• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kepemimpinan Pancasila untuk Masyarakat Multikultural di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kepemimpinan Pancasila untuk Masyarakat Multikultural di Indonesia"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

1

Kepemimpinan Pancasila untuk Masyarakat Multikultural di Indonesia

Sofia Yasmin Safitri a Farida Nurani b

,a,b

Program Studi Administrasi Publik,Fakultas Ilmu Administrasi, Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Indonesia

———

1. Pendahuluan

Sebagai salah satu Negara multikultural di dunia, Indonesia memiliki sosio-kultural yang beragam dan geografis yang luas. kemajemukannya dapat dilihat dari suku, ras, agama, etnis yang mempunyai budaya, bahasa dan agama serta keyakinan yang berbeda-beda, dan dari tingkat perbedaan pendidikan, ekonomi, pemukiman, pekerjaan dan tingkat sosial budaya.Kekayaan akan keberagaman ini ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi keragaman itu merupakan suatu yang patut dipelihara serta memberikan nuansa dan dinamika bagi bangsa. Namun disisi lain, keragaman tersebut apabila tidak

dikelola dan dibina dengan tepat dan baik dapat menjadi pemicu berbagai problem dan konflik antar kelompok masyarakat. sehingga menyebabkan distabilisasi keamanan, sosial-ekonomi, bahkan disharmonisasi sosial.

Masalah yang terjadi dalam keberagamaan di Indonesia misalnya banyak terjadi pada pengakuan negara terhadap agama dan kepercayaan, konflik keagamaan di Indonesia, dan paradigma pemahamaan keagamaan yang eksklusif. Selanjutya ada masalah dalam bahasa, misalnya politisasi bahasa, pelarangan penggunaan bahasa tertentu, dan stereotip bahasa. Masalah pada gender diantaranya ketidakadilan gender, A B S T R A C T

As one of the multicultural countries in the world, Indonesia has diverse socio-cultural and broad geographical. The writing method used is the study of literature or library research. Pancasila has values that can be used as guidelines by a person who becomes the leader of an organization. Therefore, in Indonesia, it takes a leader with the character of Pancasila. Pancasila character leaders in question are leaders who have Pancasila values in it. Leaders like this will not be easy to carry out arbitrary actions. He has compassion towards his people, leaders who can uphold universal human rights, leaders who are aware of the socio-cultural diversity that exists in Indonesia. To form leaders like this, families, schools and campuses are the most strategic means to introduce and internalize Pancasila in all Indonesian people. With this step, leaders with the Pancasila character will be formed.

INTISARI

Sebagai salah satu Negara multikultural di dunia, Indonesia memiliki sosio-kultural yang beragam dan geografis yang luas. Metode penulisan yang digunakan ini adalah studi literatur atau library research. Pancasila memiliki nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai pedoman oleh seorang yang menjadi pimpinan organisasi.Maka dari itu di Indonesia dibutuhkan pemimpin berkarakter Pancasila. Pemimpin berkarakter pancasila yang dimaksud adalah pemimpin yang memiliki nilai-nilai Pancasila di dalamnya. Pemimpin seperti ini tidak akan mudah untuk melakukan tindakan yang sewenang-wenang. Ia memiliki sifat welas asih terhadap rakyatnya, pemimpin yang dapat menegakkan Hak Asasi Manusia yang bersifat universal., pemimpin yang sadar akan adanya keragaman sosial budaya yang ada di Indonesia. Untuk membentuk pemimpin seperti ini keluarga, sekolah dan kampus adalah sarana-sarana yang paling strategis untuk mengenalkan dan menginternalisasikan Pancasila pada segenap manusia Indonesia. Dengan langkah inilah, pemimpin berkarakter Pancasila akan terbentuk.

Kata Kunci : Kepemimpinan, Nilai, Multikultural

(2)

2

pemahaman gender tradisional, serta perempuan dan peran-peran strategis. Selain itu, ada juga masalah yang terjadi antar suku atau etnis tertentu seperti sikap etnosentrisme, yakni menggunakan standar norma dan nilai kebudayaannya untuk menilai kebudayaan orang lain, pandangan stereotip, yakni keyakinan seseorang untuk menilai yang didasarkan atas pengetahuannya serta pengalaman, dan prasangka.

Berdasarkan permasalahan di atas, maka diperlukan strategi khusus untuk memecahkan persoalan tersebut melalui berbagai bidang; sosial, ekonomi, budaya, dan pendidikan. Oleh karena itu, dibutuhkan kriteria-kriteria kepemimpinan multikultur yang efektif, yang dapat mengatasi konflik yang bersifat SARA, untuk dapat dilakukan berbagai upaya pengembangan sehingga di kemudian hari dapat dilahirkan para change agent yang dapat meminimalisir konflik komunal di Indonesia. Dengan demikian menurut asumsi sementara penulis, konsepsi kepemimpinan berbasis nilai pancasila cocok digunakan di dalam masyarakat multikultural. Atas dasar hal tersebut penulis anggap penting untuk dapat dijadikan contoh atau model kepemimpinan berbasis nilai pancasila pada segala lini masyarakat karena pada dasarnya masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang perlu penanganan serta pembinaan yang ekstra akan tetapi harus tetap dilandasi pada nilai Pancasila. Selain hal tersebut, sebagai masayarakat yang taat terhadap idiologi dan dasar Negara maka nilai-nilai pancasila harus tetap menjadi acuan dalam menjalankan roda organisasi yang ada di Indonesia.

2. Tinjauan Pustaka

2.1 Kepemimpinan

Kepemimpinan dalam kamus besar bahasa Indonesia (2008), dijelaskan berasal dari kata pemimpin sering disebut penghulu, pemuka, pelopor, pembina, panutan, pembimbing, pengurus, penggerak, ketua, kepala, penuntun, raja, tua-tua, dan sebagainya. Sedangkan istilah memimpin digunakan dalam konteks hasil penggunaan peran seseorang berkaitan dengan kemampuannya mempengaruhi orang lain dengan berbagai cara. Istilah pemimpin, kepemimpinan, dan memimpin pada mulanya berasal dari kata dasar yang sama yakni kata pimpin. Dengan demikian kepemimpinan disini secara umum diadopsi dari kata pempin yang memilki makna utama sebagai yang terdepan dalam membawa sekelompok orang atau masyarakat dalam mencapai tujuannya.

Kepemimpinan menurut Hasibuan (2010:75) adalah cara seorang pemimpin memengaruhi perilaku bawahan, agar mau bekerja sama dan bekerja secara produktif untuk mencapai tujuan organisasi. Sedangkan Menurut Kartono (2011) pengertian kepemimpinan yaitu kegiatan

atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok.

George R. Terry (Thoha, 2010) mengartikan bahwa Kepemimpinan adalah aktivitas untuk mempengaruhi orang-orang supaya diarahkan mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan meliputi proses mempengaruhi dalam menentukan tujuan organisasi, memotivasi perilaku pengikut untuk mencapai tujuan, mempengaruhi untuk memperbaiki kelompok dan budayanya. Sejalan dengan itu, Timple (2000) mengartikan Kepemimpinan adalah proses pengaruh sosial dimana manajer mencari keikutsertaan sukarela dari bawahan dalam usaha mencapai tujuan organisasi. Dengan kepemimpinan yang dilakukan seorang pemimpin juga menggambarkan arah dan tujuan yang akan dicapai dari sebuah organisasi. Sehingga dapat dikatakan kepemimpinan sangat berpengaruh bagi nama besar organisasi. Kemudian Danim (2004) menjelaskan bahwa kepemimpinan adalah setiap perbuatan yang dilakukan oleh individu atau kelompok untuk mengkoordinasi dan memberi arah kepada individu atau kelompok yang tergabung di dalam wadah tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya.

Yamin dan Maisah (2010) menyatakan bahwa kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi yang dilakukan oleh seseorang dalam mengelola anggota kelompoknya untuk mencapai tujuan organisasi. Kepemimpinan merupakan bentuk strategi atau teori memimpin yang tentunya dilakukan oleh orang yang biasa kita sebut sebagai pemimpin. Pemimpin adalah seseorang dengan wewenang kepemimpinannya mengarahkan bawahannya untuk mengerjakan sebagian dari pekerjaannya dalam mencapai tujuan. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan kepemimpinan

merupakan cara seorang pemimpin dalam

mempengaruhi bawahan dengan karakteristik tertentu sehingga dapat mencapai tujuan yang diinginkan.

Kepemimpinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang pemimpin. Seorang pemimpin adalah seseorang yang mempunyai keahlian memimpin, mempunyai kemampuan mempengaruhi pendirian/pendapat orang atau sekelompok orang tanpa menanyakan alasanalasannya. Seorang pemimpin adalah seseorang yang aktif membuat rencana-rencana, mengkoordinasi, melakukan percobaan dan memimpin pekerjaan untuk mencapai tujuan bersama-sama. Pengaruh seorang pemimpin dalam sebuah lembaga atau organisasi menentukan himbauan serta tujuan untuk mencapai visi dan misi.

Beberapa orang berpendapat bahwa seorang pemimpin yang efektif dapat menyebabkan pengikutnya secara tidak sadar dengan kemampuan dirinya berkorban

(3)

3

demi organisasi (Bass, 1985 dalam Locke, et al, 1991). Definisi yang lebih baik dari pemimpin efektif mengerjakan dengan menghargai bawahannya dengan kemampuan diri mereka dalam mencapai visi yang telah diformulasikan dan bekerja untuk mewujudkannya. Terdapat beberapa hal bagaimana pemimpin memotivasi bawahan yaitu: 1. Meyakinkan bawahan bahwa visi organisasi (dan peran bawahan dalam hal ini) penting dan dapat dicapai. 2. Menantang bawahan dengan tujuan, proyek, tugas, dan tanggung jawab dengan memperhitungkan perasaan diri bawahan akan sukses, prestasi, dan kecakapan. 3. Memberikan penghargaan kepada bawahan yang berkinerja baik dengan penghargaan, uang, dan promosi. Fungsi kunci seorang pemimpin adalah membangun visi organisasi dan mengkomunikasikan kepada bawahan.

Terdapat beberapa karakteristik dari pernyataan visi yaitu: ringkas, jelas, abstrak, menantang, orientasi ke depan, stabilitas, dan disenangi. Kebijakan dan prosedur yang spesifik diperlukan untuk mengimplementasikan visi ini terdiri dari enam kategori yaitu: 1. Menstrukturisasi 2. Menyeleksi, melatih, dan menyesuaikan diri bawahan 3. Memotivasi bawahan 4. Mengelola informasi 5. Membangun tim 6. Perubahan kemajuan.

2.2 Konsepsi Gaya Kepemimpinan

Kelangsungan hidup dari sebuah organisasi tentunya selalu berkaitan dengan aktivitas orang-orang yang berada di dalam organisasi, dan berjalannya sistem yang menunjang aktivitas organisasi. Kepemimpinan sebagai bagian dalam setiap aktivitas organisasi mempunyai peranan yang penting, dimana kepemimpinan menjadi salah satu faktor penentu arah dan tujuan organisasi. bahwa kepemimpinan didefinisikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah pencapaian tujuan.

Kecenderungan manusia sebagai makhluk sosial membuat kehidupan sehari-harinya tak bisa lepas dari kelompok untuk mencapai tujuan bersama. Diantara mereka membutuhkan seseorang yang dirasa memiliki kemampuan lebih diantara para anggotanya karena sifat alamiah manusia yang memiliki keterbatasan dan kelebihan tertentu. Bass (1990) kepemimpinan adalah proses yang kompleks dimana pemimpin mempengaruhi bawahannya dalam melaksanakan visi, misi dan tugas organisasi ke arah yang lebih maju dan bersatu dengan mengaplikasikan sifat-sifat kepemimpinan berupa kepercayaan, nilai, etika, perwakilan, pengetahuan dan kemahiran.

Kepemimpinan yang baik diyakini dapat mengikat, mengharmonisasi serta mendorong sumberdaya organisasi agar dapat bersaing secara baik atau bisa

disebut gaya kepemimpinan transformasional sebagaimana yang diungkapkan oleh Faturahman (2018 ) untuk diterapkan pada organisasi formal, informal maupun nonformal (Mullins, 2005:282). Gaya kepemimpinan yang baik diperuntukkan bagi pengembangan lingkungan kerja dan iklim motivasi karyawan demi produktivitas yang tinggi. Dengan demikian pemimpin yang efektif adalah penerapan gaya tertentu atau cara tertentu dalam kepemimpinannya dengan terlebih dahulu memahami siapa bawahan yang dipimpinnya, paham kekuatan dan kelemahan bawahannya, dan mengerti bagaimana caranya memanfaatkan kekuatan bawahan untuk mengimbangi kelemahan para bawahan (Siagian, 1994). Robbins (1996) menyatakan ciri yang dimiliki pemimpin sekurang-kurangnya yaitu 1) persepsi sosial, kecakapan melihat dan memahami sikap dan kebutuhan anggotanya kelompoknya ,2) kemampuan berpikirn abstrak, yakni memiliki kecerdasan tinggi untuk berpikir, 3) keseimbangan emosional, yaitu kesadaran yang mendalam akan kebutuhan, keinginan, cita-cita serta pengintegrasian seluruhnya dalam kepribadian yang harmonis.

Sedangkan menurut Maxwell (1995:191), memberikan pandangan terkaita dengan pemimpin. Pemimpin yang baik harus memiliki ciri; 1) Mampu menciptakan lingkungan yang tepat. Misalnya memperhatikan anggota atau bawahan. 2) mengetahui

kebutuhan dasar bawahannya. 3) Mampu

mengendalikan keuangan, personalia, dan perencanaan. 4) Mampu menghindari dosa yang mematikan; a) berusaha untuk disukan bukan dihormati. b) tidak minta nasehat dan bantuan kepada orag lain. c) Mengesampingkan bakat pribadi dengan menekankan peraturan bukan keahlian. d) tidak menjaga untuk dikritik tetap konstruktif. e) tidak mengembangkan rasa tanggung jawab dalam diri orang lain. f) memperlakukan setiap orang dengan cara yang sama. g) tidak membuat orang selalu mendapatkan informasi.

2.3 Kemunculan dan Efektifitas Kepemimpinan. Kemunculan pemimpin (Leader emergence) mengacu pada “apakah seorang individu dianggap oleh seorang pemimpin oleh orang lain” (Judge dkk., 2002:767). Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa tidak semua orang yang diberi posisi dan otoritas sebagai pemimpin dalam suatu organisasi mendapatkan pengakuan dan penghormatan dari bawahannya sebagai seorang pemimpin (Hogan dkk., 1994). Di lain pihak, seorang yang tidak memiliki posisi formal sebagai seorang pimpinan, namun mampu secara sukarela mengambil alih tugas-tugas sebagai pemimpin, membantu orang lain dalam pelaksanaan tugasnya, berhasil menciptakan konsensus diantara rekan-rekannya dan dapat mengambil keputusan bagi orang

(4)

4

lain, sehingga yang bersangkutan diakui oleh lingkungannya sebagai seorang pemimpin disebut oleh Lord dkk. (1986) sebagai pemimpin yang muncul (emergent leader). Berdasarkan pemahaman ini, maka dapat dikatakan bahwa dalam studi-studi kepemimpinan, adalah lebih tepat untuk melakukan penelitian terhadap pemimpin yang muncul di

permukaan dan mendapat pengakuan dari

lingkungannya, daripada terhadap orang-orang yang hanya menduduki posisi formal sebagai pemimpin namun tidak diakui sebagai pemimpin. Dilain pihak, walaupun seseorang telah muncul dan diakui kepemimpinannya, tidak berarti kepemimpinannya tersebut berhasil. Kemunculan sebagai seorang pemimpin saja belum tentu dapat membuat tujuan organisasi dapat tercapai. Menurut Hogan dkk. (1994) adalah cukup sulit untuk menentukan faktor-faktor keberhasilan yang seringkali diluar kendali seorang pemimpin.

Namun demikian menurut mereka efektifitas kepemimpinan seseorang dapat diukur dari seberapa jauh dampak dari kepimpinannya terhadap organisasi yang dipimpinannya, seperti keuntungan perusahaan, kepuasan terhadap pelayanan yang diberikan oleh organisasi nirlaba, ataupun perasaan menang yang dirasakan oleh angggota kelompok. Penelitian oleh Chan dkk. (2011) menunjukkan bahwa sifat-sifat bawaan, termasuk kemampuan bawaan seperti taraf kecerdasan serta kepribadian bawaan seperti ekstraversi, etos kerja dan stabilitas emosi, dapat menjadi prediksi yang kuat dari munculnya kepemimpinan. Sedangkan, efektifitas kepemimpinan, lebih banyak dipengaruhi oleh perilaku dari sang pemimpin.

Pendapat Chan dkk. Ini diperkuat oleh penelitian Hidayat dan Susetyo (2017) yang menunjukkan keberhasilan seorang Bintara Kopassus pada saat seluruh insitusi formal lumpuh, dalam memimpin ribuan penyintas bencana Tsunami di Aceh pada tahun 2004, termasuk keluarga anggota Gerakan Aceh Merdeka (GAM), ke tempat yang aman dan memimpin mereka untuk bertahan hidup secara damai di daerah GAM sampai bantuan tiba. Proses seleksi Kopassus yang mencakup tes psikologi yang menggali sifatsifat bawaan tentunya banyak berpengaruh terhadap kemunculan Bintara tersebut sebagai seorang pemimpin walaupun pangkatnya tidaklah tinggi. Di lain pihak, pelatihan dan pengalaman yang dialami sebelumnya telah membentuk perilakunya, sehingga kepemimpinan lapangannya efektif.

3. Metode Penulisan

Jurnal ini didasarkan pada studi kepustakaan atau library research. Library research adalah rentetan aktivitas penelitian yang berkaitan dengan bagaimana cara dan metode yang tepat dalam pengumpulan data kajian, menapsirkan dan mendaftar serta menyiapkan

komposisi kajian yang dibahas. Hal ini merupakan suatu penelitian yang memanfaatkan sumber perpustakaan untuk memperoleh data penelitiannya (Zed, 2004). Dalam artikel ini, penulis menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif-kritis. Penelitian deskriptif-kritis dengan lebih menekankan pada kekuatan analisis sumber-sumber dan data-data yang bergantung pada teori-teori dan naskahnaskah yang ada untuk diterjemahkan berlandaskan tulisan-tulisan yang mengarah kepada diskusi utama. Landasan-landasan di atas didapat dari karya yang ditulis oleh intelektual dan ahli yang berkompeten.

4. Hasil dan Diskusi

4.1 Nilai - Nilai Pancasila

Pancasila adalah seperangkat nilai-nilai dasar ideal, merupakan komitmen kebangsaan, identitas bangsa dan menjadi dasar pembangunan karakter Keindonesiaan. Mendasarkan pada perspektif teori fungsionalisme struktural, sebuah negara bangsa yang majemuk seperti Indonesia membutuhkan nilai bersama yang dapat dijadikan nilai pengikat integrasi (integrative value), titik temu (common denominator), jati diri bangsa (national identity) dan sekaligus nilai yang dianggap baik untuk diwujudkan atau ideal value (Winarno Narmoatmojo, 2010). Sebagai ideologi nasional, nilai-nilai dasar Pancasila menjadi cita-cita masyarakat Indonesia yang sekaligus menunjukan karakter bangsa yang hendak dibangun. Karakter, identitas atau jati diri sebuah bangsa bukanlah sesuatu yang telah jadi.

Karakter adalah hasil konstruksi dan produk dari pembudayaan melalui pendidikan.Pancasila mendasari dan menjiwai semua proses penyelenggaraan negara dalamberbagai bidang serta menjadi rujukan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam bersikap dan bertindak dalam kehidupannya sehari-hari. Pancasila memberikan suatu arah dan kriteria yang jelas mengenailayak atau tidaknya suatu sikap dan tindakan yang dilakukan oleh setiap warga negara Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Moerdiono (1999) menjelaskan bahwa terdapat tiga tataran nilai dalam ideologi Pancasila yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksis.Dimana ketiga nilai ini menjadi suatu bagian yang menjadi penentu sukses dan tidaknya implementasi dari pelaksanaan nilai-nilai yang tercantuk dalam idiologi pancasila. Ketiga nilai ini terjabar dalam uraian yang antara lain:

Pertama Nilai dasar, yaitu suatu nilai yang bersifat amat abstrak dan tetap, yang terlepas dari pengaruh perubahan waktu. Nilai dasar merupakan prinsip, yang bersifat amat abstrak, bersifat amat umum, tidak terikat oleh waktu dan tempat, dengan kandungan

(5)

5

kebenaran yang bagaikan aksioma. Dari segi kandungan nilainya, maka nilai dasar berkenaan dengan eksistensi sesuatu, yang mencakup cita-cita, tujuan, tatanan dasar dan ciri khasnya. Nilai dasar Pancasila ditetapkan oleh para pendiri negara. Nilai dasar Pancasila tumbuh baik dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajahan yang telah menyengsarakan rakyat, maupun dari citacita yang ditanamkan dalam agama dan tradisi tentang suatu masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan kebersamaan, persatuan dan kesatuan seluruh warga masyarakat.

Kedua Nilai instrumental, yaitu suatu nilai yang bersifat kontekstual. Nilai instrumental merupakan penjabaran dari nilai dasar tersebut, yang merupakan arahan kinerjanya untuk kurun waktu tertentu dan untuk kondisi tertentu. Nilai instrumental ini dapat dan bahkan harus disesuaikan dengan tuntutan zaman. Namun nilai instrumental haruslah mengacu pada nilai dasar yang dijabarkannya. Penjabaran itu bisa dilakukan secara kreatif dan dinamik dalam bentuk-bentuk baru untuk mewujudkan semangatyang sama, dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh nilai dasar itu.

Dari kandungan nilainya, maka nilai instrumental merupakan kebijaksanaan, strategi, organisasi, sistem, rencana, program, bahkan juga proyek-proyek yang menindaklanjuti nilai dasar tersebut. Lembaga negara yang berwenang menyusun nilai instrumental ini adalah MPR, Presiden, dan DPR.

Ketiga Nilai praksis, yaitu nilai yang terkandung dalam kenyataan sehari-hari, berupa cara bagaimana rakyat melaksanakan (mengaktualisasikan) nilai Pancasila. Nilai praksis terdapat pada demikian banyak wujud penerapan nilai-nilai Pancasila, baik secara tertulis maupun tidak tertulis, baik oleh cabang eksekutif, legislatif, maupun yudikatif, oleh organisasi kekuatan sosial politik, oleh organisasi kemasyarakatan, oleh badan-badan ekonomi, oleh pimpinan kemasyarakatan, bahkan oleh warganegara secara perseorangan.

Jika mengacu pada lima sila Pancasila, maka menurut Gunawan (2012). Pancasila sebagai inti karakter bangsa Indonesia, mengandung lima pilar karakter, yakni: pertama transendensi, menyadari bahwa manusia merupakan ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Dari-Nya akan memunculkan penghambaan semata-mata pada Tuhan. Kesadaran ini juga berarti memahami keberadaan diri dan alam sekitar sehingga mampu memakmurkannya. Dimana manusia menggunakan pemikiran mendalam untuk mempelajari sifat Tuhan yang dianggap begitu jauh, berjarak dan mustahil dipahami manusia; keduahumanisasi, dimana hal ini merupakan proses menjadikan manusia sebagai manusia sesuai dengan kodratnya sebagai manusia.setiap manusia pada hakikatnya setara di hadapan Tuhan kecuali ketakwaan dan ilmu yang membedakannya,

manusia diciptakan sebagai subyek yang memiliki potensi; ketiga kebinekaan, kesadaran akan ada sekian banyak perbedaan di dunia, akan tetapi, mampu mengambil kesamaan untuk menumbuhkan kekuatan; keempat liberasi, pembebasan atas penindasan sesama manusia, oleh karena itu tidak dibenarkan adanya penjajahan manusia oleh manusia; dan kelima keadilan, merupakan kunci kesejahteraan, adil tidak berarti sama, tetapi proporsional.

Berdasarkan beberapa pemaparan di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Pancasila memiliki nilai-nilai yang dapat dijadikan sebagai pedoman oleh seorang yang menjadi pimpinan organisasi. Apabila pancasila dijadikan sebagai landasan idiologi maka harus memuat tiga macam nilai utama yaitu nilai dasar, instrumental dan praksis. Kemudian apabila pancasila dijadikan sebagai basis utama dalam menjalankan organisasi maka transendensi, humanisasi, kebinekaan dan keadilan harus menjadi pegangan ketua dalam organisasi tersebut.

4.2 Masyarakat Multikultural

Kelompok masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman serta perbedaan yang sangat kompleks atau majemuk. Kelompok masyarakat dengan bebagai keanekaragaman dan kemajemukan tersebut dikenal dengan istilah masyarakat multikultural atau Multicultural society. Jika kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok masyarakat yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama sehinga mereka mampu mengorganisasikan dirinya dan berpikir tentang dirinya sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu, maka konsep masyarakat tersebut jika digabungkan dengan multicultural memiliki makna yang sangat luas dan diperlukan pemahaman yang mendalam untuk dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat multicultural itu.

Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Fay 1996, Jary dan Jary 1991, Watson 2000). Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut.

(6)

6

Model multikulturalisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: "kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah". Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan, karena dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup masyarakatnya.

Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri terpisah dari ideologiideologi lannya, dan multikulturalisme membutuhkan seperangkat konsep-konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep-konsep-konsep untuk dijadikan acuan bagi memahaminya dan mengembang-luaskannya dalam kehidupan bermasyarakat. Untuk dapat memahami multikulturalisme diperlukan landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dengan dan mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan manusia. Bangunan konsepkonsep ini harus dikomunikasikan diantara para ahli yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikultutralisme sehinga terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalisme antara lain adalah, demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam perbedaan yang sederajat, sukubangsa, kesukubangsaan, kebudayaan sukubangsa, keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM, hak budaya komuniti, dan konsepkonsep lainnya yang relevan (Fay 1996, Rex 1985, Suparlan 1999).

Suparlan (1999) menyatakan bahwa konsep masyarakat multikultural (multicultural society) perlu dibedakan dengan konsep masyarakat majemuk (plural society) yang menunjukkan keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaan suku bangsa, multikulturalisme dikembangkan dari konsep pluralisme budayaatau masayarakat yang memiliki budaya beranekaragam dengan menekankan pada kesederajatan kebudayaan yang ada dalam suatu masyarakat. Sejalan dengan itu (Azra, 2006) menjelaskan bahwa multikulturalisme ini mengusung semangat untuk hidup berdampingan secara damai (peaceful coexistence) dalam perbedaan budaya yang ada baik secara individual maupun secara kelompok dan masyarakat. Selanjutnya Koentjaraningrat (2005) juga menjelaskan bahwa konsep pluralisme yang menekankan keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaannya, sehingga setiap kebudayaan dipandang sebagai entitas yang destruktif, maka multikulturalisme lebih menekankan hubungn antar-kebudayaan dengan pengertian bahwa keberadaan suatu kebudayaan atau peradaban harus mempertimbangkan keberadaan kebudayaan atau peradaban lainnya. Dari sini lahir

gagasan atau konsep kesetaraan, toleransi, saling menghargai, dan sebagainya.

Membangun masyarakat multikulturalisme Indonesia berarti membangun suatu ideologi yang menempatkan kesetaraan dalam perbedaan pada posisi sentral. Namun, sebagaimana halnya setiap konsep dalam ilmu pengetahuan, khususnya ilmu sosial, konsep multikulturalisme tak luput dari perbedaan pengertian. Menurut Bikhu Parekh (2008) istilah multikulturalisme mengandung tiga komponen, yakni, pertama, konsep ini terkait dengan kebudayaan; kedua, konsep ini merujuk kepada pluralitas kebudayaan; dan ketiga, konsep ini mengandung cara tertentu untuk merespons pluralitas itu. Oleh sebab itu multikulturalisme bukanlah doktrin politik pragmatik melainkan sebagai cara pandang atau semacam ideologi dalam kehidupan manusia. Oleh karena hampir semua negara di dunia tersusun dari anekaragam kebudayaan artinya perbedaan menjadi asasnya dan gerakan manusia dari satu tempat ke tempat lain di muka bumi semakin intensif, maka multikulturalisme sebagai ideologi itu harus diterjemahkan ke dalam kebijakan multikultural sebagai politik pengelolaan perbedaan kebudayaan warga negara dengan mengutamakan kesetaraan dan saling menghargai.

4.3 Kepemimpinan Berkarakter Pancasila

Pemimpin berkarakter Pancasila yang dimaksud adalah pemimpin yang memiliki nilai-nilai Pancasila di dalamnya. Merujuk pada nilai Pancasila sila pertama, maka pemimpin di Indonesia mestinya adalah pemimpin yang memiliki kepercayaan terhadap Tuhan. Dengan meyakini dan mempercayai Tuhan maka pemimpin akan tunduk pada aturan yang ditetapkan oleh Tuhan lewat agama. Setiap agama memerintahkan penganutnya, misalnya, untuk tidak mencuri. Maka, pemimpin yang bertuhan secara benar tidak akan mudah tergiur untuk mencuri uang rakyat, menerima uang panas korupsi.

Pemimpin seperti ini tidak akan mudah untuk melakukan tindakan yang sewenang-wenang. Ia memiliki sifat welas asih terhadap rakyatnya, mengusahakan kesetaraan antar umat manusia, berani menentang penindasan terhadap sesama manusia, dan gigih dalam memperjuangkan cita-cita bersama. Oleh karena itulah, dalam pidatonya pada 1 Juni 1945 Bung Karno menyerukan: Marilah kita semuanya bertuhan. Sila pertama juga memberi pesan pada masyarakat Indonesia agar berketuhanan yang berkeadaban. Maksudnya adalah berketuhanan namun tetap memiliki sikap saling menghormati terhadap umat beragama yang lain. Tidak saling mengejek apalagi membunuh.

Dengan menghayati sila pertama, pemimpin di republik ini harus juga mengupayakan adanya sikap saling menghormati antar sesama umat beragama Tidak

(7)

7

mengadu dombanya sebagaimana yang pernah dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap umat beragama di Indonesia. sehingga dapat menjadikan masyarakat Indonesia mampu menjadi masyarakat multikultural yang dapat saling menghormati dan bertoleransi agar mewujudkan bangsa multikultural yang aman.

Dengan menghayati sila kedua, pemimpin berkarakter Pancasila berarti pemimpin yang menegakkan Hak Asasi Manusia yang bersifat universal. Pembelaan terhadap manusia tidak terbatas pada manusia yang ada di dalam batas-batas negara Indonesia. Lebih jauh dari pada itu, penegakan terhadap prinsip-prinsip kemanusiaan berlaku pada seluruh manusia di dunia. Hal ini lantaran prinsip nasionalisme yang ada di dalam Pancasila adalah nasionalisme yang bukan saja memberikan kehidupan bagi bangsanya sendiri melainkan juga memberi hidup bagi bangsa-bangsa yang lain. Dengan demikian, pemimpin berkarakter Pancasila harus mengupayakan tatanan hidup manusia yang harmonis, tidak saling menindas dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.

Karakteristik pemimpin ideal Indonesia yang selanjutnya adalah persatuan. Pemimpin seperti ini adalah pemimpin yang pertama-tama sadar akan adanya keragaman sosial budaya yang ada di Indonesia. Yang kedua, pemimpin ini juga sadar bahwa tanpa adanya persatuan maka negara ini akan terpecah-pecah dan hancur lebur. Maka, pemimpin Indonesia ideal haruslah menempatkan persatuan sebagai inti pemikiran dan pilihan-pilihan kebijakan yang diambil. Pemimpin dapat memersatukan bangsa Indonesia ini meskipun masyarakatnya memiliki keberagaman agama, etnis, suku dan ras dan menciptakan lingkungan multikultural yang harmoni sehingga dapat terhindar dari berbagai konflik horizontal.

Sesuai dengan nilai-nilai sila keempat, pemimpin Indonesia wajib memiliki karakter demokratis. Ia menempatkan rakyat sebagai pelaku utama dalam kehidupan bernegara baik itu dalam bidang politik atau ekonomi. Dalam bidang politik, pemimpin berkarakter Pancasila haram hukumnya berlaku otoriter, menutup telinga terhadap tuntutan rakyat. Mestinya, pemimpin Indonesia peka dan memerjuangkan asipirasi rakyatnya. Selain itu, pemimpin Indonesia tidak boleh menghalangi seluruh warga negara untuk ikut berpartisipasi dalam lapangan ekonomi. Pemimpin Indonesia menolak segala macam monopoli dan oligopoli segelintir orang di dalam kehidupan ekonomi bangsa. Kecuali, dalam cabang produksi penting yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yang harus dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat.

Terakhir, dengan menghayati sila kelima pemimpin Indonesia mesti memiliki karakter yang adil

terhadap sesama, mengutamakan kegotongroyongan, kekeluargaan, menghargai Hak Asasi Manusia, tidak melakukan diskriminasi ataupun pluralism yang berlebihan. Pemimpin harus dapat menegakkan keadilan kepada seluruh rakyat Indonesia tanpa pandang bulu.

5. Kesimpulan dan Saran

5.1 Kesimpulan

Kepemimpinan berbasis nilai-nilai Pancasila merupakan upaya membumikan Pancasila di pada seluruh masyarakat Indonesia. Kepemimpinan yang menginternalisasikan nilai-nilai Pancasila mutlak harus diimplementasikan, di tengah terbukanya tatanan global. Organisasi dan lembaga sebagai tempat berkumpulnya orang mengemban tugas untuk mengukuhkan, memformulasikan, menyatukan, dan menciptakan masyarakat yang berasaskan Pancasila disetiap sendi-sendi kehidupan. Pimpinan organisasi dan lembaga pemerintahan merupakan juru kunci terwujudnya lingkungan dan budaya organisasi yang dapat menanamkan nilai-nilai pancasila. Pimpinan dalam seluruh kegiatan memiliki kewajiban menanamkan nilai-nilai Pancasila kepada anggotanya, dengan memasukkan kandungan nilai-nilai Pancasila dalam setiap kegiatan dan program organisasi. Kalau mengacu pada sila-sila Pancasila, maka diperoleh beberapa hal penting tekait dengan pilar-pilar nilai kepemimpinan yang harus dilaksanakan oleh seorang pemimpin dalam setiap lembaga, antara lain, pertama transendensi, kedua humanisasi, ketiga kebhinekaan, keempat liberasi, dan kelima keadilan. Lima pilar nilai kepemimpinan Pancasila tersebut menjadi ruh kepemimpinanyang ditampilkan oleh pimpinan dalam memimpin organisasi, lembaga atau roda pemerintahannya. Jika pimpinan menampilkan sifat lima pilar kepemimpinan Pancasila dan juga menampilkan keteladanan yang menjiwai Pancasila, maka anggota atau pegawai pun akan meneladani pimpinan. Sehingga organisasi atau lembag menjadi wahana yang efektif dalam merevitalisasi dan mengedepankan nilai Pancasila. Organisasi dan lembaga masyarakat menjadi model penerapan kepemimpinan berbasis nilai-nilai Pancasila.

5.2 Saran

Saat ini Indonesia sedang kehilangan pemimpin berkarakter Pancasila. Republik ini dipimpin oleh para koruptor, pemimpin hanya memuaskan nafsu pribadi dan keluarganya saja, pemimpin berideologi neoliberal, miskin keberanian untuk melawan perusahaan asing, pengecut terhadap negara superpower yang nyata-nyata mengingkari Hak Asasi Manusia, mengizinkan monopoli terhadap cabang produksi penting, dsb. Maka jika ingin terhindar dari segala macam pelanggaran konstitusi ini, agar keluar dari segala macam krisis ini,

(8)

8

agar Indonesia dapat mewujudkan cita-cita kemerdekaannya. Pemimpin berkarakter Pancasila harus segera diciptakan. Keluarga sekolah dan kampus adalah sarana-sarana paling strategis untuk mengenalkan dan menginternalisasikan Pancasila pada segenap manusia Indonesia. Dengan langkah inilah, pemimpin berkarakter Pancasila akan terbentuk.

Daftar Pustaka

Azra, A. (2006). “Pancasila dan Identitas Nasional Indonesia: Perspektif Multikulturalisme”. Dalam Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas. Bogor: Brighten Press. Jakarta: Rineka Cipta.

Bass, Bernard M, (1990). From Transactional to Transformational Leadership: Learning to Share the Vision, Organizational Dynamics, Vol. 18, pp.19-31.

Chan, K. J., Soh S, Ramaya R. (2011). Military leadership in the 21st century. Singapore: Cengage Learning Asia.

Danim, Sudarwan. (2004) Motivasi Kepemimpinan & Efektivitas Kelompok. Jakarta: PT Rineka Cipta Departemen Pendidikan Nasional. (2008). Kamus Besar

Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Faturahman, B. M. (2018). Aktualisasi Nilai Demokrasi dalam Perekrutan dan Penjaringan Perangkat Desa. SOSPOL, 4(1), 132–148.

Gunawan, Heri. (2012). Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi. Bandung: Alfabeta.

Hasibuan, N. 2010. Kepemimpinan Dalam Organisasi. Jakarta: Prenhallindo.

Hidayat, E & Susetyo, R. (2017). Leadership in Extreme Situations: Case Study of an Indonesian Special Forces Soldier during the Boxing Day Tsunami. Dalam M.O. Holenweger, M.K. Jager & F. Kernic (Eds). Leadership in Extreme Situations. New York, NY: Springer International Publisher. Hogan, R., Curphy, G. J., & Hogan, J. (1994). What we

know about leadership: Effectiveness and personality, American Psychologist, 49, 493 - 504.

Judge, A.T., and Bono, E.B., Ilies, R., and Gerhardt, M.M. (2002). Personality and leadership : a quantitative and qualitative review . Journal of Applied Psychology, 87: 765-780

Kartono, Kartini 2011. Pemimpin dan Kepemimpinan, Jakarta: PT. Rajawaligrafindo Persada.

Koentjaraningrat. (2005). Pengantar Antropologi. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Locke, Edwin A, Shelley Kirkpatrick, Jill K. Wheeler, Jodi Schneider, Kathryn Niles, Harold Goldstein (1991), The Essence of Leadership, The Four

Keys to Leading Successfully, Lexington Books, New York.

Lord, R. G., De Vader, C. L., & Alliger, G. M. (1986). A meta-analysis of the relation between personality traits and leadership perceptions: An application of validity generalization procedures, Journal of Applied Psychology, 71, 402 - 410.

Maxwell, J.C. (1995). Mengembangkan Kepemimpinan di Dalam Diri Anda. Jakarta: Bianrupa Aksara. Moerdiono. (1999). Pancasila Sebagai Ideologi.

Jakarta: BP-7 Pusat

Mullins J. Laurie. (2005). Management and Organisational Behavior, 7th Edition, Essex: Pearson Education Limited.

Narmoatmojo, Winarno. (2010). Implementasi Pancasila Melalui Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education). Yogyakarta: Ombak

Robbins, S. P. (1996). Perilaku organisasi: Konsep, kontroversi, aplikasi. Jakarta: Prenhallindo. Siagian, S.,P. (1994). Teori Dan Praktek kepemimpinan.

Jakarta: Rineka Cipta

Suparlan, Pi. (1999), "Kemajemukan Amerika: Dari Monokulturalisme ke Multikulturalisme". Jurnal Studi Amerika, vol.5 Agustus, hal. 35-42.

Parekh, Bikhu. (2008). Rethingking Multiculturalism Keberagaman Budaya dan Teori Politik, Yogyakarta: Kanisius

Thoha, Miftah. (2010). Kepemimpinan dan Manejemen. Rajawali Press: Jakarta.

Timple, A.D. (2000). Seri Manajemen Sumber Daya Manusia Kepemimpinan Jakarta: PT Elex Media Komputindo

Watson, C. W. (2000). Multiculturalism. Buckingham-Philadelphia: Open Universty Press

Yamin, Martinis & Maisah. (2010). Standarisasi KinerjaGuru. Jakarta: Gaung Persada (GP Press). Zed, Mestika. (2004). Metode Penelitian Kepustakaan.

(9)

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Dalam era modern seperti sekarang ini kehadiran internet sebagai penghubung komunikasi digital dari perusahaan kepada konsumen/ calon konsumen sudah menjadi suatu hal yang

Lipatan yang dibuat dapat dibentuk dengan hanya melipat serbet dsedemikian rupa namun mudah untuk melepasnya dan tidak mengurangio fungsi dari serbet tersebut.. Lipatan

Nytro 3000 SSD juga memungkinkan TCO yang lebih rendah dengan menawarkan empat kategori daya tahan untuk mencocokkan persyaratan biaya dan kinerja dari semua beban kerja

kependidikan dan aktivitas keilmuan dalam pendidikan Islam selama ini, dengan berbagai dampak negatif yang ditimbulkan dan dirasakan masyarakat luas. Solusi untuk

Pancasila adalah dasar negara Indonesia dan sudah sepatutnya menjadi dasar kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh masyarakat indonesia, nilai-nilai Pancasila

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, dapat dimaknai bahwa Pancasila bagi bangsa Indonesia dijadikan sebagai filter atau penyaring dari hal-hal yang tidak