ture 165: 167-178.

WATANABE, H.; H. YAMANAKA and H. YAMAKAWA 1993. Changes in the

content of extractive components in disk abalone fed with marine algae and starved. Nipp. Suis. Gakk. 59:2031-2036. WEBBER, H.H. 1990. Changes in metabolite composittion during the reproductive cycle of the abalone Haliotis

cracheroidii (Gastropoda :

Proso-branchiata). Physiol. Zool.: 43 213-232. WHYTE, J. N. C.; N. BOURNE and N.G.

GINTHER 1990. Biochemical and energy changes during embryogenesis in the rock scallop Crassodoma gigantea. Mar. Biol. 106: 239244.

ZHU, P.; R.P. EVANS; C.C. PARRISH; J.A. BROWN and P.J. DAVIS 1997. Is there a direct connection between amino acid and lipid metabolism in marine fish em-bryo and larvae. Bull Aquacul. Assoc. Canada 2 : 48-50.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah kita mempelajari materi yang ter’rangkum di atas maka dapat kita tarik suatu kesimpulan yaitu negara indonesia kaya akan seni-seninya yang tercermin dalam berbagai bentuk

Proses bisnis usulan permintaan kebutuhan yaitu, bagian mechanical electrical melakukan penambahan data barang yang disertakan dalam permintaan, pengguna dapat memilih

a) Kebijakan Pemerintah tentang pemberdayaan masyarakat secara tegas tertuang didalam GBHN Tahun 1999, serta Undang-undang Nomor: 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.

Jika dilihat dari tuntutan, Jaksa Penuntut Umum meyakini bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa Amir Fauzi lebih sesuai dengan kriteria unsur dalam Pasal 12 huruf c Undang-Undang

Unika Jaya selama Masa Sanggah dari tanggal 13 Juni 2013 sampai dengan tanggal 17 Juni 2013 dan sanggahan tersebut sudah dijawab oleh Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Pengadilan

Kamus data adalah suatu daftar data elemen yang terorganisir dengan. definisi yang tetap dan sesuai dengan sistem, sehingga user dan analis

Sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara

Kegiatan ekonomi adalah kegiatan yang dilakukan orang dalam bidang ekonomi untuk menghasilkan pendapatan dalam rangka memenuhi kebutukan hidup.Kegiatan ekonomi secara garis