MENYONTEK? RASAKAN SENDIRI KONSEKUENSINYA!
Oleh: Clarissa Maharani
Bel pulang sekolah berdering, anak‐anak SMA Pelita Harapan pun berhamburan
keluar kelas, ada yang langsung pulang ke rumah, ada yang masih nongkrong dulu di
sekitar sekolahan, ada yang langsung ngacir ke kantin, tetapi lain halnya dengan Filan,
ia dicegat oleh beberapa teman sekelasnya ketika ia hendak bersiap‐siap pulang. “Hei Filan!” panggil seorang gadis dengan suara melengking, ternyata ia adalah
Sulli, bersama dua orang temannya Luna dan Vic. Filan pun sontak menoleh. Sulli
bersama Luna dan Vic akhirnya mendekati Filan kemudian memberikan tatapan tajam
padanya. Filan hanya bisa terdiam menunduk.
“Ya, ada apa Sulli?” tanya Filan dengan suara mencicit.
“Lusa kan ada ulangan matematika Pak Brewok, lo harus memberikan kita
semua jawabanmu supaya nilai kita‐kita bagus!” perintah Sulli diikuti dengan anggukan
setuju dari Luna dan Vic, antek‐antek setianya.
“Ta...tapi...” sebelum Filan bisa menjawab, Luna memotong omongannya. “Banyak cingcong lo! Kalo kita bilang kasih kita contekan ya lo harus ikutin
sama apa yang kita perintahkan, atau lo mau dikeluarkan dari sekolah ini?!” bentak
Luna galak. Tentu saja Filan tidak ingin hal seperti itu terjadi. Sulli adalah seorang anak
dari donatur paling berpengaruh di seluruh SMA Pelita Harapan, orangtuanya adalah
konglomerat kaya raya yang benar‐benar berduit. Begitu juga dengan Luna dan Vic.
Luna adalah anak pengusaha batu bara dan Vic adalah anak dari seorang pejabat
negara. Karena status sosial mereka yang diatas rata‐rata, banyak anak yang segan
terhadap mereka dan tidak mau membuat masalah atau mencari ribut apalagi sampai
harus berurusan dengan trio menyeramkan tersebut. Konsekuensinya ya kalau tidak
diancam dikeluarkan dari sekolah, ya, pasti dikucilkan dan dijahati habis‐habisan.
Walau mereka semua cantik‐cantik, tetapi hanya luarnya saja yang bagus, dalamnya
busuk.
“Iya, maaf, akan kuberikan jawabanku nanti,” jawab Filan takut‐takut, tidak
berani menatap mata tiga orang gadis di depannya.
“Gitu dong dari tadi, yaudah sana pulang! Enek liat muka lo lama‐lama!” ujar
Sulli akhirnya. Filan hanya bisa menghela napas. Kenapa sih harus dia yang menjadi
juara kelas tiap tahun? Filan memang sudah dikenal sebagai murid yang sangat cerdas,
rajin, dan pintar. Juara pertama selalu disabet olehnya berkali‐kali tiap tahun ajaran
berakhir. Filan memang tergolong anak yang dikaruniai otak yang encer, sehingga tidak
perlu belajar pun ia selalu mendapat nilai terbagus di kelas baik ketika ulangan harian
ataupun ujian semesteran.
Walau memiliki otak encer, Filan tidak pernah absen dimintai jawaban terus
tempat duduk agar ia bisa duduk dekat dengan Filan supaya Filan bisa memberikan
jawaban dengan mudah kepada mereka setiap kali ada ulangan.
Begitulah rutinitas Filan sehari‐hari, selalu menjadi korban contekan oleh Trio
Nyontek tersebut dan tidak ada yang berani melawan kecuali sahabat Filan, Fana. “Filannia Sakura Mekar! Kok lo masih disini, sih?” tanya Fana yang kebetulan
muncul tiba‐tiba di balik pintu kelas.
“Lo darimana aja Fanatasya Azellinka? Tadi gue habis diancam lagi sama Sulli
dan kawan‐kawannya mengenai ulangan matematika lusa,” Filan balik bertanya. “Apa?! Diancam lagi? Fi, yaampun, kapan sih kamu bisa melawan mereka?
Seharusnya tadi aku ada disana! Supaya aku bisa mengehajar wajah menor mereka
satu‐satu!” ujar Fana emosi dengan mengepalkan tangannya ke udara.
“Tidak apa‐apa, lah, Fan. Lagian mereka kan bukannya menguras uang jajanku
atau apa, mereka cuma minta contekan, kok,” jawab Filan dengan pasrah.
“Tapi tetap saja itu merupakan perbuatan curang yang hina! Kalau kamu
diancam lagi oleh mereka, lapor saja aku! Biar aku yang menghajar mereka untukmu!”
seru Fana dengan emosi.
Filan hanya bisa tersenyum. Filan tahu bahwa setiap perbuatan memiliki konsekuensi
dan perbuatan jahat juga sudah pasti akan dibalas oleh karma.
****
Hujan deras mengguyur seisi sekolah dan sekitarnya. Tidak ada satupun celah yang
tidak terkena hujan. Atap, lapangan, parkiran, pohon‐pohon, taman, semua terkena
air. Tidak ada pengecualian kecuali bagi mereka yang tengah berteduh. Filan menyesal
telah menolak ajakan Fana untuk pulang bersama naik mobil Fana. Filan orangnya
memang tidak ingin menjadi beban yang merepotkan orang lain padahal Filan sudah
bersahabat dengan Fana selama satu tahun. Jadilah Filan menunggu hujan yang tak
kunjung berhenti di lobi sekolah dan tak dinyana, ada seseorang yang menyapanya. “Hei, nunggu hujan reda juga?” tanya seorang cowok dari belakang Filan. Ya,
tuhan. Itu Gerah! Cowok terganteng, tertampan di seantero sekolah! Wajahnya seperti
perpaduan antara wajah Aliando Syarief si pemain Ganteng‐Ganteng Serigala dengan
wajah Iko Uwais. Jika kau bertanya‐tanya mengapa panggilannya Gerah, sebenarnya
namanya adalah Anugerah Karunia Syukur, tetapi orang‐orang memanggilnya dengan
sebutan Gerah. Bukan Gerah dalam makna denotasi ‘kepanasan’, ya! Sungguh tidak
sebanding nama panggilan dengan wajah setampan itu. Gerah menyapa Filan ditengah
derasnya hujan yang tak kunjung berhenti ini! Mimpi apa Filan? Filan memang sekelas
dengan Gerah tetapi tidak pernah Gerah berbicara dengannya apalagi bertegur sapa.
“I...iya, saya lagi nunggu hujan reda...” jawab Filan terbata‐bata. Pasalnya Filan
hanya bisa memandang wajah bak malaikat itu dari jauh saja, tidak pernah sedekat ini,
apalagi berdiri bersebelahan.
“Saya? Formal amat lo kayak ngomong di forum rapat partai politik aja. Gue
Gerah, lo Filan kan? Gue jarang banget liat lo ngomong kalo di kelas makanya gue
penasaran,” tukas Gerah santai.
Penasaran? Apa yang perlu dipenasarani dari seorang Filan yang biasa saja dan
tidak ada spesial‐spesialnya ini selain nilai yang bagus? Pikir Filan dalam hati. Filan
diam saja sambil menunduk, tidak tahu harus membalas Gerah dengan perkataan apa. “Eh, gue denger, lo jago matematika, ya?” tanya Gerah memecah kesunyian. “Iya, mungkin?” jawab Filan singkat. Ini orang tidak mungkin, modus, kan? “Mau gak lo ajarin gue?”
“Ngajarin?” ulang Filan tak percaya.
“Iya, ajarin gue, ya? Pliiis... gue bego banget kalo urusan matematika, siapa tau
kalo lo ajarin gue, nilai gue jadi bagus. Nanti kalau nilai gue bagus, lo boleh minta apa
aja deh sama gue,” pinta Gerah dengan iming‐iming hadiah.
Minta apa aja! Mau gak ya dia jadi pacar gue... Filan mulai berangan‐angan. “Hei, kok lo malah mangap. Ayo, mau gak, ajarin gue matematika?” tanya
Gerah sambil menjentikkan jari di hadapan Filan. Filan pun tersadar dari lamunannya. Mangap? Astaga, muka gue pasti jelek banget! Filan hanya bisa menutup
mulutnya terkejut. Melihat reaksi Filan, Gerah diam‐diam tersenyum. Kalau Filan sadar
dia bisa terbang sampai langit ke tujuh!
“Iya, boleh deh, kapan?” ujar Filan menyetujui permintaan Gerah. “Tahun depan, Filan,”
“Hah?”
“Ya, sekaranglah, ayo!”
“Ta...tapi, kan masih hujan gini...”
“Tenang, gue bawa payung, kok!” Gerah pun membuka payung plastiknya yang
berukuran besar. Cukup untuk mereka berdua. Akhirnya mereka pun langsung pergi
dibawah hujan yang menari‐nari.
****
Suara keramaian orang yang berteduh di kedai kopi itu tidak mengalahkan suara
mengajukan diri untuk mengajari pemantapan matematika, karena dia memang sangat
berbakat, tetapi sayang bakatnya itu terpendam oleh sifat pendiam Filan yang tidak
pernah mau dirinya terekspos mengajar.
“Gila, gue ngerti banget nih! Sumpah, deh, gue lebih ngerti diajarin sama elo
daripada sama si Bapak Brewok itu,” kata Gerah puas. Mereka sedang duduk di kedai
kopi dekat sekolah mereka yang biasanya penuh dengan anak‐anak yang berkumpul
pulang sekolah.
“Iya, biasa aja, sih, perasaan,” ujar Filan malu‐malu.
“Gak, menurut gue, elo jauh dari biasa. Elo luar biasa. Mau gak lo jadi guru
privat pribadi gue?” tanya Gerah tanpa ragu.
“Guru privat? Jangan, deh, gue kan belom profesional,” tolak Filan halus.
“Belom profesional gimana, buktinya belom setengah jam lo ngajarin gue, gue
udah bisa ngerjain semua soal kisi‐kisi dari Pak Brewok,” kilah Gerah membuat Filan
habis kata‐kata. Siapa sih yang tidak mau jadi guru privat cowok ganteng? Filan
sebenarnya sangat mau, tapi dia malu, dan juga dia takut diserang oleh fans‐fans
Gerah yang berseliweran di sekolah, makanya ia menolak. Tetapi sepertinya tak ada
alasan lagi untuk menolak tawaran cowok ganteng.
“Iya deh, gue mau,” Filan pun akhirnya menyetujui.
****
“Woy, lo udah siap belom?!” pagi‐pagi meja Filan sudah digebrak oleh Sulli. “Siap apa?” tanya Filan polos.
“Kertas buram, bego! Lo ga usah pura‐pura gak tau gitu deh, nanti lo mau
ngasih contekan ke kita pakai apa? Pakai tissue? Gadis bodoh,” bentak Vic disusul
dengan pelototan tajam dari Luna. Dasar, memang. Yang mau nyontek siapa, yang gak
modal siapa. Rutuk Filan dalam hati.
“Udah, deh lo gak perlu mikir macam‐macam, lo tinggal lakukan saja apa yang
kita suruh, gampang, kan?” perintah Luna tidak santai.
“Iya,” jawab Filan pendek. Hari ini adalah hari‐H. Dimana hari paling
menakutkan tiba untuk siswa‐siswi yang membenci pelajaran matematika. Hari ini
ulangan matematika materi limit fungsi akan berlangsung. Filan tentu sudah
mempersiapkan diri dengan baik, lain halnya dengan trio nyontek sok berkuasa.
“Ngapain elo‐elo semua ngerubungin Filan?” tanya Gerah yang entah muncul
darimana. Trio Nyontek kagetnya minta ampun, apalagi Filan yang seperempat hari
“Eh, ada Gerah... Engga, kok, kita lagi nanyain kabar Filan aja, siap nggak dia
buat ulangan matematika hari ini,” jawab Vic dengan keramah‐tamahan yang terlihat
jelas sekali dibuat‐buat. Gerah menaruh tasnya dimeja dan manggut‐manggut.
“Kalau kalian mau beramah‐tamah, gak usah dibuat‐buat gitu,” ujar Gerah
ketus, kemudian ia melangkah keluar kelas. Pandangan Trio Nyontek tidak bisa
berhenti sampai ujung rambutnya benar‐benar sudah keluar dari pintu kelas.
“Heh, sejak kapan Gerah peduli sama cewek kayak lo?” tanya Sulli yang tiba‐
tiba berpaling ke arah Filan.
“Entah,” jawab Filan singkat.
“Jangan kau dekati lagi Gerah atau rasakan akibatnya!” ancam Sulli berapi‐api.
Kemudian ia melangkah keluar kelas diikuti oleh kamerad‐kameradnya.
Hahhh... Filan hanya bisa menghela napas. Ia hanya bisa bertanya‐tanya
benarkah Tuhan akan membalas perbuatan orang jahat dengan ganjaran yang
setimpal? Yah, kita lihat saja nanti.
****
“Baik, anak‐anak, pisahkan meja kalian dari teman sebangkunya. Siapkan alat tulis saja,
kotak pensil harap masukkan ke tas. Bapak akan membagikan soal untuk ulangan hari
ini," perintah Pak Brewok yang tiba‐tiba masuk ke kelas. Semua murid tidak
mengharapkan Pak Brewok akan datang secepat ini, mereka pun kaget dan langsung
ambil posisi duduk ulangan dan melakukan persis seperti apa yang diperintahkan Pak
Brewok.
Tetapi ternyata, jauh sebelum ulangan dimulai...
****
Filan sedang berjalan dari kamar mandi menuju kelas, ulangan matematika akan
dimulai setelah istirahat. Tiba‐tiba ada yang membisiki namanya dari balik pohon. “Pssst!!! Filan! Filaaan!” bisik seseorang dengan pelan. Filan yang merasa
namanya dipanggil mau tidak mau menengok ke arah sumber suara. Ternyata yang
sedari tadi memanggil Filan adalah Gerah. Sedang apa dia dibalik pohon?
“Ya, ada apa, Rah?” tanya Filan yang akhirnya menghampiri Gerah dengan
wajah kebingungan.
“Tadi pagi diancam oleh Sulli dan teman‐temannya untuk memberikan jawaban
contekan ulangan matematika, ya?” interogasi Gerah dengan wajah datar. Darimana
Gerah tahu? Setahuku tak pernah ada yang memergoki Sulli mengancam‐ancamku
meminta contekan jawaban ulangan.
“Eh...” Filan pun menjadi gugup. Masalahnya, tidak boleh seorang pun tahu
“Udah, jawab aja dengan jujur,” Gerah mulai memaksa. Filan tidak berani
berkata apapun. Sejujurnya ia ingin jujur tetapi tidak bisa.
“Ya sudah kalau lo gak mau jujur, tapi gue punya ide untuk menghadapi mereka
disaat ulangan matematika nanti kalau mereka memang benar‐benar meminta
jawaban sama elo,” kata Gerah sambil menjentikkan tangannya tanda dia punya ide.
Filan hanya mengangguk lemah sambil mendengarkan apapun yang Gerah katakan.
Lalu, Gerah mulai membisikkan rencananya...
****
TIK. TOK. TIK. TOK. Detik jarum jam memecah keheningan kelas yang sekarang sedang
menghadapi hidup dan matinya mengerjakan ulangan matematika. Terlihat cukup jelas
disana siapa saja yang siap dan lancar mengerjakan, dan siapa saja yang tidak
mempersiapkan apa‐apa untuk ulangan. Tim siap termasuk Filan, Fana, Gerah, dan
anak‐anak lainnya yang memang berniat untuk mendapat nilai bagus dengan cara
konvensional yaitu dengan cara belajar dan berlatih. Sementara anak‐anak yang tidak
siap seperti Trio Nyontek hanya bisa menunggu Filan selesai mengerjakan ulangan. “Woy... psstt! Filan, udah belom?” tanya Sulli dari seberang bangku Filan
menagih contekan jawaban. Akan tetapi, Filan pura‐pura tidak mendengarnya dan
tetap fokus pada lembar jawabannya.
“Filan! Filannia! Jawab gue, mana jawabannya?!” Vic yang duduk di belakang
Sulli juga ikut‐ikutan panik karena Filan terus‐terusan tidak menggubris Sulli.
Tenang, Filan. Rencana ini pasti berjalan dengan baik. Tunggu saja. Kau pasti
bisa melewati ini semua! Semoga firasatku benar. Filan mencoba untuk menenangkan
dirinya.
“Filan! Kalau kau tidak mau memberi contekan...” bisik Sulli setengah keras. “Memberi apa gadis cantik?”
DEG! Terdengar suara berat bapak‐bapak dari belakang bangku Sulli. Pak
Brewok! Rupanya sedari tadi Pak Brewok sang guru matematika sudah stand by di area
paling belakang kelas untuk memantau murid‐muridnya yang sedang mengerjakan
ulangan! Dan tanpa disadari oleh murid‐murid lain kecuali Filan dan Gerah, si pembuat
rencana cemerlang. Kelas mereka memang memiliki dua pintu. Yang satu pintu utama,
dan pintu geser bagian belakang yang menghubungkan kelas ini dengan kelas sebelah.
Rupanya Pak Brewok diam‐diam izin ke toilet dan masuk ke kelas lagi melalui pintu
belakang dengan diam‐diam tanpa suara. Tentu saja anak‐anak yang lain tidak
menyadarinya!
“Memberi... memberi minum, Pak, sa... saya haus. Soalnya ulangan matematika
ini sulit sekali dan saya perlu minum,” kilah Sulli dengan raut wajah yang gelisah. Pak
“Setahu saya, tadi kamu bilang kamu mau minta contekan, benar?” tanya Pak
Brewok tajam. Sekarang seisi kelas sudah menoleh ke arah keributan berasal. Sulli pun
makin gelisah tak karuan.
“Te... tentu saja tidak, Pak. Ini, kan, ulangan. Mana mungkin saya menyontek!”
seru Sulli yang sekarang bulir keringatnya sudah jatuh membasahi jidatnya.
“Ikut saya ke kantor guru, sekarang!” bentak Pak Brewok galak sambil menarik
tangan Sulli.
“Ta... tapi, Pak... ini ulangannya belum selesai...”
“Oh, ya, Anda dan Anda juga ikut saya,” perintah Pak Brewok sambil menunjuk
Vic dan Luna yang terkejut dirinya ikut terseret masalah, “yang lain tetap kerjakan
ulangan dan jangan ribut. Biar saya yang menindaklanjuti ketiga biang nyontek ini!” Sulli, Vic, dan Luna pun akhirnya bangkit berdiri dan mengikuti Pak Brewok ke
kantor guru. Entah apa yang akan dilakukan Pak Brewok, yang pasti kalau mereka
dibawa ke kantor Bimbingan Konseling, mereka akan mendapat detensi dan orangtua
Sulli yang merupakan donatur sekolah akan diinformasikan. Semoga saja mereka
benar‐benar jera dari sifat jelek menyontek mereka.
****
“Nah, anak‐anak. Pelajaran yang dapat dipetik dari kejadian barusan adalah
jangan sekali‐kalinya kalian berbuat curang dalam mengerjakan ujian. Baik itu
membawa rumus contekan atau meminta contekan pada teman. Kalian tahu, kenapa?
Karena jika kalian menyontek, kalian itu sama saja dengan calon‐calon koruptor!
Menyontek itu mengambil jawaban teman untuk mendapat nilai bagus. Korupsi itu
mengambil uang rakyat untuk mendapat kekayaan. Prinsipnya sama saja, kan? Dengan
terbiasanya kita akan prinsip menyontek tersebut, semakin mudah kita melakukan hal
lain dengan prinsip yang sama. Apa kalian mau, menjadi bibit‐bibit calon koruptor yang
nantinya dibenci orang banyak? Jika tidak, maka jangan ikuti tindakan tiga orang
teman kalian barusan! Daripada bertanya saat ulangan, mengapa tidak bertanya
sebelum ulangan? Sebenarnya kesempatan untuk bertanya dengan halal itu tersedia
banyak, asalkan Anda memang berniat untuk mengerjakan ulangan dengan jujur.
Mengerti, Anak‐anak?” nasihat Pak Brewok seusai menindaklanjuti Si Trio Nyontek. “Mengerti, Bapaaak!” koor anak‐anak sekelas.
****
Tiga hari kemudian...
“Rah, kok kamu tahu, sih kalau kemarin‐kemarin Sulli mengancamku meminta
contekan jawaban ulangan?” tanya Filan pada Gerah saat kelas kosong. “Tahu lah, Fana, kan, cerita,” jawab Gerah sambil tersenyum.
“Fana? Kok bisa, dia cerita... Ngapain juga dia cerita ke kamu?” tanya Filan agak
bingung.
“Iya, lah. Dia, kan, pacarku.”
TAMAT